Selama Mikael hidup, hal yang paling ia khawatirkan hanyalah ketika dia merasa mengantuk. Kejadian trauma masa kecilnya terus mempengaruhi alam bawah sadar.
Mikael tidak akan bisa bernapas meski ia berusaha bernapas dengan mulutnya, tak ada sedikit pun udara yang berhasil masuk ke saluran napasnya. Karena trauma itu, ia menjadi sangat rentan terhadap kegelapan, termasuk ketika memejamkan mata untuk tidur.
Phobia-nya semakin parah, setelah kematiannya kemarin. Bahkan kasus kematian Mikael kemarin pun disebabkan karena ia tertidur pulas. Tak seharusnya ia tidur pulas.
Jika itu terjadi, ia akan mengalami sleep paralysis—ia tak bisa membuka matanya. Akhirnya, ia akan kehabisan suplai oksigen ke otaknya, kemudian koma sekitar 2 minggu sebelum akhirnya ia meninggal dan kemudian keajaiban datang sesaat sebelum pemakamannya.
Sayangnya, kali ini ia lengah. Mikael tak lagi bisa menahan kantuknya setelah berhari-hari begadang dan hanya ‘tidur ayam’.
Sesaat ia memimpikan seorang anak perempuan yang sedang duduk di sampingnya. Ia mendengarkan cerita anak perempuan itu dengan tenang, sebelum akhirnya ia sadar bahwa ini adalah mimpi
.
Anak perempuan itu bercerita dalam mimpinya, “...Saat itu, di lapangan basket aku melihat wajah pacarku—Samuel....”
“...tiba-tiba aku muncul dalam posisi berciuman dengannya, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Siapa yang mencium pacarku? Fania? Aku yakin dia tak mengenal Samuel dan tak tertarik dengannya. Cassandra? Dia sama sekali....”
Mikael membuka mata dengan napas tersengal, bahkan tangannya pucat gemetaran. Untung saja, ia bisa segera membuka matanya. Sejak TK, Mikael tidak pernah bisa benar-benar tidur pulas.
Suara beberapa kendaraan di jalanan luar sana samar terdengar beberapa kali di jam ini, jam 3.45.
Mikael meneguk segelas air putih dengan rakus. Kemudian mengingat kembali mimpinya yang masih melekat di ingatannya.
Ada seorang perempuan dengan rambut sebahu, mata bulat yang cerah, dagu lancip, dan hidung mancung lurus sedang duduk di balik jendela kaca di gedung lantai atas—entah ke berapa.
Keduanya menatap ke bawah—ke arah pohon rindang yang tidak terlalu tinggi namun lebat daunnya, juga ke halaman yang tampak dipenuhi daun dan ranting yang berceceran tertiup angin dengan cuaca yang lembab.
Mikael merasa duduk berdampingan dengannya. Meski wajahnya berseri, namun rautnya tampak muram.
Entah, Mikael sulit memahaminya. Perempuan itu terus meracau dalam mimpinya membicarakan tentang pacarnya yang bernama Samuel. Tunggu dulu. Samuel?
Sebentar!
Mikael fokus pada nama Samuel.
Sekelebat ingatannya muncul, anak perempuan itu membicarakan tentang berciuman dengan Samuel di lapangan basket? Mungkinkah itu Samuel si ketua kelasnya? Dia juga suka bermain basket dan sering menghabiskan waktunya di lapangan basket.
Aha! Semakin terang pikiran Mikael.
Daripada ia hanya menebak-nebak, mengapa ia tak menanyakan pada Samuel langsung.
***
Samar-samar anak perempuan terbangun dengan posisi yang terlentang hampir memenuhi ranjangnya. Ia mengerjap beberapa kali, menghirup udara dingin yang masuk lewat ventilasi udara di atas jendela. Tampak gundukan kecil di dadanya dengan piama minion berwarna dasar hitam. Tanpa pikir panjang, ia langsung bangkit dari tidurnya dengan mata yang melotot dan kesadaran yang sangat penuh.
Waaahh! Aku benci jika harus mengawali hari seperti ini.
Suaranya sedikit berat, seperti seorang lelaki.
Seluruh rumah ini pun akan tahu siapa dia—Veero. Hal yang paling dia benci adalah terbangun dengan tubuh Tifanny—ah, anak perempuan itu sebenarnya benci dipanggil Tifanny, ia lebih suka dipanggil Fania, tapi orangtuanya selalu menyebut nama Tifanny di depan Veero, Nila, dan Cassandra.
Veero mengeluh sepagi ini karena ia tak nyaman dengan tubuh yang belum mandi, tapi ia sendiri tidak bisa memandikan tubuh perempuan ini.
Ia menunduk, sedikit menjambak rambut panjangnya.
(Nila): Kamu bisa mandi kalau memang merasa tidak nyaman.
Veero sedikit terkejut. Entah siapa yang memberikan usul itu. Ia mengerutkan alis hitam Fania.
(Nila): Kamu juga tinggal dalam tubuh Fania, kamu juga berhak atas dirinya.
(Fania): Apa? Hei, Nila. Ini tubuhku, kamu hanya seorang penyewa, punya hak apa kamu atas tubuhku? Lagi pula, bukankah kita sudah sepakat untuk menghormati privacy masing-masing? Kenapa kamu muncul saat Veero menjalani kehidupannya?
(Nila): Benar. kita sudah sepakat menghormati privacy, tapi siapa pun di sini sudah melanggarnya dan melewati batas privacy-ku.
(Fania): Kalau pun ada, kau adalah satu-satunya yang melanggar.
(Nila): Benarkah? Kurasa ada penghuni baru, karena kemarin tiba-tiba ada salah satu dari kalian yang lancang mencium pacarku.
(Fania): Pacar? Waaahh! Hebat sekali, kamu menggunakan tubuhku ini untuk melakukan hal-hal konyol seperti berpacaran? Untuk itukah kau mengusulkan sebuah privacy? Membuat aturan untuk tidak saling melihat dan ikut campur dengan kehidupan yang sedang berjalan?
Veero masih diam dengan posisi yang sama, ia pun tak ingin menjelaskan apapun mengenai hal yang sedang diperdebatkan dua orang keras kepala ini.
Ia bahkan tak menyadari bahwa Sarah--ibu Fania berdiri di samping ranjangnya.
Tanpa mengganggu perdebatan Fania dan Nila, Veero diam menyimak berdebatan keduanya.
“Ada apa?” Sarah mengusap bahu Veero.
Sepertinya Veero benar-benar tak sedang fokus, ia bahkan terkejut hanya karena Sarah menyentuh bahunya. Jantungnya berdegup, kemudian ia mengabaikan perdebatan dua perempuan keras kepala yang juga menghuni tubuh ini.
“Tidak. Tidak ada apa-apa, Ma,” Veero sedikit terbata.
“Ah, Veero ternyata.” Sarah tersenyum.
Ia sedikit kikuk untuk mengatakannya. Ia tak rela jika Veero menelanjangi putrinya, tapi tubuh itu benar-benar harus mandi. Mengingat kejadian semalam, saat Cassandra sudah menyiapkan banyak makanan untuk makan malam keluarga yang romantis. Tiba-tiba Nila muncul seperti orang kesetanan, mengguyurkan semua masakan yang dibuat Cassandra sampai ia basah kuyup, lalu mengurung diri di dalam kamar.
Bahkan dari jarak yang cukup jauh pun, Sarah bisa mencium aroma tidak sedap dari tubuh putrinya itu.
“Veero sepertinya kamu harus mandi,” kata Sarah sedikit berat.
(Nila): Tepat sekali!
(Fania): MAAAA!!!!!!!
“Pakai penutup mata ini, mama yang akan memandikanmu.” Sarah memberikan penutup mata hitam milik Fania.
@yurriansan uh she up..nanti ku baca
Comment on chapter satu