Bangkit itu benar-benar susah. Bagi orang yang nggak mengalami, cuma lihat aja, mungkin kesannya gampang.
Tapi bagi yang benar-benar terlibat di dalamnya? Nggak.
***
Cukup lama Nina menunggu panggilan dari Starlit. Menunggu sambil benar-benar berharap, karena ini pertamakalinya ia tahu hobi menulis bisa menghasilkan duit.
Selama ini yang Nina tahu, menulis itu ya sekadar hobi. Sejak SD ia memang sering menang lomba nulis, tapi duitnya nggak banyak. Bahkan banyak lomba yang hadiahnya cuma trofi sama buku tulis.
"Temen-temen, pada ngumpul ke aula ya sekarang! Cepetan udah ditunggu!"
Rumi, sang ketua kelas XI IPS1 yang baru dipilih, berteriak memecah keramaian kelas.
Hari ini, pelajaran Akuntansi yang harusnya diadakan setelah istirahat, dibatalkan. Sebagai gantinya, semua anak kelas XI harus ikut penyuluhan tentang seks dari Generasi Berencana daerah.
Meski ogah-ogahan, Nina dan Oliv akhirnya menyeret kaki buat pergi ke aula. Yah, hitung-hitung dapat jajanan gratis, kan. Siapa tahu dapat ATK pula.
Anak kelas XI SMA Naraya, dari IPA1 sampai BHS4, menyongsong aula sekolah yang ada di lantai empat. Benar-benar melelahkan. Andai aja Bapak Ibu Guru nggak mengancam akan mengurangi nilai anak yang bolos. Ogah banget datang ke acara macam begini.
Mending tidur di kelas, begitu pikir Nina.
Saat menaiki tangga ke lantai tiga, tanpa sengaja Nina melihat Raka.
Raka, yang sejak sebulan terakhir nggak pernah ia temui lagi.
Yang sejak sebulan ini kaya mendadak hilang, padahal dulu nggak ada hari tanpa godaannya.
Nina langsung mengalihkan pandang, takut mata mereka berpapasan.
Tapi sampai tiba di lantai empat, Raka sama sekali nggak menyadari Nina jalan hanya sekitar 2 meter di belakangnya.
Sesampainya di aula, seluruh anak kelas XI antri menandatangani daftar hadir. Seraya menerima snack dan ATK. Sementara Raka dan keempat temannya yang lain masuk lewat pintu samping aula.
"Kayanya nanti bakalan dibuka sama The Dead Seeds ya."
ucap Oliv tiba-tiba, tepat di tengkuk Nina. Membuat Nina merinding seketika.
"Jangan bikin kaget gitu dong, Liv. Merinding nih."
"Namanya juga desak-desakan, maklum dong." sungut Oliv.
Lagu Coldplay menggema aula saat Nina dan anak kelas XI lainnya memasuki ruangan. Dan lagi-lagi, mata Nina terarah pada Raka, yang sedang rehearsal di panggung.
Duh, itu mata nggak terkontrol banget sih? Bilangnya nggak suka, tapi memerhatikan terus, maunya gimana?
"Ciyee…yang galau gara-gara dicuekin." Oliv berbisik, mencibir Nina yang langsung mengalihkan pandang.
"Apa sih? Orang cuma lihat juga."
"Melihat, menatap, atau memerhatikan? Kalau kataku sama aja semua. Artinya sama-sama kangen kalo buat Nina."
Oliv membuka kotak snack bagiannya dan mengambil roti bolu. Lalu memakannya dengan lahap.
"Aku ngerasa…kok ada yang aneh ya sama Raka? Dia kelihatan tambah kurus. Trus pandangan matanya layu." gumam Nina.
"Apalagi dia nggak gangguin lagi lho. Padahal sejak setahun ini dia nggak pernah berhenti jahil."
Oliv yang dalam proses melahap snack keduanya - risoles - berhenti mangap.
Mendengar tebakan Nina, Oliv langsung bingung.
Kehabisan kata-kata.
Untungnya Nina masih mematung menghadap ke depan. Jadi nggak tahu betapa anehnya sikap Oliv sekarang.
"Ciyee…mulai suka nih ye sama Raka. Cih, dulu aja nolak-nolak, nggak mau dikejar. Pas dicuekin malah kangen. Dasar cewek reguler."
Nina langsung cemberut mendengar satu cibiran lagi dari sahabatnya. Untung saja waktu itu The Dead Seeds mulai memainkan lagunya.
Kalau nggak, Nina mungkin sekarang udah merebut snack Oliv dan membuatnya melongo sampai akhir acara.
***
Separah apa pun kondisi Raka, The Dead Seeds nggak boleh berpenampilan buruk. Mereka harus tetap menakjubkan seperti biasa. Di mana dan kapan saja.
Oleh karena itu, nggak ada yang tahu seberapa kacaunya perasaan Raka saat itu. Meski pikirannya lagi terbebani banyak hal, ia tetap jadi Raka yang biasanya.
Raka yang selalu supel, menyenangkan, karismatik.
Walau sekarang ia sudah nggak pernah main-main nggak jelas lagi. Bahkan menggoda Nina Amalia Putri pun ia hentikan.
Setelah mengisi acara GenRe di sekolah, Raka bergegas meraih tasnya.
"Bro, abis ini langsung latihan ya. Nggak usah ke mana-mana. Aku punya lagu baru yang harus dimainkan untuk festival indie nanti." ucap Agung, drummer sekaligus ketua The Dead Seeds.
"Sori kak, aku ada acara penting hari ini. Skip dulu ya." Raka mengangkat tas selempangnya dan bergegas ke luar aula yang sepi. Tapi gerakannya langsung tertahan.
"Enak e, skip dulu skip dulu. Dari kemarin skip dulu terus." komentar Oki, gitaris yang sama kelas XII seperti Agung.
"Aku nggak bohong ya, rek. Selama ini emang pernah aku kaya gini? Kalo ini nggak penting banget mana mungkin aku skip latihan?"
"Enak kamu Ka, masih kelas dua, kesempatan masih banyak. Kalian juga sama, Agus, Beno."
Agung mengangguk ke Agus sang bassist dan Beno keyboardist yang diam seribu bahasa. Nggak minat terlibat dalam perdebatan yang udah terjadi tiga kalinya bulan ini.
"Aku sama Oki tinggal beberapa bulan lagi bisa main. Sebentar lagi kita try out, guru-guru pasti minta kita berhenti."
"Jadi lek iso, aku pengen juara lagi sebelum benar-benar berhenti."
"Salah sendiri, c***."
Raka naik pitam.
"Kenapa baru sekarang ambisiusnya? Tiga tahun sekolah di sini ke mana aja?" tukas Raka, memandang Agung dan Oki dengan menantang.
"Baru setahun ini The Dead Seeds maju. Itu pun gara-gara aku yang berusaha. Aku yang mulai perbaiki band ini duluan. Sebelum itu kalian nggak ngapa-ngapain."
Mendengar kata-kata itu, Agung langsung menerjang Raka. Untungnya Oki refleks memeganginya.
"Opo? Wani a? Emang kata-kataku salah? ****!" Raka melempar tasnya. Melotot memandang Agung yang meronta dari cekalan Oki.
"Wes ngalih kono! Ndang ngalih!" Oki membentak.
Raka sebenarnya ingin menerjang. Tapi teringat apa yang harus dilakukannya setelah ini, ia memilih menahan amarahnya dan meninggalkan ruangan.
***
Manusia itu benar-benar rumit ya. Seringkali apa yang ditunjukkan fisiknya beda dengan apa yang terjadi dalam hatinya.
Saat menghadapi orang lain, entah mengapa kita semua suka banget pake topeng. Padahal dalam hati yang terdalam, kita berharap ada orang lain melihat kita apa adanya.
Rumit banget, kan?
Raka Rivano adalah salah satu manusia rumit itu. Selama ini dia memang dikenal sebagai bintang, cowok populer, ganteng, murah senyum, selalu bahagia.
Tapi nggak ada yang tahu kalo saat ini, ia sedang mati-matian menahan tangisnya. Amarahnya. Kegalauan pikirannya.
Begitu mendapati ruangan yang didatanginya kosong, Raka langsung berlari ke luar. Kembali ke aula depan untuk mencari sosok yang seharusnya bersamanya sekarang.
Nafas Raka melega saat melihat seorang cewek berjaket hijau duduk di bangku taman depan rumah sakit.
"Kok ke luar dulu sih? Mas jadi panik tahu!"
Raka menghardik cewek itu. Membuat si cewek yang lagi bermain game ponsel, mengangkat kepala.
"Abisnya takut telat. Nanti kalo kelamaan ke luarnya disuruh bayar lebih lagi." jawab cewek itu, seraya tersenyum.
Melihat senyuman yang indah sekaligus rapuh itu, kemarahan Raka menguap. Ia ganti mengusap-usap puncak kepala sang cewek.
Tapi hatinya menjadi sakit. Sangat sakit. Sampai ia bisa merasakan seluruh tubuhnya gemetar.
Berusaha menguasai rasa sakit itu, Raka pun duduk tepat di samping sang cewek.
"Mas Raka udah makan belum? Tadi aku udah lho sebelum packing." tanya cewek itu, seraya memeluk erat lengan Raka.
"Udah kok. Tapi Mas laper lagi nih. Kangen masakan Dek Risa."
Risa mencium lengan yang dipeluknya erat.
"Ya, nanti aku masakin. Aku masakin sebanyak-banyaknya buat Mas."
Suara itu bergetar. Disusul isak tangis yang teredam lengan.
Raka paham betul duka cewek yang sedang memeluknya ini.
Jika tidak, mana mungkin tenggorokannya saat ini perih. Menahan air mata dan erangan duka yang sebenarnya nggak sanggup ia tahan saat melihat seseorang yang dicintainya terluka.
"Aku udah hancur, Mas. Aku nggak punya masa depan lagi. Aku nggak punya. Aku takut…takut banget Mas." isak Risa.
"Cup, cup, cup. Nggak boleh ngomong gitu." Raka membelai rambut panjang nan halus milik Risa. Lalu mengecupnya.
"Jangan sedih lagi ya, Mas akan balas semuanya buat kamu. Mas janji."
@elham udah dong om udah updet. Makasih ya udah nungguin. Lagi sakit gigi haha