LEAD TO YOU – PART 1
*****
Aku terus berlari tanpa memerdulikan rasa sakit yang kurasakan pada kakiku. Sepertinya ada luka pada telapaknya, karena tadi aku menginjak ranting tajam ketika berlari memasuki hutan yang gelap ini. Aku benar-benar tidak perduli pada kakiku yang telanjang tanpa alas apapun, lebih baik sakit terluka karena ranting-ranting tajam ini daripada aku harus berhadapan dengan manusia keji yang mengejarku saat ini. Hutan ini gelap, aku tidak mampu melihat apapun dengan jelas, semuanya samar-samar, bahkan akupun tidak tahu berjalan ke arah mana. Yang aku tahu, aku harus menjauh dari rumah, rumahku sendiri.
Ya Allah hanya Kau-lah penolongku saat ini, hanya padaMu-lah aku bergantung sekarang. Rumahku yang terletak di pinggir hutan menyebabkan kami jauh dari para tetangga. Aku tidak bisa minta tolong pada mereka dari kejaran Max saat ini. Max adalah seorang pria berusia hampir sama dengan ayahku, mempunyai tubuh tinggi besar yang kekar. Walaupun ayahku sempat mengatakan kalau Max adalah pria yang tampan di usianya, tetap saja aku tidak menyukai perangainya sama sekali. Dan dia sedang mengejarku sekarang, bukan tanpa sebab. Semua ini terjadi karena Ayah sudah menjualku padanya untuk membayar hutang-hutangnya. Astagfirullah aladziim, Ayahku sendiri yang membuatku berada dalam situasi seperti sekarang ini. Air mataku mengalir deras.Air mata makin membuat pandanganku buram, aku tidak bisa melihat ada apa di depanku. Sedangkan suara Max masih jelas terdengar berteriak-teriak memanggil namaku.
“GADIIIISS!! DI MANA KAU?”
Jantungku berpacu dengan cepat, sangat ketakutan. Aku merapatkan jaketku karena udara dingin yang menusuk. Rambutku berkibar ke sana kemari, karena aku tidak sempat meraih jilbabku saat melarikan diri tadi. “AAH” tiba-tiba aku terjerembab jatuh. Bagian belakangku terasa basah, sepertinya aku menduduki bagian tanah yang tergenang air, karena sebelumnya memang turun hujan.
“GADIS! KAU TIDAK AKAN BISA KABUR DARIKU! KAU DENGAR ITU?!” suara Max menggelegar di tengah kesunyian. Ya ampun ternyata aku masih belum jauh darinya. Ya Allah bagaimana kalau aku tertangkap? Aku buru-buru bangkit dari posisiku, namun tiba-tiba aku melihat sebuah cahaya menyilaukan mataku. Dan suara Max yang menakutkan pun terdengar sangat dekat sekali di telingaku.
“Ah, Gadisku yang cantik. Di sini kau rupanya!”
Oh Tuhan, tidak! Aku tidak boleh tertangkap, aku tidak mau tertangkap olehnya. Tanpa sadar air mataku mengalir deras dari pelupuk mataku. Samar-samar wajah Max terlihat jelas di depanku sedang menyeringai ke arahku.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk kembali berlari menjauh darinya, ternyata usahaku sia-sia. Baru beberapa langkah aku berlari, Max menangkap tubuh mungilku. Pinggangku di dekapnya erat, cenderung menyakitkan. Aku meringis, meronta dan berteriak sambil memukul tangannya.
“Lepaskan saya!”
Suara tertawa Max benar-benar terdengar menjijikkan sekarang, “Haha...aku suka dengan pemberontakan kecilmu sayang” katanya. Aku mau muntah di wajahnya. Max adalah lelaki seumuran dengan ayahku, dan menurut Ayahku ia adalah temannya. Bagaimana mungkin sekarang ia ingin mencelakaiku?
Dan bagaimana bisa Ayah membayar hutangnya dengan menjualku padanya? Ayah mengurungku di dalam kamar berduaan dengannya. Aku tahu ayahku bukan orang yang taat beribadah, tapi seekor binatang saja tidak akan membunuh anaknya! Kenapa ayah tega menyerahkanku pada monster seperti Max? Air mataku tidak mau berhenti, aku menyebut nama Allah dan bershalawat dalam hati, setidaknya itu membuatku tenang.
Ya Allah, jangan biarkan ia mengambil apa yang kujaga selama ini. Laa ilaaha illallah, laa ilaaha illallah, aku terus mengulang kalimat ini sebagai pengobat rasa takutku. Max masih memegang pinggangku dan menyeretku paksa menuju ke rumahku. Perlawananku terasa sia-sia mengingat tubuhnya dua kali lebih besar dariku. Aku berteriak dan ia menarik rambutku hingga kepalaku mendongak ke wajahnya. “Nanti saja teriaknya, manis...” lagi seringaiannya membuat perutku merasakan mual yang sangat. Wajahnya yang bulat dengan rahang dipenuhi rambut-rambut yang baru saja tumbuh berantakan membuatnya terlihat makin menyeramkan. Rambutnya terlihat berantakan tidak terurus, napasnya juga tercium bau alkohol yang menyengat.
Max melemparku ke tempat tidur, “Jangan lakukan ini, saya mohon...saya berjanji akan membayar hutang ayah saya...” ujarku memelas memohon belas kasihannya. Tapi sepertinya hati Max terbuat dari es atau batu karang. Ia bahkan tidak peduli ketika melihat telapak kakiku yang mengeluarkan darah. Ia malah sibuk membuka kancing kemejanya dengan tergesa-gesa. Bola matanya menggelap menatapku, dan ia menghampiriku di atas tempat tidur. Aku memberontak dan memukulkan tanganku ke sembarang arah. Max menahan tanganku di samping kepalaku dan menindihku. Ya Allah, ampuni diriku yang tidak mampu menjaga kesucianku saat ini, doaku merasa putus asa. Kepalaku menoleh ke samping, kanan dan kiri, berusaha menghindari mulutnya yang bau alkohol dan membuatku ingin muntah. Ketika aku melihat ada sebuah bolpoin pada nakas meja di samping tempat tidur, aku melihat ada secercah harapan untukku bisa bebas dari cengkeraman monster di atasku ini. Tanganku yang bebas berusaha meraih bolpoin tersebut di saat Max sedang sibuk menciumi leherku. Aku berhasil meraihnya dan kusembunyikan dalam genggamanku. Max mengangkat wajahnya dan menatapku.
“Akhirnya kau menyerah juga kan, manis?” tangan Max berusaha membuka kancing kemejaku dengan kasar, “mungkin untuk pertama kali rasanya akan sakit, ta---AAAA!!!” Max tidak bisa melanjutkan kalimatnya, karena aku baru saja menusukkan bolpoin tadi pada salah satu matanya. Darah segar memancar dari matanya, ia memegangi sebelah matanya dengan kedua tangannya dan bangkit dari tubuhku sambil mengumpatku.
“BANGSAT! ANAK SIALAN! AAAA...MATAKU!”
Aku tidak memedulikannya, aku meraih kain apapun untuk menutupi kepalaku dan kembali berlari keluar rumah secepat mungkin. Aku berlari dan berlari tanpa henti, tidak peduli apa yang kuinjak dan ranting tajam yang menghalangiku dan terasa menggores kulit tangan dan kakiku. Tidak peduli juga napasku yang tersengal dan jantungku yang berdetak sangat cepat. Aku baru memperlambat lariku ketika aku melihat cahaya terang di ujung hutan. Sepertinya di sana ada sebuah perkampungan. Aku tidak tahu ini jam berapa, tapi aku harus minta bantuan mereka.
Aku baru benar-benar berhenti ketika melihat beberapa rumah dengan lampu menyala ada di depan mataku. Hatiku menghangat merasa lega melihatnya, mataku mengedar ke sekitarnya dan melihat ada sebuah masjid. Aku berjalan pelan menuju ke arahnya. Sepi, tidak terlihat satu orangpun. Aku melangkah masuk mencari kamar mandinya, aku rasa aku perlu membersihkan diriku terlebih dulu sebelum mengadu pada-Nya apa yang kurasakan saat ini. Air mataku mengalir lagi, deras. Aku mencuci wajahku sambil terisak.
Ayahku terpaksa, ia pasti terpaksa melakukan hal ini. Ia menyayangiku, sangat sayang padaku. Ayah bukan orang jahat, ayahku orang baik. Ya Allah tolong lindungi ayahku di manapun ia berada. Seandainya Ibuku masih ada, ia pasti sudah menenangkanku sekarang. Ibuku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, dan ayahku sangat kehilangan dan merasa bersalah. Kami pindah rumah ke pinggir hutan yang tanpa tetangga, dan di sanalah perangai ayah mulai berubah buruk. Ayah mulai sering membawa teman-temannya ke rumah untuk mabuk-mabukan bersama, sampai akhirnya terjadilah seperti sekarang.
Aku mengambil air wudhu, masih sambil menangis.
*****
@yurriansan terima kasih ya, oke aku mampir
Comment on chapter Lead To You - Part 2