“Ya,” sahut Jennar E’Neille saat Vera van Ugde mengulang kata-kata Jennar yang tadi. “Kami ingin merekrutmu dan membuat kata ‘kami’ menjadi ‘kita’.” Pria itu masih saja menggoda Vera meski gadis itu sudah mematung kaku karena ketakutan. Namun, karena intensi Jennar—yang Vera pikir, pria akan menghancurkan kariernya atau bahkan membunuhnya—yang ternyata berbeda dari terkaan Vera sanggup membuat jantung gadis itu mulai memelan. Sebenarnya, rasa takut di dadanya masih terasa kental dan mampu membuat matanya membulat dan napasnya tertahan di tenggorokan, tetapi rasa takut itu berusaha dia tahan.
Lengan gemetar Vera masih dicengkeram oleh Jennar. Untung saja, ketika jemari dingin Vera tidak sengaja menyentuh punggung tangan Jennar, pria itu langsung sadar dan melepaskan genggaman tangannya. Mata biru itu tampak seperti ingin meminta maaf kepada Vera karena sudah keterlaluan, tetapi entah mengapa, mulut Jennar bungkam selagi wajah itu seakan memakai ... topeng. Jennar seperti menutupi pikirannya.
“Namun, Nona van Ugde, tidak perlu begitu terburu-buru untuk memutuskan hal besar seperti ini. Bagaimanapun, duniamu akan berubah pesat jika kau benar-benar bersatu dengan Cahaya,” dengkus Jennar saat angin malam musim panas berubah dari suam menjadi dingin. “Hanya saja, tepat seperti semua keinginan, selalu ada harga yang harus kaubayar sebagai tiket masuk semacam itu.” Jennar mengangguk saat Vera menatapnya ngeri. Secara tidak langsung, Jennar seakan membaca pikiran Vera yang sudah melayang jauh. “Benar, segalanya yang kaumiliki sekarang, termasuk kariermu. Itu semua adalah bayaran yang sepadan dengan semua keagungan yang akan kaudapatkan nantinya.”
Angin malam itu menyapu rambut hitam tinta si pria beserta permukaan air kolam yang mencerminkan sasakan bintang di langit malam. Suasana di sana tiba-tiba hening. Kenyamanan yang mula-mula sudah pupus menjadi tiupan angin musim dingin. Angin itu juga sempat meniup wajah Vera yang berubah pasi karena takut, membelai pelan rambut brunette-nya, dan membuat kulitnya merinding seakan disentuh oleh tangan kematian. Hanya saja, tidak tahu atas alasan apa, ketika Jennar memberikan senyuman tajam kepada Vera sebelum pergi berlalu, angin malam itu kembali berubah hangat dan kulit Vera tidak lagi menegang.
“Bagaimana jika aku menolak?” tanya Vera yang lancang meski suaranya bergetar. Dia berhasil membuat Jennar berhenti, lalu kembali melirik dengan sepasang mata biru yang tajam dan dingin. “Bagaimana jika aku tidak ingin menerima tawaran itu dan tetap melakukan apa yang kulakukan?” Vera berubah bebal, menunjukkan pendiriannya yang kuat. Dia tidak ingin semua yang dia miliki hilang begitu saja hanya karena sepasang mata biru tajam yang seakan tidak memberikan pilihan kepadanya.
Jennar E’Neille tidak langsung menjawab dan membiarkan keheningan kembali menguasai halaman rumah itu. Alih-alih menjawab verbal, Jennar lebih memilih melirik ke dalam rumah di mana Danis Chandler, manajer Vera, dan sekelompok temannya sedang mengobrol. Tatapan mata biru itu tajamnya bukan main, bahkan cahaya lampu taman dan Bulan membuatnya mengilat tanda bahaya. Dia tersenyum saat kembali menatap Vera, lalu berkata: “Tidakkah kita semua memiliki orang lain yang kita sayangi dibanding diri kita sendiri?” kemudian, dia berlalu dengan dengkusan kecil tanda sebuah ancaman. “Lagi pula, Vera, aku yakin kau akan bersatu dengan kami dengan atau tanpa ancaman. Aku percaya itu.”
“Dan kenapa begitu?” Vera memicing, Jennar berpaling.
“Karena tidak ada orang pintar yang ingin hidup berdampingan dengan orang bodoh.”
Saat itulah, Danis melihat apa yang sedang terjadi meski dia terlambat. Pria tua itu baru saja ingin menegur Jennar, tetapi Jennar sudah lebih dulu berlalu dan meninggalkan halaman rumah. Lelaki pengancam itu sempat menabrakkan angin dari pundaknya ke wajah Danis saat mereka berpapasan, lalu dia memasuki rumah sebelum keluar dari pintu masuk utama rumah itu.
“Kau mengenalnya?” tanya Danis kepada Vera setelah kepanikannya sirna. Mereka sudah berada di luar rumah acara dan siap untuk pergi dari sana. “Apa yang dia lakukan kepadamu?”
Vera menggeleng. Wajahnya tampak pilu, tetapi air muka itu coba dia tutupi. “Hanya pemakai topeng.”
“Dia? Aku tidak yakin,” dengkus Danis saat mereka mulai beranjak masuk ke dalam taksi. Vera hanya merespons dengan sebuah anggukan. Setelah itu, tidak ada siapa pun yang berkata-kata lagi selain Danis yang menyuruh sopir taksi untuk membawa mereka kembali ke hotel.
Danis-lah yang membawa pembicaraan itu kembali hidup saat mereka sedang makan malam di restoran hotel. Danis memesan makanan favoritnya, yaitu Lamb Chop Steak yang dimasak medium rare sedangkan Vera memesan Fillet of Veal dengan porsi kecil. Sebenarnya, Danis tidak membahas perihal pertemuan Vera dengan Jennar karena memang dia ingin untuk membahasnya, tetapi karena fakta bahwa Vera hanya memakan sedikit sekali Savarin-nya dan tidak menghabiskan Fillet of Veal yang dia pesan tadi—suatu hal yang tidak mungkin terjadi karena Danis tahu betul bahwa Vera menyukai kedua makanan itu—lantas, Danis memberanikan diri karena khawatir.
“Namun, tidak apa jika kau tidak ingin membahasnya,” potong Danis yang tidak ingin memaksa. “Aku hanya merasa bersalah sudah meninggalkanmu tadi.”
“Dia tidak melakukan apa pun kepadaku.”—meski lengan Vera masih bisa merasakan cengkeraman tangan Jennar seakan tangan dingin pria itu masih meremas lengannya. Hanya saja, tetap, Vera tidak ingin Danis Chandler banyak pikiran hanya karena sebuah pertemuan yang tidak terduga tadi. “Aku hanya kelelahan,” kata Vera yang beralasan. “Mungkin, karena tidak sempat terlelap tadi siang.”
Danis memaklumi. “Semoga saja seperti itu,” gumamnya yang Vera dengar jelas.
Manajer pribadinya itu mengantar Vera van Ugde kembali ke kamar hotel, lalu membiarkan nonanya beristirahat setelah hari panjang yang mereka lewati. Dari wajah Danis, Vera bisa melihat betul bahwa pria itu masih merasa bersalah, dan gadis itu tidak ingin pria yang dia anggap sudah seperti ayah kandungnya merasakan perasaan terkutuk itu. Dia tidak mau.
“Aku baik-baik saja, Danis. Kau tidak perlu berpikir terlalu jauh tentang apa yang terjadi tadi. Fokuslah kepada penerbangan besok. Aku yakin wajah pucatku akan pergi setelah istirahat semalaman.” Barulah setelah itu, Danis tersenyum.
“Jangan lupa akan barang bawaanmu lagi, Vera,” peringat si manajer. “Jangan buat kecerobohan itu sebagai suatu rutinitas. Aku bosan memarahimu tentang satu kesalahan yang sama.”
Vera sebisa mungkin tersenyum, bahkan tertawa kecil meski itu dipaksa. “Akan kuusahakan,” dia bilang.
Danis mengangguk ketika Vera memasuki kamarnya, dan hendak pergi ke kamarnya sendiri jika saja Vera tidak menghentikan langkah itu lebih dulu. Sang Model menyahut nama Danis sekali, dan saat pria itu berbalik menatapnya, Vera sempat mematung untuk sesaat. Keraguan terasa kental di dada Vera, pikirannya berkabut, dan tangannya mendingin meski tidak sampai gemetar. Ya, matanya membulat meski pikirannya menolak untuk begitu. Ketika akhirnya tekat di dadanya menandingi rasa ragu itu, Vera kembali berbicara dengan suara gemetar.
“Jika terjadi sesuatu dengan diriku ..., jika aku memutuskan suatu pilihan yang menurutmu adalah suatu kebodohan atau sesuatu kesalahan, jika aku berpaling dari semua yang telah kaulakukan untukku, jika aku mengecewakanmu,” napas Vera tertahan di dadanya, dia hampir menangis jika saja Danis tidak mengusap lengannya dan membuat Vera merasa lebih baik. “Jika aku berubah, Danis ..., apakah kau masih akan menerimaku?”
Dari wajah Danis, Vera tahu bahwa dia kebingungan. Danis pasti tidak tahu apa yang sedang Vera bicarakan. Namun, karena memang sedang khawatir, Danis tetap memberikannya simpati walau Vera sebenarnya tidak butuh itu. “Tentu saja, Vera. Tentu saja aku akan tetap menerimamu,” dia bilang. “Apakah kau masih ingat seberapa bebalnya diriku saat aku mengajakmu untuk memasuki industri? Ibumu bahkan sudah mengusirku dari kediaman keluargamu, tetapi aku tetap berdiri di sana dengan tangan terbuka yang menanti akan datangnya sebuah jawaban.” Ketika Vera mengangguk dengan senyum di wajahnya, Danis ikut tersenyum. “Sebebal itulah aku ingin dirimu untuk tetap berada di dalam industri—di kariermu yang sudah susah payah kaubangun ini. Dengarlah, Nona Muda, aku tidak akan berada di tempat ini jika bukan karena dirimu. Aku sudah tua dan tidak layak untuk merasakan dunia glamor seperti ini lebih lama lagi, sedangkan perjalanan gila seperti ini seharusnya hanya orang-orang muda seperti dirimu yang bisa dapatkan. Aku bukanlah siapa pun tanpa dirimu, Vera. Itulah satu hal penting yang harus dirimu ketahui.”
Vera van Ugde akan menangis berat jika dia tidak ingat bahwa mereka berdua sedang berada di lorong hotel sekarang. Meskipun rasa haru memaksa dada dan pikirannya untuk meraung-raung, tetapi Vera dapat menahan perasaan itu dan hanya mengangguk dengan segaris air mata yang membasahi pipinya. “Terima kasih,” kata Vera yang berulang dengan isak yang dia tahan. “Terima kasih, Danis.”
Ya, semua kegilaan itu hanya dikarenakan oleh kedatangan seorang pria bernama Jennar E’Neille yang entah bagaimana bisa tahu identitas asli Vera. Entah, dari mana pria itu tahu bahwa Vera adalah seorang pemilik kartel barang-barang ilegal. Vera bahkan bingung bagaimana bisa Jennar tahu tentang Vincent dan paket-paket miliknya yang berlayar di Skotlandia. “Dan, demi Tuhan, dia menenggelamkannya!” kesal Vera yang tidak lagi dapat menahan amarah di dadanya selagi dia berbaring telanjang di atas tempat tidur. “Bagaimana bisa?!”
Vera dan Vincent selalu berhubungan menggunakan ponsel tua yang tidak memiliki akses internet, koneksi Wi-Fi, sambungan Bluetooth, layanan pengecekan lokasi, bahkan tidak dengan layanan Infrared. Tidak ada cara untuk menyadap ponsel itu atau mencari tahu di mana ponsel itu berada baik melalui sebuah perangkat nirkabel maupun kabel. Vera dan Vincent selalu menggunakan sambungan telepon konvensional dan SMS yang sukar untuk disadap, tidak ada cara untuk menyadapnya kecuali ... jika Jennar mendapatkan informasi rahasia Vera dari pusat penyedia layanan telepon dan SMS.
“Keparat!” kutuk Vera yang baru menyadari sebuah kesalahan fatal yang sudah menempel ketat bersamanya sejak lama.
Ponsel yang biasa Vera pakai untuk menghubungi pekerjaan gelapnya langsung dia buang. Kartu SIM ponsel itu dia patahkan, ponselnya dia hancurkan—meski Vera tidak cukup kuat dan berakhir dengan melemparnya sampai layar hitam-putih itu pecah—lalu, semua serpihan dari ponsel itu dia masukkan ke dalam toilet dan menyiramnya agar hilang terbawa arus air. Tidak ada lagi sambungan telepon yang dapat disadap dan SMS untuk diintip. Dengan begitu, Jennar E’Neille tidak akan bisa lagi mengetahui apa yang Vera lakukan. Sayangnya, untuk sejenak, dia tidak dapat menghubungi Vincent perihal pesan teks yang pria itu kirimkan kepadanya tadi dan informasi jelas akan paket-paket mereka yang lain, tetapi itu bukanlah masalah besar. Vera dapat membeli ponsel baru saat dia kembali ke Denmark besok.
Selama di perjalanan kembali ke Denmark, Vera van Ugde dan Danis Chandler tidak menemukan masalah apa pun. Kali ini, Vera tidak lupa sesuatu apa pun. Tidak ada satu barang miliknya yang tertinggal di hotel. Mereka meninggalkan hotel saat pertengahan hari, memasuki bandara, menunggu di sana sekitar satu jam sebelum berangkat. Tidak ada masalah apa pun yang mereka temui sejauh itu. Namun, sesampainya mereka di Bandara Copenhagen, bandara transit di Denmark, Vera baru saja ingat bahwa dia melupakan gaun hitam yang dia pakai kemarin malam.
Danis baru saja ingin memaksa Vera untuk melupakan gaun itu karena dia tidak memiliki waktu untuk mengurusi sehelai kain selagi mereka harus cepat-cepat menaiki pesawat lain. Hanya saja, saat Danis sadar bahwa gaun itu adalah satu-satunya gaun yang dibuat khusus untuk Vera dan pastinya harga gaun itu sangat mahal, akhirnya dia berubah pikiran. “Aku akan menelepon pelayanan hotel,” dengkus pria itu setelah mengutuk dan memberikan Vera tatapan familier yang selalu membuat gadis itu merasa bersalah. “Akan kupastikan gaun itu kembali tanpa urusan panjang.”
Sesampainya mereka di Bandara Esbjerg, Kota Esbjerg, wilayah tenggara Denmark, Danis berpisah dengan Vera dan berpaling kembali ke kota asalnya, Odense. “Akan kuhubungi jika ada pekerjaan lain untukmu. Untuk seminggu ini, nikmatilah waktu bebas yang kaumiliki. Namun, aku menuntutmu untuk kembali profesional di minggu yang lain. Mengerti?”
Kepala Vera mengangguk saat Danis tersenyum kepadanya. Saat itulah Vera memeluk pria yang dia anggap sebagai ayahnya, lalu mengecup singkat pipinya tanda sayang yang benar-benar kental. “Kuharap kau tidak terlalu tertekan dengan apa yang telah terjadi kemarin. Jagalah dirimu, Vera.” Vera lagi-lagi mengangguk lalu melambaikan tangannya saat Danis berjalan menjauhinya dengan langkah besar khas orang gemuk. Setelah memastikan Danis Chandler memasuki ruang tunggu keberangkatan, saat itulah Vera menarik diri dan pergi dari sana.
Blavand, kota yang berada di barat laut Esbjerg, adalah tempat di mana Vera dilahirkan dan tempati. Kota itu adalah kota pesisir—atau seperti itulah yang Vera bilang saat orang lain menanyakan kota asalnya—yang terletak di tenggara Denmark. Tidak banyak yang dapat dikunjungi di kota itu selain Pesisir Blavand yang biasa dipakai sebagai tempat rekaman komersial dan Mercusuar Blavand yang menjadi gedung paling barat di negara itu. Pusat Kota Blavand memang cukup ramai tetapi tidak seramai kota sebelah yang menjadi pusat perdagangan dan pengolahan hasil laut, sedangkan sisi-sisi kota itu sendiri adalah wilayah pesisir yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk.
Rumah kediaman keluarga van Ugde berada tak jauh dari Pesisir Blavant, yaitu daerah Horns Rev—daerah yang tidak begitu dekat dengan pesisir sehingga tidak terdengar suara ombak sedikit pun. Rumah keluarga itu cukup besar untuk ditinggali oleh tiga orang. Di sana hanya tinggal ibunya, adiknya, dan Vera—terdapat empat orang pelayan yang juga tinggal di rumah itu tetapi Vera terkadang tidak menghitung mereka sebagai makhluk hidup. Terdapat sebuah ruang rekreasi yang luas, ruang makan dan dapur yang sama luasnya dengan ruang rekreasi, garasi yang terlalu luas, empat kamar tidur besar di tingkat dua, dan empat kamar pelayan di bawah tanah. Semua perabotan dan furnitur rumah terbuat dari kayu yang dipahat elok, tetapi Nero van Ugde, adik lelaki Vera, memiliki isu dengan itu. “Oh, ayolah! Rumah ini terlihat tua dan menyeramkan! Tidakkah kita hendak pindah ke tempat lain atau sekadar mengganti semuanya menjadi batu bata agar terlihat jauh lebih hidup dan kuat?” Namun, tidak. Vera cukup menyukai bagaimana dan atas apa rumah tua itu dibangun.
“Bagaimana dengan London? Apakah orang-orang di sana memakan keju dan meminum anggur sebelum mereka tidur?” tanya Nero dengan wajah antusias yang justru terlihat bodoh, seakan menyia-nyiakan paras tampannya meski hanya untuk dua detik sampai Vera memberikannya dengkusan dan jari tengah. “Demi Tuhan, Kak, kau tidak pernah berubah.”
Vera hanya berlalu dengan mata berputar dan gelengan pelan. Gadis model itu membiarkan para pelayan membawa barang bawaannya keluar dari taksi untuk dibawa ke kamar nona mereka. Segera setelah memastikan semua barang itu tersimpan rapi di dalam kamar, Vera kembali ke ruang rekreasi di mana Nero sedang berbaring dengan dada telanjang. “Untukmu,” sahut Vera yang melemparkan sebuah bingkisan kepada adiknya.
Di awal, Nero menganggap kakaknya bergurau karena tidak pernah sekali pun Vera memberikan sesuatu untuknya. Namun, saat dia melihat bingkisan yang dia dapat, Nero tidak bisa diam dan mulai melompat-lompat layaknya anak kecil hanya karena sebuah kaus yang kakaknya berikan—fakta bahwa dia sudah berumur 14 tahun sangat mengganggu pikiran Vera. Namun, melihat adiknya merasa senang sudah cukup membuatnya bahagia. Yah, meskipun yang dia berikan hanyalah sehelai kaus bergambarkan wajah Sherlock Holmes yang seharusnya tidak memiliki wajah—dia karakter fiksi, demi Tuhan.
Nero van Ugde adalah hasil kesalahan kedua dari ibu mereka. Oh, ya, ibu mereka sempat bersanggama lagi dengan lelaki lain dan kembali ditinggalkan dengan alasan yang sama. Perbedaan sumber kehidupan antara Vera dan Nero sanggup membuat pembeda fisik yang cukup kontras di antara mereka. Mata Nero tidak seperti milik Vera dan sang Ibu, warna mata itu adalah biru kelam. Kulit Nero juga lebih terang dibandingkan Vera sedangkan bentuk bibir dan alis Nero sedikit lebih tebal daripada kakaknya. Namun, selain semua itu, mereka tidak memiliki perbedaan lain—kecuali, tentu saja, alat kelamin dan dada—warna rambut mereka sama, bentuk wajah, posisi tulang pipi, bahkan ketajaman rahang mereka pun sama. Nero belum begitu dewasa untuk memiliki dada yang bidang, tetapi postur tubuhnya sudah mulai dia latih sejak beberapa waktu yang lalu. Itu cukup bagus.
“Aku juga akan mengajak Nero untuk ikut ke dalam industri,” kata Danis Chandler saat Vera membawa perihal adiknya di dalam pembicaraan mereka. “Aku rasa, diriku mampu untuk membuatnya populer seperti dirimu. Hanya saja, dia harus matang dari segi mental dan fisik, barulah setelah itu,dia siap.”
“Apakah tidak ada yang berwajah Irene Adler?” tanya Nero yang membuat lamunan Vera menghilang. Vera tidak tahu apa yang adiknya bicarakan, jadi dia hanya menggeleng. “Oh, ayolah, Irene Adler! Wanita cerdik yang bahkan Sherlock Holmes sendiri jatuh hati padanya! Yah, walau sebenarnya dalam versi novel, Irene Adler tidak pernah berhadapan langsung dengan sang Detektif Legendaris sebagai dirinya sendiri, tetapi dia tetaplah dihormati oleh Mr. Holmes. Apakah kau yakin tidak ada?”
Vera van Ugde memutar bola matanya. “Bawalah diri dan otak fanatikmu pergi dari sini, Nero. Aku mulai mual.” Nero sebenarnya menggerutu mendengar perkataan kakaknya, tetapi Vera mengabaikan semua itu. “Di mana ibu?” tanya sang Kakak yang seakan mengalihkan pembicaraan.
“Di kamarnya, tentu saja.” Jadi, Vera berpaling dan pergi ke lantai atas rumah itu.
Rumah kayu kediaman keluarga van Ugde tidak memiliki begitu banyak hal untuk dipandangi. Nuansa klasik di dalam rumah memang bisa dirasakan, terutama pada ukiran kayu yang bertengger di atas perapian—satu-satunya hal di dalam rumah yang dibangun dengan batu bata dan semen—tangga dan pegangannya yang memutar sebagai penghubung lantai dasar dan loteng, juga dengan ukiran tanaman pada semua daun jendela rumah. Nuansa klasik juga bisa ditangkap telinga ketika kayu-kayu di lantai atas diinjak saat melangkah, mereka akan menjerit pelan seakan makhluk hidup yang bisa merasakan rasa sakit. Namun, selain semua itu, terutama ketika kaki sudah menaiki tangga untuk sampai ke loteng, ketika kaki sudah membiarkan fondasi loteng menjerit, dan ketika ukiran di daun jendela di depan tangga tidak lagi menarik, Vera tidak bisa melihat adanya keindahan di sekitarnya. Dia rasa, mungkin karena lantai bawah yang cukup penuh dengan aktivitas dan furnitur yang berada di mana-mana sehingga terkesan lebih hidup, berbeda dari lorong kosong lantai dua, pintu-pintu kamar yang tertutup, dan jendela-jendela bungkam yang terasa mati. Ya, loteng rumah itu membuat Vera merasa jenuh.
Vera melangkah ke ujung koridor di mana pintu sebatang kara berada. Sesuatu tentang pintu itu berhasil membuat Vera merasa ragu untuk ingin melangkah maju. Entah, mungkin hanya karena Vera tidak biasa untuk datang ke kamar itu ... atau mungkin karena alasan lain yang tidak dia sadari. Sesampainya di depan pintu, tangan Vera berubah kaku. Engsel tangannya bahkan tidak ingin bergerak untuk sekadar mendorong pintu yang sudah setengah terbuka. Namun, ketika mata Vera mengintip ke dalam sela pintu yang terbuka, saat itulah dia tahu bahwa dia tidak memiliki pilihan lain selain melangkah.
“Ibu tahu kau di sana,” kata seseorang di dalam ruangan itu. “Masuklah,” pintanya.
Ketika Vera berjalan masuk, dia dapat melihat kerapian kamar itu. Meja kerja, tempat tidur dengan kanopi, dipan di satu sisi ruangan, dan nakas yang menahan botol anggur dan beberapa gelas kosong di atasnya, semua itu tertata rapi bahkan sama persis penempatannya dengan saat sebelum Vera pergi meninggalkan rumah itu. Memang, Veronica van Ugde, ibunya, memiliki kondisi psikologi yang aneh. Dia tidak dapat tinggal diam jika sesuatu tidak berada di tempatnya—entah, apa pun nama kelainan itu, Vera tidak peduli. Selama sang Ibu hidup dan tetap memerhatikannya, itu semua sudah cukup, kecuali dengan sifat perfeksionisnya yang terkadang membuat Vera merasa terganggu.
“Apakah Danis sehat? Dia masih suka merokok, hm?” tebak ibunya dengan nada ringan sambil menatap pemandangan di luar jendela. Meskipun umurnya hampir menyentuh setengah abad, Veronica tetap cantik dengan tubuhnya yang ramping dan pembawaannya yang anggun. Hanya saja, ketiadaan garis kerut di wajah sang Ibu sedikit mengganggu pikiran Vera, seakan ibunya itu memang tidak pernah dan tidak akan menua sejak awal.
“Tidak juga,” jawab Vera yang beranjak keluar dari pikirannya sendiri. “Dia mulai mengurangi itu semua ketika aku berada di sekitarnya.”
“Ah, kukira pria gendut itu akan mati cepat dengan semua rokoknya. Sayangnya, dugaan itu salah.”
Alis Vera berkedut kesal. “Ibu, dia melakukan pekerjaannya untukku. Tidakkah Ibu bisa menghargainya sedikit pun?” bela Vera. Bagaimanapun, ini bukanlah pertama kalinya sang Ibu mencibir Danis, justru ibunya itu selalu berkata-kata kasar walau Danis tidak pernah melakukan hal buruk kepadanya. Sungguh, Vera tidak habis pikir dengan apa yang berada di benak sang Ibu.
Veronica melirik putrinya, lalu memberikannya tatapan tajam dengan gelengan kepala pelan. “Dia menjijikkan. Tidakkah kau berpikir untuk berhenti dari semua itu dan kembali sekolah? Ibu dengar, terdapat beberapa program studi yang menjanjikan di perguruan tinggi Ibu Kota. Ibu rasa, kau akan cocok dengan program studi itu.”
“Aku baru saja pulang, dan Ibu ingin membicarakan hal seperti itu?” Vera mendengkus kesal. Memang benar, itu bukan pertama kalinya sang Ibu bertindak seperti sekarang, tetapi fakta bahwa Vera baru saja melewati hari-hari beratnya membuat pikiran gadis itu kelabu. Tangannya meremas kencang dan lirikan matanya menajam. Suasana hatinya sedang tidak indah sekarang. “Danis akan tetap menjadi manajer pribadiku meski Ibu tidak menyukainya, dan fakta bahwa aku tidak akan berhenti dari pekerjaanku dilandasi oleh pengorbanan yang dia lakukan untukku, bukan untuk siapa pun selain dia.”
“Dia menggunakanmu dengan caranya sendiri.”
“Dia melatihku.”
“Dia memeras kekayaan darimu.”
“Dia yang membuatku berdiri setinggi sekarang.”
“Oh, bukan dirinya yang melakukan itu, Vre. Itu adalah Ibu.”
Untuk pertama kalinya, rasa geram Vera tepat berada di tenggorokannya. Namun, alih-alih berbicara melawan sang Ibu, Vera lebih memilih untuk melepaskan heels-nya, lalu menjatuhkannya di hadapan sang Ibu. Itu adalah tanda kelancangan karena berarti “Bertarunglah denganku, Jalang.”
Hanya saja, daripada Veronica membuat skenario buruk dengan putrinya, dia lebih memilih untuk memberikan Vera lirikan tajam dengan seutas senyum runcing di bibirnya. Tidak ada kata-kata yang mereka ucapkan, yang ada di sana hanyalah keheningan. Vera menatap kesal ke arah ibunya, sedangkan Veronica hanya mengacuhkan. Setelah sang gadis lelah dengan perdebatan konyol itu, akhirnya dia berpaling, membanting pintu kamar saat dia berjalan keluar. “Persetan dengan keluarga,” gumamnya kesal.
Satu-satunya orang yang menjadi hiburan Vera hari itu hanyalah Nero. Sang Adik keluar dari kamarnya dengan baju yang baru saja Vera berikan. Tidak hanya memakai kaus dengan wajah Sherlock Holmes, Nero juga memakai topi konyol Sherlock, mantel hitamnya, dan cerutu sang Detektif yang semuanya dia koleksi sejak dulu—meski celana pendek yang dia gunakan membuat penampilan geniusnya hancur berantakan.
“Ingin ke mana?” tanya Nero yang melihat Vera menggenggam kunci mobil. Ketika sang Kakak hendak menjawab, Nero justru menyela. “Jangan jawab! Biar Detektif Sherlock Holmes yang menebaknya!” jadi, Vera harus berdiri diam di ambang tangga sampai Nero selesai memindaidirinya.
“Pemakaman?” tebak Nero dengan wajah ragu, dan itu salah total.
“Ke kota sebentar,” jawab Vera dengan kikik kecil di bibirnya.
Vera membawa keluar mobil kesayangannya, Chevrolet Camaro keluaran tahun 1967. Mobil itu adalah mobil klasik yang dia beli di pelelangan dengan biaya setengah dari harga rumah keluarga van Ugde. Warna mobil itu tidak lagi orisinal, tadinya berwarna biru langit tetapi Vera mengubahnya menjadi merah terang. Oleh karena langit sore itu tidak mendung maupun panas, Vera membiarkan atap mobilnya terbuka sehingga angin hangat pesisir dapat meniup rambutnya.
Vera pergi membeli beberapa camilan untuk menyantapnya sendirian. Dia membeli dua bungkus kentang goreng, tiga burger, empat roti tanpa ragi, dan dua gelas susu hangat. Semua makanan itu dia tinggalkan di dalam mobil selagi dia dan segelas susunya pergi berjalan kaki untuk mencari hal penting terakhir yang ingin sekali dia cari sedari tadi, yaitu sebuah ponsel tua.
Ponsel itu dia beli di toko barang antik dengan harga yang lumayan mahal—Vera tidak peduli. Ponsel itu sama dengan ponsel yang biasa dia pakai untuk menghubungi asosiasi dunia gelapnya, tidak memiliki koneksi Wi-Fi, tidak ada pemindai lokasi, dan segala hubungan nirkabel atau kabel lainnya. Segera setelah dia membeli beberapa kartu SIM baru, Vera mulai mengatur kondisi di mana dan kapan dia dapat menelepon Vincent. Dia sengaja membeli banyak sekali kartu SIM dari operator yang berbeda untuk dipakai hanya satu kali setiap hendak menelepon tujuannya. Dengan begitu, tidak ada siapa pun yang dapat menyadapnya lagi, bahkan sang Cahaya yang sudah menenggelamkan kapalnya di Skotlandia kemarin.
Sekarang, Vera sedang berjalan kembali ke mobilnya yang diparkir di depan sebuah toserba, cukup jauh jaraknya dari tempat di mana dia berada sekarang. Namun, tidak apa. Sudah lama juga dia tidak jalan-jalan bebas seperti sekarang. Vera berada di tengah jalan di mana sisi-sisinya terdapat jejeran toko bertingkat. Di sana, terdapat sebaris restoran, butik, toko roti, kafe, dan beberapa toko lain yang Vera tidak pedulikan. Fokus yang dia miliki sekarang hanya tertuju kepada langkahnya yang dia buat agar tetap lurus dan jari yang mulai menekan tombol-tombol ponsel. Jemari yang dia gerakkan itu bertujuan untuk menghubungi sebuah nomor telepon yang ingin sekali dia tuju sejak semalam. Ketika akhirnya sambungan telepon itu tercipta, Vera sempat tersenyum sebentar sebelum kembali berwajah serius.
“Vincent, bagaimana kondisi saat ini?” tanya Vera tanpa basa-basi. “Apakah paket-paket yang lain berhasil sampai ke tujuan?”
Sayangnya, tidak ada respons suara dari ujung telepon selain suara tiupan angin. “Vincent?” panggil Vera sekali lagi. “Ini aku, Vera. Kau tidak perlu begitu defensif.”
Namun, alih-alih suara bodoh Vincent yang Vera dengar, dia justru mendengar suara berat pria lain yang berkata: “Vincent Rhodovsky sudah kugantikan, Nona van Ugde.” Suara itu ... membuat Vera merinding. “Lihatlah ke atas,” pinta suara itu, jadi Vera mendongak ke depan, ke atas sebuah gedung di depannya di mana di atap gedung itu sudah berdiri seorang pria dengan mata biru yang menatap Vera tajam. Pria itu adalah ... Jennar E’Neille. Dia tersenyum dengan bibirnya yang culas dan tangannya melambai pelan.
“Merindukanku?”
wah keren ...
Comment on chapter Prologue