Nina menggaruk tangannya yang baru digigit nyamuk. Gara-gara harus bekerja malam tiap hari, cewek satu ini jadi dipenuhi bentol-bentol merah di sekujur tubuh. Mulai dari muka, leher, tangan, sampai kaki.
Tapi Nina nggak punya pilihan lain. Ia sudah melamar pekerjaan di berbagai tempat – shift malam semua – tapi nggak ada yang mau menerima anak sekolahan sepertinya. Kebanyakan lebih suka mempekerjakan anak kuliahan atau yang memang menganggur sejak awal.
“Nah, kena!” Nina menepuk lengan kanannya dengan bangga bercampur gemas. Saat telapak tangan kirinya diangkat, tampak bekas merah di sana. Tapi ia nggak peduli, karena ada bercak merah darah yang udah dihisap nyamuk darinya.
“Kenapa? Banyak nyamuk ya? Makanya pakai lotion dong, Dek.”
Seorang wanita cantik yang duduk di sofa seberang Nina terkekeh. Dia mengenakan dress mini berwarna hitam, dengan belahan dada sangat rendah dan paha yang terekspos jelas.
Nina hanya bisa tersenyum sopan menanggapi tawa seniornya. Lalu menggeser diri perlahan-lahan, menjauh dari seniornya yang baru menyulut sebatang rokok.
Di awal-awal masuk dua bulan lalu, Nina sebenarnya sempat kaget. Ia takut tidak bisa beradaptasi dengan rekan-rekan kerjanya yang berpenampilan seperti itu.
Bayangin, udara kota Malang lumayan dingin, lho, belum menghitung nyamuk-nyamuk yang bertebaran cari mangsa. Begitulah yang dipikirkan Nina. Tapi dengan tekad kuat dan krisis keuangan yang dialami, ia akhirnya bisa beradaptasi dengan baik. Sangat baik, malahan.
Tiba-tiba terdengar klakson dari depan. Ada sebuah sedan mewah berwarna maroon mengedipkan lampunya. Senior Nina langsung mematikan rokok, lalu menjinjing tas tangannya.
“Aku cabut dulu, Dek yo. Kamu pulang o wes gapapa. Makasih udah ditemenin.” Ucap sang senior, meletakkan selembar uang berwarna biru di depan meja Nina.
“Sama-sama Mbak, hati-hati ya.” Nina membalas senyum sang senior dengan sama lebarnya.
“Kalau aku sih hidupnya emang udah bahaya tiap hari. Kamu itu yang harus hati-hati ekstra. Coba aja aku lagi nggak ada ‘klien’, kamu pasti kuantar pulang, Dek.”
“Nggak usah, Mbak, nggak apa-apa kok. Aku bawa motor sendiri, insya Allah aman.”
“Ya udah deh kalo gitu, cepet pulang ya. Nanti dikira ‘anak nakal’ lagi.”
Dengan senyuman terakhirnya, sang senior melambaikan tangan. Membuka pintu depan dan menghampiri “klien” yang udah menunggunya.
***
Setelah mengunci “panti pijat” yang dijaganya, Nina bergegas mengeluarkan motor bebek yang diparkirnya di samping panti. Sebelum ke luar tadi, Nina sempat mengecek jam dan mendapati ia pulang satu jam lebih dari yang seharusnya.
Tapi nggak ada bedanya kan pulang jam 12 malam sama jam 1 dini hari? Nggak ada. Sama-sama larut malam. Sama-sama sepi. Sama-sama dingin banget.
Nina bergidik. Bukan gara-gara dingin yang menusuk dada saat ia mulai menjalankan motor. Tapi karena betapa berbahayanya daerah sekitar panti di jam-jam seperti ini.
Sejak pertamakali masuk dulu, Nina selalu mengencangkan laju motor saat melewati kerumunan orang yang lagi nongkrong. Tiap harinya ia juga selalu ganti rute pulang pergi, thanks to kota Malang yang banyak banget jalan tikusnya.
Perjalanan dari tempat kerja ke rumah sekitar 40 menit. Nina menghabiskan sebagian besar waktu itu untuk mengemudi sambil memerhatikan sekitar. Waspada kalau sewaktu-waktu ia perlu menyemprotkan cairan cabe yang digantungnya di gantungan motor.
Dan malam itu sepertinya akan menjadi malam pertama Nina memerlukan cairan cabenya, setelah dua bulan terakhir pulang pergi dengan aman.
15 menit sebelum sampai ke rumah, Nina merasakan dua motor mengikutinya dari kejauhan. Sekujur tubuhnya langsung merinding, dengan tangan kirinya yang gemetar ia menarik sebuah wadah parfum semprot bekas. Sementara tangan kanannya meneruskan laju motor yang makin ia gas.
Ternyata kedua motor itu ikut mengencangkan lajunya pula. Membuat pikiran Nina melayang ke mana-mana. Ia rela-rela saja jika motor bututnya ini diambil. Tapi yang ia bayangkan jauh lebih menakutkan dari itu.
Bagaimana kalau dia diapa-apakan? Bagaimana kalau dia dibunuh, dan tubuhnya dibuang sampai nggak dapat ditemukan?
Bagaimana nasib ibunya, yang dari subuh hingga malam banting tulang, yang tiap hari begadang menunggunya pulang?
Bagaimana nasib ibunya, yang sejak ayahnya meninggal tiga tahun lalu, menafkahi dirinya seorang diri? Pagi menjadi penjual pecel, dan siang sampai malamnya menjaga toko saudara?
Mata Nina Amalia Putri mulai berair. Pikirannnya diteror dengan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi. Sementara hatinya merapalkan segala jenis doa pada Tuhan.
Sepuluh menit, tinggal lima kilometer saja dari rumah, dua motor itu akhirnya berhasil menjajari Nina. Salah satunya melambai-lambaikan tangan, wajahnya tersembunyi helm. Sementara yang lain melaju ke depan, melintangkan motornya di tengah jalan.
“Ya Allah, Ya Allah, tolong jangan ganggu aku.” Nina merengek, setengah berteriak. Tapi mereka sedang berada di jalan yang sangat sepi, tanpa ada rumah di sekitar.
“Minggir dulu, cepetan.” sergah orang yang mengenakan helm, memaksa Nina menyingkir ke tepi. Di balik helmnya, Nina mulai menangis tak terkendali.
Tapi ia takkan gentar, ya, ia takkan mengalah tanpa melawan. Begitu tiba di tepi, ia akan menyerang dua orang itu dan begitu ada kesempatan, lari.
Tapi kemudian, pengendara motor yang melintangkan kendaraan di jalan membuka helmnya. Di tengah kegelapan pun Nina nggak akan salah mengenali.
Cowok yang biasanya ramah dan selalu tersenyum menggoda itu, tampak sangat pucat dan kaget.
“Dek Nina? Jadi…beneran kamu kerja di Kampung itu?”
***
Raka ternganga menatap gadis yang dikejarnya sejak kelas satu SMA ini. Jika ia tidak melakukan pengintaian seminggu terakhir, ia takkan tahu cewek di depannya ini adalah Nina Amalia Putri.
Penampilan Nina benar-benar berbeda dengan kesehariannya di sekolah. Di balik kaca helm transparannya, Nina tampak mengenakan make-up. Tidak benar-benar menor, tapi bagi Raka riasan itu cukup menonjol. Terutama lipstick merah merona yang dia kenakan.
Selain itu, Nina juga mengenakan span hitam sedikit di atas lutut, dan seragam pink yang benar-benar menonjolkan buah dadanya.
Raka tidak tahu apakah seragam pink itu berlengan pendek atau tidak – karena Nina memakai jaket. Yang jelas, bagian kerah seragam itu membentuk V-neck, dan entah kenapa menurut Raka itu tidak benar.
“Kenapa nggak diresleting sih jaketnya?”
Raka refleks mendekati Nina, menyingkirkan kawannya yang tadi berada tepat di depannya. Lalu memasangkan resleting jaket yang memang lupa Nina tutup, tanpa memandang ke depan.
Sementara itu, Nina speechless. Tubuhnya serasa lemas, ingin collapse di situ juga. Tapi anehnya kedua kakinya masih kokoh berdiri.
“Akhirnya aku nemuin kamu pas pulang kerja. Selama seminggu ini kami udah nungguin motor dengan plat ini buat lewat. Baru sekarang kami berhasil nemuin kamu.”
Nina bergeming.
“Kenalin, ini temenku, panggil aja Gopal. Bro, lepas dong helmnya, Nina takut nih.”
“Oh? Oyi oyi man, sori.”
Gopal membuka helm dan tampak wajahnya yang chubby sedang berseri-seri – cengengesan.
“Jadi…Dek Nina beneran kerja di Kampung Koci? Kok berani sih?!”
“Iya, kenapa Dek Nina? Kalo jadi ‘mbakyu-mbakyu’ nggak mungkin to? Wong meneng ngunu.”
“Hush! Lapo se angkat topik itu, C**?” Raka langsung bersungut mendengar Gopal mengatakan sesuatu se-sensitif itu.
“Kalian ngapain sih melakukan ini? Puas? Udah puas kalian?”
Suara gemetar Nina memecah perdebatan yang nyaris muncul antara Raka dan Gopal. Saat Raka menatapnya, wajah Nina sudah merah padam. Kedua matanya meneteskan airmata, tapi tatapannya tetap membara.
“Aku nggak pernah minta kamu ganggu, aku nggak pernah gangguin kamu, tapi kenapa?! KENAPA SIH?! KENAPA? JELASIN KE AKU KENAPA?!”
Raka kebingungan melihat Nina yang histeris, mengulang-ulang pertanyaan yang sama. Kedua tangan Nina mengepal erat, meski salah satunya entah bagaimana sedang memegang wadah parfum setrika.
“Dek, aku nggak maksud gangguin kamu, serius! Aku cuma khawatir sama kamu, itu aja! Kenapa sih nggak cari kerjaan yang lain aja? Kalau mau aku bisa kok-”
Dengan kecepatan mencengangkan, Nina menerjang Raka. Lalu menyiramkan – ya, bukan menyemprotkan - air dari semprotan yang dipegangnya pada wajah sang cowok.
“Aduh! Opo iki?!”
Raka terbatuk-batuk, tersedak air cabe yang juga membuat matanya sangat perih.
“Lah? Opo’o Ka? Air apa itu?!”
Tidak peduli dengan Raka dan Gopal yang sama-sama panik, Nina menghampiri motor dan mulai menstarternya.
“Silakan kalo mau nyebarin soal ini ke orang-orang kaya kemarin, Ka. Aku udah nggak takut lagi, aku siap jadi musuhmu dari sekarang.”
@elham udah dong om udah updet. Makasih ya udah nungguin. Lagi sakit gigi haha