“Waaaahhh! Keren! Mikael mati suri!”
Satu kelas 3 IPS H terdengar bersatu padu membicarakan topik terhangat minggu ini. Biasanya kelas ini memiliki blok masing-masing untuk membicarakan topik kesenangan mereka masing-masing.
Namun, untuk seminggu ini kelihatannya 20 siswa kelas ini kompak membicarakan satu topik paling panas yang sudah bertahan hampir seminggu.
“Jadi, bagaimana rasanya mati?” salah seorang teman sebangku Mikael memulai sebuah wawancara yang disimak seluruh kelas.
Mikael hanya bungkam dengan tatapan kosong. Sejak ia bangun dari kematiannya, ia menjadi banyak berdiam, memikirkan sesuatu—entah apa itu. Meski begitu, ia tetap bisa mendengar pertanyaan teman-temannya.
Ia menghela napas, meletakkan kedua sikunya di atas meja berukuran dua lengan tangannya, kemudian meraupkan kedua telapaknya ke wajah sembar mengembuskan napas berat.
Semuanya saling pandang, tahu bahwa tidak akan ada jawaban untuk hari ini. Kemudian semuanya bersikap seolah tidak ingin tahu, meski hari berikutnya mereka akan melakukan hal yang sama kembali.
Mikael bahkan tak ingin percaya bahwa ia telah mati. Ia hanya ingat, hal terakhir yang ia lakukan berbaring di tempat tidur sepulang sekolah. seharusnya ia tak tertidur, Mikael tak boleh dan tak ingin tidur meski satu menit pun.
Meski begitu, tubuhnya tetap membutuhkan istirahat. Karena itulah, ia tak pernah bangun lagi dari tidurnya selama dua minggu, kemudian ia dinyatakan meninggal dunia.
Di tengah penjelasan guru wali kelas mengenai jadwal kegiatan selepas UAS di depan kelas sana, ini adalah hari pertama Mikael setelah menghabiskan waktu satu minggu untuk masa pemulihan pasca mati suri waktu itu.
“Mik,” seseorang berbisik beberapa kali ke arah Mikael yang sedang melamun.
Mikael menoleh ke arah suara yang memanggilnya—dari meja samping kanannya—meja Jonathan.
Laki-laki berperawakan lebih kecil dari teman-teman sekelasnya dengan rambut yang lebih mirip landak kalau tidak pakai pomade, mungkin tinggi badannya setinggi bawah telinga Mikael, itu pun sudah dihitung dengan tinggi rambut landaknya.
Jonathan berteman cukup dekat dengan Mikael. Setidaknya, keduanya sering terlihat berdua saat di sekolah maupun aktivitas di luar sekolah.
“Aku akan merahasiakannya. Jadi, bagaimana rasanya mati?” Jonathan tampaknya tidak akan bisa tidur tenang jika tidak mendapatkan jawaban itu. Beberapa hari ini ia terus dibuat penasaran dengan itu.
Mikael terdiam beberapa saat menatap Jonathan yang tampak berbinar karena akan mendapat jawaban. “Sepertinya, aku ini masuk neraka,” jawabnya perlahan dengan suara lirih.
Jonathan terkejut. Kedua tangannya spontan menutupi mulutnya yang menganga lebar dengan kelopak mata sipitnya yang melebar.
Jonathan semakin antusias hingga merubah posisi duduknya lebih condong ke arah Mikael. “Sungguhan? Ka-kau lihat neraka?”
Mikael mengerutkan alis tebalnya sembari menopang dagu. Pandangannya menerawang ke arah papan tulis yang sudah dipenuhi coretan pengumuman dari wali kelas. Ia mengingat sesuatu, masih jelas di ingatannya.
Tadinya, ia pikir itu adalah mimpi, tapi menyadari bahwa semua orang mengatakan ia telah mati dan kenyataan ia terbangun dari peti matinya sendiri, Mikael yakin bahwa itu bukan mimpi.
"Entah, neraka atau bukan,” jawabnya ragu.
Mikael masih bisa mengingat bahkan dengan mata terbuka, seperti ia melihat sebuah layar lebar di hadapannya. Tempat itu tak terlihat seperti neraka, tapi saat itu ia merasa seperti penghuni neraka.
Semuanya terlihat gersang, berwarna merah sedikit orange. Tebing-tebing tinggi yang terlihat dari tanah merah berdebu, ada parit kecil dimana seharusnya ada aliran air namun terlihat seperti lelehan magma bercampur tanah.
Mikael menghela napas.
“Ah, aku ingat!” ucapnya yang langsung disambut penasaran oleh Jonathan.
Keduanya saling tatap. Satu tatapan yakin bercampur ragu, satu lagi tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Waktu itu aku sudah ada di atas tebing,” cerita Mikael dengan tatapan menerawang. “Ada suara entah dari mana, mungkin suara Tuhan. Dia berkata bahwa aku akan dimasukan neraka karena tidak taat dan hanya membuang waktu...”
Jonathan menyela, “waaaaahhh! Sungguh?” Ia terbelalak.
“Kau tahu, untuk pertama kalinya... aku memohon dan berdoa agar diberi kesempatan.”
Jonathan mengangguk. Ia sangat tahu, laki-laki di hadapannya ini memiliki rasa gengsi yang tinggi. Entah mengapa, bahkan pada Tuhan pun ia masih memikirkan gengsinya.
Andai Tuhan tak menempatkannya di neraka, mungkin rasa gengsi Mikael semakin membumbung tinggi. Setelah ini, mari kita lihat... apakah gengsi Mikael tetap menebal atau malah menipis?
“Jadi, kau bertemu Tuhan?”
“Tidak. Tapi, ya. Tapi aku tidak melihatNya. Aku hanya mendengar, atau tidak benar-benar mendengar.”
Mikael semakin meracau tak jelas, membuat Jonathan bingung. Ia sendiri pun merasa bingung. Ia bertemu Tuhan, tapi ia tak melihatNya. Ia berbicara dengan Tuhan, tapi ia tak benar-benar mendengar suaraNya. Ia hanya meyakini bahwa ada Tuhan yang berbicara dengannya.
“Jadi, apa yang dikatakanNya?”
“Aku diberi kesempatan. Aku akan dikembalikan dengan syarat...” Mikael tidak melanjutkan kata-katanya. Alis hitam tebalnya semakin mengerut.
Menolong seseorang yang dalam bahaya? Seseorang yang sedang dimanfaatkan? Benar. Itu tugasku. Tapi, orang itu siapa? Bagaimana aku bisa menolong jika tidak tahu orangnya?
Tunggu dulu, semua orang selalu dalam bahaya dan selalu dimanfaatkan, jadi aku harus menolong semua orang? Ah, bisa gila aku... aku kan bukan Iron Man atau Captain Amerika.
“Apa syaratnya?” Jonathan membuyarkan pikiran Mikael.
Mikael menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan keras. Tampaknya ia menutup pembicaraan yang menggantungkan rasa penasaran Jonathan.
“Mikael?” Suara berat Pak Toni khas seorang bapak-bapak. “Kamu ikut bapak ke kantor,” terangnya.
Mikael hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah Pak Toni dari jarak jauh dengan langkah lesu menyusuri koridor sekolah yang sisi kirinya adalah ruang kelas, sementara sisi kanannya dinding kaca yang berhadapan beberapa meter dengan gedung kelas IPA. Gedung seberang tampak lebih sunyi, benar-benar berisi murid teladan.
***
“Jadi, tentukan mau UAS susulan kapan?” Pak Toni kembali pada obrolan seriusnya.
“Akhir minggu ini saja, Pak, bagaimana? Dipadatkan, jadi sehari dua tau tiga pelajaran?”
Pak Toni tampak ragu. Ia mengusap-usap kumisnya yang mulai tumbuh setelah beberapa hari dicukur.
“Kamu yakin bisa?”
“Saya usahakan, Pak.”
Mikael bergegas pamit setelah Pak Toni menyetujui jadwal yang diajukannya.
Entah mengapa, untuk pertama kalinya Mikael menjabat tangan gurunya. Mungkin juga karena ini pertama kalinya ia datang ke ruang guru dan berbicara secara personal, lalu ia merasa harus lebih sopan.
Seketika, sekelebatan kejadian aneh berputar di kepala Mikael.
Ia melihat seorang anak laki-laki muda seumuran dengannya dengan seragam abu-abu yang lusuh sedang menangis tersedu di dekat pematang sawah dengan lelehan darah yang tercecer mengucur dari pergelangan tangan kirinya. Sembari terisak seperti sedang meratapi nasibnya.
Namun kemudian, berubah menjadi sebuah kejadian di mana sedang diadakan acara wisuda di ruang yang megah dengan lantai berlapis karpet mewah dan seorang laki-laki yang terlihat seperti Pak Toni dalam versi baby face, senyumnya tampak sumringah berlawanan dengan kejadian sebelumnya dimana ada anak laki-laki menangis tersedu dengan putus asanya.
Mikael hampir menjerit sembari menarik tangannya dari genggaman Pak Toni. Wajahnya pucat dengan tatapan kosong dan napas yang bergetar.
Murid yang baru saja bangkit dari kematiannya ini sungguh membuat wali kelasnya khawatir. Bagaimana jika kali ini anak muridnya ini benar-benar mati dan tidak bangun lagi?
“Mikael? Kenapa?” Pak Toni memutari mejanya dan mendekati muridnya, berbarengan dengan beberapa guru yang ada di ruangan.
Mikael memundurkan langkahnya—isyarat bahwa ia tidak apa-apa dan tidak perlu dikhawatirkan. Ia menenangkan semua guru dengan tatapan kosong dan wajah bingung mengenai apa yang baru saja ia lihat tadi.
Apa karena mereka bersentuhan?
Benar! sepertinya begitu. Seingat Mikael, setelah kematiannya, ia belum pernah berkontak fisik dengan orang lain. selama perawatan pasca mati suri kemarin pun, perawat dan dokter melakukan tindakan padanya menggunakan handscoon.
Artinya baru sekali. Sekarang ini, dengan Pak Toni.
Orang dalam dua kejadian tadi memang sedikit terlihat mirip Pak Toni, walaupun jika dibandingkan dengan Pak Toni yang sekarang cukup berbeda. Lalu, apakah yang ia lihat tadi adalah Pak Toni di masa lalu?
@yurriansan uh she up..nanti ku baca
Comment on chapter satu