Akhirnya.....end juga. Aku mau ucapin makasih buat semua pembaca....Thanks chingu ☺😀
....
8 Tahun Kemudian...
"Jimin..."
Seorang perempuan dengan sepatu hak nya berlarian mengejar. Tas selempang ditangannya sampai terombang-ambing tak tentu arah. Banyak pasang mata memperhatikannya. Di sekitar sungai Han ia berlarian hampir satu jam.
"Jimin...hentikan"
Bruk!
"Jimin..." perempuan itu memekik kala yang dipanggilnya terjatuh menabrak seorang pria yang terlihat tua.
Dia membungkuk didepan pria tua itu untuk meminta maaf. Dan membantu Jimin berdiri.
"Jimin ayo minta maaf" titahnya.
"Maaf..."
Tiba-tiba pria itu menyamakan tingginya dengan Jimin. Ia mengusap rambut Jimin. Betapapun rindunya ia terhadap putranya ia salurkan.
"Appa..." perempuan itu terkejut melihat Tuan Park. Senyum mengembang di wajah tuanya.
"Lama tidak berjumpa, Ra In"
...
Ra In menyesap hangat coffe latte ditangannya. Ia mengelus-elus puncak kepala Jimin yang duduk di pangkuannya.
"Kenapa kau menamainya Jimin?"
Ra In tersenyum samar. Mengingat Jimin yang sudah pergi membuat hatinya tergores begitu dalam. Ia bahkan memutuskan semua kontak dengan orang-orang terdekat Jimin. Termasuk Jungkook dan Tuan Park. Hingga akhirnya lima tahun berduka ia benar-benar bisa kembali hidup. Menikah dan menciptakan Jimin.
"Tidak seharusnya terus menyakitkan diri. Mungkin...aku ingin membuat panggilan saat aku sedih."
Tuan Park paham sekali. Bukan hanya Ra In yang terpukul. Dua belas tahun juga bukan waktu yang sebentar tapi Tuan Park masih merindukan anaknya.
"Jimin, jalan-jalan yuk" ajak Tuan Park. Anak itu langsung melompat turun dari pangkuan Ibu nya dan memeluk kaki tuan Park.
"Ayo Halaboeji..." sahut Jimin dengan bahasa cadelnya.Membuat bibir Tuan Park melengkung.
"Lucunya. Kau memanggilku Haraboeji?"
"Tadi Eomma Jimin manggil halaboeji dengan Appa. Belalti Jimin halus panggil halaboeji" jelas Jimin. Tuan Park yang sedikit paham maksud Jimin langsung mengangkat tubuh mungil anak itu. Betapa pintarnya dia seperti Jimin waktu kecil.
Ra In menemukan Tuan Park tengah menyeka air matanya. Tangan Ra In mengusap punggung pria paruh baya yang sudah ia anggap sebagai Ayah itu.
"Dia begitu pintar seperti Jimin-ku"
"Dia memang Jimin-mu. Cucu mu, aku kan anakmu. Appa..."
Ra In memainkan pipi Jimin membuat anak itu terkekeh-kekeh.
"Ayo halaboeji ayo..." rengek Jimin agar terbebas dari perlakuan Ibunya.
"Iya Jimin, ayo..."
Tuan Park dan Jimin pergi keluar dari kafe. Sedangkan Ra In kembali duduk dan menyesap coffe nya. Tangannya bergerak akan mengambil ponsel dari tasnya. Namun, melihat belum juga ada balasan dari suaminya membuat Ra In kembali malas memegang benda pipih itu.
Mata Ra In tertarik melihat sebuah amplop berwarna merah muda yang ia dapatkan dari salah satu staff ditempat kerjanya. Setelah penerbangan, Ra In langsung datang menjemput Jimin. Hingga lupa membawanya.
"Undangan?" mata Ra In melebar membaca kata itu dan menemukan nama temannya disana. Suaminya harus segera diberitahu. Ra In tersenyum mengingat kembali hari pernikahannya.
Ra In menarik-narik ujung gaun putihnya yang begitu panjang. Ia akan memastikan sendiri bahwa Minhyun sudah beres dengan Jas hitamnya. Begitu membuka pintu kamarnya, dia melihat Minhyun sudah memakai jas baru. Tetap terlihat sama. Tampan.
Minhyun menyadari kehadiran Ra In dan mengikis jarak dengan perempuan itu.
"Sunbae sudah beres?"
Minhyun mengangkat bahunya. Dia menyentuh kedua pundak Ra In. Gadis itu begitu cantik sekali. Meskipun masih ada yang kurang di make up nya. Karena terburu-buru membantu Minhyun mengganti jas hitam yang kotor.
"Sudah akan menikah masih memanggilku Sunbae? Hei nona pramugari...ini bukan lagi masa SMA, panggil saja Oppa" pinta Minhyun. Ra In tersenyum kikuk. Entahlah bagaimana ya? Selama ini panggilan itu melekat dengan nama Minhyun.
"Baiklah. Minhyun Oppa" pasrah Ra In.
Tiba-tiba pintu terbuka dan suara nyaring Min Rae memasuki gendang telinga Ra In.
"Nam Ra In. Palliwa..." Min Rae menyeret Ra In, namun terhenti kala menemukan gadis itu belum menyelesaikan make up nya. Min Rae berdecak.
"Oh...Tuhan. Nam Ra In! Cepat selesaikan ini. Sini biar aku yang mendandanimu. Oh, iya Minhyun Oppa cepat keluar"
Minhyun yang merasa kedatangan Min Rae mengganggu momen indahnya pasrah dan berjalan keluar kamar. Ia memandangi wajah Ra In dari cermin dimeja rias. Sekali lagi hanya bisa berandai-andai.
"Oppa...cepat keluar" cicit Min Rae. Oh, iya Min Rae memang sudah mengganti panggilan Minhyun dengan Oppa. Seperti yang Minhyun inginkan dari Ra In.
Min Rae begitu handal memoleskan bermacam riasan ke wajah Ra In. Sahabatnya itu memang sudah cantik. Jadi, hanya perlu polesan sedikit Ra In sudah cukup.
Ra In berdiri dan memegangi tangan Min Rae.
"Heol...tangan mu dingin sekali"
Ra In sangat gugup. Bagaimana kalau pernikahannya gagal, bagaimana kalau drama yang ditontonnya membuat hidupnya...
"Kau pasti panik karena menonton drama?" tebak Min Rae. Dan sialnya, Itu benar. Ra In jadi banyak menonton drama semenjak kepergian Jimin.
"Jangan lagi memikirkan Jimin. Dia sudah tenang. Aku yakin dia bahagia melihat kau sekarang akan menikah dengan orang yang selalu bisa menjagamu. Nam Ra In...." Min Rae tidak bisa membendung kesedihannya. Ra In adalah temannya sejak masih sekolah. Momen-momen indah selama sekolah itu membuat mereka sudah seperti saudara.
"Jangan menangis, Min Rae. Nanti riasanku luntur" Ra In tersenyum begitu pelukan mereka usai. Min Rae menuntun sahabatnya keluar dari kamarnya.
"Ra In...Nanti kau lempar bunganya kepadaku ya? Aku harus menyusulmu" bisik Min Rae saat akan membuka pintu.
Begitu terkejutnya mereka mendapati wajah Minhyun masih disana.
"Oppa..." seru Ra In dan Min Rae bersamaan.
----
Ra In melihat punggung calon suaminya. Dia melangkah yakin mendekati namja itu. Seorang lelaki yang selalu ada untuknya selama ini. Akan menjadi sahabat hidup untuk selamanya.
Ra In semakin mengeratkan genggaman tangan Ayahnya. Melangkah perlahan diatas altar mendekati kekasihnya. Semakin mendekat jantung gadis itu semakin berpacu cepat. Setelah lamaran di pesawat, Ra In melangsungkan pernikahan. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa akan dilamar di pesawat ketika dia sedang bertugas.
Ingin sekali gadis itu teriak saking bahagianya. Ra In akan selalu mencintainya melebihi besar kasihnya pada Jimin dulu.
Setelah mengucap janji suci Ra In tersenyum menatapnya. Mereka saling berpandangan sejenak sebelum menyatuhkan bibir mereka.
Setelah beberapa menit pagutan mereka lepas dan bersiap melemparkan bunga. Ra In memegang erat dan dibantu oleh suaminya. Iya, sahabatnya itu sekarang resmi menjadi pasangan hidupnya.
"Ra In....lempar padaku" teriak Min Rae menginterupsi yang lainnya.
"Lempar saja padaku, Kook. Palli"
Seru Jin. Disebelahnya Nayeon sudah memerah, salah tingkah.
Jungkook semakin mengeratkan pegangan tangannya ke tangan Ra In yang memegang buket. Mereka mengayunkannya sebanyak tiga kali dan bunga dilempar ke belakang.
Hup!
Semua mata memandang tidak suka pada orang yang sedang duduk di bangku sendirian itu. Namja itu langsung berdiri dan memandangi horor buket ditangannya.
"Yakh! Kenapa kau lempar pada Minhyun Oppa?" kesal Min Rae. Jungkook merebut bunganya dan melempar asal kearah Nayeon.
"Yess..." seru Nayeon seraya memeluk lengan Jin.
Ra In menahan tawanya melihat wajah datar Minhyun dan sikap cemburu suaminya.
"Holla.....Dokter tampan disini" tiba-tiba Dokter Niel datang dan memeluk Jungkook erat.
"Selamat menikah sahabatku...ini hadiah untuk kalian"
Ra In meraih bungkusan kado besar berbentuk love dari tangan Dokter Niel.
...
"Eomma..." Jimin berlari menyadarkan lamunan Ra In. Anak itu langsung menghambur ke pelukan nya.
"Kenapa Jimin? Dimana Harabeoji?" tanya Ra In. Jimin baru akan bersuara tiba-tiba Tuan Park datang dan memberikan Jimin ice cream. Jimin memekik gembira dan sibuk memakannya.
"Saya harus pergi, Ra In. Ada pekerjaan"
Ra In mengangguk dan mengusap kepala anaknya agar berpamitan pada Kakeknya.
"Jimin. Harabeoji pergi dulu ya" pamit Tuan Park anak itu segera mengangguk.
Seperginya Tuan Park, Ra In mensejajarkan diri dengan Jimin. Anaknya itu kalau sudah makan ice cream pasti tidak memperdulikan sekitarnya. Dengan mulutnya yang belepotan Jimin tersenyum bahagia.
"Eomma.." Jimin meletakkan ice cream nya dan menunjukkan telapak tangan nya yang kotor. Ra In mengambil tissu dari tas dan mengelapnya.
"Jimin...jangan marah sama Eomma ya? Mian...Eomma suka pergi-pergi" sesal Ra In. Andai tidak ada Tuan Park pasti Jimin masih mogok bicara dengannya.
Jimin mengangguk dan memeluk leher Ibunya erat.
"Ne eomma. Jimin kan anak baik jadi Jimin pasti maafin Eomma"
"Uh...anak eomma yang pintar"
...
Jungkook mengendurkan dasi nya.Ia membuka lemari kamar lama Ra In dan menemukan beberapa lukisan berwajah Jimin.
Jadi, pemilik wajah lukisan itu Jimin. Jungkook terlambat menyadarinya. Namja itu duduk disisi ranjang dan mengambil sebuah ponsel dari saku celananya. Bukan ponsel miliknya, tapi ponsel milik Jimin. Tadinya Jungkook akan mendengarkan itu bersama Ra In. Rekaman yang Jimin tinggalkan untuknya dan teman-temannya.
"Jimin menitipkan ini untuk Kalian" Tuan Park mengulurkan ponsel Jimin dan disambut oleh Jungkook.
"Setelah Jungkook melihat kembali. Jimin bilang supaya saya memberikan itu padamu"
Jungkook menatap nanar ponsel Jimin. Wallpaper ponsel Jimin masih sama. Bergambar sebuah lukisan pemandangan alam. Jungkook ingat pernah melihat Jimin mengatur ponselnya.
Tanpa sadar satu tetes air mata mengalir ke pipi Jungkook. Ia baru saja akan menyalakan rekaman itu, tapi tiba-tiba ponselnya mati. Jungkook membuka laci disamping ranjang dan menemukan charger ponsel disana. Ia mengisi daya ponsel Jimin terlebih dahulu.
Samar-samar Jungkook mendengar suara anaknya yang tengah mengoceh. Ia sudah merindukan Jimin nya dan segera turun kelantai bawah.
"Jimin...." teriak Jungkook menuruni tangga.
"Appa...." teriak Jimin menyusul Ayahnya. Diciuminya pipi Jimin, Jungkook pun mengangkat tubuh mungil putranya.
"Jeon Jimin dari mana?" tanya Jungkook.
"Beltemu halabeoji"
Ra In tersenyum melihat interaksi suaminya dan putranya yang lucu. Jarang-jarang dia melihatnya. Apalagi kalau sedang banyak pekerjaan. Dua kali penerbangan bolak-balik. Ra In bisa tidak pulang selama dua minggu.
"Jimin bertemu Ayah Jimin" seru Ra In.
"Hah?" Jungkook bingung maksudnya. Jimin anaknya bertemu Jungkook? atau...
"Hehe..." Ra In terkekeh.
"Maksudku, Jimin kita bertemu Tuan Park"
"Oh..." Jungkook mengangguk-angguk sembari mencolek hidung putranya. Sontak Jimin menggeliat dan menghindari serangan Ayahnya.
"Jimin mau susu cokelat Eomma.." rengek Jimin. Ra In segera berdiri.
"Baiklah Eomma buatkan dulu ya" Ra In pergi meninggalkan putra dan suaminya kedapur.
Jungkook tidak menyangka putranya bisa tumbuh sangat cepat. Makin tampan dan cerdas. Dulu, saat masih di kandungan Ra In, Jimin tidak banyak menyusahkan. Hanya ingin selalu ditemani saja.
Berulang kali Jungkook membujuk Ra In agar berhenti menjadi pramugari dan lebih perhatian pada Jimin saja. Tapi, istrinya tetap kekeuh dengan pendiriannya.
"Halmeoni..." Jimin berlarian menghampiri neneknya, atau Ibu Ra In yang baru pulang dari minimarket. Tubuh mungilnya berpindah ke gendongan wanita tua itu. Mereka memang sedang berada dirumah lama Ra In. Jungkook sengaja menemui mertuanya karena sudah lama tidak mengunjunginya. Dia juga menghubungi Ra In agar menyusul.
"Jimin mau bobo siang sama halmeoni. Ayo..." anak itu terlihat manja sekali pada neneknya. Permintaan itu tentu saja tidak bisa ditolak.
Jungkook melepas jas kerjanya dan menyampirkan sembarangan kesofa. Kemejanya ia gulung hingga kesiku.
"Loh? Jimin mana?" Ra In datang membawa segelas susu dan duduk disamping Jungkook.
Perempuan itu menatap wajah lelah suaminya dengan seksama. Jungkook benar-benar tampan jika sedang kelelahan.
"Mau ku buatkan sesuatu?"
Jungkook menggeleng. Tangannya bergerak meraih telapak tangan istrinya. Kerinduannya terhadap Ra In menjalar ke seluruh tubuh. Rasanya Ra In tidak bisa dijangkau. Begitu jauh kalau sudah sibuk terbang.
"Kookki mianhe. Aku bukan istri yang baik. Seharusnya aku--"
"sstt...." Ra In diam saat tangan Jungkook membungkam bibirnya.
"Aku tidak merasa kau istri yang buruk. Aku akan menerima keputusan istriku. Menjadi pramugari hingga tua juga tidak apa-apa. Hehe..."
Ra In memukul lengan Jungkook.
"Apa-apaan. Mana ada pramugari tua"
Jungkook menyenderkan kepalanya ke pundak Ra In. Dia sangat merindukan suasana seperti ini. Berdua saja bersama Ra In sembari mengobrol ringan.
"Aku dapat undangan dari Suga"
"Hmm. Aku sudah tau"
"Kita harus beli kado apa ya?menurutmu apa?" tanya Ra In.
"Tiket bulan madu ke paris"
"Memangnya kau punya uang?"
Jungkook menegakkan diri dan menyentil dahi istrinya. Ra In meringis dan membalas dengan mencubit pipi Jungkook hingga merah.
"Aww--" pekik Jungkook. Rasakan saja. Siapa suruh melawan Ra In.
"Tentu saja aku punya uang. Kau kira siapa yang membeli tiket liburan ke Swiss saat kau hamil tujuh bulan?" ingatan Jungkook merambat sampai kesana. Kejadian saat Ra In menangis bilang bahwa ngidam ingin lihat Swiss. Sepertinya Jungkook salah mengira Jimin anak baik sejak di kandungan. Buktinya waktu itu Jimin minta liburan ke Swiss.
"Baiklah. Kau ini yang bayar. Hadiahkan tiket itu" pasrah Ra In.
Gadis itu beranjak dari tempatnya seraya membawa gelas berisi susu dan akan menaiki tangga.
"Mau kemana?"
"Melihat Jimin" Balas Ra In.
"Disini saja temani aku"
"Sirheo!"
...
Sudah satu jam lebih Ra In belum juga turun kembali. Jungkook masih merindukan istrinya. Dia pun melangkah menyusul Ra In. Tapi, di kamar Ibu mertuanya tidak ada Ra In.
Jungkook mendengar isakan dari kamar Ra In. Jangan-jangan...
"Ra In-ah..." Jungkook mengikis jarak dengan istrinya dengan berjongkok didepan Ra In yang duduk ditepi ranjang. Perempuan itu sedang menangis sembari memegang erat alat-alat melukis.
"Aku....hiks. Aku merindukan ini semua. Aku merindukan kegiatan melukisku" isak Ra In.
"Eh?" Jungkook mengerutkan alisnya. Dia hampir saja takut Ra In mendengar rekaman Jimin sebelum dirinya mendengarnya juga.
"Kenapa meninggalkan semua hal yang kau sukai? aku kan tidak pernah melarangmu melakukannya" kata Jungkook menenangkan.
"Kookki...sebenarnya selama ini aku sangat ingin menepati janjiku pada Jimin. Aku ingin membangun galeri lukisan. Dan mempersembahkan sebuah karya terbaik ku. Semua tentang Jimin. Tapi Kau---" Ra In berhenti bicara saat Jungkook menangkup wajahnya dan mengusap bekas air mata. Jungkook tidak pernah merasa bahwa ia membenci perlakuan Ra In soal Jimin.
"Ayo lakukan. Kita buat galeri besar dan menampilkan bakatmu. Uljimma...Kau tau kan, setiap satu tetes air mata kau jatuhkan. Hatiku akan tergores satu belati"
Ra In terkekeh,
"Dasar kau ini"
"Nah, begitu dong. Ayo tersenyum. Baru pulang dari penerbangan bukannya membuatku senang malah bersedih"
Ra In melengkungkan bibirnya dan menghela napas. Tatapannya tidak sengaja menemukan ponsel diatas nakas.
"Ini ponselmu? Kau mengganti ponselmu?" tanya Ra In. Jungkook tidak menjawab tapi malah melepas ponsel itu dari chargernya. Baterainya sudah terisi setengah. Jungkook menyalakan ponsel itu.
Dia duduk disamping Ra In.
"Ini rekaman Jimin. Ayo dengarkan, kau tidak akan menangis kan?"
"Semoga" Ra In juga tidak tahu apakah masih bisa menangis atau tidak. Bukan karena dia masih mencintai Jimin. Perasaan Ra In sudah penuh diberikan pada Jungkook. Suami dan Ayah dari putranya.
Tangan Jungkook mengeklik layar ponsel, menyalakan rekaman Jimin.
"Annyeong....Yorobun. Jika kalian mendengar ini mungkin aku sudah jauh sekali. Aku merekam suaraku untuk mengungkapkan semua perasaanku. Terima kasih sudah mau menjadi sahabatku. Jin, Suga, Rapmon,
J-Hope, Taehyung dan kau Jungkook"
Terjadi hening sesaat. Hingga detik berikutnya suara Jimin kembali terdengar.
"Jungkook...Mataku akan aku berikan padamu. Semoga kau mau menerimanya. Ra In mungkin tidak akan tau. Tapi, aku percaya kau pasti akan memberitahunya. Kalau kalian sedang mendengar aku bersama. Bisa kutebak kalian sudah punya anak?hehe...."
Ra In terkekeh dan memandangi wajah Jungkook. Namja itu menekan rekaman Jimin untuk menghentikannya sejenak.
"Kau tidak terkejut mendengar Jimin mengatakan bahwa matanya untukku?" heran Jungkook.
"Aku sudah tau. Mata itu milik Jimin. Tidak ada yang memberitahu ku. Aku tau sendiri"
"Heol...apa kau menerima lamaranku karena mata Jimin ini?" nada bicara Jungkook naik satu oktaf. Ra In bergidik, Jungkook selalu saja kekanak-kanakan.
"Anni! Kau pikir aku menyukai Jimin juga karena matanya? Yakh! Aku menerima mu karena aku mencintaimu. Kau masih tidak percaya padaku? bahkan aku sudah melahirkan Jimin. Putra kandungmu, darah dagingmu sendiri" bibir Ra In mengerucut dan mengalihkan pandangan dari Jungkook. Baru bertemu setelah sekian lama, pertengkaran selalu saja terjadi.
"Mian..." lirih Jungkook.
Ra In menghembuskan napas lega. Ia meraih telapak tangan suaminya lalu mengelusnya.
"Kookki...aku sungguh mencintaimu. Percayalah padaku"
"Iya.Aku percaya padamu" Jungkook membelai pipi istrinya.
"Kita lanjutkan rekamannya?"
"Iya" Ra In mengangguk dan menekan rekaman itu kembali.
"Manis sekali keluarga kecil kalian. Pasti sering ada percekcokan kecil juga. Aku pernah bermimpi melihat Kau dan Ra In menggandeng anak kecil bernama Jimin. Terima kasih kalau hal itu benar. Aku juga ingin menitipkan Appa. Kasihan dia tidak punya siapa-siapa lagi. Untuk Ra In, aku akan mengatakan ini sekali. Maaf Kookki aku ingin jujur. Ra In...Aku mencintaimu. Tapi, Jungkook jauh lebih mencintaimu. Kuharap bersama siapapun nanti kalian...tetaplah berbahagia. Sudah dulu ya. Dadaku sakit lagi. Annyeong..."
Rekaman itu berhenti tepat dimenit ke sepuluh. Ra In memeluk leher Jungkook. Namja itu tergelak dan mengusap punggung Ra In.
"Aku mencintaimu. Saranghae..."
Jungkook melerai pelukan Ra In dan menangkup wajah istrinya. Perlahan-lahan wajah mereka semakin dekat. Ra In merasakan bibirnya bersentuhan dengan bibir Jungkook.
Cup!
Hanya sekilas dan Jungkook mengusap rambut istrinya.
"Aku jauh lebih mencintaimu, Nam Ra In"
---END---

Thanks to reader ❤
Mau ada ekstra part? Komen ya ☺
Jimin diganti dedek Jimin. Unch...😍😙
@yurriansan Iyaa ya, haha😁. Soalnya aku mikirnya kata-kata yg itu kayanya sering deh didenger, wkwkw. But, thanks masukannya. 😊
Comment on chapter Dia-ku