Lipstik.. Bisa aneh gini sih. Berulang kali aku mengaca melihat perbandingan diriku antara kemarin dengan sekarang. Terlihat aneh.
"Gimana? Udah rapi?"
Aku melirik dari cermin ke seorang yang berdiri tegap di belakangku, lalu mengangguk sekali dan kembali lagi merapikan lipstikku. Aneh saja, sejak awal aku didandani oleh MUA sewaan Nina, bibirku tampak aneh saat diolesi lipstik matte milikku. Tidak biasanya.
"Dasinya gimana?"
Rrgghh, aku menggeram dalam hati antara kesal dan tidak sabaran. Aku masih sibuk memolesi bibirku tetapi Erik terus saja menggangguku dengan penampilannya. Kuberitahu kalau sekarang Erik sedang berdandan layaknya lelaki maskulin seutuhnya. Dengan setelan suit warna hitam polos dan dasi kupu-kupu yang sedikit menggelikan saat dilihat itu. Over all Erik terlihat sangat charming. Seandainya dia tidak bengkok, boleh juga kumasukkan ke dalam list calon jodoh.
"Dasi oke," gumamku kembali memolesi bibirku untuk terakhir kalinya karena kudengar samar MC sudah mau memulai acaranya.
"Cinta, udah mulai," heboh Erik membuatku semakin terburu-buru.
"Selesai."
Kurapikan beberapa alat make-upku dan kumasukkan ke dalam clutch warna perak milikku, lalu aku bergegas untuk menggandeng Erik keluar dari toilet wanita. Kami berdua buru-buru berjalan keluar dan tidak melihat kondisi, yang penting sampai duluan di ballroom hotel bintang lima yang menjadi tempat untuk akad nikah sekaligus resepsi Mona bersama Jo. Saking tergesa-gesanya aku saat keluar dari kamar mandi, aku baru sadar kalau tepat di ambang pintu ballroom sana berdiri lima lelaki tampan yang mirip sekali dengan patung Dewa-Dewa Yunani yang ada di negara Eropa. Spontan aku melepas gandengan Erik dan memutar balik badanku, ingin sekali berjalan ke toilet lagi namun teriakan Erik membuatku berhenti dan malu setengah mati.
"Laras!! Acaranya di sana! Ngapain balik?!" amuknya kesal.
Astaga, malu sekali aku. Sudah pakai heels 13 sentimeter jadinya susah sekali kalau mau langsung lari memasuki ballroom. Jadi aku berinisiatif kembali ke tempat Erik untuk menuju ballroom sambil menutupi wajahku dengan clutch.
"Lo jangan bikin malu gue dong!" geram Erik berusaha keras menekan sifat ke-bengkokannya. Aku meringis saja lalu sebelah tanganku kembali ditarik olehnya.
Baru saja kami berdua melewati lima Dewa tadi, satu panggilan yang kuhapal betul berasal dari pita suara siapa, memanggilku dengan tegas. Mampus, Laras. Mampus! Pengen banget gue nyemplung ke kolam sekarang juga.
"Laras?"
Erik berhenti lebih dulu jadi aku mendorongnya untuk terus melangkah dan tidak memperdulikan panggilan dari Sandro, tetapi rupanya mendorong badan Erik yang sebesar badak ini susah juga.
"Dipanggil si Bos, Oneng!" maki Erik lalu gantian mendorongku ke sekumpulan lima Dewa tadi, sedangkan dia langsung masuk ke dalam ballroom.
Sialan. Aku lupa, kemarin 'kan hanya Mona dan Nina saja yang tahu soal masalah hubunganku dengan Akssa. Aku lupa menceritakannya pada Erik. Pantas saja Erik tidak tanggap dengan kondisi. Sudah tahu di situ juga ada Akssa masih saja mendorongku ke arah kumpulan mereka.
Lagian kenapa juga Sandro memanggilku? Jarang sekali dia memanggilku diluar urusan pekerjaan. Hikk, jangan-jangan si Nina sableng udah kasih tahu ke doinya.
Aku menggaruk sebelah pelipisku yang tidak gatal dan mulai melangkah kaku ke arah Sandro. Tubuhku berjalan sudah seperti robot Korea yang kaku tetapi cantik. Oh, jelas dong cantik. Sedikit menunduk agar tidak bertatapan dengan Akssa, aku meringis aneh ke arah Sandro dan sok akrab memberikan hormat kecil pada Sandro selaku CEO di kantorku.
"Bapak, ada apa, Pak?"
"Bapak?" tanya dia heran.
"Kan CEO," jawabku nyeleneh masih sambil meringis garing.
Pandanganku sedikit melirik ke arah lelaki yang berdiri tepat di samping Sandro, dia Nicko sekretaris Sandro. Kebetulan saat aku meliriknya, dia juga sedang menatap ke arahku. Aduh, jadi salah tingkah aku. Lagian mereka bergerombol seperti ini ngapain, coba? Sudah seperti wolfpack saja, mana ganteng-ganteng sekali mereka ini.
"After party kamu join sama saya buat proyek baru, gimana?" tawar Sandro serius.
Proyek apa lagi ini? Pekerjaanku sudah menumpuk dengan masalah tanah sengketa, si Bos malahan menyuruhku untuk bergabung bersama proyeknya. Mending-mending kalau dikasih promosi naik jabatan seperti Nina dulu yang awalnya kacung langsung melejit naik jadi sekretaris CEO, lah aku?
Kacung ya kacung, Ras..
"O-oke. After party?" tanyaku memastikan.
"After party," jawab Sandro lalu beralih menatap ke teman-temannya yang berparas Dewa ini termasuk Nicko. "Jonathan, dia bersamamu. Namanya Laras," ucap Sandro lagi memperkenalkanku pada yang lain terutama pada Jonathan.
Jantungku berdegub kencang sekali antara mau menoleh ke arah Jonathan si manusia es itu atau tetap menunduk atau bahkan menatap Sandro saja terus-terusan, mumpung Nina di dalam 'kan jadi aman tidak dikatai pelakor. Masalahnya di samping Jonathan itu berdiri Akssa yang tampak santai dengan wajah datarnya yang khas sekali.
Kadang Tuhan memang selalu memperlakukanku dalam keadaan terjepit seperti ini. Mau menolak berkah sayang, tapi mau menerima juga apes kena malu sendiri. Mau minta tolong pada siapa? Erik saja sudah ngacir duluan masuk ke ballroom. Memang teman ter-kampret dia itu.
"Larasita, 'kan?"
"Hah? Larasati. Larasati DG," ucapku sengaja tak membeberkan nama panjangku. Aku belum mau mengungkit nama Dayu di depan Akssa.
"Ini bagian Nicko, 'kan? Kenapa aku?" tanya Jonathan seperti heran dengan tugasnya dari Sandro.
"Laras urusanmu di lapangan, Nicko akan tetap berada di kantor apapun kondisinya," tegas Sandro. "Dan Laras, kenalkan dia Samuel. Dia orang yang akan bekerjasama membuat proyek kita," lanjut Sandro membuatku mau tak mau menoleh pada lelaki pemilik senyum manis itu yang juga berdiri di sebelah Akssa.
"Sam," ucapnya sambil menjulurkan jabat tangan.
Aku menerimanya ramah, "Laras."
Kupikir dia bisa jadi partner kerja yang baik dan sopan. Tidak seperti Akssa yang kasar dan dingin. Mengingat proyek jembatan tiga tahun lalu membuatku seperti terlalu ekstra sabar dengan lelaki satu itu.
"Good," gumam Akssa tiba-tiba membuatku melepaskan jabat tanganku dengan Sam.
Aku mundur selangkah dan mengamati mimik wajah Sandro yang setengah melirik Akssa lalu melirik ganti ke arahku. Dan sialnya, aku bisa melihat smirk tipis yang diciptakan oleh bibir Sandro. Astaga, astaga, astaga, apa Sandro tahu?!
"Baik para hadirin yang kami hormati--"
Sandro berdeham sekali sebagai penutup obrolan kami. "Itu MC-nya. Acara mulai," katanya lalu menggiring kami semua untuk memasuki ballroom.
Aku sedikit melangkah lebih pelan dari empat lelaki itu, aku melangkah sedikit-sedikit di belakang Sandro yang juga mengikuti gayaku. Aku menangkap gesture-nya, dia seperti ingin menyampaikan sesuatu padaku.
Setelah Jonathan, Nicko, Sam dan juga Akssa memasuki ballroom, Sandro menoleh ke belakang menatapku dengan geli. Lalu ia meringis dan telunjuknya terangkat menunjuk deretan giginya sendiri, setelah itu ia melayangkan 'sip' dengan jempolnya, membuatku berhenti melangkah saat itu juga.
Begitu Sandro sudah berbalik lagi dan ikut masuk lebih dulu, aku memegang dada sebelah kiriku. Jantungku rasanya seperti mau copot saat itu juga. Bukan karena sikap Sandro barusan yang seakan-akan memuji penampilan baruku. Tetapi, makna dari itu semua.
Apa Akssa pernah cerita sesuatu sama Sandro?
Soal behel misalnya?
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Mona Sachi Goutama binti Hendrawan Dwi Goutama dengan maskawin tersebut, tunai."
"Sah?"
"Sah!!!~"
Aku menyeka air mataku dengan sapu tangan yang sudah kusiapkan dari apartemen tadi. Aku tahu momment seperti ini pasti ada, menangis haru sekaligus sedih karena ditinggal Mona melepas masa lajangnya.
Lebih ke sedih sebenarnya, sedih karena aku belum juga mendapat jodoh. Minim pacar lah, ini gandengan saja tidak punya. Ada juga hubungan tidak jelas dan semrawut dengan Akssa.
Kesal sebenarnya mengingat soal lelaki satu itu. Aturan darimana dia menyuruh seorang wanita yang berjuang duluan daripada lelakinya?
Suara haru biru semakin kentara apalagi dari wanita ber-anak dua yang berdiri di sebelahku ini, dia sudah meneteskan air mata sejak sebelum Jo mengucapkan akadnya.
"Buk, mewek mulu sih," tegurku karena merasa aneh Nina seperti sensitif sekali.
Sambil memegangi perutnya berulang kali, Nina mengangguk-anggukkan kepalanya dan kembali menyeka air mata. Aku menggeleng heran dengan sahabatku satu ini, sejak awal aku memgenalnya aku memang sudah membayangkan bisa ketularan sinting karenanya.
"Bawaan bayi, Cin."
"Heh?!" kagetku. "Bayi apa?"
Nina menunjuk perutnya sendiri yang masih kelihatan rata itu. Astaga, aku terkejut bukan main. Belum juga Kanya genap lima tahun tapi Sandro sudah menanam benih siap panen. Aku memegang keningku sendiri karena tiba-tiba merasa pusing dengan hot news dari Nina barusan. Nina hamil lagi? Dan nasib gue masih single?!
"Nin, lo melukai harga diri gue banget sih..," rengekku pelan dan air mataku kembali menetes lagi. Aku menangis bukan karena sekarang melihat Jo yang bahagia sedang memeluk Mona. Aku sedih karena menangisi kemalangan nasibku yang tidak pernah ada bagus-bagusnya.
"Jangan mewek dong, Buk."
"Gue single bertahun-tahun lo enak-enakan bikin baby."
Nina semakin mendekat padaku dan memelukku erat, dia menyeka air mataku yang sudah membanjiri kedua pipiku yang dipoles licin dengan make-up mahal dari MUA.
"Atututu, Cinta. 'Kan udah dilepas behelnya, sebentar lagi sialnya ilang," bujuknya manis sekali.
Demi Neptunus beserta aliennya, apakah behelku itu memang pembawa sial sampai-sampai semua orang mengira begitu? Aku hanya memutar kedua bola mataku kesal dan merapikan eyelinnerku agar tidak luntur karena menangis.
"Akad telah dilaksanakan dan sambil menunggu pengantin mengganti pakaiannya, kita akan memasuki acara party dengan berbagai kudapan yang nikmat, have you enjoyed this..," ucap MC dan lagu bahagia mulai diputar memenuhi ballroom.
"Cintaa, minum, Cinta."
Aku dan Nina menoleh ke belakang melihat Erik yang tampak bengkok lagi, setengah gemas aku mencoba untuk menegurnya tetapi rupanya Erik tidak peduli. Aduh, gimana dia itu. Memangnya dia mau buka jati dirinya di tengah-tengah acara dan ribuan tamu undangan ini?
"Ember, Cinta. Eike sudah lelah dengan kebohongan," ucapnya memberiku segelas minuman soda yang tadi dibawanya.
"What's wrong with you?" tanyaku dan Nina bersamaan.
Please, bukannya kita malu atau apa dengan pertunjukan Erik yang 'berencana' untuk membongkar jati dirinya, tetapi bagaimana dengan Erik sendiri? Di sini yang akan dikucilkan setelah kejujurannya adalah dia sendiri bukan aku, Mona ataupun Nina. Erik memang gila.
"I told ya, I'm tired, babe, this is my time to show up." Erik memutar badannya sekali dengan gerakan gemulai lalu mengedipkan sebelah matanya padaku. "See yaa, girls!!" Lalu dia pergi dengan langkah yang sangat gemulai.
Aku dan Nina saling berpandangan sebentar, aku yang shock sepenuhnya dan Nina yang berusaha tertawa mencairkan kondisi. What's wrong with my f*ckin' friends? Nina menepuk sebelah lenganku pelan dan meminum minuman sodanya, aku masih saja melihatnya heran dan belum terlepas dari rasa keterkejutanku. Kenapa disaat aku masih terkungkung mengasihani nasibku, justru semua orang bersikeras untuk merubah nasib mereka. Dimulai dari Mona dan juga Erik. Apa aku harus?
"This is the real party, Laras! You turn! Gue tunggu lo rubah kenyataan hidup lo," seru Nina lalu ikut meninggalkanku sendirian untuk menyusul Sandro yang berada di kumpulan para lelaki.
Gue tunggu lo rubah kenyataan hidup lo.. Apa coba maksutnya? Merubah apa?
"Mundur," bisik seseorang tepat di belakangku lalu lenganku diseret mundur oleh orang itu.
"Heels, aku pakai heels," seruku karena hampir saja aku terjungkal ke belakang.
Mendengar ucapakanku barusan Akssa memelankan langkahnya sambil menarik pelan lenganku untuk mengikutinya entah kemana. Dia membawaku keluar ballroom dan setiap kami bertemu dengan lelaki ber-jas lainnya yang kelihatan seperti kolega-kolega luar, Akssa merangkul pinggangku dan merapatkan tubuhku pada tubuhnya. Aku speechless menyadari ini. Perkataan Nina tadi justru semakin terngiang di kepalaku.
"Mau kemana? Acaranya belum selesai," kataku panik.
Akssa tidak menjawabku dan kami terus melangkah keluar ballroom, meninggalkan hiruk pikuk MC yang sedang meluncurkan beberapa lawakan untuk mengisi kekosongan acara sebelum Mona dan Jo selesai mengganti pakaian mereka dengan pakaian wedding party. Aku 'kan juga mau melihat resepsinya, ini malah ditarik-tarik seperti kambing oleh Akssa. Setengah kesal tapi setengah mau juga sebenarnya.
"E-eeh, ngapain kesini?" Tubuhku di dorong masuk ke toilet oleh Akssa.
Klek! Akssa lalu mengunci pintu toilet perempuan yang tadi sempat kukunjungi bersama Erik sebelum acara akad nikah.
Dia lalu menatapku nyalang, wajahnya yang selalu khas terlihat dingin dan keras itu seperti berpikir, lalu dua detik kemudian untuk pertama kalinya hatiku pecah berantakan saking tidak kuatnya melihat bibir Akssa yang bergerak membentuk senyuman meskipun tipis.
Aku terpaku di tempatku berdiri di depan wastafel sedangkan Akssa mulai melangkah mendekatiku.
"Dimana behelmu?"
Hell, dari segudang kalimat yang bisa dia katakan untukku kenapa harus menyinggung masalah behel?
Karena kesal aku memilih untuk pergi dari dalam toilet. Baru saja mau melewati tubuh Akssa, lenganku dicegah olehnya.
"C'mon, let's talk," katanya kembali berubah dingin tanpa senyum.
"Apa?"
"Aku keluar dari apartemenmu jam dua pagi."
"Terus?"
"Im waiting for you."
"Aku ke dokter."
"Selarut itu?" tanya dia dingin.
Tok! Tok! "Halo? Kok dikunci sih?"
Aku menoleh ke belakang dan melihat handle pintu toilet itu bergerak-gerak. Aku panik dan takut kalau sampai ada orang yang mengetahui aku dan Akssa berada di dalamnya. Kutatap Akssa dengan sedikit takut namun dia hanya melonggarkan dasinya dengan gerakan maskulin itu, tidak sedikitpun merasa panik.
"Biarkan," katanya.
"Lagian ngapain juga sih kamu bawa aku ke sini? Kayak nggak ada tempat lain aja buat ngobrol!" bisikku kesal.
Akssa mendekat ke arahku sambil membuka satu kancing kemejanya. Ia melepas talinan dasinya yang tadi terpasang rapi lalu menaruhnya di atas wastafel. Sekarang dia kelihatan sekali seperti seorang jerk tampan dan mempesona. Mm, aku belum bisa meng-klaim hak milik atas Akssa, jadi percuma aku mengelu-elukan ketampanannya yang ternyata belum menjadi milikku itu, intinya jangan sok ke-pede-an.
Tepat di depanku, sebelah tangan Akssa terangkat dan ibu jarinya menyentuh daguku, memaksaku untuk membuka mulut. Lalu senyumnya kembali terbit meski hanya sekilas. Wah, ternyata melepaskan behelku memang ampuh juga. Tahu begitu sejak bertahun-tahun lalu aku melepasnya, ya. Sudah berapa lusin aku mendapatkan lelaki tampan kalau behelku lepas dari dulu-dulu. Lelaki sekelas Akssa saja mungkin bisa dapat puluhan.
"Bagus," ucapnya lalu membelai singkat bibirku yang dipoles lipstik matte warna nude semi pink ini.
"Malam ini aku pindah ke apartemenmu."
Kedua bola mataku melotot terkejut dengan ucapannya yang terkesan tidak dipikir lebih dulu. Memangnya dia berpikir mau kumpul kebo denganku atau bagaimana, membuat imanku lemah saja. Mungkin juga dia berpikir kalau khilaf itu tidak pernah ada di dunia fana ini. Seenaknya saja memutuskan ingin pindah apartemen, bangkrut apa bagaimana dia itu sampai harus menumpang di apartemenku.
"Nggak!" jawabku tegas.
"Ya."
"Enggak."
"Aku malas harus selalu pulang dini hari," katanya.
"Siapa suruh? Aku nggak pernah tuh nyuruh kamu nongkrong lama-lama di apartemenku."
"Laras," geramnya mulai lagi, intonasi yang sama sekali tidak kusukai.
"Apa?"
Aku kesal setengah mati. Aku benci dengan seseorang yang seenaknya memutuskan satu keputusan besar yang seharusnya diputuskan oleh dua orang atau lebih. Dia egois. Akssa sama sekali tidak mempertimbangkan posisiku dan emosiku kalau sampai dia meminta untuk tinggal satu apartemen denganku. Bukan hanya gosip tidak sedap saja yang akan mampir ke telingaku, tapi dampak dari gosip itu sendiri akan membuat imageku tercoreng.
Hei, Laras tinggal sama siapa?
Hei, kumpul kebo, ya?
Kapan nikah kok sudah satu atap?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang sedemikian rupa kuhindari dan paling kubenci. Orang-orang akan dengan senang hati mengurusi urusanku.
Akssa hanya menghela napasnya sekali dan tidak jadi mengatakan apa yang tadi ingin ia katakan, sebagai gantinya dia membuka kunci pintu toilet dan kembali menatapku beberapa detik dengan pandangan seperti ... sedikit putus asa.
"Oke," ucapnya terpaksa lalu keluar dari toilet lebih dulu.
Aku mundur perlahan menyandar pada wastafel. Kepalaku tiba-tiba terasa pening dengan berbagai konflik yang ditimbulkan Akssa untukku. Lelaki itu, entah kenapa ingin sekali membunuhku secara perlahan. Aku butuh pelarian.
Kuhela napasku berat dan menunduk menghalau rasa pening yang semakin terasa berdenyut itu. Sialnya, pandanganku justru bertemu dengan dasi Akssa yang tadi sempat dia lepas dan ditaruh di atas wastafel.
Aku menggeram dalam hati. Dia benar-benar menyiksaku.
***
"Selamat, Cinta. Sakinah mawadah warrahmah, ya." Aku memeluk Mona dengan erat saat mendapat giliran bersalaman dengan pasangan pengantin ini. Di atas podium Mona dan Jo tampak serasi sekali.
"Thank you, bebi." Mona menyeka air matanya yang akan jatuh, spontan aku memberikannya tissu. "I'm happy, dear. My dream comes true. Now is your turn, Laras. Let the love guide you, just feel it and accept him," pesan Mona sambil menunjuk pada kumpulan lelaki dengan dagunya.
Aku mengikuti arah yang dimaksut Mona dan pandanganku langsung bertabrakan dengan tatapan datar Akssa. Oh my gosh, dia menatapku sambil membawa dua gelas di kedua tangannya, lalu ia mengangkat salah satu gelasnya ke arahku seperti menyuruhku untuk bersulang. Buru-buru aku berbalik untuk menatap Mona lagi, aku menggeleng cepat-cepat.
"Lo gila," bisikku.
"Lo yang gila! Cuma lo yang bisa buat Akssa berubah, Buk! Apa lo nggak sadar, sejak kapan seorang Akssa bisa ngomong panjang lebar sama orang lain?"
Paru-paruku terasa sesak mendengar kenyataan yang begitu menampar hati itu. Aku baru menyadarinya juga. Baru-baru ini Akssa berubah. Dia bisa berbicara panjang denganku, dia bisa tersenyum selain dengan Nina walaupun itu tipis. Akssa bahkan sudah berani menunjukkan gerakannya yang bebas di depan publik, seperti membawa dua gelas dan mengangkatnya satu untukku tadi. Ya ampun, kenapa aku baru sadar? Sebenarnya aku ini berharap padanya atau tidak sih.
Kugaruk samping leherku ragu sambil bergeser ke samping Jo dan menunggu Nina juga Erik untuk bergantian memeluk Mona. Tatapanku melirik ke depan di perkumpulan para tamu lelaki, kulihat Sandro juga ikut naik diikuti Akssa.
Heh? Ngapain Akssa ikut?
Karena gugup, aku berusaha untuk menatap ke arah lain. Oh, Jo!
"Selamat, Jo. Lo beruntung dapetin Mona," kataku berusaha untuk mengalihkan kegugupanku sendiri.
Dia mengangguk sambil tersenyum ramah. Jas warna putih polos yang ia kenakan nampak membuatnya semakin seperti manekin hidup karena kulit Jo memang putih bule. Mona seharusnya mengganti jas suaminya itu dengan warna merah marun atau hitam agar terlihat kontras.
"Dia anugerahku," ucap Jo dengan senyum yang mengembang penuh kebahagiaan.
That's it. That's what I want to hear from someone who love me!
Dadaku sesak secara tiba-tiba. Kedua mataku justru berlinang sekarang. Ternyata jawaban Jo membuat hatiku lemah. Di usiaku yang menginjak 27 tahun ini, aku masih saja sendiri.
"Oke, merapat! Atur posisinya."
Aku tersentak mendengar teriakan fotografer handal yang ada di depan podium. Semakin tersentak karena di samping kananku berdiri Akssa yang tampak mempesona sekali dengan kemejanya yang dibuka satu kancingnya.
Oh, dasinya masih ada di dalam clutchku. Aku terus menatap Akssa dari samping dan aku benar-benar terpesona oleh garis rahangnya yang tegas.
"Lihat kamera! Hitungan ketiga!" seru si fotografer lagi sukses membuatku berdeham malu dan tampak kikuk menatap ke depan kamera.
"Tiga, dua, satu! Senyum!"
Krek! Krek! "Gaya bebas!" seru Mona setelah dua kali jepretan kami berfoto bersama secara formal.
Aku bergerak kaku dan tampak salah tingkah. Harus ambil gaya apa aku sekarang? Masa iya harus ambil gaya swag atau ngangkang.
Kulihat Erik maju untuk bergaya seperti duyung yang terhempas ke pinggir pantai di depan barisan kami. Sandro juga tampak merangkul Nina secara bebas. Noah menunduk mencium pipi Kanya dan berpegangan pada tubuh Erik yang tiduran itu. Mona dan Jo tampak rangkulan mesra satu sama lain.
Lantas aku?
"Here we go," gumam Akssa lalu merangkul pinggangku erat, "Your finger, make a peace," perintahnya lalu buru-buru kulakukan sebelum kamera mengambil gambar. Wah, wah, gaya apa ini kaku sekali seperti ABG selfi.
Krek! Mona lalu bertepuk tangan senang sekali. Dia memeluk Erik bahagia setelah manusia berjiwa bengkok itu berdiri. Rupanya keputusan Erik untuk membuka jati dirinya pada publik mendapat dukungan banyak dari kami dan para teman-teman staff kantor karena kulihat staff kantor yang datang dan memenuhi ballroom itu juga tampak bertepuk tangan heboh melihat tingkah Erik. Mereka sama sekali tidak mencibirnya, mereka juga ikut bahagia.
"Siapa Nicko?" tanya Akssa menginterupsi konsentrasiku yang sedang bahagia melihat Mona-Erik.
"Cinta, bahagia, ya!" pesanku sebelum aku mendorong Akssa untuk turun dari podium.
"Nicko ya Nicko," jawabku bingung. "Kenapa?"
"Nope."
Lalu Akssa pergi meninggalkanku untuk kembali mengikuti Sandro yang sudah berkumpul lagi di barisan tamu lelaki. Aku mengedikkan kedua bahuku masa bodoh dan memilih untuk mencari Erik, dia pasti sedang hunting makanan bersama Noah dan Kanya.
***
"Ahh, capek," gumamku sambil melempar tubuhku di atas sofa apartemen.
Sofa yang dingin dan terkesan tidak pernah diduduki oleh pemiliknya. Aku mendongak dan menatap ke sekeliling mencari keberadaan pemilik apartemen. Katanya tadi mau ambil minum, kenapa lama sekali. Ambil minum apa minum sendiri tuh. Aku beranjak dari sofa dan menyusul Akssa ke dapurnya.
Tadi setelah resepsi usai, Akssa memaksaku untuk pulang bersamanya sebelum kami berangkat ke kantor Sandro membahas proyek yang sempat dibahas tadi siang.
"Ssa?"
"Hm."
"Dapurmu kosong melompong gini sih."
"I'm never cooking."
"Sofamu juga nggak pernah kamu pakai."
"Aku pulang, aku mandi, aku tidur, aku bekerja," jawabnya masih fokus membuat minuman sirup seadanya.
"Itu rutinitasmu?"
"Hm."
"Never eat here?"
"Never."
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku pelan. Pantesan saja apartemen mewah tapi sekali dimasuki bikin bulu kuduk berdiri. Pasti di sini banyak setan-setan jahat semacam Akssa. Makannya kepribadiannya mirip 'kan sama setan. Setan tampan.
Akssa mendorong satu gelas es sirup yang berhasil dia buat kepadaku. Ia sendiri juga meminum minumannya dan menyandar pada meja bar di dapurnya sambil menatap gelas di tangannya, menimbang.
"Soal apartemen," lirihnya.
Aku diam saja tak menggubris omongan Akssa dan memilih untuk meminum es sirup segar ini. Aku berusaha mendengarkan apa yang akan dikatakan Akssa soal masalah tadi. Apa dia masih ngotot ingin tinggal di apartemenku atau tidak.
Kupandangi wajahnya yang keras itu. Wajah yang sebenarnya tampan mempesona namun tertutupi samar oleh kemarahan dan kekecewaan.
Rambutnya yang dipotong undercut tampak sedikit messy karena terlalu sering ia sentuh dengan kesepuluh jemarinya.
"Aku serius soal apartemen," katanya.
Sekarang giliran aku yang menimbang. Aku memang punya dua kamar di apartemenku, tetapi hanya ada satu kamar mandi di salah satu kamarnya yaitu hanya di kamarku. Selama tiga tahun Akssa sudah keluar masuk apartemenku tanpa rasa sungkan. Dia membuka setiap barang yang ada di sana dan membuat tempat yang nyaman khusus untuknya seperti satu meja yang ada di samping pintu balkon apartemenku, yang dulunya kupakai untuk bekerja di malam hari sebelum ada Akssa tetapi selama tiga tahun kemarin meja itu sudah berubah hak milik menjadi Akssa's table.
Dia menaruh beberapa peralatan mandinya di wastafelku dan menyimpannya dalam satu wadah seperti tas kecil transparan. Akssa juga selalu meninggalkan bajunya di dalam wadah pakaian kotorku untuk jadi satu kucuci di tempat laundry.
Kalau dihitung-hitung dari semua kenyataan itu, sebenarnya kami sudah bisa dibilang tinggal satu atap hanya saja selama tiga tahun kemarin Akssa hanya sebatas mampir-mabuk-tidur sebentar-lalu pulang dini hari. Aku kembali berpikir keras untuk usulan Akssa yang memilih tinggal di apartemenku.
Tunggu, apa apartemen ini menyimpan sesuatu sampai dia memilih untuk pindah? Atau karena apa? Setahuku Akssa sama sekali tidak punya perasaan padaku, aku kira belum. Aku yakin itu. Dari semua ciuman yang dia berikan padaku, bibirnya belum pernah menyentuhku dengan melibatkan perasaannya. Oh, ayolah, aku wanita waras jadi tentu saja aku bisa membedakan yang mana lelaki yang menciumku dengan melibatkan perasaannya dan yang mana dia menciumku just for kissing time seperti Akssa.
Jangan-jangan soal..
"Ssa?"
"Hm."
"Siapa Nara?" tanyaku pelan dan Santai. Aku berusaha keras tidak menyentuh emosiku sendiri saat menanyakan itu, satu nama yang tiba-tiba mampir di otakku.
Hening tercipta lama setelah aku mengeluarkan pertanyaan itu. Akssa tampak datar dan tidak menatap ke arahku. Apa gue salah tanya, ya?
"My first love," jawabnya datar lalu membanting gelas sirupnya ke atas meja bar. Dia melangkah pergi keluar dari dapur.
***
"Proyek ini akan berjalan tiga bulan mendatang. Kami sudah punya banyak jadwal rapat sebelum kamu datang di sini, Laras. Jadi tugasmu besok hanya akan memantau di lapangan persis yang dilakukan Jonathan," jelas Sandro panjang lebar.
Aku deg-degan sedari tadi duduk diam di antara lima lelaki berparas Dewa ini. Aku sudah berada di Anderson Group dan sekarang kami sedang melakukan meeting di ruangan Sandro yang sekarang menyimpan beberapa mainan anak kecil di setiap sudutnya. Pasti untuk Kanya, imutnya Daddy Sandro~
"Oke," jawabku lalu kembali menyimak apa yang dijelaskan soal proyek fly over yang akan dilakukan tiga bulan mendatang.
Sambil mendengarkan penjelasan Sandro dan juga Sam, beberapa kali aku menangkap lirikan dari Nicko yang seakan ingin berbicara denganku. Aku juga membalas lirikannya. Nicko adalah lelaki yang dulu sempat dekat denganku sebelum Akssa mendominasiku. Bukan dekat seperti PDKT, tetapi dekat sekadar mengobrol panjang lebar dan saling bercanda.
Nicko yang terkesan dingin itu aslinya memiliki humor garing yang bisa membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Intinya mirip komedian tapi tampan. Wajahnya penuh sekali kamuflase.
Dulu aku bisa mengenalnya karena pekerjaanku yang menjadi tangan kanan Sandro di bagian staff biasa. Aku yang selalu naik turun ke ruangan Sandro untuk menyerahkan rekapan laporan dan proposal langsung ke tangannya. Disitu aku selalu menemui Nicko dan kami jadi akrab setelahnya.
"Ehem," deham Sandro membuatku tersadar dan membalik proposal ajuan proyek fly over.
"Sampai disini, kau mau menambah ide lain, Akssa?"
Pertanyaan Sandro berhasil membuatku sedikit mendongak menatap lelaki yang sejak tadi hanya terdiam dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Setelah aku menanyakan soal Nara, Akssa langsung mengajakku untuk pergi ke AG lebih cepat dan selama perjalanan sampai di kantor Sandro, kami sama sekali tidak berbicara.
Aku menghela napasku pasrah. Mungkin aku salah momen untuk menanyakan soal Nara. Tetapi aku sangat penasaran. Aku ingin tahu kelanjutan kisah antara Akssa dan adik kandungnya itu. Akssa bahkan berani mengakui kalau Nara merupakan cinta pertamanya. Aku ingin menggali itu tetapi tidak sekarang. Kupikir aku harus menyetujui ide tinggal bersama itu kalau aku mau tahu soal Nara. Nggak apa-apa banyak gosip mampir, selagi digosipin sama cowok tampan. Nggak masalah. Hayati pasti rela.
"Nope," jawab Akssa lalu melipat kedua lengannya di dada.
"Jonathan, Nicko?" tanya Sandro kemudian.
"Tiga bulan kedepan bukan hasil yang maksimal untuk sebuah flyover. Jalan itu akan digunakan di tahun 2020, kau yakin?" tanya Jonathan serius.
Aku juga sepaham dengannya. Itu artinya hanya ada waktu sembilan bulan kurang untuk menyelesaikan proyek dan kurasa itu sangat tidak mungkin. Yaa, kecuali Sandro bayar seribu kuli bangunan berotot macam Ade Rai begitu aku baru percaya sih. Atau dia bertapa memanggil kumpulan pasukan Bandung Bondowoso untuk membangun fly overnya.
Waktu sembilan bulan hanya akan membuat fly over itu mengundur masa pengesahannya.
Sandro terdiam berpikir sebentar. "Aku sudah mengajukan proposal itu ke pusat. Mereka hanya minta hasil jadi dalam sembilan bulan."
"Kalau gitu ajukan bulan depan proyeknya. Lebih cepat lebih baik," usulku.
"Dana hanya akan turun tiga bulan mendatang," bantah Akssa seperti ingin mengajakku berargumen berdua saja.
Kenapa coba dia? Sentimen kayak kutil kuda.
"Hanya dua bulan 'kan hutangnya? Perusahaan masih bisa menutupi itu. Lagian pusat pasti setuju kalau proyek terlihat sudah jadi lebih cepat."
"Agree with you," setuju Nicko.
Oho! Rupanya Nicko memilih untuk berada di sisiku.
"Bisa dipertimbangkan," tambah Jonathan.
Ihirr, dua-kosong ya, Ssa! Aku menatap Akssa datar antara sedikit kesal dan juga was-was.
"Oke, enough. Thanks, Laras. Kita ambil usulanmu," kata Sandro memutuskan, dia mencoret tanggal di white board untuk pergerakan proyek yang harusnya tiga bulan mendatang menjadi bulan depan. "Meeting selesai, untuk sementara kamu bisa satu ruang dengan Nicko, Laras. Di lantai ini," perintah Sandro langsung kuangguki cepat.
Bye, bye, Mrs. Devi..
Semua bubar dan mulai membereskan laporan proyek masing-masing termasuk aku. Pertama Sam yang keluar dari ruangan Sandro diikuti Jonathan. Kemudian Nicko pergi namun dia melangkah ke arahku dulu.
"Can we talk for a while?" katanya dan kuangguki. Kami berdua keluar dari ruangan Sandro.
"Long time no see, you never been here again after a long time till now. Where are you, huh?" tanya Nicko membuatku tersenyum lebar.
"Mrs. Devi memperbudakku sebagai kacungnya."
Nicko terkekeh pelan dan membawa satu kursi yang ada di balik meja sekretarisnya untukku duduk.
"Kita harus hangout," ajaknya spontan.
Aku tertawa mendengar spontanitasnya yang mirip sekali dengan orang tidak punya malu. Kalian tidak tahu persis 'kan seperti apa Nicko yang terkesan dingin itu. Entah kenapa kalau denganku Nicko selalu bobrok dan tidak tahu malu seperti ini. Tetapi kalau sudah di luar, dia akan memasang sikap dingin dan acuh tak acuh.
"Kemana?"
Nicko berpikir sejenak. "Dinner?"
"O--"
"Laras."
Aku menoleh ke belakang karena kalimatku dipotong oleh seseorang. Salivaku turun secara dramatis karena merasa bahwa jadwalku untuk dieksekusi oleh Akssa telah tiba.
"O untuk apa? O untuk oke?" tanya Nicko tak memperdulikan Akssa.
"That is G for geh weg, wichs," geram Akssa membuatku terkejut bukan main.
Pertama mendengar geramannya yang pasti sedang marah. Yang kedua adalah ucapan Akssa yang sempat menggunakan bahasa Jerman. Aku jelas tahu apa artinya, tolong jangan remehkan aku karena aku sempat belajar baik Bahasa Jerman dan Italia. Kalau sampai Nicko tahu bisa berabe ini nanti.
Aku langsung berdiri dan mendorong tubuh Akssa menjauhi meja sekretaris Nicko.
"Kamu ngapain, sih?!" bisikku geram.
Akssa tak menjawabku dan memilih untuk membawaku pergi memasuki lift dan meninggalkan Nicko.
"See you soon, Nick!" pamitku pada Nicko sebelum lift menutup. Sempat kulihat Nicko tampak bingung dengan kondisi barusan.
"Apa-apaan sih kamu ini! Untung Nicko nggak tahu arti ucapanmu."
Akssa tersenyum miring dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Dia seperti merendahkan Nicko.
Setampan-tampannya Akssa, aku paling tidak suka kalau dia merendahkan orang lain yang memiliki kemampuan di bawahnya. Itu keterlaluan namanya.
Aku jadi menimbang apa harapanku untuk memiliki Akssa ini masih gencar atau tidak. Sikapnya ini ya ampun, benar-benar arogan sekali.
"Aku pindah ke--"
"Fine! But first, watch your mouth! Nicko nggak ada salah sama kamu."
"Ada."
"Apa?"
"Ayolah, kamu tahu apa arti dari semua tindakanku tadi," jawabnya datar.
Ting! Lalu pintu lift terbuka setelah sampai di lobi. Akssa lebih dulu keluar dan melangkah menyeberangi lobi lebih dulu meninggalkanku yang berjalan sendirian seperti anak hilang.
Sialan. Digandeng kek, ditungguin kek jalannya. Sudah tahu aku belum sempat mengganti kostum kondanganku tadi dan juga tatanan rambutku yang kutata gaya boufant. Dia malah meninggalkanku seperti aku ini bukan siapa-siapanya.
Tapi, memang betul sih aku ini bukan siapa-siapanya. Memang terlalu berharap itu menyakitkan. Apalagi kalau bermimpi untuk menikah dengan Akssa tahun depan ... wuah, jatuhnya pasti sakit sekali sampai tulang-tulang semua hancur lebur.
***
happy reading, ya!
@Ervinadyp ya. Terimakasih banyak, ya. 😍❤🙏 semangat juga untukmu..
Comment on chapter 1.