Pelajaran jam pertama baru saja dimulai. Masing-masing kelas perlahan nampak tenang dan serius.
Namun kemudian ketenangan itu sirna ketika terdengar keributan minor di lorong kelas.
Tap ... tap ... tap...
Terdengar derap kaki, lalu di susul derap kaki yang lain. Berurutan.
Merasa penasaran, beberapa siswa yang duduk dekat jendela, tepat di samping lorong kelas, melongokkan kepala. Hendak mencari tahu sumber keributan tersebut.
Dan mereka menyaksikan sepasang muda-mudi sedang berlarian, berkejar-kejaran, di sepanjang lorong kelas.
"Dimaassssss!" teriak Pinky tanpa menghentikan langkah kakinya dan terus berlari mengejar sosok jangkung berambut kriwil yang berlari sekitar 100 meter di depannya.
"Berhenti nggak loe?!!" teriak Pinky lagi.
"Ogaaahhh!" Dimas berteriak histeris.
"Gue nggak akan ngobok-obok mulut loe lagi, percayalah!"
"Tetep aja ogaaahh! Elo nggak bisa dipercaya!"
"BERHENTI WOIII!"
Dan mereka terus saja berkejar-kejaran.
"Astaga, apa yang mereka lakuin?"
"Apa mereka ribut lagi?"
"Ah, mereka kekanak-kanakkan banget sih,"
"Menurut gue dua orang ini udah stress,"
Beberapa siswa yang melihat peristiwa itu mulai berbisik tak menentu.
"Dimas! Berjuanglaaah! Jangan sampai elo ketangkep!"
Seorang siswa gemuk yang duduk di bangku paling pojok dekat jendela, entah kelas berapa, malah memberikan kalimat penyemangat pada Dimas.
Beberapa siswa lain akhirnya juga ikut-ikutan. Bahkan mereka berjubel di dekat jendela, bersorak, seolah tengah menyaksikan pertandingan olimpiade atletik.
Lumayan, hiburan gratis.
"Dimas, merdeka!! Jangan sampe elo ketangkeepppp!" teriak mereka.
Yang di kasih semangat cuma nyengir, lalu makin menggebu-gebu melarikan diri.
Pinky ternganga. Menatap sadis ke beberapa kepala yang menyembul dari jendela kelas.
Sial, ini yang sableng siapa sih? Gerutunya.
Tak putus asa, ia meningkatkan kekuatan demi bisa mengejar Dimas. Pemuda itu harus tertangkap, bagaimanapun caranya, titik.
"Kenapa sih elo bersedia bertukar tempat duduk sama murid baru itu, hah?!" Teriak Pinky.
Dimas menoleh ke belakang sekilas, tanpa mengurangi kecepatan larinya.
"Gue udah terlanjur sepakat sama Mika!" jawabnya.
"Apa yang dia janjiin ke elo?!"
"Beliin gue makan siang di kantin, semau gue, gratis!"
"Kalau elo mau makan gratis, elo tinggal ngomong aja ke gue! Akan gue beliin semau elo! Kalo perlu gue beliin kantinnya sekalian! Berapa sih yang elo mau? Dua kantin? Tiga kantin? Bilang aja asal elo mau bertukar tempat duduk dengan gue!" Pinky menjerit.
"Ogah, gue udah terlanjur sepakat sama Mika!" Dimas balas berteriak.
"Lah terus buat apa elo lari?! Toh akhirnya elo bakal tetep gue tangkep karena kita duduk satu bangku!"
Dimas serasa ditimpuk batu.
Benar juga? Ia sudah terlanjur membuat kesepakatan dengan Mika untuk menukar tempat duduk dengan Juwita, dan dia sendiri dengan Pinky.
Lalu untuk apa ia capek-capek melarikan diri kalau ujung-ujungnya dia nanti tetap bertemu Pinky.
Pemuda itu meratap, tamat riwayatku, desisnya.
"Pak guruuuuuu! Tolong sayaaaahhh...!!" Dan ia semakin kencang berlari, mencoba menyelamatkan diri dari Pinky.
***
Mika tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Betapa ia begitu terpesona dengan makhluk baru di kelasnya, Juwita.
Gadis yang teramat cantik, ramah, dan menyenangkan.
Duduk sebangku dengannya, sering menghabiskan waktu dan mengobrol banyak hal dengannya, membuat Mika mulai tahu banyak hal tentang gadis itu.
Bahwa Juwita bersekolah di sini karena beasiswa, bahwa ia berasal dari keluarga biasa-biasa saja, bahkan bisa dikatakan kurang berada.
Ayah Juwita meninggal sejak kecil, jadi selama ini ia hanya tinggal berdua dengan ibunya.
Selama ini ibunya bekerja sebagai seorang asisten rumah tangga di sebuah keluarga konglomerat.
Juwita sendiri bahkan harus bekerja paruh waktu di sebuah restoran tradisional demi untuk membantu ibunya mencari nafkah. Betapa ia gadis yang sangat tangguh.
Di usianya yang masih semuda itu, ia sudah harus merasakan beratnya beban hidup.
Menjadi anak yatim, banting tulang bekerja paruh waktu, dan masih harus disibukkan dengan kegiatan sekolah.
Mika benar-benar takjub, terpesona.
Merasa bahwa gadis ini benar-benar berbeda dari kebanyakan gadis yang ia temui.
Selalu berada di sekolah elit, yang ia temui adalah gadis-gadis kaya raya yang manja, yang hanya tahu menghamburkan uang, dan hanya tahu bersenang-senang dengan harta orang tua mereka.
Ngomong-ngomong soal gadis manja yang gemar menghambur-hamburkan uang, Mika jadi teringat seseorang.
Pinky.
Tiba-tiba saja ia merasakan aura horor menghinggapi dirinya manakala mengingat gadis tersebut. Tengkuknya terasa gatal, seolah ada sesuatu yang merayap di sana. Seolah ia tengah diawasi oleh makhluk lain dengan limpahan kekuatan supranatural. Oke, ini berlebihan.
Tapi firasatnya benar.
Ketika ia menoleh, ia menyaksikan gadis yang baru saja hinggap di benaknya, tengah berdiri di ujung lorong kelas, bersedekap, dan menatap dirinya dengan sebal.
Mika menelan ludah.
Takut jika tiba-tiba gadis itu berlari dan menghambur ke arah dirinya, buru-buru pemuda itu berujar pada gadis di sampingnya.
"Juwita, bukankah elo tadi pengen ke perpustakaan? Yok, gue anterin," ia menarik tangan Juwita dan mengajaknya melangkah lebih cepat.
Awalnya Juwita tampak bingung, tapi akhirnya ia mengiyakan saja ajakan Mika.
Sementara di ujung lorong kelas, Pinky menatap adegan itu dengan muka masam.
"Apa elo ngelihat apa yang kami lihat, Pinky?" Eri dan Yuna menghampiri Pinky dan masing-masing dari mereka menggamit lengan gadis itu.
"Sekarang Mika jadi makin deket sama Juwita. Mereka sering ngabisin waktu bersama-sama. Di mana ada Juwita, pasti di situ ada Mika. Menjengkelkan banget," ucap Eri.
Pinky tak menjawab. Ia masih menatap lorong kelas, walau bayangan Mika dan Juwita sudah tak ada di sana.
"Ada juga yang bilang kalo Mika beberapa kali nganterin Gadis itu pulang. Kelihatannya, kedekatan mereka nggak main-main. Elo 'kan tahu Mika tipe orang yang dingin dan lebih suka menyendiri. Dengan teman-teman lelakinya aja dia nggak seramah itu. Apa elo pikir hubungan mereka..."
"Bodo ah." Pinky bersuara pendek. Ia melepaskan pegangan tangan kedua sahabatnya, lalu berbalik.
"Mau ke mana?"
"Mencari Dimas. Itu, si kriwil," ia melangkah, meninggalkan kedua sahabatnya.
Gadis itu sampai di anak tangga ketika seorang cowok manis berhidung mancung menghadang langkahnya.
Cowok itu tersenyum hangat.
"Pinky, halo." Ia menyapa lebih dulu.
Pinky mengernyit dan menatap sosok itu bingung.
"Elo nggak tau gue ya?"
Pinky menggeleng polos.
Cowok itu manggut-manggut, tak tampak tersinggung.
"Gue Jefri, kelas gue berada tepat di sebelah kelas elu," jawabnya.
"Ow," Pinky kembali manggut-manggut. "Lalu?"
"Ada hal yang ingin kusampein ke elo,"
"Oke, silahkan."
"Bisa kita mengobrol di taman?"
Pinky menatap ke sekelilingnya sekilas. Menyadari banyak siswa lain berlalu lalang di lorong maupun di anak tangga, ia memutuskan untuk mengiyakan ajakan ke taman.
"Oke," ia menjawab.
Akhirnya mereka beranjak menuju taman. Berjalan berdampingan, dengan langkah cepat.
Sebenarnya Pinky-lah yang berjalan cepat. Jefri hanya sekedar menyamakan langkah.
Jefri mengajak gadis itu duduk di salah satu bangku kayu tapi ia menolak dan memilih berdiri.
"Berdiri aja, karena gue harus segera nyariin seseorang. Apa yang ingin elo omongin?" ucapnya.
Jefri menggigit bibir, memasukkan kedua tangannya ke saku celana, terkesan mengatur kata-kata.
"Pinky, gue ngelihat elo pertama kali di acara penerimaan siswa baru, ketika elo maju ke podium memberikan pidato singkat sebagai peraih nilai tes tertinggi."
"Terus?" Pinky bertanya tak sabar.
"Terus ... dari kesan pertama ngelihat elo di sana, sepertinya ... gue jatuh cinta sama elo."
Hening.
Pinky menatap Jefri dengan ekspresi datar, tak terlihat kaget sama sekali.
"Jadi, gue pengen bilang kalo sekarang gue resmi menyatakan cinta ke elo," Jefri berujar lagi.
"Tapi elo tahu 'kan kalau gue cuma cinta sam Mika," sergah Pinky, enteng.
"Tahu kok,"
"Terus kenapa elo nekat bilang cinta ke gue?"
"Karena kenyataannya gue emang jatuh cinta sama elo."
"Tapi di pidato itu udah jelas gue bilang kalo gue cuma akan mencintai Mika, nggak yang lain."
"Toh Mika juga nggak ngebales perasaan elo kan?" Jefri memotong dengan percaya diri.
"Dan bukan berarti gue akan jatuh cinta sama elo 'kan?"
"Gue cuma bilang bahwa gue cinta sama elo, Pinky. Gue nggak minta elo ngebales cinta gue."
Jawaban yang cukup telak.
Pinky mencibir.
Sialan, kenapa ada orang absurd selain dirinya di sekolah ini? Ia mengumpat.
"Jadi elo maunya apa?" tanya Pinky sebal.
"Gue cuma ingin menyampaikan perasaan gue ke elo. Setidaknya elo tahu bahwa gue jatuh cinta sama elo. Masalah apakah nanti elo bisa membalas perasaan gue, atau justru elo terus menerus mengharapkan Mika, kita pikir aja belakangan."
"Terus ...?"
"Terus ..." Jefri mengusap tengkuknya. Kali ini mukanya bersemu merah.
"Gue nggak keberatan ngejar-ngejar elo," lanjutnya, sambil menyeringai lebar, hingga menyebabkan kedua matanya nyaris serupa garis mendatar.
Pinky menarik nafas bosan.
Ingin berkata lagi tapi kalimatnya tertahan manakala manik matanya menangkap sosok jangkung melenggang di lorong kelas.
"Ah, terserah elo aja deh," ia menjawab asal, lalu memutuskan beranjak, meninggalkan Jefri, tanpa berpamitan lagi padanya.
Mempercepat langkah, ia menjangkau sosok yang sejak tadi ia cari-cari.
"Dimas!" panggilnya.
Yang punya nama menoleh, tampak terkejut, tapi tak melarikan diri seperti yang selama ini ia lakukan.
Terbiasa ribut dengan Pinky, sekarang pemuda itu sudah kuat mental. Nyalinya makin besar, walau terkadang masih agak takut.
Sosok itu mengerang ketika Pinky menghampiri dengan langkah cepat.
"Apa elo masih dendam ke gue soal masa lalu? Soal tukar tempat duduk itu?" ia ketus sekarang.
Pinky mencibir.
"Selamanya gue akan ingat perbuatan elo yang itu," desisnya.
"Masih dendam juga karena gue bertukar tempat duduk sama Juwita?"
Pinky bersedekap angkuh dan menatap pemuda itu tajam.
"Gara-gara elo sekarang Mika semakin dekat sama Juwita. Coba mereka nggak sebangku, mereka nggak bakalan sedekat ini. Apa sih yang Mika janjiin ke elo hingga elo mau nurutin kemauannya?" gadis itu berujar ketus.
Dimas membalas tatapan gadis cantik di hadapannya. Raut mukanya tak kalah sebal.
"Sebenarnya bukan karena Mika menjanjikan sesuatu pada gue. Gue mau bertukar tempat duduk dengan Juwita karena sejak awal gue emang ingin duduk di sebelah elo," jawabnya.
Kening Pinky mengerut.
"Kenapa elo pengen duduk di sebelah gue? Elo nggak jatuh cinta sama gue 'kan?" jeritnya.
"S-sepertinya begitu," kali ini Dimas menjawab agak gugup.
"Sepertinya begitu ... apanya?!" Pinky membentak, membuat Dimas makin gugup.
"Gue jatuh cinta sama elo. Jangan nanya sejak kapan karena gue sendiri nggak ingat," ucapnya.
Pinky melongo sesaat.
"Tapi kan elo tahu kalau gue jatuh cinta sama Mika," ucapnya.
"Tahu kok," balas Dimas.
"Dan gue hanya akan mengejar dirinya!"
"Gue juga tahu,"
"Lalu kenapa elo masih lancang mengucapkan cinta ke gue?"
Dimas menggaruk kepalanya.
"Karena gue nggak pandai berbohong," jawabnya kemudian. "Lagipula, terserah. Elo bebas mengejar cinta Mika sampai kapanpun. Kejarlah dia sesuka elo. Kelak kalau elo lelah, berhentilah, dan gue yang akan mijitin kaki elo,"
Pinky ternganga.
Busyet, makhluk absurd bertambah satu lagi!
Pelan gadis itu memutar tubuhnya ke arah taman. Dan dia bisa melihat bahwa cowok berhidung mancung bernama Jefri itu masih di sana.
Berdiri, menatap ke arahnya, tersenyum, lalu melambaikan tangan.
Pinky teringat ucapan cowok itu bahwa ia juga bersedia mengejar cintanya.
Gadis itu kembali mengarahkan pandangannya kepada Dimas. Teringat juga bahwa si kriwil ini juga mengejar cintanya.
Mendelik, gadis itu menjerit frustasi, "INI KEJAR MIKA WOIII!! BUKAN KEJAR PINKY!!"
Lah?
***
to be continued