Raka merapikan lagi jasnya yang udah licin banget. Memastikan dasi merah tuanya masih tertata rapi. Meluruskan lagi peci hitam yang udah dipakainya sejak satu jam tadi.
Dan akhirnya ia bangkit, memberanikan diri berkaca di cermin besar di kamarnya yang dipenuhi kostum.
Ia tampak benar-benar berbeda. Dibandingkan dengan masa-masa nakalnya lima tahun lalu, ia tampak jauh lebih dewasa dan matang. Jauh lebih bertanggungjawab, meski untuk mencapai titik itu...ada banyak sekali luka yang harus dideritanya.
Di kedalaman cermin itu, Raka Rivano melihat sebuah senyuman lebar. Senyuman bangga, bercampur kepercayaan, sedih, dan haru.
Senyuman yang nggak akan pernah ia lupakan sampai akhir hayatnya.
***
Setelah insiden penyiraman air cabe itu, mata Raka jadi buta.
Sebenarnya Noval nggak setuju sama ungkapan Raka yang hiperbolis banget itu. Toh paginya, Raka bisa masuk sekolah seperti biasa, sok-sokan di kelas seperti biasa. Meski matanya merah banget sampai-sampai Bu Rita yang bahenol itu mengira Raka abis nge-fly semalam.
“Raka yang ganteng, kasih kesempatan buat temen kamu jawab pertanyaan ya!” seru Bu Rita dengan genit. Guru Biologi SMA Naraya itu mengibaskan rambut panjangnya dengan manja.
“Tapi saya nggak tahan buat jawab pertanyaan Ibu, abis suara Ibu bikin otak saya makin cerdas.” balas Raka dengan tampang innocent.
Cowok-cowok di kelas itu langsung bersorak riuh. Membenarkan apa yang dikatakan ketua geng mereka. Sementara yang cewek cuma bisa senyum-senyum melihat Raka yang makin ganteng kalo pasang muka polos.
“Daripada senyum-senyum nggak jelas gitu, mending pikirin dosamu hari ini.” Noval berbisik di telinga Raka.
“Dosa? Dosa yang mana? Aku nggak bikin dosa apa-apa.” Raka mengernyitkan dahi, meraba kantong celana abu-abunya yang menggembung.
“Saking banyaknya dosa sampe lupa ya? Ancen arek gendeng.”
“Lah iya? Dosa yang mana?”
Raka mengernyitkan dahi, tampak sedang berpikir keras. Anehnya, tangannya masih nggak ke luar juga dari kantongnya yang super tebal.
“Oalaahhh…iki to maksudmu?!” Raka mengeluarkan dompet hitam super tebal yang dari pagi tadi memenuhi kantongnya.
Tapi suara Raka barusan terlalu keras. Bu Rita yang tadinya baru aja menyuruh Dito balik duduk, langsung memicingkan mata.
“Maksud apa ya, Raka? Mau nambahin keterangannya Bu Rita?”
Raka mengangkat alisnya.
“Ini lho Bu, Noval gangguin saya terus! Katanya nggak ngerti-ngerti maksudnya dominan resesif gimana!”
“Lah? Noval ini gimana to?! Bilang dong kalo nggak ngerti! Kamu duduk di samping Raka nggak ada gunanya ya? Jadi gini lho...dominan itu...”
Seluruh kelas tertawa terbahak-bahak. Noval yang merah padam nggak mendengar lagi keterangan Bu Rita.
“j****k beneran kamu Ka. Udah, malas aku kalo mainnya gini.”
“Heh, bro, heh.” Raka menendang pelan kaki Noval.
“Nggak usah sewot, nanti pas istirahat kamu minta apa, aku traktir! Tapi bantu aku menyelesaikan misiku dulu. Jadi jangan marah sekarang, santuy!”
***
“Ada yang bisa jelaskan apa saja nilai intrinsik cerpen Robohnya Surau Kami? Siapa yang mau angkat tangan? Nina? Mana Nina? Bisa jelaskan nilai intrinsik cerpen ini?”
“Nin, hush, Nin!”
Olivia panik mendengar Pak Broto memanggil nama sahabatnya. Sikunya yang tajam langsung menghujam rusuk Nina. Membuat Nina yang sedang terlelap kaget seketika.
“Ya? Apa?!”
“Itu dipanggil Pak Broto!”
“Ya? Ya Pak?” Nina segera menegakkan punggungnya. Akan tetapi mata yang sembab dan rambut berantakannya membuat Pak Broto memicing.
“Gimana Nin? Enak nggak tidur di kelas saya? Enak ya?”
Nina merasa tertohok. Ia hanya bisa menunduk. Meski suasananya hening, ia tahu seluruh kelas sedang memandanginya.
“Makanya, waktunya tidur, tidur. Jangan melakukan yang aneh-aneh. Anak sekolah sikapnya ya harus seperti anak sekolah. Jangan kaya anak nggak jelas, merepotkan sekolah.”
Tubuh Nina kaku mendengar masalah itu diungkit-ungkit lagi. Apalagi yang mengungkit adalah Pak Broto, guru Bahasa Indonesia yang dulu sangat mengagumi kemampuan Nina.
Meski killer, sejak dulu Pak Broto selalu ramah padanya. Tapi sejak rumor beberapa minggu lalu tersebar, beliau jadi galak banget ke Nina.
“Ya sudah, silakan teruskan tidurnya.” Pak Broto menyergah kasar pada Nina, dan langsung berbalik ke papan tulis lagi.
“Jadi dalam cerpen Robohnya Surau Kami, unsur intrinsik pertamanya adalah tokoh-tokohnya…”
“Nin, kamu nggak apa-apa kan?” Oliv mengerling cemas pada Nina yang masih menunduk. Nina hanya menggeleng. Meski telinganya berdenging karena marah, ia sudah tidak bisa menangis lagi.
Nggak akan pernah menangis lagi.
Hingga waktu istirahat satu jam kemudian, Nina masih terus diam. Gila, nggak bisa ya Nina sehari aja nggak buat Oliv khawatir?
“Nin? Ke taman yuk, aku bawa bekal banyak nih.”
Oliv menengok wajah Nina yang agak menunduk. Tadinya dia pikir Nina sedang menangis, tapi ternyata ia lagi melamun.
“Hah? Ya? Apa Liv?” Nina tampak bingung.
“Ayo ke taman.”
Seraya menenteng kotak bekalnya, Oliv menggandeng Nina ke taman kecil di samping kelas mereka.
Tempatnya benar-benar sepi, hanya ada satu bangku panjang dan sepetak bunga yang jenisnya campur aduk. Biasanya ini jadi tempat pacaran, atau cowok-cowok yang diam-diam merokok.
“Nih lihat, aku bawa nugget sama sup ayam. Terserah kamu mau makan yang mana.”
Oliv membuka kotak bekal susunnya, menyodorkan keduanya ke Nina. Tapi Nina menggeleng nggak mau.
“Udah Liv, makan aja. Bawanya banyak banget sih? Bisa abis semuanya?”
“Gila ya aku mau ngabisin semuanya? Meski badanku rada gempal, makanku dikit kok!” Oliv mendelik, pura-pura sakit hati.
“Kirain masih nggak bisa move on dari Jungkook, makanya balas dendam gini.”
“Siapa peduli kalo oppa Jungkook pacaran sama cewek bertato itu? Kan masih banyak oppa-oppa lain yang bisa dikejar!”
Nina menggelengkan kepala, heran sama kegilaan sahabatnya. Meski begitu, Oliv senang kok dianggap gila, nggak waras, dst karena akhirnya Nina bisa tersenyum lagi.
Nina dan Oliv akhirnya makan berdua, sambil membicarakan tren terkini dunia K-Pop. Dulu semasa SMP, Nina sama up-to-datenya dengan Oliv kalo soal oppa-oppa Korea. Tapi sekarang, satu-satunya source Nina mendapat kabar terbaru ya dari Oliv.
Saat mulai membicarakan album baru EXO, Oliv tiba-tiba terdiam. Nina langsung menoleh ke belakang, ke titik yang dipandang Oliv.
“Haloo Nina, Oliv.”
Seorang cowok berbadan bongsor tersenyum sopan pada dua cewek yang sedang makan itu. Melihat reaksi para cewek-cewek ini, cowok itu tahu kehadirannya tidak diinginkan.
“Noval kan? Kacungnya Raka? Ngapain ke sini?!”
Nggak buang waktu, Oliv langsung menyembur Noval. Menyerangnya dengan delikan mata benci.
“Emm...aku ada perlu sama Nina, katanya kalian berdua di sini.”
“Ada urusan apa sama Nina?! Mau ngerjain lagi? Iya?!”
“Nggak kok, serius nggak!” Noval refleks mengarahkan tangannya ke depan, ketakutan melihat Oliv menekuk baju panjangnya. Meski Oliv cuma anak PMR, Noval, Raka, dan cowok-cowok lain tahu cewek ini berani nantang gelut cowok.
Lah kalian pikir Nina belajar nendang, jotos, gigit...dari siapa?
“Ini bahkan nggak ada hubungannya sama Raka. Aku cuma mau nawarin kerja Nina di tempat saudaraku.”
“Dulu pas kelas satu, ingat kan kita pernah sekelas? Aku ingat tuh, Nina dulu katanya sering juara nulis kan ya? Makanya pas lihat loker ini aku langsung ingat dia.”
Nina langsung berhenti mengunyah nugget jamurnya. Ia menerima brosur loker yang sudah kusut itu dari Noval.
STARLIT
Start-Up Millenial yang Bergerak di bidang digital marketing. Melayani jasa SEO, copywriting, content writing, social media marketing, dll.
Membutuhkan:
CONTENT WRITER.
Syarat…
Nina tertegun melihat loker tersebut. Baru kali ini dalam hidupnya, ia tahu pekerjaan semacam ini ada. Dan yang lebih mengejutkan lagi, posisi ini menerima part time mau pun freelance!
“Itu bisnis saudaraku, Nin. Baru sih perusahaannya, masih tiga tahunan. Tapi kayanya kamu cocok deh kerja di situ.” terang Noval.
Sepuluh detik, tak ada jawaban apa-apa dari Nina. Lima belas detik, terdengar suara gemetar berbicara. Suara yang tegang, namun penuh harapan.
“Ini...seriusan, Val?”
@elham udah dong om udah updet. Makasih ya udah nungguin. Lagi sakit gigi haha