Mikael menggebrak meja Samuel dengan satu tangannya. Semua mata mengarah pada keduanya. Bukan karena suara gebrakannya yang terlalu keras hingga mengagetkan mereka, melainkan karena kejadian seperti ini termasuk langka terjadi.
Jika sampai Mikael murka, itu artinya ada hal besar yang terjadi. Mikael—orang ini dikenal cukup berhati-hati dalam menjaga reputasinya.
Namun, kali ini menggebrak meja si Ketua Kelas dengan raut serius. Alis tebalnya mencuat, tak terlihat ada keramahan di baliknya. Kelas pun hening.
Mikael menghela napas panjang, kemudian menatap tajam Samuel yang masih terkejut di bangkunya. Ia membungkuk, mencondongkan dirinya ke arah Samuel tanpa mengendurkan sedikit pun rautnya.
“Kamu punya pacar, kan?”
Hampir sebagian kelas berdecak kaget. Bukan karena kenyataan Samuel punya pacar, namun terlebih karena Mikael sudah membuat suasana setegang beberapa detik lalu hanya untuk menanyakan hal seperti itu. Padahal dia bisa bertanya dengan cara yang lebih baik.
Wuuuaah, yang benar saja! Peduli apa Mikael dengan kehidupan Samuel. Kalian pasti berpikir begitu.
Namun, hal seperti ini cukup wajar di kalangan anak kelas IPS di SMA 212. Tidak ada aturan tertulis, tidak ada juga sanksi atau hukuman wajib pada yang melanggar.
Seluruh angkatan kelas 3 IPS di sekolah ini sudah sepakat untuk saling terbuka mengenai hubungan pribadinya. Bukan berarti semua orang harus saling mengetahui persoalan detail asmara, setidaknya semua orang saling mengetahui identitas pasangannya untuk menghindari konflik yang umum terjadi—berkelahi karena berebut pacar.
Samuel menelan ludah dengan cukup sulit. Perlahan ia meletakkan pulpennya. Ia memang ingin memberikan penjelasan, namun tak juga bersuara. Cukup lama semua orang di kelas ini menunggunya.
“Jadi, mau menjelaskan atau tidak?” terdengar pertanyaan yang mewakili seluruh murid.
“Ya, aku sudah punya pacar.” Samuel angkat bicara.
“Belum lama,” lanjutnya, membela diri.
“Aku sendiri masih tidak yakin akan bertahan lama. Dia sedikit aneh, sulit kuhubungi. Dia sudah memperingatkanku, tapi tetap saja aku bertahan padanya,” jelas Samuel dengan sedikit tersenyum kecil.
“Kurasa aku benar-benar jatuh cinta, maaf teman-teman,” lanjutnya sembari menatap Mikael dan seluruh kelas.
Mendengar penjelasan Samuel yang terdengar bersungguh-sungguh, Mikael pun sedikit mengendurkan gengsinya.
Ia berdehem sembari mencari bangku terdekat yang bisa ia gunakan untuk duduk bersama si Ketua Kelas.
“Aiss... dasar keparat ini,” gumamnya.
Samuel menatap Mikael yang duduk di seberang mejanya yang hanya berukuran sepanjang lengannya.
“Dia dari kelas IPA,” terang Samuel—kemudian memperhatikan reaksi teman-teman kelasnya.
Ini yang lebih penting bagi Samuel. Ia menyembunyikan hubungannya karena perempuan yang ia pacari adalah murid kelas IPA. Dalam pikiran orang biasa, memang tidak ada masalah dan sesuatu yang membanggakan, tapi dalam pikiran murid IPS di SMA 212 ini adalah hal yang mirip seperti aib.
Berpacaran dengan anak IPA, itu artinya kau sedang menjatuhkan dirimu sendiri untuk direndahkan mereka—anak murid IPA yang selalu merasa lebih kompeten dan lebih tinggi derajatnya dibanding murid IPS.
Seluruh kelas hening. Terlihat raut duka di wajah mereka. Tentu saja. Ketua kelas mereka berpacaran dengan anak murid kelas IPA, mereka pun turut merasa terinjak harga dirinya.
“Maaf,” suara Samuel lirih.
Mikael pun masih terdiam di bangkunya.
Entah, harus menanggapi Samuel seperti apa. Ia hanya ingin tahu siapa pacar Samuel yang tiba-tiba menyambangi mimpinya. Ia masih melipat kedua tangannya di dada dengan alis yang mengerut—bingung atau tengah berpikir keras.
“Jadi, pacarmu itu siapa?” Mikael akhirnya bertanya sesuatu yang berlawanan dengan inginnya.
Seberapapun dia ingin mencairkan suasana tegang ini, tetap saja egonya selalu diutamakan. Dibandingkan harus mencairkan suasana, ini adalah kesempatan untuk mengorek lebih dalam.
“Fania, kelas 3 IPA H.”
Benar! Ada nama Fania dalam mimpi Mikael semalam.
Entah karena rasa penasaran atau iri. Mikael sangat penasaran dan ingin tahu siapa Fania? Siapa anak perempuan yang bercerita di dalam mimpinya? Dan, mengapa Mikael memimpikan hal-hal yang tak masuk akal seperti itu.
Tak masuk akal bagi Mikael, jika memimpikan sesuatu yang kemudian isi dalam mimpinya ternyata adalah suatu hal nyata.
Seketika kelas riuh. Hampir seluruhnya berdecak tak percaya, bahwa ketua kelas mereka menjatuhkan harga dirinya tidak tanggung-tanggung.
Anak kelas IPA H?
Seluruh murid kelas ini sudah membayangkan betapa perempuan itu merasa dirinya lebih dari seorang dewa.
Mikael memijat pelipisnya. Kepalanya terasa mau pecah memikirkan hal semacam ini. Sungguh, rasanya ia tak ingin lagi meneruskan semua ini.
Tunggu dulu!
Bukankah Amadeo si Pengkhianat itu pindah di kelas IPA H—satu kelas dengan Fania. Meski dia sudah bukan warga kelas IPS H, tapi Amadeo pasti akan tetap merasa sungkan jika bertemu Mikael, bukan?! Itu bagus jika dia bisa banyak membantu Mikael.
Astaga, mengapa Mikael menjadi terobsesi pada orang ini?
@yurriansan uh she up..nanti ku baca
Comment on chapter satu