Tak apa jika harus terluka demi melihat orang yang dicinta tersenyum bahagia.
-Aslano Xavier-
Happy reading...
"Ini kita sebenernya mau kemana, sih?" tanya Saffa, kini mereka berdua tengah berada diatas motor matic hitam milik Aslan, keduanya sepakat bolos sekolah namun dengan embel-embel sakit dan nitip absen pada teman sekelas mereka.
Aslan membawa Saffa masuk kedalam sebuah jalanan, pertama mereka disambut oleh hamparan rerumputan yang luas dan banyak sapi-sapi yang sedang menikmati rumput-rumput segar disana. Lalu mereka melewati rumah-rumah sederhana yang berjejer rapi, tak banyak. Mungkin belasan. Banyak pepohonan dan bunga dipinggir jalanan. Sangat asri, Saffa menikmati setiap perjalanan yang mereka lalui.
Kini Saffa tidak peduli pertanyaannya tidak dijawab oleh Aslan, cewek itu sibuk memandangi pemandangan yang ada didepan matanya,
"Jalannya mau lama apa cepet aja, nih?" tanya Aslan, matanya melirik kaca spion yang sengaja diarahkan agar bisa melihat cewek berpipi tembam itu.
"Pelan aja, mau nikmatin pemandangannya dulu."
"Yah tapi udah mau nyampe,"
"Kalo gitu kenapa nanya?!"
Aslan menahan tawanya didepan, cowok itu membelokkan motornya ke sebuah rumah bercat kuning. Rumah yang sangat sederhana, namun terlihat sangat memukau karena dihalamannya dipenuhi berbagai macam bunga-bunga. Ada mawar, bougenville, anggrek, matahari, dan lain-lain. Disana ada juga kolam ikan kecil yang diisi berbagai macam ikan mas koki yang berwarna-warni. Saffa sangat menyukainya.

"Ini rumah siapa, kak?" Saffa turun dari motornya matanya menatap sekeliling, tak sadar kalau Aslan tengah membukakan tali helm yang merekat dikepalanya, lantas mencopot helm biru, lalu merapihkan rambut Saffa yang sedikit berantakan.
"Rumah nenek gue. Minggu ini gue belum ngunjungin dia."
"Ohh, oke."
"Gakpapa kan, Saff, gue ajak kaburnya kesini?"
Saffa tersenyum lalu menggeleng,
"Gakpapa," justru ia malah sangat senang dibawa ketempat yang sangat indah ini. Memanjakan matanya sejenak dari buku-buku dan juga layar ponselnya. Dari pada diajak kabur ke mall untuk nonton bioskop atau makan di restaurant terkenal, justru tidak menjamin Saffa akan sebahagia sekarang.
Aslan mengetuk pintu tua bercat putih itu, butuh beberapa kali ketukan barulah dibuka oleh penghuninya. Seorang wanita yang sudah berumur setengah abad itu muncul dari ambang pintu, rambut putihnya disanggul rapi, kacamata dengan bingkai emas bertengger indah di hidung mancungnya. Kulitnya sudah mengeriput, ia mengenakan daster berwarna kuning. Rupanya nenek ini suka warna kuning, pikir Saffa.
"Assalamualaikum, nek." Aslan mengecup tangan keriput sang nenek, wanita tua itu tersenyum lalu membelai rambut cucunya,
"Waalaikumsalam, Aslan, kan?" tanya si nenek sambil menatap cucunya yang tampan itu. Aslan tersenyum lalu mengangguk, neneknya memang sudah sedikit pelupa, hampir kadang tidak mengenali wajah cucunya sendiri.
"Nek, Aslan bawa temen,"
"Temen? Siapa, toh?"
"Namanya Saffa, dia tukang ngomel-ngomel nek. Tapi Aslan yakin dia gak akan marah kalo Aslan ngomong kayak gini, karena ada nenek."
Saffa hanya tersenyum canggung, ingin sekali ia mencubit lengan kakak kelasnya ini, namun ia urungkan karena harus menjaga kesopanan pada wanita tua yang ada dihadapannya sekarang.
"Assalamualaimum, nek. Namaku Saffa," Saffa mengecup punggung tangan sang nenek, wanita tua itu juga mengusap rambut Saffa lalu tersenyum,
"Kamu cantik sekali,"
"Terimakasih, nek,"
"Nanti juga jelek kalo lagi marah, liat aja ntar nek." ujar Aslan yang.mendapat pelototan peringatan dari Saffa,
"Kamu itu sukanya ngeledek aja, Lan.. Ayo masuk, kebetulan nenek tadi buat biskuit coklat sedikit."
Mata Aslan langsung berbinar, sejak dulu ia sangat suka biskuit buatan sang nenek. Cowok itu langsung menarik Saffa masuk kedalam rumah sang nenek, dan duduk diatas bangku kayu yang terlihat kuno tapi masih sangat terawat itu. Rupanya neneknya sangat rajin, terlihat dari halaman depan yang asri di penuhi bunga-bunga yang bermekaran, rumah yang sangat rapih, hingga masih mampu membuat biskuit coklat dengan rasa yang lezat. Nenek yang kuat.
"Gakpapa kan, Saff?"
Saffa yang sedang asyik melihat figura foto yang ada diatas meja itu menoleh lalu mengangkat alisnya, "Gakpapa apanya?" bukannya membalas Saffa malah bertanya balik.
"Gakpapa kalo gue ajak ke rumah nenek gue, itu gue udah nanya sih tadi. Tapi gue takut buat lo gak nyaman."
"Santai aja, gue suka kok. Nenek lo orang yang baik,"
"Ah itu sih gara-gara lo di puji cantik kali makanya lo bilang nenek baik." ledek Aslan yang di hadiahi cubitan maut oleh Saffa,
"Aduh! Sakit, Saff!" Aslan meringis sambil memegangi lengannya yang terkena cubitan maut Saffa, sementara Saffa menahan tawanya karena melihat ekspersi Aslan yang sangat menggelikan. Tak lama neneknya kembali dengan sepiring biskuit coklat, sebenarnya itu adalah cookies namun nenek Aslan lebih nyaman menyebutnya biskuit coklat.
"Dimakan ya, nduk." ujar si nenek, Aslan dan Saffa langsung mengambil dan memakan cookies tersebut. Mata Saffa langsung berbinar ketika mengunyah cookies buatan nenek Aslan. Sangat enak!
"Enak, kan?" tanya Aslan yang langsung dibalas anggukan oleh cewek itu, mulutnya masih sibuk mengunyah.
"Jadi inget film Spongebob," ujar Saffa, Aslan menoleh dan mengangkat alisnya seakan bertanya,
"Yang si Spongebob pura-pura jadi dewasa karena disuruh Patrick. Eh malah Patricknya yang gak bisa dewasa. Pas dimasakin cookies sama neneknya Spongebob gak boleh makan gara-gara sudah dewasa. Apa salahnya makan cookies buat orang dewasa, ya?" ocehan Saffa membuat Aslan terbahak, ada-ada saja kenapa cewek ini tiba-tiba membicarakan Spongebob dan dikaitkan dengan cookies buatan neneknya.
"Gak masalah, sih. Terus kenapa lo ngomong kayak gitu?"
"Ya gakpapa, cuma ngomong aja."
"Kirain lo mau bikin analogi."
Saffa hanya tersenyum lebar, ia tahu ia tidak pandai merangkai kata-kata atau mengandaikan apapun menjadi rangkaian kata yang indah. Dia tidak jago dalam hal itu. Ia hanya jago menghafalkan nama-nama ilmiah atau apapun yang berbau biologi.
"Kalian siapa, ya?" tanya sang nenek tiba-tiba, Aslan dan Saffa saling pandang. Penyakit neneknya sepertinya kambuh lagi, Saffa menahan tawanya, sementara Aslan mengenalkan diri kembali kepada neneknya,
Lucu, itulah yang dilihat Saffa sekarang. Memang aneh cewek satu ini, melihat Aslan yang terlihat kekanak-kanakan didepan neneknya sangat memuaskan matanya. Karena kalau disekolah Aslan akan bertindak sok cool didepan siapa saja. Padahal, dia sosok yang menyenangkan, tapi ia hanya menunjukan sifat aslinya pada orang-orang terdekatnya.
"Nenek udah tidur didalem, keluar aja, yuk?" ujar Aslan, ia baru saja kembali dari kamar neneknya. Saffa hanya mengangguk, lalu Aslan mengajak Saffa untuk keluar dari rumah neneknya untuk berkeliling daerah disekitar sana.
Kini mereka sedang berjalan disebuah jalan yang berada dibelakang rumah neneknya, seperti tadi, pemandangan yang masih sangat seperti pedesaan. Saffa berkali-kali menarik nafas dalam-dalam menghirup udara segar yang ada disana. Karena udara di daerahnya tidak sesegar udara disini. Karena tercampur polusi udara lainnya.
"Nenek gue punya penyakit Demensia." ujar Aslan saat mereka sudah duduk dibawah pohon rindang yang terletak disebuah padang rumput yang luas.
"Oh, ya?" Saffa merapihkan rambutnya yang berantakan karena angin menggunakan jemari tangannya,
"Lo tahu gak Demensia itu apa?"
Saffa berdecak lalu mengibaskan tangannya ke udara. "Tau, lah. Demensia itu adalah kehilangan ingatan, gangguan penilaian, Disorientasi dan perubahan tingkah laku yang menyebabkan kehilangan fungsi. Atau yang biasa kita sebut sih, penyakit pikun."
"Gue cuma nge-tes. Kali aja lo gak tau." ujar Aslan sambil tertawa kecil.
Saffa jelaslah, tau. Dia sangat menyukai hal-hal yang berbau medis, dan ilmu pengetahuan alam. Khusus nya, Biologi. Saffa sangat cinta pada pelajaran itu, Saffa juga sudah mengikuti berbagai macam olimpiade biologi semenjak duduk di bangku SMP. Dan, alhasil Saffa selalu memenangkan olimpiade tersebut.
"Bener kata lo, disini bisa bikin gue tenang." Saffa merebahkan tubuhnya diatas rerumputan hijau, gadis itu memejamkan matanya, merasakan hembusan angin yang membelai indah rambutnya.
"Gue selalu kesini kalo lagi ada masalah. Dan, setelah itu gue jadi tenang." kini Aslan sudah merebahkan tubuhnya disamping Saffa, hanya dua jengkal jarak mereka sekarang.
"Thanks, udah ngajak gue kesini."
Aslan tidak menyahut, cowok itu sedang merasakan hembusan angin yang membelai rambutnya, dia memang sering kesini, ketika ia diomeli oleh ibunya. Aslan kecil biasanya menaiki sepeda merahnya menuju rumah neneknya yang berada tidak jauh dari rumah Aslan. Ia mengadu, dan mendapat nasihat dari sang nenek. Ia merajuk, dan berlari kesini, padang rumput hijau dan berlari kebawah pohon rindang disana. Merebahkan tubuhnya lalu tanpa sadar tertidur. Neneknya lah, yang selalu menggendong Aslan kecil yang sedang tertidur dan memindahkannya ke ranjang empuk neneknya. Mengingat itu, membuat Aslan menciptakan lengkungan bak bulan sabit di bibirnya.
"Kenapa lo senyum-senyum sendiri?" tanya Saffa, dari tadi cewek itu memperhatikan wajah Aslan, memujinya sesaat lalu meyadarkan dirinya bahwa ia tidak boleh menyukai orang yang ada disampingnya ini.
Lagi-lagi Aslan tidak menjawab, ia hanya terkekeh pelan. Saffa mengernyit bingung, cowok ini seribu kali lebih aneh dibandingkan dirinya,
"Lo sering bilang gue cewek aneh, sementara lo lebih aneh dari gue."
"Jadi aneh itu istimewa."
"Halah!"
Aslan tertawa diikuti Saffa, kedua remaja itu bahkan tidak merasa bersalah karena telah bolos sekolah. Hitung-hitung refreshing lah untuk mereka.
"Eh! Katanya lo bikinin gue puisi, mana sini mau liat!" ujar Saffa, ia teringat waktu itu Aslan pernah bilang bahwa ia membuat puisi untuk Saffa,
"Balik yuk, udah siang nih. Panas." Aslan mengalihkan pembicaraan, jujur ia masih belum siap untuk memberikan puisi kepada Saffa secara lisan. Cowok itu berdiri diikuti Saffa dengan wajah yang tertekuk sebal karena pembicaraanya dialihkan oleh Aslan.
"Bisanya mengalihkan pembicaraan aja!"
Aslan hanya tersenyum lalu mengacak rambut Saffa, cowok itu berjalan lebih dulu, diikuti Saffa dibelakangnya dengan bibir yang mengerucut. Mungkin belum saatnya Aslan memberikan kumpulan sajak-sajak indah pada Saffa semenjak mereka pertama kali bertemu.
"Btw, sambil jalan ceritain gue soal kak Adrian dong!" seru Saffa, ia sedang berusaha menjajarkan langkahnya dengan Aslan.
"Soal apa?"
Saffa berdecak sebal, berbicara dengan Aslan suka bikin dia naik darah. "Ya apa aja! Kaya kesukaan kak Adrian itu apa, tanggal ulang tahunnya kapan, dia suka artis siapa, oh! Tipe cewek dia kalo perlu." ujar Saffa panjang lebar, Aslan mengerutkan keningnya, jujur ia malas menanggapinya.
"Ck. Kaya penguntit lo."
"Ih, singa!"
Aslan melotot ketika Saffa menyebutnya singa, memang banyak yang meledeknya disamakan dengan hewan singa itu. Alhasil mereka yang menyebut Aslan singa mendapat peringatan berupa tatapan tajam dan dingin dari dirinya.
"Apa lo bilang?" Aslan tak bisa marah pada Saffa, ia pun tidak tahu kenapa.
"Singa! Emang arti nama Aslan itu singa, kan?"
Cowok itu yak menyahut, ia menghembuskan nafas kasar. Harus sabar berinteraksi dengan Saffa.
"Tapi, kak. Menurut gue lo gak sama kaya arti nama lo tuh. Singa itu kan, keras, kejam. Tapi lo enggak."
"Menurut gue, karakter seseorang gak sepenuhnya bener sama arti dari nama. Nama gue Aslan, bener artinya singa. Tapi gue gak kaya singa yang notabanenya kejam, jahat, atau berbagai macam sifat buruk lainnya." ujar Aslan, matanya masih menatap lurus kedepan. Saffa hanya bisa mendengarkannya.
"Gue tau! Lo emang bukan singa yang egois, yang nyuruh singa betina untuk cari mangsa sementara singa jantan hanya diam di teritorinya menunggu sang betina membawakan mangsa. Lo juga bukan singa yang kejam, asal memangsa binatang tanpa kenal belas kasih. Lo itu singa jantan si pemimpin sekaligus pelindung untuk semua orang!" Saffa memberhentikan langkahnya ketika Aslan berdiam di tempat, kepala gadis itu miring menunggu respon dari cowok dihadapannya sekarang.
Aslan terkekeh, yang membuat Saffa tambah bingung, apakah ucapannya lucu?
"Kok ketawa?"
"Thanks. Kata-kata lo sangat berpengaruh buat gue." lagi-lagi Aslan mengacak rambut Saffa gemas, cewek itu jadi kesal karena rambutnya selalu di acak-acak oleh Aslan.
"Kata-katanya gak gratis loh, ya! Harus ada timbal baliknya."
Aslan mengangkat sebelah alisnya, cewek ini benar-benar berbeda dari yang lain, "Apaan?"
Saffa berfikir sejenak, mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di dagu. Membuat Aslan jadi gemas sendiri melihatnya,
"Lo harus jadi singa pelindung gue, ya! Mau, kan?"
Aslan mengangkat kedua alisnya lalu tersenyum, tentu saja ia akan melindungi Saffa, sampai kapanpun. Itu tekadnya, sama seperti singa ketika sudah menetapkan targetnya maka ia tidak akan pernah mundur dari apapun sampai mendapatkan tujuannya. Walau tujuannya bisa menyakiti dirinya sendiri, tak apa. Asalkan orang yang dicintainya bahagia.
Cowok itu mengangguk lalu tersenyum,
"Iya. Gue akan jadi singa pelindung buat lo."