Read More >>"> Mask of Janus (The Tree is Falling) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mask of Janus
MENU
About Us  

Vera van Ugde kembali merasa ketakutan. Mata hijau kebiruannya membulat, kulitnya memucat, lidahnya kaku, dan jemarinya mendingin. Rasa takut itu kembali datang—Jennar E’Neille kembali datang. Vera mematung melihat pria berambut hitam itu berdiri di atas atap gedung di ujung jalan. Meskipun jarak mereka cukup jauh, Vera dapat merasakan tatapan mata biru tajam itu yang tertuju kepadanya, dan dia tidak menyukai tatapan permainan itu.

Cukup,” kata Jennar. “Berhenti menatapku sebelum orang lain sadar akan keberadaanku di atas sini.”

“Atau?” ancam Vera yang sadar bahwa mereka sedang berada di keramaian. Jennar pasti tidak akan berani melakukan apa pun di tempat ramai seperti ini, terlebih lagi dia berdiri jauh dari Vera. Pria itu tidak dapat melakukan apa pun kepadanya dan Vera pikir, dia aman.

Oh, Vera, sekarang, aku tahu mengapa atasanku ingin sekali dirimu untuk bergabung. Kau memiliki keberanian, tepat seperti binatang yang tersudut.”

“Binatang yang tersudut adalah yang paling berbahaya.”

Namun, dia tetaplah tersudut,” dengkus Jennar yang seakan ingin mematahkan pendirian Vera. Sayangnya, itu tidak akan berhasil.

“Kau tidak akan mendapatkan apa pun dariku di tempat seramai ini, tidakkah kau sadar itu?”

Akutidakbutuhtempatsepiuntukmenjalankanmisiku,” jujur Jennar. “Sebenarnya, aku ingin menunggu sampai kaumemiliki inisiatif untuk bergabung dengan kami. Itu karena kau memang tidak memiliki pilihan lain lagi di dunia ini. Vincent sudah dibungkamDanis sedang dimata-matai, dan semua paket yang kaukirimkan di belahan dunia mana pun sudah kami tenggelamkan dan sita. Hanya masalah waktu sampai adik dan ibumu ikut bermain di dalam permainan ini.”

“Jangan pernah menyentuh mereka!” bentak Vera yang semakin ketakutan.

Maka berhenti menatapku seperti sekarang dan menunduklahBertindak seperti tidak ada yang terjadi.” Setelah Vera terpaksa menunduk, dia kembali berjalan normal. Sayangnya, lutut gadis itu melemah, langkahnya gemetar untuk sesaat. “Rencana berubah, kautahu?Tadinya, aku ingin membiarkanmu menentukan pilihan, tetapi atasanku memaksa. Kau harus secepatnya ikut denganku dan bergabung dengan kami.”

“Aku menolak,” ketus Vera.

Maka kau akan kehilangan segalanya.” 

Ketika Vera melirik singkat ke atas atap di mana Jennar berdiri, pria itu sudah tidak berada di atas sana. Atap gedung itu kosong. Vera membelalakkan matanya dan melirik panik ke segala arah untuk mencari sosok Jennar, tetapi pria berjaket kulit hitam itu tidak berada di mana pun. Dia menghilang, tetapi sambungan telepon itu masih berjalan.

Di depan kafe di sisi kirimu, terdapat pria tua yang sedang membaca koran.” Vera melirik cepat ke arah pria yang Jennar maksud. Pria tua itu memakai kemeja kotak-kotak, celana kain cokelat, dan kacamata baca yang lensanya sudah kecokelatan. Pria itu botak di tengah kepala dan ubannya terdapat di pinggiran. Dia sedang membaca koran sambil menikmati kopi sorenya, duduk di samping sepasang kekasih yang menempati meja lain, dan seorang pria maniak komputer yang duduk di belakangnya. “Namanya adalah Ivan Schmidt, seorang pengedar narkoba, tetapi tingkat kriminalitasnya berada jauh di bawahmu.”

“Apa yang hendak kaulakukan?” tanya Vera, tatapannya beralih. “Di mana kau?”

Daripada menjawab pertanyaan Vera, Jennar justru memberikan gadis itu sebuah pertanyaan. “Apakah kau masih tidak ingin bergabung dengan kami?”

“Tidak,” jawab Vera tanpa pikir panjang. Namun, tepat ketika dia menjawab seperti itu, tiba-tiba Vera mendengar suara besitan halus di udara yang hampir tidak terdengar. Lalu, yang terjadi berikutnya adalah tubuh Ivan Schmidt yang tumbang. Tubuh itu jatuh dari tempat duduknya dengan dahi yang terkena tembakan. Darah mengalir keluar dari lubang hitam itu dan membuat garis merah di dahinya ... juga serpihan otak yang terpencar keluar dan darah dari lubang di sisi lain kepala yang mulai membuat sebuah genangan.

Vera menatap cepat ke mayat Ivan saat beberapa wanita berteriak histeris, dan ketika melihat apa yang terjadi, Vera mematung di tempatnya berdiri dengan ketakutan yang merajalela di dalam dada. “Jangan berteriak dan kembalilah berjalan,” perintah Jennar dari ponsel yang masih menempel di telinga Vera. Gadis itu sendiri sudah hampir jatuh jika dia tidak dengan sigap mengatur langkahnya. Napasnya sudah berburu cepat dan matanya melotot ke segala arah, semua itu dikarenakan oleh ketakutan yang Jennar berikan kepadanya. 

“A-apa yang kaulakukan?” bisik Vera yang tidak bisa lagi menahan ketakutannya, bahkan dia hendak kencing jika tidak ingat tempat. “Kau membunuhnya hanya karena aku menolak?”

Alih-alih menunjukkan rasa manusiawi, Jennar E’Neille justru tertawa. “Tidakkah itu menarik untuk merasakan kehidupan orang lain berada di dalam genggamanmu?” Dia orang gila. “Wanita berbaju merah di sisi jalan di depanmu,” kata Jennar lagi yang menunjuk ke orang lain. Ketika mata melotot Vera mencari wanita itu, dia mendapatkan wanita yang Jennar maksud sedang berdiri di sisi jalan sambil memperhatikan apa yang terjadi dengan tubuh mati Ivan. “Namanya adalah Agnete Shulze. Dia memiliki peran dalam perdagangan pasar gelap. Hanya saja, tingkatnya tetap berada di bawahmu.”

“Kau akan membunuhnya juga?” getir Vera dengan suara bergetar hebat.

Tergantung dirimu. Apakah kau akan bergabung dengan kami atau tidak?”

Tentu saja, “Tidak,” dengkus Vera karena pendiriannya kuat. Namun, saat suara besitan lagi-lagi terdengar, tubuh Agnete Shulze langsung jatuh tanpa nyawa di pinggir jalan. Kematian wanita itu disambut oleh teriakan ketakutan dari beberapa orang di sana. Akhirnya, Vera tidak dapat lagi bertahan. Semua ini adalah kegilaan. “Ini pembantaian,” ketus gadis itu yang hampir menangis, tetapi Jennar tidak berpikir demikian.

Aku bisa melakukannya sepanjang hari jika kauingin.” Jennar tiba-tiba muncul di depan gedung yang berada tepat di ujung jalan, sebuah trotoar yang sedang Vera hadapi sekarang. Pria itu melambaikan tangannya dari jauh dan tersenyum, tetapi Vera tidak menemukan satu pun senjata yang dia genggam. “Jadi, apakah kau masih tidak ingin bergabung?” 

Jennar bukanlah orang yang menembak mati kedua orang tadi. Itulah yang Vera sadar betul, terlihat dari kedua tangannya yang tidak memegang senjata apa pun. Jadi, Vera pikir, tidak akan ada lagi orang yang akan ditembak mati karena penolakannya. Maka dari itu, Vera akan tetap berdiri dengan pendirian yang teguh. Dia akan menolak. Vera mematung sesaat sebelum berkata, “Tidak.”

Sayangnya ..., suara kematian lagi-lagi terdengar. Seorang pria lain jatuh mati dengan lubang di kepalanya. “Tidak!” bentak Vera, lalu seorang gadis belia yang lebih muda dari dirinya, yang berdiri tidak jauh dari Vera, ikut tertembak mati. “Hentikan! Jennar, hentikan!” pinta Vera yang ketakutan sekali. Sayangnya, Jennar tidak sepihak. Dia membunuh empat orang lainnya bahkan tanpa senjata di tangannya sendiri. Barulah setelah Vera jongkok dengan air mata ketakutan di pipi, Jennar menyudahi semua kegilaan itu. “Ikutiaku,” pintanya dari jauh yang melangkah memasuki sebuah kafe ricuh di sudut jalan. Sambungan telepon mereka terputus saat itu juga.

Vera van Ugde sedikit kesulitan untuk bangkit dari lututnya yang gemetar, apalagi saat dia melangkah dengan tangis ketakutan. Orang-orang di sekitarnya sudah berbondong-bondong meninggalkan tempat itu, tetapi tidak jarang masih ada yang berwajah panik untuk membantu para mayat dengan menelepon ambulans. Keadaan saat itu benar-benar kacau karena kepanikan, orang-orang berlarian tidak tentu arah, dan Vera menengok ke sana kemari dengan tatapan paranoid. Beberapa orang sempat menabrak Vera saat mereka melarikan diri dan beberapa kali juga Vera hampir terjatuh. Namun, karena dia tidak ingin bangkit dengan betis kikuknya lagi, jadi dia bertahan untuk sampai di tempat yang Jennar tunjuk tadi. 

Ya, dia tetap berjalan dengan mata yang tertuju ke sembarang arah untuk mencari seseorang dengan senapan, seseorang yang membunuh orang-orang tadi—tentu, bukan Jennar E’Neille yang membunuh semua orang itu karena dia tidak memiliki senjata satu pun. Sayangnya, setelah melihat ke mana pun, Vera tidak menemukan seseorang dengan senjata api, bahkan tidak di balik jendela-jendela pertokoan, loteng toko, dan tidak dengan atap semua bangunan di kawasan itu seperti bagaimana Jennar tadi berada. Tidak ada seorang pun yang bersenjata di kawasan pertokoan itu. Hal-hal yang berada di sana hanyalah Vera yang berjalan gontai, orang-orang panik yang masih berlarian, dan Jennar yang sedang duduk di beranda sebuah kafe sambil meminum kopi seseorang yang sudah ditinggalkan.

“Um, ini lumayan. Masih hangat juga.” Itulah sapaan Jennar setelah Vera terpaksa duduk bersamanya di tempat itu. Masih satu meja yang sama dan Vera memilih kursi terjauh dari Jennar, tetapi posisinya yang sekarang justru membuat mereka saling berhadapan—Vera tidak suka itu karena dia bisa melihat mata biru tajam dari balik rambut hitam Jennar yang sengaja dibiarkan kusut. 

“Hm, sebenarnya, aku tidak begitu suka kopi. Kopi hanya akan membuatku terjaga saat malam dan gemetar saat pagi datang.”

“Maka sebaiknya kau meminum racun. Itu pantas untukmu.”

Jennar melirik nakal ke mata hijau Vera tetapi bukan tatapan nakal akan alasan seksual melainkan tatapan psikopat yang kental Vera rasakan. Mata biru Jennar seakan ... menarik kehangatan tubuh Vera untuk berubah dingin seketika, bahkan tangannya mati rasa seakan ketakutan yang Jennar berikan sangatlah kuat. “Semua yang kita minum adalah racun, Vera. Tidak peduli apa pun jenis cairan itu, jika kau meminumnya lebih dari cukup, maka itu bisa saja membunuhmu. Itulah inti dari pekerjaan seorang pembunuh: Untuk mencari tahu seberapa besar takaran yang cukup untuk membunuh targetnya. Tentu, semua yang ada di dunia ini berguna, tidak ada yang berbahaya, kecuali jika kadarnya tidak diperhatikan. Air, contohnya,” dengkus Jennar dengan senyum tajam di bibirnya. “Oh, kau harus melihat bagaimana Vincent meronta saat aku mengisi paru-parunya dengan air.” Jennar memain-mainkan sebuah ponsel di tangannya, sengaja menunjukkan benda kepemilikan Vincent itu di depan Vera yang diam dengan bibir bungkam. “Dia membuat suara lucu saat hendak mati, kautahu? Dan, oh, demi Tuhan, dia cukup kuat menahan siksaan itu seakan ingin memperpanjang penderitaannya sendiri.”

Mata sang gadis melotot. “Kau sakit,” ketus Vera yang sudah tidak tahu harus berkata apa lagi.

Hanya saja, daripada merasa terhina, Jennar justru menunjukkan senyum menggodanya kepada Vera sekali lagi. “Apakah kauingin merawatku sampai diriku sembuh?” Vera tidak merespons dan lebih memilih memberikan tatapan tajamnya meski bibirnya pucat pasi. “Bercanda, Vera, bercanda. Tidakkah kau memiliki selera humor sedikit pun?” Namun, lagi-lagi Vera tidak memberikan reaksi. Dia hanya diam sambil memberikan tatapan bencinya kepada Jennar. “Baiklah, aku kalah. Kau benar-benar tidak dapat diajak bercanda. Sesuai dengan reputasi, kutebak.”

Vera sungguh benci sekaligus takut dengan pria itu. Jika saja dia bisa lari, Vera pasti akan lari, tetapi dia tidak bisa melakukan itu dengan lutut gemetar dan betis lemasnya sekarang. Terlebih, pasti masih ada orang di luar sana yang mengincarnya dan tidak akan berpikir dua kali untuk menembak jika Vera pergi melarikan diri. Dia percaya itu ..., tetapi sedikit ragu. Jika memang Jennar menginginkan Vera untuk mati, maka dia sudah mati sejak tadi. Lagi pula, mengingat tentang pria itu yang tadi sempat membicarakan perintah dari atasannya membuat Vera berpikir bulat bahwa Jennar hanya menginginkan dirinya untuk menyerah. Jennar ingin Vera untuk patuh kepadanya karena dia tidak dapat menyakiti Vera. Itu adalah perintah dari atasannya. Ya, Vera sadar akan hal itu, dan dia mencoba untuk memutarbalikkan keadaan.

“Orang-orang yang kaubunuh adalah mereka yang bermain di dunia gelap,” simpul Vera yang tidak main-main dengan logikanya. “Pasti mereka cukup merepotkan sampai-sampai kalian membunuh mereka daripada diberikan tawaran bergabung sepertiku.”

Jennar mengangguk setelah meminum kopinya. “Hanya saja, kami tidak dapat merekrut semuanya, terlebih bagi mereka yang berpikiran sempit dan tidak begitu berdampak di dunia nyata. Kami, para Cahaya, membutuhkan mereka yang memiliki keterampilan baik dalam permainan di depan maupun di belakang layar. Kami membutuhkan mereka yang pintar, cerdik, dan kompeten, bukan para kriminal rendahan yang bahkan tidak dapat menjaga diri mereka sendiri.”

“Apakah itu sarkasme untukku?” ketus Vera yang merasa terhina dengan kalimat terakhir Jennar. “Kau mengancamku?”

“Aku justru mengundangmu, ingat?” Jennar memberikan secarik kertas kepada Vera, tetapi dengan sengaja dia menutupnya dan tidak membiarkan gadis itu membacanya sampai kertas itu Vera genggam. “Datanglah hanya jika kau tertarik—yang kuyakini pasti akan kaulakukan,” kata Jennar dengan suara bisikan di kalimat berikutnya. Tatapan tajam Jennar justru berubah ... khawatir. “Jangan biarkan kata-kataku tadi mengganggumu. Datanglah jika memang kauingin. Aku akan mengulur waktu dan bernegosiasi dengan atasanku.” Wajah Jennar saat itu berbeda dari yang tadi. Meski masih terlihat serius, terdapat sebuah gurat peduli di matanya seakan dia ingin Vera untuk memercayainya ... atau mungkin itu hanya sebuah jebakan—Vera tidak yakin. 

“Namun, dengar, Vera, jika kau memang ingin untuk bergabung, maka datanglah secepat mungkin,” peringat Jennar yang tidak main-main. Pria itu sudah berdiri dari duduknya, hendak pergi dari sana. Ketika Vera hanya memberikannya tatapan tidak mengerti, akhirnya Jennar memberikannya peringatan jelas. “Atasanku tidak menoleransi hati yang gegabah. Jika dalam waktu dekat kau tidak datang dan ikut bergabung, maka dia akan melakukan hal-hal yang tidak akan kausuka jauh lebih buruk daripada apa yang sudah kulakukan. Jadi,” kali ini, justru tatapan Jennar yang berubah panik, “putuskanlah secepat mungkin.”

Namun, Vera berkeras hati. “Jika aku tetap menolak?” sanggahnya dengan bisikan juga. 

Sayangnya, Jennar hanya menggeleng dan berbisik, “Jangan pernah coba untuk menentang. Mereka sudah memata-matai Danis Chandler, Veronica van Ugde, dan Nero van Ugde. Jika kau berulah, maka besar kemungkinan mereka akan .... Kautahu jelas hal terburuk apa yang mungkin akan terjadi.” Lalu, Jennar berjalan menjauh tanpa lirikan selamat tinggal kepada Vera. Dia hanya berlalu, keluar dari beranda kafe, berjalan sendirian di jalan sepi pertokoan, dan menghilang di persimpangan jalan pertama. Jennar E’Neille tidak lagi berada di sana. 

Kepergian Jennar digantikan oleh sekumpulan mobil ambulans dan polisi yang datang berbondong-bondong ke dalam kawasan pembunuhan itu. Para petugas medis langsung memasukkan para mayat ke dalam ambulans untuk dibawa ke rumah sakit sedangkan beberapa unit lainnya tetap tinggal di sana untuk merawat mereka yang bertubuh lemas. Di saat yang bersamaan, para polisi dengan sigap mengamankan kawasan pertokoan, memeriksa tiap isi toko, dan mencari pelaku pembunuhan atau apa pun yang dapat membimbing mereka untuk menemukan sang Pelaku. Sayangnya, mereka tidak mendapatkan barang bukti apa pun selain peluru yang menembus keluar dari dalam kepala para korban. 

Vera, pada awalnya, mencoba untuk melarikan diri dari sana karena panik. Dia hendak berjalan normal di tengah kawasan yang berubah sibuk dengan wajahnya yang pasi. Sayangnya, pelarian Vera gagal. Dua orang paramedis menghentikannya dan membawa Vera ke tepi jalan untuk diurus di sana. Dia diberikan air minum selagi para petugas itu memeriksa tubuhnya. “Aku tidak terluka,” kata Vera yang benci saat salah seorang petugas bermata jereng mencoba untuk menyentuhnya.

Setelah para petugas medis menganggapnya sudah baik-baik saja, para polisilah yang datang dan menggantikan posisi mereka untuk mengganggu Vera. Para polisi menanyakan sekumpulan pertanyaan yang membuat gadis itu jengah. “Di mana posisi Anda saat semua pembunuhan ini terjadi?”; “Apakah Anda melihat sesuatu yang aneh saat kejadian berlangsung?”; dan “Apakah Anda melihat seseorang yang bertindak aneh di kawasan ini selama kejadian?” 

Namun, Vera menjawab semua pertanyaan itu dengan, “Tidak, Tuan-tuan. Aku hanya menikmati hari setelah kembali dari London.”—meski sebenarnya dia sempat ingin memberitahu tentang keberadaan Jennar E’Neille dan organisasi terkutuknya kepada para polisi. Hanya saja, Vera sadar bahwa itu tidak akan membantu dirinya sedikit pun. “Maaf, aku ingin sekali beristirahat. Permisi.” Lalu, Vera van Ugde pergi dari kawasan itu untuk kembali ke mobilnya. 

Selama di perjalanan kembali ke kediaman keluarga van Ugde, Vera tidak dapat memikirkan hal lain selain perkataan Jennar. Ya, tadi, pria itu mencoba untuk memperingatkan dirinya akan apa yang sedang terjadi. Namun, hal yang terasa janggal bukanlah dari perkataannya, melainkan dari nada yang dia gunakan. Pria itu memperingatkan Vera bukan dengan nada mengancam yang sejak awal tidak gadis itu sukai, melainkan dengan nada peduli. Jennar seakan memaksa Vera untuk mengambil jalan aman meski dia tahu bahwa gadis itu tidak memiliki pilihan lain selain ikut mengotori tangannya di dunia yang tidak pernah ingin dia sentuh. Jennar sadar betul akan pilihan Vera yang terbatas, dan dari tatapan dan nada suaranya, Jennar seakan tidak ingin melihat Vera tersiksa lebih lama lagi. 

Mungkin, ini semua akan terdengar gila, tetapi fakta bahwa Jennar tampak seperti ingin membantu Vera bukanlah pikiran yang konyol. Vera hanya tidak tahu saja apa alasan Jennar mengatakan itu dan hendak membantunya. Namun, “Persetan!” Vera memiliki hal lain untuk dipikirkan sekarang.

Benak Vera sungguh penuh dengan banyak hal sekarang. Semua masalah itu datang bertubi-tubi. Pertama, paketnya di Skotlandia ditenggelamkan—Jennar mengaku bahwa dirinya yang melakukan itu. Kedua, pria itu datang dan mengajak Vera untuk ikut bergabung ke dalam organisasi bernama Cahaya—atau apa pun itu, Vera tidak peduli lagi. Ketiga, Jennar tiba-tiba datang dan mengubah ajakannya menjadi paksaan. Keempat, tiba-tiba, pria itu berubah dari antagonis menjadi pemeran pembantu, seakan hendak mengulurkan tangannya kepada Vera bahkan setelah dia membunuh beberapa orang termasuk antek dunia gelap Vera yang bernama Vincent. 

Semua hal itu membuat kepala Vera tidak dapat berpikir normal. Pada satu detik, dia memikirkan kariernya yang akan hancur jika dia menolak paksaan Organisasi. Pada detik berikutnya, dia memikirkan Vincent yang sudah mati, keselamatan keluarganya, dan kondisi Danis Chandler jika dia melepas kariernya. Lalu, di detik yang lain, dia memikirkan kata-kata, ekspresi, bahkan tatapan, dan segala gerak-gerik yang Jennar E’Neille tadi perbuat di depannya. Semua yang terjadi memiliki begitu banyak misteri, begitu banyak hal yang membuat Vera bingung untuk mengambil tindakan. Dia bahkan tidak tahu mana yang lebih penting antara keselamatan kariernya atau orang-orang yang dia cintai. Namun, ketika langit berubah malam dan angin musim panas tidak lagi terasa suam, Vera akhirnya tahu hal apa yang paling penting di hidupnya.

“Edmund datang berkunjung ketika kau keluar tadi,” kata Nero van Ugde yang tidak terlihat seperti dirinya sendiri. Pemuda itu tidak lagi tersenyum seperti hari-harinya yang Vera lihat dan sekarang wajahnya mendung. Dia memang masih mengenakan kaus bergambar wajah Sherlock Holmes yang tadi Vera berikan kepadanya, bahkan masih lengkap dengan topi dan kaca pembesar di saku mantelnya. Hanya saja, wajah adiknya itu tidak lagi seperti sore tadi saat Vera baru saja kembali dari London. Wajah Nero yang sekarang terlihat seperti tidak berjiwa, bibirnya gemetar, dan matanya berawan. 

Vera membiarkan Nero memasuki kamarnya, lalu duduk di dipan di sisi lain ruangan. Jendela yang berada tepat di samping dipan itu sengaja Vera buka agar kehangatan dapat berjalan memasuki kamarnya, tetapi dia keliru, justru angin dingin yang bertiup masuk. 

“Sesuatu terjadi?” selidik Vera yang ikut duduk bersama adiknya di dipan. Ketika Nero tidak menatapnya tepat di mata, maka Vera tahu betul bahwa pertanyaan yang dia tanyakan tadi tidaklah tepat. “Untuk apa dia ke sini?” koreksi Vera dari pertanyaan awalnya.

“Dia bilang, sebaiknya aku ikut dengannya dan tidak lagi kembali ke rumah ini.”

Tentu, alis Vera mengernyit cepat. “Dia ingin mengambil alih asuhmu dari ibu?” simpul Vera, dan Nero mengangguk lemas.

“Ibu menyarankanku untuk ikut dengan Edmund untuk sejenak. ‘Untuk tahu rasanya kasih sayang seorang ayah,’ dia bilang. Setelah itu, aku disuruh untuk memilih dengan siapa aku akan tinggal.”

“Lalu?” Vera meraih kotak permennya dari atas nakas di samping dipan, kemudian memberikannya kepada Nero. Pemuda itu mengambil satu permen dari sana, tetapi belum memakannya sampai Vera kembali berbicara. 

“Aku rasa, pemikiran ibu tidak ada salahnya. Bertahun-tahun, kau melarikan diri dari Edmund dan bersembunyi di belakang kaki ibu. Kau seakan tidak ingin memberikan Edmund kesempatan sekali pun untuk mengurusmu. Lagi pula, aku tahu bahwa kau tidak begitu menyukai tempat ini. Kau kesepian tanpa adanya teman dan diriku yang sibuk dengan pekerjaan—ditambah ibu yang memang tidak bersifat suportif—siapa yang kuat untuk tinggal di dalam dunia kesendirian seperti itu?”

Nero tetap memasang wajah ragu. Dia tetap bungkam meski angin malam datang meniup wajahnya. Mata birunya akan sangat gelap jika Vera tidak menepis topi konyol yang dia pakai sampai terlepas jatuh. Ketika rambut cokelat Nero ditiup angin yang seirama dengan lambaian rambut cokelat Vera, akhirnya pemuda itu menatap kakaknya tepat di mata. Hanya saja, tatapan Nero bukanlah sebuah tatapan pengertian, justru tatapan hilang harapan yang suram dan dingin.

“Bagaimana denganmu?” tanya Nero yang tampak tidak memiliki fondasi untuk berdiri di pikirannya. “Apakah kauingin tinggal bersama ayahmu jika dia datang dan melakukan hal yang sama dengan Edmund?”

Vera sempat tertegun untuk sesaat. Dia membiarkan mata hijau kebiruannya menatap ke arah langit berbintang di luar jendela, lalu menghela napas selagi otaknya memikirkan skenario yang adiknya maksud. “Oh, persetan, aku juga bingung,” dengkus Vera yang justru tertawa karena pikirannya yang buntu. “Namun, yang pasti, ayahku tidak akan repot-repot datang hanya untuk mengambil alih hak asuh dari ibu.”

“Mengapa?” Nero tidak lagi terlihat begitu tertekan, bahkan sempat tersenyum saat Vera tertawa. 

“Karena ayahku tidak pernah menginginkan seorang anak.” Nero sontak bungkam, tetapi kakaknya menganggap itu sebagai sebuah gurauan. “Dia memiliki kehidupan yang bebas, bahkan terlalu bebas sampai ibu saja tidak tahu di mana dia berada selama ini. Kautahu sendiri, pria itu tidak pernah mengunjungi kita. Itu karena dia tidak peduli. Terlebih, kau bahkan tidak pernah bertemu dengannya, bukan? Ah, tidak aneh. Ibu saja tidak lagi memiliki kontak dengannya selama bertahun-tahun.”

“Kau pernah bertemu dengannya?” tanya Nero yang penasaran. Ketika Vera mengangguk, dia kembali bertanya, “Seperti apa rupanya?”

“Tinggi, berbadan besar, bermata hijau, rambut cokelat genetik sepertiku, dan berkulit kecokelatan.” Vera melahap satu permen sebelum kembali berbicara, tetapi kali ini dengan suara yang terdengar lucu karena permen yang tertahan di lidahnya. “Namanya adalah Rob Veisle, pria tua aneh yang selalu membawa ransel besar berisikan puluhan topeng hasil kerjanya.”

“Dia pemahat?”

Vera menggeleng bukan karena tebakan Nero salah. “Entah. Mungkin. Aku tidak peduli,” jawabnya. “Satu-satunya yang kuperhatikan adalah dia tidak begitu tertarik untuk berbicara denganku.”

“Kapan kalian bertemu?”

“Tiga tahun yang lalu,” ingat Vera dari memorinya. “Setahun setelah aku mulai bekerja, aku meminta Danis untuk mencari keberadaan Rob. Saat dia mendapatkannya, Danis mengatur jadwal pertemuan agar tidak bertabrakan dengan jadwal kerjaku, lalu kami bertemu. Saat itu, kami berada di sebuah kafe, menikmati waktu untuk sekadar berbicara kecil antara ayah dan anak. Namun ....”

Tiba-tiba, Vera mengingat apa yang Rob Veisle, ayahnya, katakan kepadanya malam itu. “Ketika dunia berbalik melawanmu, ketika kau berada di titik tergelap hidupmu, orang-orang setia yang akan tetap berada di sampingmu hanyalah keluarga.” Kata-kata dari pria itu membuat Vera membelalak dan teralih dari pikirannya sendiri. “Peluklah mereka sebelum kau sadar bahwa hari-harimu berada di penghujung peredarannya. Peluklah mereka sebelum kau sadar bahwa semua itu sudah terlambat.” Sekarang, isi kepala Vera penuh oleh perihal keadaannya sekarang, tentang perkataan Jennar E’Neille yang masih menggema dan konsekuensi yang organisasinya tawarkan. Ya, sontak, Vera kembali membeku di tempat duduknya dan menyampingkan keberadaan dan masalah yang Nero hadapi.

Vera van Ugde hanya menarik tubuh adiknya untuk dia peluk. Setelah itu, dia keluar dari kamarnya bersama sebuah ponsel yang dia pegang erat. Lututnya terasa lemas dan dadanya berpacu cepat tanda kepanikan yang datang melanda. Ya, dia sudah membulatkan pikiran akan ajakan Jennar, tetapi isi perutnya mencoba untuk melarang Vera agar tidak bertindak gegabah.

Gadis model itu mencari nomor telepon seseorang, lalu menghubunginya saat dia sudah berada di luar rumah. Sengaja, agar tidak ada yang mendengar pembicaraan yang akan Vera buat bersama siapa pun yang dia hubungi sekarang. Sayangnya, ketika hubungan telepon itu tersambung, rasa ragu memenangkan pertarungan di dalam dadanya dan membuat Vera sempat melangkah mundur untuk sejenak. Namun, tetap, pikirannya sudah terlanjur bulat.

“Danis?” sahut Vera dengan suara setengah berbisik.

Ada apa?” balas pria tua itu dengan suara khasnya yang berat. “Sesuatu yang penting untuk kaukatakan?” ketika Vera membenarkan tebakan itu, Danis langsung berubah selidik. “Apa itu?”

Vera menelan ludahnya saat dia hendak berbicara dan jemarinya mulai basah dan mendingin. Dia ... panik. “Sesuatu yang tidak akan pernah kausukai,” dia bilang. “Aku berubah.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (49)
  • rara_el_hasan

    wah keren ...

    Comment on chapter Prologue
  • felitas3

    @SusanSwansh hm mendadak kesal

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • SusanSwansh

    @quinheillim siap Sob. Nanti aku belajar lagi. Emang EBIku lemah. Aku akui itu. Hehee.

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • quinheillim

    @SusanSwansh Yoeeeey, KBBI sama PUEBI standar soalnya, hukum penulisan. Kalau keliru dalam penggunaannya sih jadi rada bias status kita sebagai penulis atau bukan, lol

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • SusanSwansh

    @quinheillim iya Kak. Sudah baca. Thnks KriSarnya. Membangun banget. Nanti ku revisi ulang. Dan bljr lg Ebi nya.

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • quinheillim

    @SusanSwansh Syudaaaaah dikomentariiin, silakan buka hasil komentarnyaaa di cerita lu yang bahas pembunuhan sama nikah2an, yang ada karakter Pierre

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • SusanSwansh

    @felitas3 wkwkwk. Jauh lah Fel. Kamu di palembang aku di Ciamis. Hooohoooo

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • felitas3

    @SusanSwansh loh? Hm. Fakta kak fakta. Itu buktinya lapak kita beda jauh. Wkwk.

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • SusanSwansh

    @felitas3 wkwkwk. Wadaw. Jangan didengerin si Feli. Dia memang suka berlebihan.

    Comment on chapter The Tallest Tree
  • SusanSwansh

    @quinheillim wow. Ini pasti seru. Tapi jangan kaget ya Kak. Mungkin banyak typonya. Dan sudah nggak bisa diedit lagi. Hehe.

    Comment on chapter The Tallest Tree
Similar Tags
PATANGGA
597      427     1     
Fantasy
Suatu malam ada kejadian aneh yang menimpa Yumi. Sebuah sapu terbang yang tiba-tiba masuk ke kamarnya melalui jendela. Muncul pula Eiden, lelaki tampan dengan jubah hitam panjang, pemilik sapu terbang itu. Patangga, nama sapu terbang milik Eiden. Satu fakta mengejutkan, Patangga akan hidup bersama orang yang didatanginya sesuai dengan kebijakan dari Kementerian Sihir di dunia Eiden. Yumi ingin...
Memento Merapi
4673      1787     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
GLACIER 1: The Fire of Massacre
325      258     1     
Fantasy
[Fantasy - Tragedy - Action] Suku Glacier adalah suku yang seluruhnya adalah perempuan. Suku damai pengikut Dewi Arghi. Suku dengan kekuatan penyegel. Nila, anak perempuan dari Suku Glacier bertemu dengan Kaie, anak laki-laki dari Suku Daun di tengah serangan siluman. Kaie mengantarkannya pulang. Namun sayangnya, Nila menjatuhkan diri sambil menangis. Suku Glacier, terbakar ....
Snow White Reborn
564      315     6     
Short Story
Cover By : Suputri21 *** Konyol tapi nyata. Hanya karena tertimpa sebuah apel, Faylen Fanitama Dirga mengalami amnesia. Anehnya, hanya memori tentang Rafaza Putra Adam—lelaki yang mengaku sebagai tunangannya yang Faylen lupakan. Tak hanya itu, keanehan lainnya juga Faylen alami. Sosok wanita misterius dengan wajah mengerikan selalu menghantuinya terutama ketika dia melihat pantulannya di ce...
Glad to Meet You
249      190     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...
Detective And Thief
3607      1079     5     
Mystery
Bercerita tentang seorang detektif muda yang harus menghadapi penjahat terhebat saat itu. Namun, sebuah kenyataan besar bahwa si penjahat adalah teman akrabnya sendiri harus dia hadapi. Apa yang akan dia pilih? Persahabatan atau Kebenaran?
Pacarku Arwah Gentayangan
4172      1377     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Mysterious Call
439      283     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Putaran Waktu
619      421     6     
Horror
Saga adalah ketua panitia "MAKRAB", sedangkan Uniq merupakan mahasiswa baru di Universitas Ganesha. Saat jam menunjuk angka 23.59 malam, secara tiba-tiba keduanya melintasi ruang dan waktu ke tahun 2023. Peristiwa ini terjadi saat mereka mengadakan acara makrab di sebuah penginapan. Tempat itu bernama "Rumah Putih" yang ternyata sebuah rumah untuk anak-anak "spesial". Keanehan terjadi saat Saga b...
F I R D A U S
609      403     0     
Fantasy