25 Maret 2347
Pulau Weda, Maluku Utara
“Apa saya boleh masuk?” Perempuan berambut cokelat itu bertanya sambil mengetuk pelan pintu di depannya yang sesungguhnya telah terbuka, meminta izin untuk masuk, walaupun ia bisa masuk kapan saja ia mau karena suara robot telah menyambutnya, memverifikasi identitasnya. Ya, sejak peristiwa di Burj Khalifa, Iustum mengganti akses keamanan ke dalam ruangan tempat Zo’r berada, hanya yang memiliki tanda pengenal Iustum inti yang bisa masuk, sedangkan enam remaja itu … mereka dikurung, tidak boleh keluar dari ruangan mereka, tanpa alasan yang jelas. Setiap kali mereka ingin kabur, pasti sistem robot yang ada di pintu langsung membunyikan alarm, mengundang Iustum untuk datang. Tidak ada lagi jendela, tidak ada lagi sarana kabur selain pintu, karena semua telah ditutup oleh Iustum.
“Kak Ara? Kenapa berdiri di sana? Ayo masuk.” Suara dari lelaki bernetra ungu, Vilfredo, membuat perempuan itu melangkahkan kakinya untuk masuk, walaupun masih terkesan ragu-ragu. Dia menunduk, membiarkan rambut terurainya menutupi penglihatannya, membiarkan punggungnya membungkuk sedalam yang ia bisa. Perlahan, ia melirih, “Maaf atas perlakuan saya kemarin. Saya benar-benar menyesalinya, adakah sesuatu yang bisa saya bantu untuk kalian? Sebagai permintaan maaf saya. Apapun akan saya lakukan, termasuk membawa kalian keluar. Kemarin, setelah kejadian itu, saya resmi menjadi anggota inti Iustum, saya bisa mengusahakannya jika kalian ingin. Katakan, apa yang kalian inginkan?”
“Kak Ara, bangun. Maaf membuatmu merasa bersalah.” Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Vilfredo, membiarkan keheningan melanda mereka berdua, Vilfredo dan Acacia, karena yang lainnya tidak sedang berada di luar kamar mereka, entah apa yang mereka lakukan, tetapi mereka sedang berada di kamar mereka. Karena tidak tahan dengan keheningan yang melanda, Acacia berkata sambil berbalik, meninggalkan ruangan itu, “Tolong dipikirkan, saya pamit pergi dulu. Saya akan kembali nanti.”
***
“Saya boleh masuk? Saya harus melakukan pemeriksaan regular, kalian tidak keberatan?” Acacia menyapa, seperti beberapa jam yang lalu, ia masih tidak berani melangkah masuk ke dalam walaupun sistem keamanan sudah memperbolehkannya, ia hanya berdiri di depan pintu yang terbuka itu sambil menunggu jawaban persetujuan dari orang-orang yang di dalam, ketika dia sudah mendengarnya, dengan cepat dia bergerak masuk, “Kalian sudah berpikir mengenai tawaran saya?”
“Ya, tetapi kau tidak mungkin mau.” Xicha menjawab dengan dingin, perempuan berambut jingga muda itu sama sekali tidak menatap Acacia, membuat Acacia merasa canggung, tetapi perasaan itu segera ditepisnya, dia bergerak semakin maju, menuju kumpulan remaja yang entah sedang apa di lantai, mereka duduk, tetapi terlihat seperti sedang bermain juga, dengan raut wajah yang tidak bisa dibaca oleh Acacia. Hanya satu, hanya satu yang terbaca: kesedihan. Membuat Acacia segera bertanya, “Apa?”
“Sulit, dan kau pasti tidak mau. Ini bukan permintaan simpel yang bisa kau kabulkan dengan mudah. Lagipula, permintaan ini seperti sesuatu yang mustahil untuk dilakukan, jadi diam saja, dan lakukan tugasmu, tidak perlu meminta kembali perhatian kami. Kami tetap akan meresponmu sebagai psikiater, tetapi tidak sebagai seseorang yang berstatus lebih dari itu.” Kini giliran Keela yang berkata dengan pedas, menyakiti hati Acacia, tetapi itu salahnya. Acacia yang memaksa, memaksa mereka menjadi pasiennya, Acacia juga yang memaksa mereka menekan harapan, atau yang lebih tepatnya menekan perasaan mereka, membuat mereka harus bersusah mengabaikan wajah Fetaneo yang mendadak muncul di benak mereka ketika melihat Acacia.
“Katakan saja, apa itu?” Acacia masih berusaha membujuk Zo’r untuk memberitahunya apa permintaan mereka, tetapi sepertinya usaha itu sia-sia, Zo’r masih saja diam, membiarkan mereka tenggelam dalam kegiatan mereka, menganggap Acacia tidak ada, menganggap suara perempuan bernetra merah itu hanya angin penggangu.
“Bukan hakmu untuk mengetahuinya, mengapa kau begitu bersikeras ingin tahu?” Xicha berkata dengan ketus, lalu kembali berkata dengan nada sinis yang terselip keputusasaan di dalamnya. “Sebaiknya kau pergi, sekarang. Jangan buat kami lebih lama mengingat Neo.”
“Tidak,” Acacia menjawab tegas. “Beritahu aku dulu.”
“Kenapa, sih, kau sangat ingin tahu? Ini bukan permintaan yang mudah, ini lebih sulit daripada yang kau bayangkan. Kau tidak punya kuasa untuk melakukannya!” Teriak Xicha jengkel, berharap perempuan beriris merah itu tidak membuat kenangan-kenangan bersama Neo yang masih tersimpan di dalam kepalanya tidak bergantian mengganggunya. “Lagipula, aku tidak yakin kau benar-benar bisa melakukannya. Bukankah, kau hanyalah seorang psikiater yang diangkat menjadi anggota inti Iustum karena kau khusus dipanggil untuk kami? Ya, agar terlihat spesial seperti itu.”
“Xicha!” tegur Camella, perempuan berambut jingga itu sudah benar-benar keterlaluan. Terbukti dari raut kemarahan yang timbul sedikit di wajah Acacia yang membalas ucapan sinis Xicha dengan nada marah, “Ya. Memang. Saya diangkat menjadi anggota inti Iustum memang hanya agar terlihat spesial, tetapi itu bukanlah satu-satunya alasan. Saya datang ditunjuk langsung oleh ketua Iustum yang sesungguhnya, Luz Lussier. Saya hanya satu-satunya kunci untuk menemukan di mana Luz berada, karena saya yang mendapat pesan terakhir darinya, untuk menjaga kalian, dari sesuatu yang akan mengejutkan kalian menurutnya.”
“Memangnya, Paman Luz menghilang?” Tanya Efren penasaran, tidak peduli dengan pernyataan lain dari perempuan yang baru saja menjawabnya itu. “Ya. Sejak Iustum dipulangkan kembali oleh Falsus sebelum peristiwa di Burj Khalifa, Luz sudah menghilang. Tanpa jejak. Dia hanya memanggil saya melalui sebuah telepon umum di Maluku. Dia kenalan saya.”
“Oh, siapa yang bertanya dia kenalanmu?” Xicha bertanya dengan sinis, tampaknya perempuan beriris hijau yang malas menatap orang di depannya itu masih jengkel dengan Acacia. Entah apa alasan khususnya, yang pasti, ada sesuatu dari Acacia yang mengganggu Xicha, sehingga Xicha kembali mengusir Acacia, “Pergilah. Kau sudah menyelesaikan pemeriksaan reguler kami, bukan? Tidak ada alasan lagi untukmu berada di sini.”
“Tidak, saya tidak akan pergi sebelum kalian memberitahu saya apa permintaan kalian.” Acacia masih saja berdiri di sana, tidak mengindahkan tatapan-tatapan dingin dari Zo’r yang meminta dirinya untuk pergi.
“Kubilang pergi! Kau tidak akan bisa mengabulkan permintaan kami, sekalipun kau harus mengorbankan dirimu!” Xicha berteriak, kembali mengusir Acacia yang balas berteriak, “Saya pasti bisa! Katakan saja!”
“Tidak! Tidak ada! Tidak ada yang bisa menghidupkan Neo kembali!” Xicha berteriak dengan nada yang tersirat keputusasaan di dalamnya, kelepasan, tetapi itu tidak membuatnya terkejut, dia malah kembali berkata dengan nada putus asa. “Hanya satu. Hanya satu … yang dapat melakukannya … Paman Luz.”
Woooowww. Mantap. Eh book 2? Satunya?
Comment on chapter 0 | Prolog