“Saya terima nikahnya Nina Amalia Putri binti Muhammad Fathoni dengan mas kawin sebesar 2.712.000 dibayar tunai.”
Sebuah janji itu akhirnya terucap. Janji untuk selalu bersama, menghadapi suka dan duka yang mendera.
Janji untuk bahagia selamanya.
***
Dalam beberapa tahun terakhir, hari ini bisa dibilang sebagai hari keberuntungan pertama bagi Nina.
Tapi hari keberuntungan ini harus dimulai dengan sedikit…gimana ya, pahit?
Nina nggak terlalu yakin dengan perasaannya sendiri. Hanya saja, setelah berbulan-bulan mengalami sesuatu yang jadi rutinitas, ia merasa ada yang hilang dari hidupnya saat rutinitas itu berhenti.
Tentu saja rutinitas yang dimaksud adalah rutinitas digangguin Raka. Termasuk rutinitas teriak-teriak, memarahi, bahkan memukul cowok yang dulu selalu mengejar-kejarnya itu.
Senin pagi itu, Nina berangkat sekolah bersama Oliv, seperti yang selalu dilakukannya tiap hari. Jalan menuju sekolah dari rumah mereka pagi ini sedikit lebih ramai dari biasa. Meski nggak seramai kota Jakarta atau Surabaya, Malang tetap aja macet kalo di jam-jam seperti ini.
Mau gimana lagi, ada banyak banget pendatang baru di Malang tiap tahunnya. Untung aja pemerintah kota Malang masih menyediakan area pohon dan tanaman di mana-mana. Jadi gelar Malang sebagai salah satu kota terdingin nggak dirusak panasnya polusi.
Nina dan Oliv tinggal satu belokan lagi menuju sekolah ketika mereka berpapasan dengan Raka.
Meski dari kejauhan, paras, penampilan, ditambah motor Raka yang matic benar-benar gampang dikenali.
Raka tampak berbicara dengan seorang cewek berambut panjang, dengan seragam sekolah putih-putih.
“Liv, liv, pelan…pelan!”
“Ngapain? Lima menit lagi bel lho! Aku nggak mau telat!”
“Ada Raka di depan!”
“Terus kenapa? Pura-pura nggak ngeliat aja, gampang!”
Meski menolak, Oliv sepertinya juga tertarik dengan apa yang dilakukan Raka di depan gerbang SMP. Ia mengikuti permintaan Nina untuk memelankan laju sepeda.
Pembicaraan Raka dan cewek cantik itu berlangsung sekitar setengah menit saja. Lalu di akhir, cewek itu memeluk Raka.
Dan Raka balas mengecupnya.
Oliv tidak berekspresi melihat hal itu. Lain halnya dengan Nina yang secara nggak sadar menahan napas.
Jadi ini alasannya dia berhenti ngejar-ngejar, batinnya. Bingung harus merasa lega atau…kecewa.
***
“Kamu udah klepek-klepek sama Raka.”
“Bukaannn…bukan gitu, Liv. Nggak mungkin aku suka ke cowok kaya dia. Cakep aja nggak cukup tahu kalo pengen jalin hubungan.”
“Terus apa dong?”
“Gimana ya…rasanya kaya kita beli snack yang ada tulisan “berhadiah”-nya. Eh pas dibuka, malah nggak ada hadiah apa-apa di dalamnya.”
“Ngomong sama anak sastra ribet ya.” komentar Oliv, menggulirkan mata. Lalu melanjutkan menghitung skala peta Indonesia kalo digambar di buku seluas 600 sentimeter persegi.
Siang itu jam pelajaran Geografi tidak diajar oleh Pak Sujatmiko karena beliau lagi berlibur ke Jatim Park. Tapi sebagai gantinya, mereka harus mengerjakan 20 soal esai Geografi dan dikumpulkan hari itu juga.
Biasanya di “jam kosong” semacam ini, Nina bakal memanfaatkan sebaik-baiknya buat tidur. Toh esai Nina juga udah selesai. Tapi bukannya tidur, ia malah terus merecoki Oliv dengan kegelisahannya tentang Raka.
“Oke, aku tahu kamu udah selesai Nin, tapi please, aku masih kurang lima soal lagi. Tunggu ya, sepuluh menit lagi akan aku jelasin semua ke kamu. Gih, tunggu sambil tidur sono.”
Nina tersenyum melihat Oliv bersungut-sungut menggambar peta pulau Kalimantan di kertas folionya. Meski kecerdasan sains Oliv nggak bisa diragukan, ternyata cewek ini kelimpungan juga kalau disuruh menggambar.
Tiba-tiba ponsel Nina berdering keras. Sebuah nomor tidak dikenal terpampang di layarnya.
“Cepet angkat, Nin! Siapa tahu ini panggilan!”
Nina mengangguk, jantungnya berdebar-debar.
“Assalamu’alaikum, halo?”
“Wa’alaikumussalam, ini dengan Nina Amalia Putri?” seorang cowok menyahut.
“Ya, saya sendiri kak.”
“Kami dari Starlit Corporation menginformasikan bahwa Nina Amalia Putri lolos seleksi administrasi sebagai content writer.”
Nina hampir saja berteriak, tapi ia langsung menutup mulutnya. Sementara Oliv mencengkeram lengannya.
“Ya, terimakasih Kak, terimakasih banyak.”
“Belum, ini belum selesai. Masih ada interview. Silakan besok datang ke kantor Starlit ya, jam 6 sore.”
***
Interview pertama dalam hidup Nina Amalia Putri!
Usai sholat Ashar, Nina segera menyiapkan diri. Meski saat ini masih setengah empat sore, Nina sudah mengenakan pakaian terbaik yang bisa disarankan – dan juga dipinjamkan – oleh Oliv.
Kemeja putih panjang, rok span hitam yang sama panjangnya, rambut pendek yang terikat ke belakang, bedak (tidak semenor saat bekerja di panti, ya iyalah).
Sejenak Nina memerhatikan penampilannya di depan cermin. Bukannya kelihatan seperti orang mau lamar kerja…ia malah kelihatan seperti…
“Ada acara lagi di sekolah, Nduk? Kok kaya orang mau MOS gitu?”
Ibu Nina muncul dari balik pintu kamar Nina. Keheranan melihat anak semata wayangnya berdandan seperti ini. Tidak seperti penampilan biasanya saat akan berangkat kerja di tempat bisnis saudara mereka di Kampung Koci.
“Bu! Udah pulang?! Maaf Nina belum masak, Bu!” Nina terpekik kaget. Gara-gara sibuk latihan interview sepulang sekolah, ia jadi lupa kewajibannya memasak.
“Nggak papa kok! Ibu aja yang masak!” ucap Ibu, tersenyum maklum melihat Nina merasa bersalah.
“Nina hari ini ada interview jadi penulis, Bu! Doain ya!” Nina meraih tasnya yang telah diisi lamaran dan portofolio. Lalu menyalami ibunya.
“Lho? Kapan ngelamarnya? Kok nggak bilang-bilang Ibu?”
Nina nyengir, “Lupa. Tapi Nina minta doanya ya, Bu. Semoga Nina bisa dapat hasil terbaik di interview nanti. Biar Nina bisa ke luar dari tempat usahanya Bang Abdul.”
“Ya Nduk. Selama kamu punya niat baik, Tuhan nggak bakalan menyalahi niatmu, Nduk. Doa Ibu selalu buat Nduk Nina.”
***
Jarak rumah Nina dan Starlit empat kali lipat jarak ke sekolah. Jadi sore ini, ia berangkat menggunakan motor bebek tua peninggalan Ayah, yang selama ini digunakan Ibu saat berjualan pecel di pasar.
Karena terlalu semangat, Nina Amalia Putri yang seharusnya datang jam 6 sore, sampai di lokasi satu jam lebih cepat dari seharusnya.
Saat tiba di depan Starlit, pintu gerbang perusahaan itu masih tertutup rapat. Atau…jangan-jangan Nina udah nyasar?
Karena alih-alih berada di depan sebuah perusahaan, ia malah berada di depan rumah lantai tiga. Di depan rumah itu, ada sebuah taman dengan bunga yang cukup banyak. Sementara di samping rumah, ada garasi terbuka yang berisi sebuah mobil dan beberapa motor.
“Seriusan? Masa salah alamat sih?”
Nina mengecek lagi alamat yang dikirimkan nomor penelponnya kemarin. Berjalan ke plang alamat yang terletak di seberang jalan.
Yep, nggak salah lagi. Nina udah ada di tempat yang benar, kok.
Tapi…jangan-jangan lowongan pekerjaan ini yang salah?
Jangan-jangan ini semua cuma penipuan?
Kebingungan, Nina akhirnya memutuskan akan menunggu setengah jam lagi. Ia menyeberang jalan, menuju minimarket yang berada tepat di depannya. Lalu duduk di salah satu bangku yang berjajar. Nina memilih bangku yang paling ujung, karena di ujung lain deretan bangku itu, ada seorang cowok yang tampak sangat sibuk dengan laptopnya.
Setengah jam kemudian, Nina masih duduk di sana. Memerhatikan pintu gerbang yang nggak kunjung terbuka itu. Adzan maghrib mulai berkumandang.
Perasaannya makin tidak enak.
Kalau sampai setengah jam gerbang ini belum dibuka, berarti benar ini adalah…
“Nggak boleh mikir gitu! Positif thinking! Positif! Positif!” Nina memukuli pahanya sendiri dengan kepalan tangannya.
Dadanya sesak, airmatanya mulai menyesak. Tapi nggak! Nina udah janji nggak bakal nangis lagi!
17.45, Nina akhirnya mengeluarkan pamflet yang tempo hari diberikan Noval padanya. Karena sudah dilipat dan disimpan cukup lama di dalam tas, pamflet itu jadi sangat kusut. Tapi Nina masih bisa membaca dengan jelas pekerjaan impiannya yang terdapat di dalam sana.
“Kamu dapat itu dari mana?”
Tiba-tiba terdengar suara keras seorang cowok dari atasnya. Nina mendongak.
“Heh? Ya, kak?”
Ternyata ia cowok yang tadi sibuk di sebelah Nina.
“Lah? Ngapain nangis?”
“Hah?”
Nina baru sadar ada air yang menggenang di matanya. Buru-buru ia mengusap wajahnya. Malu sumpaahhh! Apalagi cowok di depannya ini masih cukup muda. Cakep pula, mengingatkan Nina pada salah satu wajah yang pernah dikenalnya. Entah, mungkin salah satu aktor Korea kesukaannya.
“Itu kamu dapat dari mana?” cowok itu mengulangi pertanyaannya. Karena terlalu nervous, Nina nggak sadar ekspresi cowok di depannya lagi mengeras.
“Ini? Dapat dari temen kak. Maunya aku ngelamar kerja ke sini. Tapi ternyata kantornya nggak ada.”
“Coba lihat.”
Tanpa permisi, cowok itu merebut pamflet loker dari Nina. Lalu membolak-baliknya. Cukup lama cowok itu membaca pamflet milik Nina, meski bukan bagian depannya yang dibaca. Melainkan bagian belakang pamflet, berisi coret-coretan yang baru disadari Nina.
“Kamu mau ngelamar ke sini?” tanya sang cowok.
Mata Nina berbinar, “Ya kak! Kakak tahu di mana tempatnya?!”
Cowok itu memandang Nina sekilas. Pandangannya benar-benar dingin, langsung menusuk hati. Tapi Nina memilih tidak menghiraukan.
“Ikut aku sekarang.” ketus cowok itu, berjalan ke tepi jalan, menggendong laptop dan memasukkan pamflet Nina ke dalam tas.
“Ke mana, Kak?” tanya Nina, sedikit ketakutan.
Cowok itu memandang dengan makin sinis. Sejujurnya, ia sangat kesal. Tapi menatap gadis kecil yang tampak sangat lugu itu, ia memutuskan menahan emosinya untuk sekarang.
“Ke Starlit lah. Aku Reza, editornya Starlit.”
@elham udah dong om udah updet. Makasih ya udah nungguin. Lagi sakit gigi haha