Mikail Angelo, atau biasa dipanggil Mika.
Sudah bukan rahasia lagi kalau Pinky jatuh hati setengah hidup padanya. Pemuda tampan dengan pembawaan angkuh yang mempunyai daya tarik sejuta watt.
Ia tak ingat kapan tepatnya mulai menyukai sosok itu. Kalau tak salah, sejak ia kelas 1 SMP. Ketika di hari pertama masuk sekolah, ia berpapasan dengan pemuda itu di depan pintu gerbang.
Love at the first sight? Bisa jadi.
Yang jelas, sejak bertemu dengannya, Pinky merasakan ada jutaan kembang api di dadanya. Panas, meledak-ledak, tapi ... indah.
Pinky bukan gadis pendiam. Ia tipe blak-blakan dan apa adanya. Jadi ketika ia jatuh cinta pada Mika, maka ia pun mengaku dengan jujur padanya.
Percobaan pertama ditolak, dan Pinky tak patah arang.
Bahkan ketika teman-teman sekolahnya mengolok dia sebagai gadis yang tak punya harga diri, ia tak peduli.
Buat dia, urusan hati, orang lain tak berhak ikut campur.
"Gue akan lebih nyesel kalau Mika diambil gadis lain, sementara gue cuma duduk diem nggak ngelakuin apa-apa. Jika begini, setidaknya gue ada usaha," ucap Pinky waktu itu.
Tak mudah, tentu saja.
Perjuangan mendapatkan cinta Mika selama tiga tahun di SMP tak membuahkan hasil. Sosok itu tetap saja memandangnya sebelah mata.
Tapi, bukan Pinky namanya kalau ia akan menyerah dengan mudah.
Menolak tawaran orang tuanya untuk bersekolah di luar negeri, ia nekat belajar keras demi bisa masuk ke SMA yang sama dengan Mika.
Tekadnya sudah bulat, jika Mika menolaknya sepuluh kali, maka ia akan mendatanginya dua puluh kali. Jika pemuda itu menolaknya 100 kali, maka Pinky akan berusaha lagi 200 kali.
Ibarat lomba lari, ia akan berlari sampai selesai. Menang kalah, itu urusan belakangan.
Jadi, selama Mika belum ada yang memiliki, ia akan tetap mengejar cintanya.
Titik.
***
SUV mewah berwarna hitam itu berhenti dengan mulus di depan sekolah.
Segera pintu penumpang terbuka, dan gadis itu keluar tergesa-gesa dengan tas ransel mungil di punggung dengan sebuah kotak makan cantik di salah satu tangannya. Tanpa berpamitan pada sopir yang telah mengantarnya, tubuhnya yang ramping segera melesat menuju pintu gerbang.
"Non, dijemput jam berapa?" Sosok lelaki setengah baya berteriak dari depan kemudi.
"Ntar kutelpon, pak." Pinky menjawab singkat lalu kembali menggerakkan kakinya.
Hari pertama masuk SMA, ia begitu bersemangat. Bukan karena ia akan memberikan pidato di depan seluruh siswa baru sebagai pemegang nilai tes masuk tertinggi, tapi ia merasa senang bukan main karena pada akhirnya, ia bisa satu sekolah lagi dengan Mika.
5 menit menunggu di dekat pintu gerbang, akhirnya sosok yang ditunggu muncul.
"Mikaaa .....!!" Ia berteriak girang seraya berlari ke arah pemuda jangkung yang melenggang memasuki pintu gerbang lalu menggamit lengannya dengan manja. Yang dipegang tangannya hanya memasang tampang jutek, lalu menyentakkan tangan Pinky.
"Jangan.pegang.pegang." Peringatnya kesal.
Pinky cuma nyengir.
"Akhirnya kita bisa satu sekolah lagi," gadis itu nyaris bersorak.
"Bodo," Mika hanya menjawab singkat sambil kembali berjalan.
Dan Pinky mengekorinya dengan suka rela.
"Kenapa elo bisa sekolah di sini sih? Bukannya orang tuamu pengen membawamu ke luar negeri?"
"Kan elo udah memiliki hati gue, jadi gimana mungkin gue bisa pergi jauh dari loe," Pinky mengedipkan matanya yang cantik.
Bibir Mika berdecih sinis.
"Semoga kita bisa satu kelas ya Mik," Pinky komat kamit merapal doa.
"Semoga aja enggak, ogah," pemuda di depannya menyahut cepat.
Pinky bergerak mendahului pemuda itu lalu menghadang langkahnya.
Meraih tangannya lagi, ia menyerahkan sebuah kotak makan cantik yang sejak tadi ia tenteng.
"Kue buat loe," ucapnya.
Belum sempat Mika mengeluarkan reaksi marah, Pinky keburu kabur.
"Gue buang ke tempat sampah nih!" teriak Mika.
"Terserah!" Pinky menjawab enteng.
Ia percaya Mika takkan melakukannya. Pemuda itu mungkin sedikit angkuh dan jutek, tapi ia baik hati.
***
Pinky mendapatkan kehormatan untuk memberikan pidato di upacara penerimaan siswa baru. Hal yang selalu dilakukan oleh siswa baru yang mendapatkan nilai tes masuk tertinggi.
Ketika ia naik ke atas podium, samar-samar ia mendengar beberapa siswa berbisik.
"Bukankah orang tuanya kaya raya?"
"Gue denger ayahnya adalah pebisnis sukses di Indonesia dan Amerika. Ada juga yang bilang kalo kakeknya punya jabatan penting di pemerintahan."
"Iya, gue juga denger rumor kalau sekolah ini adalah milik salah satu pamannya."
"Woa, berarti dia beruntung sekali."
"Pantas aja nilai tes masuknya tinggi, itu pasti karena KKN."
Pinky nyaris saja turun kembali dari podium dan melabrak siswa-siswi yang tadinya berbisik.
Tapi akhirnya ia memilih untuk melakukan sesi pidatonya. Dengan isi yang jauh berbeda dari rencana semula.
"Selamat pagi temen-temen. Aku gak suka buang-buang waktu, jadi langsung aja ya. Aku mendapatkan nilai tertinggi bukan karena bermain curang. Aku bekerja keras, belajar giat, demi bisa masuk ke sini. Kalian tahu kenapa?" Ia menatap acak ke seluruh siswa baru.
"Karena dia!" Kali ini ia menunjuk ke barisan nomer dua dari depan, tepat ke arah kursi dimana ada Mika di sana.
Pemuda yang ditunjuk hanya meringis kesal, seraya berusaha menutup mukanya dengan tangan. Malu.
"Mikail Angelo, aku jatuh cinta padanya. Aku menolak keinginan orang tuaku untuk bersekolah di luar negeri demi dirinya. Jadi, jika ada siswi di sini yang jatuh cinta padanya, ayo kita bersaing secara sehat. Dan jika ada murid laki-laki yang berencana jatuh cinta padaku, urungkan saja niatmu karena aku nggak akan berpaling dari dia. Pidato selesai," dan gadis cantik berambut panjang itu melenggang santai dan turun dari mimbar untuk kembali ke tempat duduknya.
Penonton ternganga. Tak menyangka akan ada pidato model begini.
Dan sesaat kemudian situasi ricuh. Ada yang terbahak, ada yang kaget, ada yang bersorak.
Mika duduk di kursinya dengan ekspresi gemas. Sementara Pinky duduk tenang, mengibaskan rambutnya dengan cuek.
***
Dan ... doa Pinky terkabul.
Ia satu kelas dengan Mika. Pemuda itu tampak sewot, sesaat setelah melihat pengumuman pembagian kelas. Sementara Pinky? Jangan ditanya. Sejak berjam-jam yang lalu ia tersenyum senewen saking bahagianya.
Belum lagi ketika ternyata Eri dan Yuna, sahabat baiknya sejak SMP yang juga berhasil masuk SMA yang sama, ternyata berada satu kelas lagi dengannya.
"Woa, pidato elo tadi benar-benar keren, Ping," Eri memuji sambil bergelayut mesra di pundak Pinky. Gadis berambut panjang itu tersenyum bangga.
"Siapa dulu dong, Pinky," ucapnya.
Mereka berpelukan, bertiga.
Ketika melangkah menyusuri koridor hendak ke kelas, Pinky menatap seorang pemuda duduk di teras. Pemuda jangkung berhidung mancung yang tengah asyik melahap kue. Posturnya tinggi, kulitnya bersih, ada tahi lalat kecil di bawah matanya, lucu. Tapi, bukan pemuda itu yang menarik perhatiannya. Tapi kotak makan di hadapannya.
Pinky bersungut lalu berjalan menghampirinya.
"Siapa nama elo?" Ia bertanya langsung.
Pemuda itu mendongak, menatap sekilas ke arah Pinky lalu tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya tak rapi dan bersih.
"Eh, dek Pinky. Gue Dimas, elo lupa ya? Kita 'kan satu kelas?"
Pinky bergidik jijik. Dek? Sejak kapan ia jadi adek-adek?
"Darimana elo dapat ini?" Pinky menunjuk kotak berisi kue yang dipegang pemuda bernama Dimas itu.
"Mika yang ngasihin ini ke ku. Enak banget. Elo mau?" Dimas kembali memasukkan sepotong kue ke mulutnya.
Gigi Pinky bergemerutuk. "Muntahin lagi kue itu," perintahnya.
"Eh?" Dimas mengernyitkan bingung.
"Gue bilang, keluarin kue-kue itu dari mulutmu!"
Dan tanpa peringatan, Pinky menghambur, menarik kerah Dimas dan ... brukk!
Mereka ambruk di lantai.
Pinky berjingkat, duduk di atas pinggul Dimas, lalu memasukkan jari-jarinya ke mulut pemuda malang tersebut.
"Gue ngasih kue-kue ini buat Mika, bukan buat orang lain! Ayo muntahkan!" teriaknya.
Eri dan Yuna berlari dan mencoba melerai keributan itu.
"Astaga, Pinky!" teriak mereka.
***
Guru BP memanggil Pinky dan Dimas ke kantor akibat keributan yang mereka buat di koridor sekolah.
Dimas tak henti-hentinya menangis.
"Ini pelecehan pak guru. Gadis edan ini memasukkan jari-jarinya ke mulut sayaahhh. Belum pernah ada gadis lain yang memperlakukan sayaahhh seperti ini. Pacar saja saya nggak punya, huhuhu...," ia mengadu.
Pinky meliriknya dengan jijik. Sambil mengibaskan rambut, bibirnya berdecih.
"Karena elo udah makan kue milik Mika. Gue yang ngasihkan kue itu ke dia, kalau gue nggak rela, harusnya elo keluarin lagi dari mulut lo," jeritnya.
"Mana gue tahu itu kue dari elo!"
"Kenapa elo nggak nanya dulu ke Mika?!"
"Berhenttiii woiiii!"
Pak guru Yono berteriak.
"Diam kalian. Ini hari pertama kalian masuk dan kalian nyaris adu jotos di sini?" Ia menatap Pinky dan Dimas bergantian.
Lelaki berumur nyaris setengah abad itu berjalan mendekati Pinky dan berbisik di telinganya.
"Pinky, bapak tahu keluargamu kaya raya. Sekolah inipun pamanmu yang punya. Tapi bukan berarti kamu bisa mengobok-obok mulut orang sembarangan. Bagaimana kalau kukumu patah?" bisiknya.
Gubraaakk!
Dimas mendengarnya.
"Pak guruuuuuu, dia mengobok-ngobok mulut sayaaaahhhhh... Tega-teganya pak guru mengkhawatirkan kukunyaaa?!" Ia jejeritan geje.
Mengabaikan Dimas yang protes, Pinky segera memeriksa jari-jarinya.
Dan benar, kuku jari telunjuk sebelah kanan terkelupas.
Ia ternganga.
"Pak guruuuuuu.....!! Kukukuuuuuu pataaahhh!" Ia histeris.
Dan Dimas sesenggukan.
"Pak guruuuuu.... saya tidak terimaaa! Saya merasa dilecehkaaannn...!!" Ia juga histeris.
Pak guru Yono memilih duduk kembali di kursinya sambil memijit pelipisnya.
Merasa puyeng dengan dua kelakuan muridnya.
***
To be continued