Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Savior
MENU
About Us  

"Tifanny?” 

Beberapa kali suara itu mengusik ketenangan ruang kelas yang dihangatkan dengan suara musik Mozart dengan pengeras suara dari atap kelas. 

Hampir seluruhnya merasa kesal dengan kegaduhan Robi dan menatap laki-laki dengan rambut klimis disisir ke belakang.

Semuanya bergumam masing-masing memaki ketua kelas yang merusak suasana paling sempurna untuk memasukan banyak ilmu pengetahuan ke dalam otak. Sebagian lainnya memaki betapa keras kepalanya anak perempuan satu ini—Tifanny Amalia Deilo. 

Dia bahkan tidak akan menoleh dan tidak akan mendengarkan siapa pun yang memanggilnya dengan nama Tifanny.

Sudah ribuan kali anak perempuan itu memperingatkan semua orang untuk memanggilnya Fania, alih-alih Tifanny. Bukankah Robi terlalu menjengkelkan karena tidak pernah memperhatikan peringatan yang selalu diteriakannya. Begitulah seluruh kelas ini mengeluhkan keributan pagi ini.

“Hei, Tifanny. Aku memanggilmu,” Robi terdengar kesal sembari berkacak pinggang di depan meja perempuan berambut lurus digerai sebahu dengan poni yang dijepit ke atas.

“Memangnya namamu bukan Tifanny sampai memaksa semua orang memanggilmu Fania?”

“Wuuaah, lihatlah ketua kelas kita. Betapa bijaksananya dia.”

Fania melipat kedua tangannya di dada sembari bersandar dengan santai di bangku merahnya yang empuk.

“Sudahlah. Jadi, mana gambaran-gambaranmu?”

“Apa? Gambaran apa?” Fania hanya memandang remeh ke arah tangan Robi yang sudah menengadah di depan wajahnya. 

Tentu saja, Fania sangat tahu gambaran yang Robi maksud pasti gambaran Nila—hanya dia yang melakukan kegiatan tak berfaedah. Tapi baginya, Cassandra yang menonjol dalam hal memasak itu cukup mengesankan dan ada manfaatnya.

“Kumpulan gambar sketsa wajah milikmu. Bukankah sudah kubilang kita akan memakainya untuk acara festival.”

“Apa?!” Fania memekik.

Sempurna! Kelas ini kehilangan golden time untuk memasukan segala ilmu pengetahuan ke dalam otak karena perkelahian Robi dan Fania.

Selama 30 menit sebelum jam masuk sekolah, suara musik klasik akan diputar serentak lewat pengeras suara di masing-masing kelas agar murid lebih rileks dan mudah untuk memasukan berbagai ilmu ke dalam otak mereka. Percaya atau tidak, itu adalah gagasan besar dari Fania.

Kegiatan seperti ini dimulai sejak Fania mengajukan ide dan disetujui oleh seluruh siswa dan guru saat kelas 1 dulu. Artinya, mereka sudah melakukan hal seperti ini selama 3 tahun setiap pagi selama 6 hari berturut-turut. 

“Acara festival kita yang terakhir ini, kita melakukan sebuah pameran gambar sketsa?” Fania mengkonfirmasi ulang mengenai apa yang ia tangkap dari perkataan Robi tadi.

“Ya.”

“Apa kepintaranmu hanya sebatas karena otakmu bisa mengkopi apa yang kau baca?” Fania memulai debatnya sepagi ini. 

Seketika, kelas ini menjadi tidak tertarik untuk belajar, melainkan menyaksikan perdebatan yang baru saja memanas. Waah, Fania memang memiliki mulut yang berbisa.

Entah, kelas ini sedang memuji atau memaki Fania.

Serempak, untuk pertama kalinya mereka menutup bukunya dan fokus menonton drama pagi dari bangku masing-masing.

“Tidak ada ide yang bagus? Festival terakhir kemarin saja sudah cukup buruk, lalu kamu pikir festival kali ini akan boom! Mengesankan? Begitu? Menurutmu, itu adalah ide paling keren?”

“Hei!” Tito beranjak dari bangkunya.

“Maaf mengganggu perdebatan kalian,” ucapnya menghampiri meja Fania. “Maksudmu, festival yang kubuat kemarin tidak ada bagusnya?”

Fania menatap Tito dari bangkunya, masih dengan sangat santainya.

“Ya. Jeleeeek banget! Saking jeleknya, semua teman-teman di kelas tidak ada yang ingin berpartisipasi.” 

Tepat sekali! Memang benar.

Waktu itu tidak ada yang setuju dan bersedia berpartisipasi dalam persiapan dan pengadaan stand kelas. Namun, berkata seperti itu pada ketua penanggungjawab secara langsung dengan lantang dan kasar, hanya Fania yang bisa. Benar-benar perempuan ular dengan mulut penuh bisa.

“Baiklah. Lalu ide bagus apa yang tercipta dari otak sempurnamu itu, Nona Ular?” Robi terdengar menyerah. 

“Menciptakan alam semesta! Suasana luar angkasa. Kita buat matahari, Merkurius, Venus, Bumi. Suasana gelap seperti di luar angkasa. Kita beri pengunjung sensasi yang berbeda. Rangsang seluruh indra mereka, akan lebih menarik daripada pengunjung hanya menonton sesuatu yang dipajang dengan tulisan keterangan tentang benda pajangan itu. Kalau hanya menunjukkan pameran, mereka hanya melihat, membaca keterangannya, lalu memikirkan filosifinya. Bukankah kegiatan seperti itu sudah setiap hari dilakukan di kelas?”

“Aku setuju!” Amadeo—anak pindahan kelas IPS H sejak awal kelas 2 itu angkat bicara dari bangkunya sembari merapikan model rambut mangkuknya yang termasuk dalam kategori ‘tidak rapi’ bagi murid-murid kelas IPA.

Fania semakin tinggi mengangkat dagunya. Terpintas, golden time yang sudah hancur dan tidak lagi menggugah selera teman-temannya untuk belajar itu, akan lebih bermanfaat jika ia gunakan untuk melakukan voting.

Anak perempuan itu menyingkirkan dua lelaki yang mengeroyok bangkunya dari jalannya.

Ia beranjak ke papan tulis putih di depan sana. Menulis idenya dan ide Robi untuk festival akhir tahun ini.

Panggung semesta dan pameran gambar sketsa. 

Tak perlu suasana riuh dan waktu yang lama untuk melakukan voting. Fania menang telak dengan ide Robi yang tidak ada satu pun pendukung.

***

Ah, itu dia! Satu-satunya murid IPA yang penampilannya lebih rapi daripada rambutnya.

Di tengah arus, kedua mata mereka sempat bertemu.

Amadeo sedikit gugup menghampiri Mikael. Ia mengikuti langkah teman lawasnya itu ke dekat patung pendiri sekolah ini yang ada di tengah-tengah lobi.

Amadeo mengulurkan tangannya, mencoba memperbaiki hubungannya dengan teman lawasnya saat di kelas IPS dulu. Namun Mikael hanya menatap tangan Amadeo tanpa menyambutnya.

Dendam? Benci? Sombong? Belagu?

Bukan

Untuk pertama kalinya, ia benar-benar ingin menyambut tangan Amadeo, hanya saja Mikael tak ingin terbebani dengan melihat masa lalu yang paling mempengaruhi kehidupan Amadeo sekarang. Ia tak mengatakan apapun saat Amadeo menarik tangannya kembali dan merasa kecewa.

“Di kelasmu ada yang bernama Fania?” Mikael langsung pada inti.

“Tifanny Amalia?” Amadeo memastikan ulang bahwa Mikael tidak salah orang.

Jelas, ia mendapat anggukan dari Mikael.

“Ah,” ia lekas mengedarkan pandangan ke arah pintu timur hingga pintu utama lobi.

“Itu dia! Yang rambutnya lurus sebahu, yang tasnya digendong sebelah di bahu kanan, yang jalannya paling tegap lurus.” 

Amadeo menunjuk ke arah Fania yang hampir melewati pintu utama lobi. 

Hanya terlihat punggung. Tentu saja, Mikael tidak terlalu mengenali wajahnya.

“Bisa kamu temukan kami?”

“Kenapa?” Amadeo menatap Mikael heran.

“Kamu tertarik?” Ia hampir memekik terkejut sembari menutupi mulutnya yang menganga dengan mata yang melotot.

“Bukankah seharusnya anak IPS tidak pacaran dengan...”

“Tidak!” Mikael memotong kata-kata Amadeo. Ia menatap wajah teman lawasnya itu. Sekilas, penampilan Amadeo memang jauh dari kesan maskulin dan lebih menonjol pada feminime. Tapi Mikael mengabaikannya.

“Oh.”

“Artinya?” Mikael bertanya ulang pada Amadeo.

Amadeo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Entahlah. Aku tidak yakin,” jawabnya gusar.

Namun kemudian merasa segan setelah melihat tatapan Mikael yang tidak menanggapi kata-katanya barusan.

“AH, Fania itu punya mulut berbisa. Aku berusaha keras agar tidak terlibat masalah dengannya. Kalau kamu mau, aku bisa membantu pertemuan yang kesannya seperti tidak sengaja. Hanya membuat kalian pada satu situasi yang memungkinkan untuk bicara. Hanya sejauh itu aku bisa membantumu.”

Mikael menatap Amadeo. Kelihatannya memang begitu, sepertinya ia memang masih naif. Tapi Mikael tetap menyetujuinya. 


Rencananya, Mikael akan mengajukan permintaan untuk melakukan UAS susulan di perpustakaan kelas IPA dengan alasan jika dilakukan di perpustakaan kelas IPS, ia tidak bisa konsentrasi dan menurunkan tingkat fokusnya dalam mengerjakan.

Jika Pak Toni menolak dengan alasan perpustakaan kelas IPA selalu penuh, ia bisa mengelak dengan alasan perpustakaan kelas IPS lebih ramai seperti pasar, tidak seperti perpustakaan kelas IPA yang tetap tenang walaupun banyak pengunjung.

Setelah mendapat persetujuan Pak Toni untuk UAS susulan di perpustakaan gedung IPA, Mikael akan menyusul Amadeo yang sudah mengawasi posisi Fania.

Amadeo sudah menjelaskan pada Mikael bahwa anak kelas IPA tidak terlalu saling mengenal satu sama lain. Jadi, jika Mikael menutupi bedge kelas IPS di seragamnya, maka Fania akan mengira kalau Mikael murid IPA dari kelas lain.

Amadeo juga memperingatkan Mikael agar jangan terlalu ingin tahu dan berspekulasi untuk melanggar sarannya, seperti menunjukkan bedge kelas IPS pada Fania. Ia berani bersumpah, Fania akan langsung ‘menggigit’ Mikael dan menyebarkan bisanya ke aliran darahnya sampai Mikael mati hanya dalam hitungan detik.


“Tapi, sebenarnya dia anak yang moody. Hanya saja, dia lebih sering bad mood dibanding good mood. Jadi, anggap saja dia itu penjahat, jika kebetulan dia bersikap baik... anggap saja itu adalah hari keberuntunganmu,” terang Amadeo.

Mikael sedikit terkejut mendengar cerita Amadeo tentang Fania. Bukan masalah jika anak perempuan itu memiliki reputasi seperti itu. Hanya saja, ia tak habis pikir bagaimana Samuel menghadapi, menemukan, dan mendapatkan pacar yang seperti itu?

Pantas saja jika Samuel merasa tertekan dengan keadaannya, seperti kata Samuel saat itu, ‘aku sendiri masih tidak yakin akan bertahan lama. Dia sedikit aneh, sulit kuhubungi. Dia sudah memperingatkanku tentang itu, tapi tetap saja aku...’

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (8)
  • innos

    @yurriansan uh she up..nanti ku baca

    Comment on chapter satu
  • yurriansan

    @innos wkwkwk, mesti fokus bget bcanya.

    btw, klo brkenan, mnpur juga k story ku. ceritanya gk gmn2, cm crita biasa. ala khdupan shri2.
    mudah2an dsambangi. xixixi

    Comment on chapter satu
  • innos

    @yurriansan yalord..aku merasa gagal πŸ˜‚πŸ˜‚

    Comment on chapter satu
  • yurriansan

    @innos iyaaa. abis dr bca awal nsh nbak, ni cwok ap cwek. Chptr 3, bkin pkiranku mgrah ksn

    Comment on chapter tiga
  • innos

    @yurriansan km kira dia suka sama Samuel ya πŸ˜‚

    Comment on chapter tiga
  • yurriansan

    @innos oh iya ya? aku kyanya kurg mndlami pas bca. abis pad skin yg marah sma samuel, kukira lg cmburu gtu.

    Comment on chapter tiga
  • innos

    @yurriansan Mikael emang cowok, neng..bagian mana yg bikin jadi keliatan cewek?πŸ€”

    Comment on chapter tiga
  • yurriansan

    Awal baca, serius aku kira itu mikael cwok. Mkin k blkgang, trnyta cwek.

    Comment on chapter tiga
Similar Tags
Manuskrip Tanda Tanya
5455      1686     1     
Romance
Setelah berhasil menerbitkan karya terbaru dari Bara Adiguna yang melejit di pasaran, Katya merasa dirinya berada di atas angin; kebanggaan tersendiri yang mampu membawa kesuksesan seorang pengarang melalui karya yang diasuh sedemikian rupa agar menjadi sempurna. Sayangnya, rasa gembira itu mendadak berubah menjadi serba salah ketika Bu Maya menugaskan Katya untuk mengurus tulisan pengarang t...
IRIS
526      391     2     
Short Story
Alf terlahir dalam dunianya yang gelap, sementara Faye hidup dalam sisi yang berlawanan dengannya. Namun, siapa sangka jika ternyata sesekali Faye menginginkan hidup di posisi Alf. Sedangkan Alf telah memutuskan untuk mengakhiri kehidupan hitamnya, bukan beralih ke dunia putih milik Faye, namun ke kehidupan yang sebelumnya telah dipilih ibunya, Sang Pengkhianat.
She Is Falling in Love
533      332     1     
Romance
Irene membenci lelaki yang mengelus kepalanya, memanggil nama depannya, ataupun menatapnya tapat di mata. Namun Irene lebih membenci lelaki yang mencium kelopak matanya ketika ia menangis. Namun, ketika Senan yang melakukannya, Irene tak tahu harus melarang Senan atau menyuruhnya melakukan hal itu lagi. Karena sialnya, Irene justru senang Senan melakukan hal itu padanya.
Sweeter Than Sweet Seventeen
734      528     5     
Short Story
Menunggu papa peka akan suatu hal yang aku impi - impikan. Namun semua berubah ketika ia mengajakku ke tempat, yang tak asing bagiku.
Because Love Un Expected
11      10     0     
Romance
Terkadang perpisahan datang bukan sebagai bentuk ujian dari Tuhan. Tetapi, perpisahan bisa jadi datang sebagai bentuk hadiah agar kamu lebih menghargai dirimu sendiri.
Kebaikan Hati Naura
633      358     9     
Romance
Naura benar-benar tidak bisa terima ini. Ini benar-benar keterlaluan, pikirnya. Tapi, walaupun mengeluh, mengadu panjang lebar. Paman dan Bibi Jhon tidak akan mempercayai perkataan Naura. Hampir delapan belas tahun ia tinggal di rumah yang membuat ia tidak betah. Lantaran memang sudah sejak dilahirikan tinggal di situ.
Yang ( Tak ) Di Impikan
563      422     4     
Short Story
Bagaimana rasanya jika hal yang kita tidak suka harus dijalani dengan terpaksa ? Apalagi itu adalah permintaan orangtua, sama seperti yang dilakukan oleh Allysia. Aku melihat Mama dengan maksud β€œ Ini apa ma, pa ?” tapi papa langsung berkata β€œ Cepat naik, namamu dipanggil, nanti papa akan jelaskan.” ...
Our Son
540      294     2     
Short Story
Oliver atau sekarang sedang berusaha menjadi Olivia, harus dipertemukan dengan temanmasa kecilnya, Samantha. "Tolong aku, Oliver. Tolong aku temukan Vernon." "Kenapa?" "Karena dia anak kita." Anak dari donor spermanya kala itu. Pic Source: https://unsplash.com/@kj2018 Edited with Photoshop CS2
Simplicity
10327      2431     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
Nadine
5764      1546     4     
Romance
Saat suara tak mampu lagi didengar. Saat kata yang terucap tak lagi bermakna. Dan saat semuanya sudah tak lagi sama. Akankah kisah kita tetap berjalan seperti yang selalu diharapkan? Tentang Fauzan yang pernah kehilangan. Tentang Nadin yang pernah terluka. Tentang Abi yang berusaha menggapai. dan Tentang Kara yang berada di antara mereka. Masih adakah namaku di dalam hatimu? atau Mas...