Ello melangkah cuek melewati koridor rumah sakit. Beberapa perawat dan dokter menyapanya dengan wajah terheran. Mungkin gara-gara kaget melihat wajahnya yang lebam-lebam. Lebih heran lagi pada kaos oblong putih yang dikenakannya—mungkin.
Ello mendengus geli membayangkan tampangnya sendiri. Seperti pemulung.
Dari kejauhan dia bisa melihat Rio bersama Dokter Arman dan Dokter Fabrian, tengah mengobrolkan sesuatu. Ello menggigit bibir. Harusnya dia kabur saja ke kamar mandi atau ke mana saja. Pastinya jangan sampai mereka melihat tampang jeleknya hari ini.
Sayangnya semua itu hancur karena Rio sudah berteriak heboh dari ujung bangsal Melati. Ello merutuk dan berusaha bersikap santai meski orang-orang sudah menahan tawa. Lebih-lebih dua dokter senior itu. Ugh.
“Ro, kok lo disini?! Nggak kerja?”
Ello mengerjap. Berusaha menjernihkan pendengarannya. Barusan Rio bilang apa?
Ro? Erro?
Ello menggerutu. Dia baru ingat kacamatanya rusak. Bahkan dia lupa menaruh dimana. Mungkin saja tertinggal di rumah Erro. Sialan. Nanti malam bagaimana nasibnya pulang dengan mata telanjang? Oh, jangan sampai dia menabrak trotoar atau apapun itu.
“Ro, gue mau curhat tentang Mauren. Kalo dia pipis lebih dari tujuh kali sehari gimana?” Rio setengah berlari dengan senyuman aneh.
Ello menatapnya datar sekaligus kesal. “Lo kenal kita berapa tahun sih, Ri? Masak nggak bisa bedain gue sama Erro.”
Tunggu—Rio tadi menanyakan apa? Serius? Jadi ini toh yang setiap hari dibicarakan kembarannya dan Rio. Tentang pipis anak mereka? Good. Ello begidik ngeri membayangkannya. Dia bersumpah nggak akan ikut obrolan mereka selamanya.
Dokter Arman yang pertama kali kaget. “Ya ampun, Om kira si Erro.”
“Hah? Ini beneran Ello?” Rio menarik kaos Ello tak percaya. Kemudian dia baru sadar wajah di depannya sedatar tembok.
“Dih... Gue kira Erro. Abisnya rambut lo acak-acakan gitu. Terus kacamata lo melayang dimana coba? Hari ini lo nggak serapi biasanya, El. Jadi urakan kayak Erro. Dan—ya ampun itu kenapa muka bonyok-bonyok begitu? Abis nyungsep dimana? Aduuh El, lo nggak apa-apa kan? Aduh gue panik banget ini.”
Ello menatap Rio dengan malas. Perasaan makin hari cowok itu makin cerewet saja. Panjang ceramahnya bisa sampai ujung Papua. Tanpa titik dan koma. Padahal dulu sekali waktu Rio duduk di bangku kuliah bicaranya sangat irit.
Jadi dulunya mereka adalah teman yang saling irit bicara. Hobi menghabiskan waktu bersama membaca di perpustakaan. Lalu waktu banyak cewek yang mengejar, mereka hanya pasang wajah cuek. Diam-diam berlomba saling cool. Akhirnya sekarang Rio lengser juga.
Ah, Ello malas mengingatnya. Pertemanan irit bicaranya dengan Rio yang indah sekarang hancur. Good job untuk Rio yang menghancurkannya.
“Ceritanya panjang Ri. Sepanjang pertanyaan lo tadi.” Begitulah akhirnya Ello menjawab. Dengan wajah datar andalannya tentu saja.
“Kamu sih Ri, nanya panjang lebar gitu. Mana Ello tahu jawabnya mulai dari mana.” Dokter Fabrian terkekeh dan menepuk pundak putranya. Dia tahu anaknya kelewat bahagia sejak memiliki seorang putri.
“Sori, Pa. Hehe... Abisnya Erro kalo ceramah ke Echa juga gitu. Kayak burung beo. Rio jadi ikutan deh ceramahin Riska kayak gitu. Biar nggak kalah romantis.”
“Kamu ini. Udah ah, jangan sebar-sebarin sindrome happy family-mu itu. Hargain Ello juga dong. Dia kan belum membina keluarga.”
Rio cemberut. “Kok Rio sih, Pa? Erro yang mulai, Pa! Erro! Mantan pasien kesayangan Papa sama Dokter Arman tuh yang punya hobi nular-nularin virus nggak jelas,” jelasnya panjang lebar.
Lagi-lagi Dokter Arman dan Dokter Fabrian hanya tertawa.
Ello terdiam di tempatnya berdiri. Dia ingin sekali menampar pipinya sendiri. Sungguh. Dia-sangat-tidak-paham.
Sebenarnya mereka membicarakan apa?
Ello harus segera kabur sebelum pembicaraan ini semakin jauh.
***
Ello menghembuskan nafas panjang. Akhirnya hasil lab yang baru diterimanya pagi ini selesai juga ia diagnosis. Sesaat Ello merasa lega. Tapi beberapa detik kemudian dia baru sadar ada masalah baru yang datang.
Matanya.
Matanya kini mulai terasa kabur dan berat. Akh, dia butuh kacamata. Sayangnya benda sialan itu sudah rusak.
Ello mendesis. Dia segera melemparkan dirike kursi dan memejamkan mata rapat-rapat. Mencoba memberi ketenangan pada matanya dan kepalanya yang mulai pusing. Efek kehilangan kacamata.
Namun, sebelum dia berhasil mendapat ketenangan, suara di pintu membuat imajinasi damainya buyar. Dia melirik malas ke arah pintu. Kalau itu Rio, dia pasti sudah melayangkan sepatunya.
Sayangnya bukan Rio. Tapi—Erro dan sahabat sekaligus rekan kerjanya yang tidak kalah berisik, Fathur.
Oke, sama saja. Mereka semua pembawa masalah.
Ello jadi ingat tentang grup chat di WhatsApp yang mereka bertiga buat bersama Izzy. Dari nama grupnya saja sudah menjijikkan. Papa Papa Idaman. Lalu waktu dia bertanya pada Erro itu grup apa. Dengan sombong kembarannya itu menjawab, Nikah dulu baru gue masukin kesini.
Ya ampun, sori-sori saja, sampai dia jadi kakek pun dia tidak akan pernah sudi masuk grup konyol itu. Catat itu baik-baik. Tidak akan sudi. Selama-lamanya.
“Tumben kesini, kenapa?” tanya Ello dengan malas.
Erro tersenyum sekilas. Dia mengulurkan sebuah kotak persegi panjang pada Ello. “Kacamata lo ketinggalan. Udah gue benerin di optik tadi.”
“Serius?” Ello membukanya dan tampak senang melihat kacamatanya kembali tanpa cacat sedikit pun. “Thanks banget, Ro. Gue nggak bisa hidup tanpa ini.”
“Yup.” Erro mengangkat jempolnya. Lalu dia menoleh pada Fathur yang entah kenapa sibuk mengamati stetoskop di meja Ello. “Thur, kenapa sih? Ah, elo mah ngelamun mulu. Sini dong undangan Angga tadi.”
“Oh, eh, gue cuma mikir ini bisa dengerin suara bayi dalam kandungan atau enggak.” Fathur menunjuk-nunjuk stetoskop milik Ello.
Erro menahan tawa. Sementara Ello sudah menatap dengan wajah mengerikan.
Fathur gelagapan. Dia memaksakan tawa begitu melihat aura gelap di wajah Ello. “Hehe. Nggak usah dijawab.”
Fathur segera meraih tas hitam besarnya—yang berisi kamera seperti milik Erro. Dan mengeluarkan sebuah undangan dari bawah. Tampak sekali dia kesusahan.
Ello mendecak. Masih tak percaya akhirnya Fathur terjun di bidang yang sama dengan Erro. Padahal dulu Erro sering bercerita bahwa Fathur sama sekali tidak berbakat di bidang fotografi. Malah dulu pernah membuat kekacauan di galeri foto SMA 40.
And look at he now? He is a photographer.
“Nih punya lo, El. Angga mau married.” Fathur melempar sebuah undangan berwarna keemasan ke arah Ello. Lalu satu undangan lagi tampak dia main-mainkan. “Si Mario Maurer gadungan mana nih?”
Erro tak menggubris Fathur. Kali ini sesion ceramahnya dimulai. Ello hanya mendengarkan dengan wajah mengantuk. Sama sekali tidak berminat.
“Lihat tuh, El. Angga aja yang nggak ganteng-ganteng amat udah mau married. Lo mau sampai kapan jadi latu gini?”
“Latu apaan?” tanya Ello.
“Lajang tua.”
Sialan. Ello bersiap melempar sekotak kapas ke arah Erro kalau Fathur tidak segera mencegahnya. Lalu ketika mereka sibuk berperang, satu masalah datang. Masalah itu mengetuk pintu perlahan seperti hantu. Siapa lagi hantu itu kalau bukan Rio.
Rio berseru heboh. “Ro, lo ternyata disini?! Tadi gue udah ngechatt elo. Kok nggak dibales, sih!” teriaknya sambil duduk seenak perut di atas meja Ello.
Erro terkejut. Dia jadi melupakan ceramah pentingnya. “Ya ampun, Ri. Kalo pasien lo tahu tingkah lo gini mereka bisa pada kabur.”
“Dia mah gelantungan di pohon juga udah biasa,” Ello menceletuk dengan nada kejam.
“Rekan jahat!” sinis Rio sesaat sebelum fokus pada Erro. “Eh, gue mau curhat penting. Mauren kenapa ya pipisnya berkali-kali? Gue jadi cemas, nih.”
Fathur yang pertama kali bereaksi. Dia menarik stetoskop yang ada di leher Rio dengan heboh. “Buset deh, Dokter Mario yang terhormat, ini gunanya apaan sih? Buat gantungan ya?”
Erro masihshock. “Astaga. Lo dokter beneran bukan sih? Masak nanya gituan ke gue? Mana gue tahulah. Gue aja nggak sempet ngamatin Finza sama Eza waktu pipis.”
“Katanya lo jago soal bayi-bayi.” Rio menggerutu merasa dibohongi.
Erro menjambak rambut frustasi. “Tapi ya nggak masalah gitu juga kali. Yang tahu hal gituan kan harusnya elo.”
Rio tampak berpikir. Dia baru sadar. Dia kan—Dokter. Ahaha, kenapa dia baru ingat. Ah, mungkin gara-gara dia lebih ingat jabatan pentingnya sekarang—Papa. Jadi dia lupa jabatan lama yang dulu dibanggakannya.
“Omong-omong Mauren siapa?” Ello bertanya tiba-tiba. Merasa penasaran.
Satu buah pulpen melayang di wajah Ello. Siapa lagi yang melemparnya kalau bukan Rio. “Gue udah bilang tadi pagi, kan? Nama anak gue Mauren, bego. Lo nggak peka banget sih, jadi orang? Jangan-jangan tadi pagi lo nggak dengerin gue ngomong sama sekali?”
Ello langsung terdiam. Dia menghembuskan nafas kesal. “Sori deh, Ri. Abisnya lo ngomong kayak kereta. Nggak inget gue.”
Fathur dan Erro tertawa kompak.
“Eh, emang gimana si Mauren? Udah bisa apa aja?” tanya Erro penasaran.
Rio langsung menatap Erro dengan datar. “Ya ampun, bayi baru lahir kemarin sore lo tanyain bisa apa? Please deh, Ro....”
Erro tertawa lagi. Baru sadar pertanyaannya kelewat konyol.
“Minum susu doang kali.” Fathur menebak-nebak.
“By the way, gue mau pamer nih. Eza udah bisa ngerangkak loh. Terus Finza sekarang suka banget tepuk tangan. Jadi tiap hari kita nyanyi biar Finza tepuk tangan. Lucu banget pokoknya.”
Fathur tak mau kalah. “Ah, bayi gue sekarang udah nendang-nendang. Nella sering banget nih bangunin gue tengah malem.”
Rio berteriak heboh. “Dia mau dielus tuh berarti.”
Erro melirik Rio yang sok tahu. Dia mulai berargumen sendiri. “Ah, enggak, artinya dia mau diajak bicara sama papanya.Lo ajak bicara aja, Thur.”
“Enggak, Ro. Biasanya dielus biar nggak banyak gerak. Gue udah pengalaman.” Rio masih bertahan.
“Ri, gue lebih pengalaman.” Erro semakin tak terima. “Lo ajak ngobrol aja, oke?”
“Nggak, Thur. Dielus.”
“Apaan sih, Ri? Udah bener diajak ngobrol.”
“Nggak.”
“Thur—”
“Nggak, Ro! Nggak!”
Fathur mulai kebingungan. “Nggak jelas banget, sih. Mana yang bener?”
Dan celotehan mereka memanas. Erro dan Rio masih terus mempertahankan argumen masing-masing. Sementara Fathur sudah menjedor-jedorkan kepala ke sofa karena bingung akan mempercayai yang mana.
Ello hanya bisa terdiam menatap mereka yang heboh. Berusaha menutupi ketidakpahamannya sebaik mungkin, dia pura-pura sibuk memainkan ponsel. Astaga, dia sungguh-sungguh tidak mengerti pembicaraan mereka.
Dia-merasa-sangat-tersisih.
Jika ada laut yang dalam. Dia ingin terjun.
Sekarang juga.
***
TBC
udah di mulai ni masalahnya. Btw si Ello agak menyebalkan juga ya inner-karakternya. tapi saya suka kok bad boy.
Comment on chapter BAB 1need more...