Haikal terus mencoba menenangkan sahabatnya dengan mengayunkan lengan Abi dari depan ke belakang ataupun sebaliknya. Sedangkan yang dihibur sibuk menggembungkan pipi dengan sesekali melatih pelafalan. Lelaki itu sangat gugup, padahal ini bukan persidangan pertama yang ia hadapi tapi sungguh menguras emosi.
"Ayolah Abi rileks. Lo pasti bisa"
"Tapi gue degdegan tau"
"Iya gue ngerti, Bi"
"Eh, lo gak bakal pergi di tengah persidangan, kan?" selidik Abi memicingkan matanya mencari tanda kalau-kalau Haikal bakalan berbohong. Ia cukup tahu siapa Haikal sekarang, dia sudah berubah menjadi pria sibuk.
Haikal terkekeh dengan tangan yang masih sibuk mengayun lengan Abi.
"Kayanya tidak. Hehe..."
"Kayanya? Haikal, sehari aja sih lo cuti bisa kan?"
"Mana ada dokter cuti kalau ada pasien mendadak, tuan jaksa"
Abi mendengus, apa-apa si Haikal selalu menyangkutpautkan semua hal atas nama pasien. Baiklah, seorang dokter bebas mengatakan apapun. Terkadang Abi sedikit heran dan masih tidak percaya ini. Haikal yang notabenenya sahabat SMP yang dikenal malas dan sering mencontek sekarang berubah menjadi seorang dokter.
"Oma Kirana bilang lo masih gak mau pergi ke psikiater?"
"Oma sampai menyuruh lo buat ngebujuk gue? Gue gak mau, Kal"
Haikal menepuk bahu Abi kemudian berlagak seolah tengah membersihkan jubah yang dikenakan Abi saat ini.
"Sesekali gue emang perlu nyuntik lo, Bi. Susah banget sih disuruh konsultasi aja, lagian ini juga buat kebaikan lo---"
"---Dan, gue denger bakalan ada psikiater baru di rumah sakit tempat kerja gue. Cewek, Bi. Katanya cantik, pindahan dari lombok"
Abi mendengus lagi, Haikal memang tidak pernah berubah jika sudah membicarakan soal perempuan.
"Ya udah sih apa hubungannya. Gue tetep gak bakal pergi"
"Aih... capek gue bujuk lo, Bi"
Sekali lagi Abi tertawa dengan lelucon Haikal. Tapi kegugupan masih menyelimutinya.
***
Pertama-tama Abi memulai dengan merapalkan basmalah dalam hati seiring hembusan napas yakin menjadi kekuatannya hari ini. Para audiens telah mengisi sebagian kursi yang ada didalam ruangan, hanya menyisahkan dua barisan dari sisi kanan dan kiri. Di barisan paling depan, dengan senyum penyemangatnya, Haikal duduk dan memberikan dukungan untuk sahabatnya. Meskipun Abi tidak yakin Haikal akan tetap disana hingga persidangan berakhir.
Dua saksi yang ia bawa hari ini juga sudah ia amankan. Abi mengeratkan kembali jubah hitamnya dan menatap ke arah depan tanpa sedikitpun keraguan. Menyimak dengan seksama apa yang tengah disampaikan hakim ketua.
"Berdasarkan keputusan persidangan sebelumnya sudah jelas bahwa Raden Kalingga dinyatakan bersalah"
Abi mengangkat tubuhnya dan menghadap kepada sang hakim.
"Benar yang mulia. Tapi, tidak ada satupun disana yang mau mendengarkan kesaksian dari korban. Disini saya katakan, Raden Kalingga adalah korbannya"
"Untuk?"
Abi menelan ludahnya susah payah, tidak boleh ada keraguan sedikitpun. Pembelaan ini harus tuntas.
"Untuk kedua kasus, pengedaran obat terlarang dan percobaan pembunuhan"
Bisik-bisik para audiens mulai terdengar. Abi dengan sangat yakin menundukkan kepala pada sang hakim sebelum kembali berbicara.
"Saya sudah menyiapkan saksi, yang mulia"
"Silahkan hadirkan sekarang"
Seluruh pandangan menatap penuh rasa penasaran saat seorang pria yang melintas diatas kursi roda mendekat ke arah Abi.
"Saksi, apakah Anda bersedia memberikan kesaksian dengan sejujurnya tanpa ada yang ditutup-tutupi dan berani menanggung resiko jika pernyataan yang Anda berikan salah?"
Pria itu mengangguk, "Iya, saya bersedia"
"Saya adalah seorang polisi yang mendapat tugas untuk mengawasi Raden sebelum menunggu hari persidangan. Hari itu, pada malam hari ketika saya akan pulang ke rumah. Ada dua orang yang mencegat saya, mereka perampok. Saya tidak tau siapa mereka. Tapi setelah berhasil membawa senjata dan dompet saya, mereka menancap perut saya lima kali. Saat itu saya ingin meminta pertolongan Raden, tapi saya malah sudah tidak sadarkan diri"
Ingatan Abi melayang pada malam itu, dimana ia meminta ayahnya untuk menemaninya tidur. Ia sendiri malah tidak memperdulikan ayahnya. Pasti saat itu ayahnya tidak bisa tidur karena memikirkan persidangan. Abi menyalahkan dirinya yang sama sekali tidak berperasaan.
"Saya rasa kesaksian saksi sudah jelas, yang mulia"
Hukum tengah diuji hari ini. Abi dan ayahnya di atas sana tengah diuji pula untuk ini. Hanya satu yang diharapkan, semua tuntas sesuai rencana.
"Lalu untuk kasus lainnya? Sementara untuk kasus percobaan pembunuhan memang masuk akal"
"Saya sudah menyiapkan satu saksi lain, yang mulia"
"Silahkan hadirkan sekarang"
Abi memanggil tantenya untuk maju ke tempat saksi sementara pria diatas kursi roda telah kembali ke tempat para audiens.
Safira melemparkan senyuman penguat kepada ponakannya sebelum menjawab dengan yakin janji seorang saksi sebelum memberikan pernyataannya.
"Saya adalah kakak dari Raden Kalingga"
"Berapa lama Anda tinggal dengan beliau?"
Safira mencoba mengingat-ingat dengan jelas. "Tentu sejak dia lahir. Namun, ketika ia menolak untuk menikah dengan seorang perempuan pilihan mamah, dia kabur dari rumah bersama putranya"
Tatapan Abi terlihat berkaca-kaca setelah kalimat Safira usai. Masih ingat di memorinya saat itu bagaimana dengan penuh kasihnya Raden memilih Abi dan berani melepas semua kekayaan ibunya.
Ayah.... Maafkan aku.
"Yang mulia, saya yakin ada sebuah kesalahan disini. Bandar narkoba yang disebut buronan itu sudah dicari sejak dua tahun. Sedangkan Raden pergi dari rumah bersama putranya hanya dua bulan"
"Apa Anda seyakin itu? Bagaimana jika dia menyembunyikan jati dirinya sebagai bandar narkoba selama ia tinggal dengan keluarganya"
"Karena... Karena..." kenapa jadi seperti ini. Tidak, Abi harus tenang. Pasti ada yang bisa membuat semua yang ada di ruangan itu percaya padanya.
"Saya adalah anak itu. Saya.. Sa-saya adalah putra dari Raden Kalingga. Dan saya menentang dengan sangat yakin bahwa ayah saya tidak bersalah"
Audiens riuh seketika. Mereka mengira Abi hanya memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan kembali nama baik ayahnya.
"Jelas saja kasus ini dibuka lagi, buat ayahnya"
"Untuk apa kita percaya omong kosongnya"
"Keluarga Kalingga mungkin sedang ingin bermain drama"
"Lucu sekali"
Tidak pernah terbayangkan akan seperti ini jadinya. Abi menilik barisan depan para audiens dan menemukan Marisha, Kashaf, dan Sandra--putri mereka, yang sudah tidak bisa menahan rasa haru mereka. Tapi Abi tidak menemukan sahabatnya. Di mana Haikal? Dia butuh penguat.
"Ayah..." sosok itu tersenyum lebar. Sama seperti dulu meskipun bibir pucatnya mewakili statusnya. Ayahnya berdiri di sana, di depan pintu dengan pakaian yang berwarna putih suci.
Ingin sekali Abi berlari dan merengkuhnya, tapi tidak bisa. Ia ingin ayahnya mendekatinya, tapi ia sadar semua itu tidak nyata. Air mata kembali menetes ke pipi Abi.
"Saya akan bersaksi untuk kasus Raden Kalingga"
Abi mengarahkan pandangannya ke arah pintu yang sama. Tapi benda itu sudah terbuka lebar dan menampilkan sosok seorang pria berseragam, ayahnya hilang detik itu juga. Abi jelas tahu bahwa dia seorang polisi besar dari beberapa pangkat di bahunya.
"Saya Rangga Nugraha yang bertanggung jawab dalam penangkapan bandar narkoba Raden Kalingga"
***
Tangannya meletakkan sebuah buket bunga mawar putih di atas pusara ayahnya. Kemudian meletakkan sebuah surat berisikan tuduhan bersalah atas nama Raden Kalingga.
"Nama ayah sudah bersih. Ayah tidak bersalah sedikitpun"
Abi mengusap lembut batu yang mengukir nama ayahnya dengan sangat indah. Disana tanpa sadar satu tetes air mata jatuh tiba-tiba. Rasanya sesak, Abi ingin waktu bisa kembali diundur hingga ia bisa melawan takdir dan membiarkan ayahnya hidup sampai sekarang. Biarkan ayahnya melihat dirinya dalam balutan jubah hitam didalam ruang persidangan.
"Apa ayah bangga? Sekarang Aku sudah jadi seorang jaksa. Apa ayah bangga?"
"Tentu saja, Bi. Ayah lo pasti bangga banget sama lo" suara itu. Abi mendongak dan melihat pria berjas putih tengah berdiri di depan pusara ayahnya dengan senyum simpul bertengger.
Abi masih ingat kemarin saat ia sedang bingung di persidangan dan orang yang seharusnya memberi dukungan malah hilang entah kemana. Hari ini dia malah muncul tiba-tiba dan mangganggu waktu berharganya.
Abi berdiri dan menunjuk wajah pria itu dengan sangat geram. Ayolah, Abi tahu dia sahabat baiknya. Tapi Haikal sudah sering membuatnya kesal. Bodo amat dengan rasa hormat dan apapun itu. Hari ini Abi pastikan pria itu akan mendapatkan ganjarannya.
"Oh... Oke. Sorry, gue kemarin dapat telfon dari suster kepala ada seorang pasien gawat darurat di UGD. Sebagai dokter profesional ya gue pergi dong. Iya kan? Iya dong?" Haikal mencoba menjelaskan apa yang kemarin membuatnya pergi sebelum persidangan berakhir.
Abi semakin menyudutkan Haikal. Sampai-sampai Haikal yang berjalan mundur hampir saja terjatuh dan menimpa pusara lain disana.
"Emangnya kalo lo minta izin sehari aja gelar dokter loh hilang? Sahabat pencitraan lo emang"
"Gak gitu Abi, lo---"
"Sekarang gue gak mau tau pokoknya lo harus mau bantuin gue bilang ke Oma kalo mimpi buruk gue udah hilang. Sekarang gue udah sembuh"
Haikal menginjak kaki kiri Abi kemudian berlarian kesetanan sebelum itu ia berteriak nyaring menolak mentah-mentah rencana Abi.
"GUE GAK MAU, BI. SORRY YA"