Setelah sempat terlibat pertengkaran dengan Dimas dan dipanggil ke kantor, Pinky kembali ke kelas dengan bersungut-sungut. Tak henti-hentinya gadis berhidung bangir itu meratapi kukunya yang patah.
Sementara Dimas berjalan beberapa meter di belakangnya dengan ekspresi takut-takut dan terkesan sengaja menjaga jarak.
Tepat ketika Pinky menoleh ke arahnya, pemuda itu buru-buru berhenti seraya menutup mulutnya sendiri. Seolah trauma kalau saja tiba-tiba Pinky menerjang ke arahnya dan kembali mengobok-obok mulutnya.
"Awas loe." Pinky mengancam seraya mengibaskan rambutnya seperti biasa, lalu terus berjalan dengan menggerutu. Menatap ke arah kuku cantiknya yang patah.
***
Pinky menyeruak ke dalam kelas dan langsung menghampiri Mika di bangkunya.
"Kenapa elo kasihkan kue itu ke orang lain?" Ia nyerocos seraya duduk begitu saja di samping pemuda itu.
Mika yang tadinya asyik mengutak-atik ponsel di tangan, menoleh dan menatap gadis di sampingnya dengan malas-malasan.
"Elo udah ngasihkan kue itu ke gue, terserah gue 'kan mau ngasihkan ke siapa," jawabnya.
"Tapi itu sama aja dengan nggak menghargai pemberian gue."
"Kan sejak awal gue udah nolak. Elo-nya yang maksa."
"Tapi jangan terang-terangan gitu dong!"
"Masih untung gue nggak membuangnya ke tempat sampah."
"Elo nggak bakal berani melakukannya!"
"Mau coba?"
"Mika!" jerit Pinky frustasi.
Keduanya berpandangan, sama-sama terlihat kesal.
"Ngomong-ngomong, ngapain
elo duduk di sini?" tanya Mika kemudian.
"Gue mau duduk di sini," jawab Pinky santai.
"Ini bukan tempat duduk loe," gigi Mika terkatub.
Gadis cantik di sampingnya mengangkat bahu cuek.
"Emang, tapi gue pengen duduk di sini. Di sisimu, titik."
"Elo nggak bisa lihat denah ya?" Mika membuka tas, mengeluarkan secarik kertas lalu menunjukkannya tepat di depan wajah Pinky.
"Lihat. Elo duduk di sana, bukan di sini," pemuda itu menunjuk kursi yang berada di belakangnya.
"Dan yang seharusnya duduk di sini adalah ... dia," dengan dagunya, ia ganti menunjuk seorang pemuda yang berdiri kikuk.
Pinky mendongak dan menyaksikan Dimas tersenyum kaku. Dimas?
Oh, yang ia obok-obok mulutnya itu 'kan?
Buru-buru Pinky mengedipkan mata.
"Tukar tempat duduk sama gue ya? Gue duduk di sini, Elo yang dibelakang." Ia berucap manja pada pemuda berhidung mancung tersebut.
"Nggak bisa!" Mika yang menyahut keras.
Tanpa menatap padanya, Pinky melemparkan senyum manis ke arah Dimas.
"Hei si hidung perosotan, apa yang elo minta? Katakan ke gue dan gue bakal ngasih apa aja, asal elo mau bertukar tempat duduk sama gue. Oke?" Gadis itu mengedipkan matanya lagi dengan cantik.
Yang dipanggil 'hidung perosotan' ternganga.
"P-perosotan?!" jeritnya.
"Jika elo berani menyuap Dimas, gue mau pindah kelas!" Mika terdengar frustasi sekarang.
Pinky menoleh dan menatapnya dengan mata berkilat.
"Iya, iya. Gue nggak bakal pindah tempat duduk." Ia sewot.
Mengangkat pantat, gadis itu bergerak ke kursi belakang. Tepat ketika ia berpapasan dengan Dimas, ia menatapnya tajam.
"Urusan kita belum kelar," ancamnya, penuh intimidasi.
***
Setiap pagi, beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi, Pinky tetap setia berdiri di depan pintu gerbang menunggu Mika, sambil membawakannya kotak makan yang berisi kue, kadang berisi makan siang.
Pinky tahu bahwa makanan-makanan itu akan diberikan pada orang lain, tapi entah kenapa ia tak bisa untuk menghentikan kebiasaannya, memberikan Mika sesuatu.
Yah, setidaknya pemuda itu tidak membuang makanan pemberiannya ke tempat sampah.
3 menit menunggu, yang dinanti nongol dari sebuah BMW berwarna hitam metalik, diantarkan sopir.
Mika berasal dari keluarga berada. Ayahnya seorang pebisnis sukses, dan ibunya pemilik sebuah rumah sakit swasta yang cukup besar di Indonesia.
No, jangan salah.
Pinky jatuh cinta padanya bukan karena ia kaya raya. Bahkan jika pemuda itu dilahirkan miskin, ia akan tetap jatuh hati setengah hidup pada dirinya.
Lagipula, tak ada alasan bagi Pinky untuk bersikap matre. Keluarganya sendiri sudah kaya raya tujuh turunan. Bahkan jika gadis itu memutuskan bermalas-malasan, tak bekerja, ia masih tetap bisa menikmati kekayaan orang tuanya sampai ia tua.
"Mikaaaa ...." Pinky menyapa ceria seraya berlari menghampiri pemuda jangkung tersebut. Yang disapa hanya menunjukkan muka masam.
"Good morniiing," gadis itu menyapa lagi, lalu mengulurkan kotak makan pada Mika.
"Ogah," pemuda itu menjawab singkat, tanpa menghentikan langkah.
"Gue bakal terus memaksa sampai elo mau menerimanya." Pinky tersenyum manis sambil menyamakan langkah mereka.
"Kalo gue mau nerima, apa elo bakal menghentikan kebiasaan memberi hal kayak gini?"
"Enggak-lah. Menerima atau menolak, gue bakal tetap nyiapin makan siang buat elo, hehe." Pinky terlihat sumringah.
Mika mendengus.
"Akan gue berikan pada orang lain lagi," ujarnya.
"Terserah," Pinky menjawab enteng.
"Gue buang ke tempat sampah aja deh."
"Terserah." Lagi-lagi Pinky menjawab cuek.
Mika menghentikan langkah dan menatapnya geram.
"Mau elo apa sih?" desisnya.
"Ngasihin ini." Lagi-lagi Pinky menjawab tanpa ekspresi bersalah.
Mika nyaris mencekik lehernya sendiri karena kesal.
"Lagipula itu pasti bukan buatan elo sendiri 'kan? Berani-beraninya elo ngasih ke gue dengan percaya diri?" desisnya.
"Emang bukan. Di rumah banyak pelayan yang bisa gue perintah untuk ngebuatin makanan sesuka gue, terus kenapa gue harus repot-repot membuatnya sendiri," balasnya.
"Setidaknya elo harus bisa membuatnya sendiri biar istimewa, idiot." Mika kembali mendesis, nyaris mengumpat - walau sudah.
"Apa kalo gue membuatnya sendiri, maka elo bakal nerima dan memakannya?"
Mika tak menjawab.
"Nah, enggak 'kan? Nggak ada jaminan elo bakal memakan masakan buatan gue. Jadi kenapa gue harus repot-repot membuatkan makanan buat elo. Toh ada pelayan yang bisa melakukannya," Pinky menyeringai.
Mika mengepalkan tangannya.
"Ah, udah deh. Bawa sini," pemuda itu mengambil kotak makan dari tangan Pinky dengan kasar, lalu beranjak.
Pinky terkikik geli sambil menatap kepergiannya.
"Harga diri elo benar-benar udah jatuh, Ping." Seseorang mengeluh sambil menepuk pundaknya.
Pinky menoleh dan dua sahabat baiknya, Eri dan Yuna sudah berdiri di sampingnya.
Pinky menyapa mereka sambil tertawa.
"Biarlah," jawabnya enteng.
"Ini udah bertahun-tahun, apa elo nggak lelah ngejar-ngejat dia?"
"Enggak," Pinky menjawab pertanyaan Yuna dengan cepat. "Tenaga gue masih cukup banyak untuk mengejarnya," lanjutnya.
Gadis itu terus melangkah sembari melakukan gerakan ikoniknya, kibas rambut.
Eri dan Yuna berpandangan miris, lalu bergerak mengikuti Pinky dan menggamit lengannya.
"Ya udah deh, semoga elo kuat," ucap mereka kemudian.
Dan mereka terkikik bersama.
"Oh iya, ada murid baru di kelas kita." Eri memberitahu.
"Oh ya? Dari keluarga mana dia? Papanya pengusaha apa? Mamanya pemilik apa?" tanya Pinky santai.
Hal yang lumrah ia menanyakan hal seperti itu karena semua yang sekolah di sini rata-rata adalah anak orang kaya dan pewaris kerajaan bisnis keluarga mereka.
"Entah. Gue denger sih dia sekolah di sini karena beasiswa," jawab Yuna.
"Oh berarti dia dari keluarga miskin," ucap Pinky enteng.
***
Pinky tak menyangka bahwa murid baru yang dibicarakan Eri dan Yuna ternyata seorang gadis yang cantik luar biasa.
Sangat cantik.
Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya panjang dan tebal, kulitnya kecoklatan dengan kesan eksotis, suaranya yang terdengar merdu ketika berbicara, belum lagi senyumnya yang begitu lembut dan menawan.
Ada kesan elegan dari pembawaannya yang kalem dan tenang. Betapa dia gadis yang sempurna secara fisik.
Kehadirannya sontak membuat siswa heboh, terutama murid laki-laki yang begitu kepincut dengan pesonanya.
Tak henti-hentinya mereka berdecak kagum melihat sosok gadis itu. Bahkan ketika ia memperkenalkan diri di depan kelas dengan suaranya yang merdu dan senyumnya yang lembut, sebagian murid laki-laki menatapnya tanpa berkedib dan nyaris mengeluarkan air liur.
Ketika pak guru menyuruhnya untuk memilih tempat duduk yang kosong, beberapa siswa heboh ingin memberikan kursi padanya.
"Duduk di sini aja," tiba-tiba Mika berdiri sambil mengangkat tangan.
"Duduk di sini aja," ia mengulang, lalu menunjukkan kursi di sampingnya.
Pinky ternganga.
"Hei, ini tempat duduknya Dimas. Dia sedang ke kamar mandi dan ntar balik lagi," protesnya.
Mika menoleh dan menatap gadis itu.
"Gue udah bikin kesepakatan sama dia untuk bertukar tempat duduk. Dia bersedia memberikan tempat duduknya pada murid baru ini."
"What?!" Pinky nyaris memekik tak percaya.
"Lalu Dimas duduk dimana?" tanya dia lagi.
"Di sisimu," balas Mika dengan sorot mata kemenangan. Ia menunjuk kursi kosong di sisi Pinky.
Gadis itu melotot.
"MIKAIL ANGELO!" jeritnya.
***
Dan begitulah akhirnya, siswa baru itu duduk di samping Mika. Sementara Dimas pindah di kursi di samping Pinky.
Pinky melihat interaksi antara Mika dan murid baru yang kini duduk di sampingnya. Ia juga melihat bagaimana Mika berbicara dengan gadis itu, menatap dirinya, takjub.
Pinky mungkin bebal, tapi ia tak mati rasa.
Dari cara Mika menatap gadis itu, Pinky tahu bahwa ia terpesona padanya.
Mika terpesona paga gadis itu.
Murid baru, bernama Juwita.
***
to be continued