"Kita tidak bisa menghindar dari segala pertanyaan yang diajukan oleh keluarga besar, jadi jawab saja dengan santai walaupun kepala terbakar dan hati tersakiti."
-Raya Aurora-
Apakah Aku Salah Berjuang?
Oleh: Tan Ciu Kian
Kenapa senja menjadi penantian?
Apakah fajar tak seindah semangat yang diberikan?
Apa aku salah berjuang?
Sudah layakkah aku bertarung?
Entahlah
Kini hanya mampu berdoa
bukan sekadar ucapan
Sebaik-baiknya aku
nyatanya kamu lebih memilih yang lain
Tak ada duka yang terlahir dalam canda
Tak ada rindu yang menimbulkan candu
Tak ada yang benar-benar terluka
Selain aku yang tak lagi bersamamu
Raya mengklik tombol save pada layar laptop setelah menulis baris terakhir puisinya, lalu menutup benda elektronik yang belakangan ini sudah seperti suaminya sendiri, karena dia tidak memiliki kegiatan lain selain mengetikkan kata demi kata di atas keyboard. Lebih tepatnya, tidak diperbolehkan melakukan kegiatan lain selain kegiatan yang berhubungan dengan penulisan puisi, seperti merenung, membaca buku, mendengarkan musik, berdialog dengan orang-orang di dalam kantor, atau jalan-jalan sebentar di dekat lingkungan kantor. Untunglah, hari ini dan besok dia diizinkan untuk menghirup udara segar ke tempat yang lebih jauh oleh Aldo dengan syarat laki-laki itu harus ikut dengannya. Raya tidak bisa menolak dan mencari alasan, mau tidak mau dia harus menuruti syarat dari CEO penerbit yang menaunginya itu.
Kini, Raya dan Aldo sudah siap untuk bepergian. Raya duduk di kursi penumpang dan Aldo duduk di sebelahnya. Senyum merekah tak henti-henti terukir dari bibir Aldo. Dia merasa sangat bahagia bisa menemani Raya pulang ke kampung halamannya di Sukabumi. Raya menyadari hal itu. Perlahan, gadis itu pun ikut tersenyum. Hatinya berbisik, setidaknya hari ini dia harus sedikit berbahagia.
Semenjak Raya menerima penawaran kerjasama, Aldo sudah berkali-kali meminta maaf atas sikap intimidasinya pada Raya beberapa waktu lalu dan atas sikap penguntitnya selama ini. Sebenarnya, tidak mudah bagi Raya untuk melupakan kejadian yang sangat membuatnya takut itu. Namun, seiring berjalannya waktu, gadis itu perlahan mau memaafkan. Raya pikir, kesalahan Aldo hanya dua, sementara kebaikannya banyak. Raya merasa menjadi teman yang tidak bersyukur kalau tidak mau memaafkan laki-laki itu.
"Memang sepupu kamu yang akan menikah itu umurnya berapa?" tanya Aldo, memecah keheningan. Dia sengaja tidak menyetel musik karena ingin gadis di sampingnya hanya fokus padanya.
"19 tahun, Kak."
"Wah, masih muda, ya!"
"Iya, masih muda banget. Beda ya sama aku. Udah setua ini, tapi belum menikah." Raya tertawa kecil di akhir kalimat sendunya. Dia merasa kalah dari sepupu-sepupunya yang sudah berkeluarga. Sebenarnya, dia pun tidak berniat menghadiri acara pernikahan hari ini karena takut ditanya-tanya oleh keluarga besar yang nanti hadir di sana. Namun, ibunya mengingatkan bahwa sepupunya yang menikah kali ini adalah sepupu yang paling dekat dengan keluarga mereka. Jadi, Raya wajib datang. Lagipula, saat acara lamaran beberapa waktu lalu, Raya tidak datang, padahal sudah dihubungi berkali-kali.
"Emang kamu udah pengin menikah?"
"Ya, maulah, Kak. Wanita mana sih yang nggak mau menikah?"
"Aku siap kalau kamu mau ngasih aku kesempatan."
Jantung Raya seakan berhenti berdetak. Lagi-lagi Aldo membahas persoalan ini. "Aku masih nyaman dengan hubungan kita yang sekarang, Kak. Dan..." Raya menarik napas beberapa detik sebelum melanjutkan kalimatnya. "aku mohon Kak Aldo juga menganggap aku hanya sebagai seorang teman dan penulis yang Kak Aldo rekrut."
"Memangnya benar-benar nggak bisa predikat itu meningkat ke seseorang yang spesial?"
"Kak..."
"Oke, oke. Orang yang kamu cinta bukan aku, tapi Radit. Ya, ya, aku paham." Aldo mengangguk-anggukkan kepala walaupun hatinya menggeleng. Dari lubuk hati terdalam, dia masih menginginkan Raya.
"Suatu hari, Kak Aldo juga akan mendapatkan seseorang yang paling pas."
"Paling pas? Bukan paling baik?"
"Beda makna, Kak. Ini tuh PAS. Paham nggak, sih? Semacam Kak Aldo beli kopi, entah di kedai atau di kafe. Terus Kak Aldo minum kopi itu. Lalu terasa pas. Pas di lidah, pas di dompet, dan pas di hati. Mantap, 'kan? Pokoknya, gitu. PAS!"
"Wah, menggiurkan! Kata-kata kamu benar-benar meyakinkan. Jadi, takaran pasangan yang baik untuk kamu itu yang PAS?"
"Iya dong, Kak."
"Penulis tuh memang beda, ya. Punya kosa kata sendiri untuk menyampaikan pesan. Memang nggak salah aku dan Bima merekrut kamu di proyek ini."
"Bisa aja, Kak Aldo! Btw, memang kenapa aku harus tinggal di mess dan nggak boleh melakukan hal lain selain menulis selama proyek ini berlangsung?"
"Karena..."
"Karena?"
"Karena aku ingin kamu tinggal di dekat aku. Bukannya itu udah sangat jelas, Ray?"
"Aku kira ada alasan lain." Raya berusaha merespons sedatar mungkin, lalu memainkan ponselnya.
"Ada."
"Apa?"
"Menjauhkan kamu dari Radit."
Raya tersentak mendengar pernyataan Aldo, tapi tidak mengatakan apa-apa. Banyak kalimat yang muncul di kepala gadis itu, hingga dia bingung mau memilih untuk mengutarakan yang mana. Aldo pun tidak mengatakan hal lain untuk menjelaskan kalimatnya. Akhirnya, kedua insan itu terdiam lagi. Mencoba melupakan topik pembicaraan yang panas dan mulai menikmati pemandangan yang sejuk di sepanjang perjalanan.
--
"Raya, kenapa kamu kabur dari tanggung jawab?" Suara di seberang sana terdengar meninggi, hingga Raya sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. Gadis itu kini sudah tiba di tempat tujuannya. Tadi, bersama Aldo, dia sudah menyalami kedua mempelai dan saudara-saudara yang dilihatnya. Hampir semuanya bergantian melirik-lirik pada dirinya dan Aldo. Menyampaikan pertanyaan tersirat yang hanya Raya jawab dengan senyuman ramah. Sebelum ini, dia pun sudah pulang ke rumah orangtuanya dan memperkenalkan Aldo. Kemudian, bersama-sama datang ke tempat acara.
"Maaf, Mas. Aku nggak kabur dari tanggung jawab. Aku udah ngirim update naskah via email ke Mas Tian."
"Tapi saya sudah bilang 'kan hari ini saya akan datang untuk mengoreksi dan membahas lebih lanjut puisi-puisi kamu? Ini juga kamu cuma nambahin 2 puisi. Saya minta 5, Raya. Mana puisi patah hati semua lagi yang kamu tulis! Saya mau yang ceria dan penuh semangat."
"Mas Tian nggak bilang mintanya berapa, jadi aku cuma bikin sebisaku aja. Mas Tian juga nggak ngasih tema." Raya merasa malu ditegur seperti ini. Ditegur karena hanya bisa menulis puisi-puisi patah hati. Mau bagaimana lagi? Perasaannya saat ini begitu sakit. Dia terus terbayang-bayang adegan mesra Radit bersama wanita lain. Sebetulnya, dia juga terbayang-bayang momen indah ketika mereka berdua. Namun, jemarinya lebih ingin menuliskan kisah sedih daripada kisah bahagia.
"Raya!"
"Iya, maaf, Mas. Maaf." Raya tidak memperkirakan hal ini sebelum pergi. Dia tidak menyangka Tian akan semarah ini padanya.
"Target kita 120 puisi dan kita cuma punya waktu 3 bulan. Tiga bulan itu naskah kamu sudah harus siap terbit, Raya."
"Iya, Mas. Aku paham."
"Kalau kamu paham dalam 3 bulan naskah kamu sudah harus terbit, kamu pasti paham itu sudah termasuk editing, layouting, dan pengajuan ISBN ke Perpusnas."
"Iya, aku juga paham soal itu."
"Tapi kamu malah pergi, Raya! Balik, balik! Besok kamu harus udah balik ke kantor."
"Mas Tian, aku udah dikasih izin cuti 2 hari sama Kak Aldo."
"Dua hari?"
"Iya, Mas."
Terdengar embusan napas kasar di seberang sana. "Oke! Tiga hari lagi saya datang ke kantor, 8 puisi baru harus udah siap."
"Tapi, Mas... Hallo! Ha..." Terlambat. Sambungan telepon sudah ditutup sebelah pihak oleh Tian.
"Kenapa, Ray? Telepon dari siapa? Kok lama?" Aldo tiba-tiba sudah ada di dekatnya sambil memegang dua piring kecil buah-buahan.
"Dari pelanggan online shop, Kak. Dia nanya kenapa aku nggak jualan lagi." Raya memilih berbohong karena dia merasa tidak mungkin untuk mengatakan bahwa Tian memarah-marahinya. Itu malah akan membuat Aldo berang dan berbalik memarahi Tian. Lalu, dia dia akan lebih disiksa lagi oleh editornya itu.
Namun, kebohongannya itu membuat Aldo menunjukkan ekspresi wajah menyesal. "Oh. Maaf ya, Raya."
"Nggak apa-apa, Kak Aldo. Ini kan keputusan aku."
"Eh, Raya! Udah lama nggak kelihatan," sapa seorang wanita setengah baya yang mengenakan gamis berwarna hijau tua, yang tiba-tiba muncul di hadapan Raya dan Aldo.
"Uwa! Uwa Nenih, gimana kabarnya?" balas Raya. Dia tersenyum ceria, lalu menyalami dan memeluk wanita yang dipanggilnya Uwa Nenih itu.
"Alhamdulillah, sehat. Kamu sehat-sehat aja?"
"Sehat, alhamdulillah, Wa."
"Raya, kapan atuh nikahnya? Udah kesusul lagi aja sama si Despi."
Kan ada yang nanya juga, padahal dari tadi udah menghindar dari orang banyak! gerutu Raya dalm hati. "Minta doanya aja, Wa, semoga secepatnya." Lagi-lagi Raya tidak mengutarakan apa yang ada di dalam kepalanya. Dia memilih menjawab dengan kalimat lain. Tidak mungkin Raya mengomeli salah satu dari keluarga besarnya. Dia harus menjaga kesopanan dan menjaga hati mereka. Ya, walaupun mereka tidak bisa menjaga hati Raya―si jomlo dari lahir.
"Oh, yang ini calonnya, ya?"
"B-bukan, Wa. Ini teman Raya."
Aldo tiba-tiba mengulurkan tangannya pada Uwa Nenih sambil tersenyum ramah. "Hallo, Uwa. Kenalin, saya Aldo. Saya teman Raya, tapi saya mau kok kalau diminta untuk nikahin Raya."
"Tuh, Raya, udah ada yang siap! Geura, ngadagoan naon deui?"
Raya semakin kesal, tapi dia mencoba tetap tersenyum. "Uwa mah bisa aja. Yuk, makan dulu aja atuh!" ajaknya, mencoba mengalihkan topik.
"Ganteng lho itu Jang Aldo, kayaknya orangnya juga baik," ujar Uwa Nenih. Tidak mau menyerah.
"Iya, Wa, iya," tutup Raya sambil menggandeng tangan Uwa Nenih menuju meja prasmanan yang sudah menunggu mereka. Dalam hati, Raya yakin bahwa ujian kesabaran ini tidak akan berakhir sampai di sini. Pasti akan ada lagi saudara-saudara yang menanyakannya kapan menikah dan mana calonnya. Gadis itu mengembuskan napas pelan, lalu membaca istigfar dalam hati berkali-kali. Welcome to the parrot jungle! ∩∩∩
Glossarium (diambil dari bahasa Sunda):
1. Atuh: Tidak ada arti, hanya penambahan kata dalam bahasa Sunda
2. Deui: Lagi
3. Geura: Cepat, buruan, segera
4. Naon: Apa
5. Ngadagoan: Nungguin, menunggu
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi