Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku.
Membawa turut serta dedaunan yang telah mengering karena ditimpa oleh teriknya sinar matahari musim kemarau. Aku duduk di bawah sebatang pohon jati yang berada tepat di belakang kebun rumahku.
Pagi ini aku ingin sendiri.
Menjauh dari semua manusia.
Menghindari semua tatapan mata manusia.
Hanya suara burung kenari yang sekali-kali terdengar di telingaku saat ini.
Aku menangkupkan buku yang telah kupegang dan memejamkan mataku. Menarik nafas dalam. Meresapi segala ketenangan yang tercipta sampai kedamaian meresap dalam tubuhku sampai ke tulang-tulang.
Kubuka mataku perlahan. Kedamaian yang kurasakan saat ini harus bertahan setidaknya sampai penghujung hari.
Aku bangkit perlahan. Menatap matahari yang semakin tinggi. Kulangkahkan kakiku dengan ringan menuju rumah dan bersiap memulai hari yang sebenarnya tak kuinginkan.
Aku berjalan perlahan menyusuri trotoar kota yang begitu lenggang. Hanya kepulan asap polusi yang memadati udara pagi ini. Membuatku terpaksa menggunakan masker yang menutupi sebagian wajahku.
Aku duduk di halte. Menunggu bus yang akan mengantarkanku menuju tempat kerja baruku. Lingkungan baru dengan orang yang baru. Hanya aku sendiri yang duduk di halte. Sebagian besar orang memilih menggunakan kendaraan pribadi mereka. Karena merasa gengsi.
Aku tidak begitu adanya.
Karena aku tidak memiliki pilihan seperti mereka.
Bintik-bintik keringat mulai bermunculan di keningku yang telah kupoles menggunakan bedak. Kuangkat tanganku menutupi wajahku yang mulai tersorot oleh sinar matahari pagi. Aku memandang sekelilingku. Hampa, itulah yang kurasakan.
Semua orang hanya berlalu lalang. Tanpa senyuman hangat maupun sapaan. Mendongak. Sesekali mereka merendah untuk melihat orang yang berada jauh dibawahnya setelahnya mereka mendongak lagi.
Kuturunkan tanganku dan mulai memasang earphone di telingaku. Memutar lagu tanpa suara. Setidaknya ini lebih baik. Ketimbang harus mendengar sumpah serapah orang ataupun suara langkah kaki yang terdengar begitu terburu-buru dan juga bising kendaraan yang saling menampilkan ego masing-masing pengendaranya.
Kunikmati suasana hening ini. Siapa aku? Dimana aku? Itulah pertanyaan yang terlontar seketika di pikiranku. Untuk apa aku di sini?
Kupejamkan mataku, menarik nafas dalam. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah satu manusia dari miliran manusia yang tersebar di muka bumi. Dan aku berada di suatu tempat dimana semuanya berjalan dengan arah yang berlawanan.
Kusandarkan punggungku, menunggu memang menjenuhkan. Sekaligus menyenangkan, karena dengan menunggu aku memiliki lebih banyak waktu luang untuk memikirkan berbagai hal yang kuinginkan.
Tin! Tin!
Suara klakson bus membangunkanku dari dunia lamunan. Dengan segera aku berdiri. Bus berhenti tepat di hadapanku. Suara decitan ban dan mesin tua serta kepulan asap kopaja selalu menemani. Kulangkahkan kakiku yang beralaskan hak rendah ke dalam bus.
Semua tempat duduk kosong. Hanya aku sendiri yang akan menempatinya.
@[dear.vira]hai kak,
Comment on chapter Bagian PertamaSalam kenal..
Terimakasih sudah membaca ceritaku.
Aamiin, moga terkabul. Terbit dan jadi bestseller itu adalah impian semua penulis.
Oh iya, aku pasti like balik kok cerita kakak.
Semangat,