"Mudah bagimu untuk mencintai, tapi belum tentu mudah untuk menahan diri dari kelicikan cinta."
-Raditya Malvino-
Senyum terus mengembang dari bibir Radit. Sesekali tawa pun pecah. Laki-laki itu sedang membaca cerita di akun Wattpad milik Raya.
Awalnya, yang Radit buka adalah Instagram milik gadis itu―untuk mencari secercah harapan tentang keberadaannya. Namun, ternyata Raya tidak aktif sejak beberapa hari yang lalu. Kemudian, jempol Radit yang iseng sengaja membuka salah satu kiriman Raya yang berupa kutipan: 'Menjaga jodoh orang lain seperti menduduki bangku prioritas di dalam kereta. Nyaman, tapi sementara.' Sontak Radit menyunggingkan senyum. Kayak pernah jagain jodoh orang lain aja lo, Ray! ejeknya dalam hati. Kemudian, di bagian caption ada sebuah tulisan singkat yang mengatakan bahwa kutipan tersebut merupakan permintaan dari salah satu follower. Oh, curhatan orang, bukan pengalaman pribadi. Radit menarik kesimpulan.
Radit terus membaca-baca kiriman Raya yang lain, hingga dirinya mengklik sebuah tautan yang ada di bio gadis itu. Kini, di Wattpad-lah jempol Radit bertengger. Dia membaca salah satu cerita yang Raya tuliskan. Bahkan, laki-laki itu menyempatkan diri untuk membuat akun agar bisa memberikan vote pada setiap babnya.
Aneh, pikir Radit. Dia belum pernah membuka media sosial milik penulis sepanjang hidupnya. Sebenarnya, dia memiliki beberapa teman yang sudah menjadi penulis terkenal, tapi tak pernah sedikit pun tebersit dalam benaknya untuk membuka, membaca, dan menikmati karya mereka seperti yang dia lakukan pada media sosial dan platform milik Raya sekarang ini. Namun, sepertinya Raya memiliki daya tariknya sendiri sebagai seorang penulis. Dia unik dan rada gesrek, kata Radit sambil tersenyum geli.
Alih-alih mendapat informasi, Radit malah mendapatkan hiburan. Membuatnya melupakan sejenak kepanikan akan gadis itu. Namun, ya hanya sejenak. Setelah itu, dia kembali panik. Kalau saja hari ini jadwal meeting dengan klien-kliennya tidak padat, pasti laki-laki itu sudah pergi mencari Raya lagi. Dia akan mencari gadis itu walaupun dia tidak tahu ke mana lagi harus mencarinya.
"Tere," panggilnya pada Tere yang sedang memoleskan bedak.
Tere menoleh pada Radit, lalu menutup bedaknya. "Iya, Mas Radit. Ada yang bisa dibantu?"
"Kamu suka baca Wattpad?" tanyanya tiba-tiba, membuat gadis itu tersentak. "Jangan bilang 'enggak', karena saya tahu kamu suka baca Wattpad di jam kantor."
"Mas Radit, tahu?"
"Ya, tahulah!"
"Tapi kan itu kalau kerjaan aku udah selesai, nggak ada tamu, dan belum ada kerjaan yang baru lagi. Maafin Tere ya, Mas Radit."
"Oke, Tere, oke. Saya nggak akan marahin kamu, yang penting kerjaan kamu beres. Saya cuma pengin nanya."
"Nanya apa, Mas?"
"Penulis Wattpad kalau lagi hiatus atau nggak update cerita berhari-hari itu kenapa? Dia ke mana? Ngapain di dunia nyata?"
"Mas, hiatus itu maksudnya udah nggak update berbulan-bulan dan nggak tahu kapan akan aktif lagi. Kalau baru berhari-hari mah itu dia cuma lagi istirahat aja paling."
"Oh, gitu."
"Emang kenapa, Mas? Mas Radit juga baca Wattpad? Atau jangan-jangan Mas Radit itu author juga, dan berniat buat hiatus?"
"Ngaco kamu! Sana, kerja lagi!"
"Iya, Mas, iya."
Dari percakapannya dengan Tere barusan, Radit mendapatkan perkiraan baru, yaitu Raya hanya sedang beristirahat, bukan kabur. Namun, benarkah?
"Tere, saya ke Pancoran dulu, meeting sama Pak Robin."
"Oke, Mas, hati-hati. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya, nanti aku nggak bisa lagi punya bos ganteng!"
"Jangan godain saya, kalau nggak mau nangis berminggu-minggu!"
"Iya, Mas, iya. Uh, ganteng-ganteng galak!"
Radit tersenyum singkat sambil melambaikan tangan pada Tere. Resepsionisnya itu masih muda dan labil. Kadang bisa sangat takut pada Radit, tapi juga bisa sangat santai, hingga berani menggodanya walaupun hanya bercanda.
--
Mudah bagi seseorang untuk mencintai, tapi belum tentu mudah untuk menahan diri dari kelicikan cinta. Radit teringat kata-kata itu ketika berhadapan dengan seseorang malam ini. Dinda Felicya.
Tadi sepulang meeting terakhir, Radit pulang ke indekos. Lalu, ketika hendak mengambil air putih di dalam kulkas, Radit mendengar Dinda menyebut-nyebut nama Raya. Laki-laki itu pikir, Raya datang. Namun, setelah mendekati sumber suara, ternyata Dinda sedang berbicara di telepon.
Radit terus menguping pembicaraan Dinda sambil meneguk habis air di tangannya, hingga gadis itu menutup telepon, lalu membalikkan badan. Dinda tercengang ketika melihat laki-laki itu sudah ada persis di hadapannya.
"Dit?"
"Lo abis teleponan sama siapa?"
"Ini, temen kampus gue."
"Raya maksud lo?"
"Bu.. bukan." Dinda mendadak gagu. Terlebih, jarak dirinya dengan Radit hanya beberapa senti, membuatnya sulit bernapas.
"Dinda, jangan bohong! Gue nggak suka sama cewek pembohong."
"Dit..."
"Din!"
"Oke, oke." Dinda mencoba menghela napas. "Iya, ini dari Raya. Dia pakai nomor baru."
"Sejak kapan lo bisa komunikasi sama Raya?"
"Sejak..." Kalimat Dinda tertahan. Bukan karena masih ingin menyembunyikan sesuatu, tapi karena bibirnya terlalu bergetar.
"Sejak kapan?"
"Dit, sebenarnya... sebenarnya gue nggak pernah lost contact sama dia. Raya selalu menghubungi gue."
Dari situlah, semua terkuak. Ternyata selama ini Dinda tahu ke mana Raya. Dia tahu Raya menerima tawaran Aldo dan pindah ke sana. Dia juga tahu, sebelum itu Raya memergoki Radit sedang berpelukan dengan seorang wanita. Dinda tahu segalanya. Namun, dia pura-pura tidak tahu dan pura-pura cemas kehilangan Raya. Lalu menemani Radit mencari sahabatnya itu.
Setelah memaksa dengan penuh kekuatan, Radit akhirnya mendapatkan nomor baru Raya, alamat kantor Aldo, dan alamat rumah Raya yang di Sukabumi―karena ternyata besok pagi-pagi sekali Raya akan berangkat ke kampungnya untuk sebuah urusan. Entah apa. Dinda menolak untuk memberitahu walaupun sudah dipaksa berkali-kali.
"Dit, maaf."
"Gue tahu lo kayak gini karena lo suka sama gue. Lo pengin gue bisa melihat ke arah lo. Makanya, lo nyaranin Raya buat ngambil tawaran Aldo. Terus pas dengar Raya sakit hati karena lihat gue pelukan sama cewek lain, lo menggila. Lo lebih mendorong-dorong Raya lagi buat buru-buru kabur, padahal kalau lo sahabat yang baik, lo nggak akan ngelakuin hal itu. Lo akan nyaranin Raya buat tanya ke gue, cewek itu siapa dan kenapa gue pelukan sama dia."
"Radit, gue minta maaf."
"But thank's buat informasinya. Malam ini juga gue pergi ke Sukabumi, nyusul Raya."
"Dit, dengerin gue dulu."
"Gue nggak ada waktu. Gue harus siap-siap."
"Oke, kata-kata lo benar semua. Gue kayak gini karena gue pengin lo lebih mengenal gue, dan gue bukan sahabat yang baik buat Raya."
"Bagus, kalau lo sadar."
"Tapi apa salah mencintai seseorang?"
"Nggak salah, Din. Nggak salah sama sekali. Cuma, lo bisa nggak nahan diri ketika perasaan lo nggak disambut dengan baik? Enggak, 'kan? Lo nggak bisa nahan diri. Lo nggak akan mendapatkan keadilan kalau yang lo lakukan adalah kelicikan."
Dinda mengurungkan niat untuk menahan lengan Radit. Dia pun mengurungkan niat untuk membela dirinya lagi. Dia sudah terlihat buruk seburuk-buruknya di mata Radit. Radit pun tidak berniat mengatakan apa-apa lagi pada Dinda. Dia kecewa berat.
Cinta memang tidak bisa dipaksakan. Sudah milyaran orang di dunia menyatakan hal ini. Itu hal yang mutlak. Bisa saja dua insan bersatu dalam sebuah hubungan dengan alasan selain cinta. Bisa saja. Namun, akan lebih indah dan lebih nikmat kalau keduanya saling menerima, melengkapi, dan mencintai, bukan? ∩∩∩
@Gladistia Wah, terima kasih banyak, ya. Senang bisa menghibur.
Comment on chapter Ditolak Lagi