"Ayah bangga sama Abi. Terima kasih untuk nama yang sudah Abi kasih sama Ayah. I Love You."
Kring....
Abi berjengit kaget begitu suara alarm dari jam beker di atas mejanya berdering. Namun napasnya berburu bukan karena itu, melainkan karena sebuah mimpi yang baru saja ia alami.
Ayahnya. Beliau hadir di dalam mimpinya untuk mengucapkan terima kasih. Jadi, apa Abi sudah sehat sekarang? Sudah bukan mimpi buruk lagi yang hadir.
"Abi cepat turun, Haikal sudah menunggu di bawah!"
"Iya, Bunda."
Rasanya Abi ingin menghilangkan saja Haikal dari muka bumi ini dan melemparnya ke planet lain. Bagaimana dendamnya tidak akan hilang, sudah jelas Haikal melakukan hal itu dengan sengaja. Lelaki itu sekarang malah rela menjemputnya demi membawa dirinya ke rumah sakit.
Seharusnya Abi malas dan lanjut tidur saja sebelum berangkat kerja. Tapi melihat semuanya terlanjur sudah seperti ini, maka ia tidak bisa menolak keinginan Omanya.
Setelah membersihkan diri dan bersiap selama kurang lebih delapan menit, Abi turun dan melemparkan ponselnya pada Haikal.
"Apa?"
"Telepon lima belas kali, SMS enam kali, WA empat kali. Apa maksud lo? Okay, itu jumlah umur lo sekarang. Dokter gaje lo!"
Haikal malah menunjukkan cengiran kudanya, lalu menarik Abi keluar rumah. Karena Haikal sudah mau menjemputnya, otomatis Abi akan ikut dengan mobil Haikal saja.
"Lo pasti nggak bakal nyesel deh kalau udah lihat siapa psikiaternya."
Abi yang tengah memasang sabuk pengaman mengetuk dasboard mobil Haikal dengan kepalan tangannya tiga kali.
"Gue pikir, lo sih yang ngarep sama tuh psikiater."
"Kalau lo gak mau ya kasih gue aja."
Perjalanan dari rumah Abi ke rumah sakit tempat Haikal bekerja hanya membutuhkan waktu lima belas menit. Begitu sampai di sana, Haikal langsung mendorong Abi masuk ke sebuah ruangan bertuliskan 'Layanan Konseling'.
Baiklah, Abi akan masuk ke dalam sana demi memuaskan Oma dan Haikal.
Ia berjalan ragu setelah membuka ruangan itu. Lalu pandangannya tertuju pada nama di sebuah papan di atas meja.
"Ada yang bisa dibantu?"
Abi menoleh dan praktis terkejut melihat gadis aneh itu berubah jadi bidadari cantik dalam balutan jas sneli.
"Sempurna..."
"Heih?" Baru kali ini ia mendapati pasien dengan wajah melongo. Oh, mungkin karena penyakit kejiwaan. Dokter muda itu akan memakluminya saja.
"Silakan duduk, saya akan dengarkan keluhan Anda."
Abi mengeluarkan sebuah origami kuning berbentuk hati yang sudah tidak lagi seindah dulu dari dalam dompetnya. Iya, ke manapun pria itu pergi, origami kuning misterius itu selalu ada bersamanya. Untuk menanyakan bahwa pesan gadis itu belum tersampaikan.
"Abi?"
Abi tersenyum lebar kemudian mengangguk.
"Gue mau konsul soal perasaan yang aneh karena kehilangan seseorang yang biasanya merusak mood kita—"
"—Dokter Sabrina Auxilia Kasih."