Kletak
Sebuah jam weker terjatuh dari nakas. Rose yang sedang mengerjakan tumpukan soal-soal itu langsung mengambil dan menyimpannya pada tempat semula.
"Pukul 09.00 P.M," gumamnya. Rose kembali ke meja belajarnya, mengerjakan soal-soal itu dengan teliti.
Kreeettt
Sebuah suara pintu terbuka itu membuat Rose merasa terusik. Ia berhenti sejenak, entah apalagi yang akan terdengar setelah ini.
"Sssssttt," ada sebuah bisikan tepat di samping telinga kirinya yang membuat Rose terkesiap. Beberapa kali ia mengerjap-ngerjap. Bulu kuduknya kian meremang. Sugesti yang aneh-aneh menjalar dalam pikirannya.
Rose langsung menyudahi pekerjaannya. Ia segera naik ke atas ranjang dan memejamkan matanya. Satu menit...dua menit...tiga menit... mata terpejam itu sulit sekali untuk tidur. Tubuh Rose mulai gemetar. Ia takut jika ada orang jahat yang masuk ke apartemennya.
Perlahan-lahan ada sebuah kehangatan yang mulai merambat di tubuhnya. Rose mulai merasakan ketenangan setelah itu. Hingga akhirnya ia lelap tertidur.
"Mimpi indah," bisiknya, lalu mengecup pelan daun telinga Rose.
Wushh
Lagi-lagi tubuh itu menghilang bagai asap.
***
Rose berjalan lunglai ke kampusnya, hari ini tidak seperti biasanya ia bangun siang. Untung jam perkuliahan di mulai pukul 9. Rose menatap ke gedung perpustakaan yang megah dengan cat gading itu, kaca jendela yang besar menampilkan jejeran buku yang begitu rapi.
"Shit! Aku lupa menemui paman Louis," Rose buru-buru pergi ke ruangannya.
Setelah sampai di depan pintu. Sebuah lengan mencekalnya. Dingin namun halus.
"Kau?" Tenggorokan Rose tercekat.
"Jangan masuk!" Perintahnya dingin.
Rose menatap ke dalam manik hijau gelap itu. Rasanya ia menikmati ketenangan di dalamnya namun juga ketakutan yang dipancarkan oleh mata tajamnya
"Tidak! Aku harus menemui paman Louis,"
"Jangan! Aku menunggumu sangat lama," lirihnya lembut
"Apa? Maksudnya kamu dari pagi nunggu aku gitu?" Tanya Rose polos. Pemuda itu tak bergeming, ia hanya menatap Rose dengan tatapan kosong yang sulit di artikan.
Pemuda itu melepaskan tangannya. Kemudian berbalik dan berjalan ke lorong yang jarang di lewati mahasiswa.
"Hei, tunggu!" Rose menatap ke pintu di hadapannya, dan kemudian berlari mengejar pemuda tadi ke arah lorong yang gelap.
"Cepet banget jalannya," gumam Rose.
Ia terus berjalan ke dalam, di lihatnya dinding-dinding yang penuh dengan ukiran kuno yang indah. Rose sesekali meraba permukaannya.
"Aku baru tahu ada dinding yang seindah ini di kampus,"
Rose terus berjalan lurus ke depan. Namun tak ada titik akhir di sana. Dan cahaya pun kian meredup. Untung Rose membawa ponsel canggih di sakunya.
Rose langsung menyalakan senter. Wush.... sekelebat bayangan melintas pada cahaya senter Rose
"Siapa itu?" Tanyanya entah pada siapa.
Rose terus berjalan menyusuri lorong itu.
"Sepertinya aku sudah berjalan terlalu jauh," gumamnya.
Rose menatap sekeliling lorong. Ia kemudian berbalik dan berniat berjalan kembali ke ruangan paman Louis. Namun, tiba-tiba sebuah lengan yang dingin mencekalnya kuat.
Rose memekik kaget. Ia langsung menoleh ke arah cekalan itu. Mata Rose seketika berbinar dan melupakan ketakutan saat melihat rambut putih itu berkilau dengan sorot mata tajamnya.
"Kau mengikutiku?" Tanya pemuda itu
"Ti-tidak," sergah Rose. Kini ia sangat gugup sekali saat tatapan itu beradu dengan tatapannya.
"Aku tidak bisa di bohongi Rose. Sebaiknya kau kembali," ucapnya
"Tunggu, aku belum tahu namamu,"
"Juan," singkatnya.
"Juan?" Tanya Rose memastikan
"Juan Albert William," Juan menyebutkan kepanjangan dari namanya.
"Nama yang bagus, tapi aneh juga," Rose terkikik sendiri dengan perkataannya.
"Rambutmu indah, matamu juga, bibirmu juga, apalagi hidungmu itu yang mancung, kulit wajahmu juga, kamu perawatan ya?" Tanya Rose yang blak-blakan
"Tapi kenapa berwarna putih?"
"Kesedihan, ketakutan, marah, rasa tidak disukai, menerima berita tak terduga."
"Maksudnya, kamu memiliki Sindroma Marie Antoinette"
"Rose lebih baik kamu kembali ke tempatmu," perintahnya sekali lagi.
"Baiklah, oh ya, aku bisa kan menemuimu lagi?"
"Tidak, aku tidak tertarik untuk bertemu dengan gadis penakut sepertimu?"
"Apa? Aku penakut? Tidak kok," ucap Rose yang tak terima dirinya di sebut penakut.
"Sudahlah cepat kembali,"
"Tapi bisa kan kita bertemu lagi. Aku menyukai rambut anehmu itu hehe,"
"Tidak,"
"Yasudah aku tidak mau kembali,"
"Rose ada seseorang yang menunggumu,"
"Dengar ya.. Juan, atas kehendak apa kamu menyuruhku kembali hah?" Rose melipatkan kedua lengannya di depan.
"Cepat kembali. Dan ini, ambil sapu tanganmu. Jangan kamu simpan di sembarang tempat," Rose menatap sapu tangan yang disodorkan Juan. Ia meraba-raba saku celananya yang tak menggembung.
"Dari mana kamu mendapatkan ini?" Tanya Rose heran.
Juan menatap ke dalam manik mata Rose, semakin dalam dan semakin dalam.
Rose mengalihkan pandangannya. Jantungnya kian berdegup kencang.
"Juan deng..." mata Rose membelalak tak percaya saat matanya menatap pemandangan mengerikan di depannya.
Ia melihat wujud Juan dengan leher terkoyak dan hampir putus. Matanya terpejam dan tes..tes...tes.. darah ke luar dari dalam mata yang terpejam itu.
"Kyaaaaaa!!!" Tubuh Rose perlahan berjalan mundur, semakin mundur dan duk.. tubuhnya menyentuh dinding yang entah sejak kapan berada di sana. Rambut itu perlahan berjatuhan hingga menyisakan beberapa helai saja. Dada sampai perutnya perlahan membelah.
Tubuh Juan semakin mendekat ke arah Rose. Kini mulut indahnya terkoyak sampai ke telinga. Hidungnya tak membentuk kembali.
"Iam here," suara itu yang mampu keluar dari mulut Juan
Rose langsung menutup wajahnya. Entah kenapa, tetap saja penampakan itu masih terlihat jelas di depannya, tubuh Rose merosot ke lantai dan seketika semuanya menjadi gelap.
"Rose," lagi-lagi panggilan itu terdengar ke dalam indra pendengarannya. Perlahan Rose membuka mata. Padangan kosong itu menatap lurus ke depan. Sekelebat bayangan melintas di depannya.
"Rose," panggil paman Louis.
"Paman," lirih Rose pelan. Ya sekarang Rose berada di ruangan paman Louis, seperti biasa Rose harus selalu terpejam atas perintah paman Louis.
"Apa kamu melihat atau mengalami sesuatu?" Tanyanya.
Rose mencoba mengingat sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Namun, apa daya tak ada sesuatu yang dapat di ingat Rose. Rose menggeleng pelan sebagai jawaban.
Saat lengannya meremas, ia mendapati sapu tangan putih miliknya
"Kembalilah ke kelas. Ini sudah jam kuliahmu," perintah paman Louis
"Terima kasih paman," ucapnya seraya pergi ke luar dari ruangan itu.
"Aku masih tepat waktu," gumamnya. Sebuah bayangan menatap nanar kepergian Rose dari ruangan itu. Namun, sorot matanya menajam saat melihat ke arah ruangan paman Louis, sebulir air mata jatuh dari mata hijaunya.
Brak...
Tong sampah yang ada di depan pintu itu terjatuh seketika. Paman Louis yang mendengar tong sampah terjatuh hanya menghela nafas pelan. Paman Louis mendudukkan dirinya di atas kursi kerjanya. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kokohnya.
"Maafkan aku Penyidik Juan," gumamnya
Jangan coba-coba baca ini sendirian hayooo :D. Kenapa Juan menampakan wujud aslinya? Tunggu! Apakah itu benar Juan atau...... (Secret) next part yang akan menjelaskannya.
Paman Louis itu ada hubungan apa ya dengan penyidik Juan? Saksikan kelanjutannya setelah jeda berikut ini.
Jangan lupa follow akunku kemudian Vote dan beri Komentar yang membangun, bukan merobohkan :D hargaiiii da pujiiii😅
Aku memang ada 😱
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' ://tinlit.com/story_info/3644 jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Come Back the Investigator