Kejujuran itu pahit. Tetapi yang manis belum tentu baik, 'kan?
"WOY! Pak Iksun nggak masuk!" ujar Ketua Kelas diikuti seruan gembira satu ruangan. Kecuali, Ruby tentunya. Mata secokelat madu itu menatap yang lain heran. Apa cuma dia yang kecewa?
Murid bagian belakang bahkan bergendang-gendang riang. Bagi mereka, terbebas dua jam dari deretan rumus fisika perlu dirayakan! Pasalnya, meski pendingin ruangan bekerja normal, tetap saja kumpulan teori beserta hitungan dan juga kedisiplinan Pak Iksun mampu membuat otak matang, berasap dan kebas! Jelas ini adalah anugerah di siang bolong nan panas.
Bahkan ada yang dengan lebaynya melakukan sujud syukur di lantai. Murid seperti itu dipastikan tidak mengerjakan tugas yang semestinya dikumpul barusan.
Beberapa yang tadi duduk baik mulai berpencar, masuk ke kumpulan masing-masing untuk mengisi jam kosong. Setelah lepas dari fisika yang seharusnya membebani otak, tentu tidak salah jika cuci mata menonton drama Korea atau melanjutkan rumpian, 'kan? Tidak sedikit yang sibuk dengan ponsel masing-masing dan membuka aplikasi membaca gratis.
Tanpa terpengaruh, Ruby memilih membuka buku fisikanya. Ada beberapa materi yang belum berhasil ia mengerti, meski ditekuni sampai dini hari. Ia ingin mengerjakan latihan soal saja.
"Tapi ... ada tugas dari Pak Iksun. Kerjain latihan soal halaman 150. Dikumpul besok," tambah Ketua Kelas yang membuat rasa senang para murid berubah menjadi sumpah serapah. Demi apa disuruh kerjakan dua puluh soal esai? Demi...kian dan terima kasih!
Gendangan di meja belakang ikut menyanyikan makian. "Njir, anjir, anjir, anjir, anjir. Wik, wik, wik, wik, wik, wik. Njir, anjir, anjir, anjir, anjir." Penghuni kelas bahkan ikut tertawa mendengar gubahan lagu yang sedang hit.
Tapi tidak bagi Ruby. Gendangan itu sangat tidak mencerminkan kelas 11 IPA-1. Ketika orang berpikir kelas nomor urut satu adalah berisi kumpulan anak pintar dengan keinginanan belajar tinggi dan tingkat kedisipilinan yang memadai. Sejatinya 11 IPA-1 tidak semengesankan itu. Memang di kelas ini ada sang Peringkat Satu Pararel yang nilai rapornya memecah rekor tetapi itu tidak serta merta membuat kelas yang berada di ujung menjadi bonafide.
Rimba, sang Peringkat Satu Pararel yang ketika berjalan menuai desas desus atas prestasinya malah menjadi salah satu orang yang bergendang di belakang. Catat! Bergendang sambil bilang 'Wik Wik' tadi dengan komplotannya. Tak lama mereka tertawa keras, membuat kelas semakin gaduh.
Ruby mendesah dalam hati, sepertinya ia salah masuk kelas. Ini bukan kelas IPA! Ini kelas pasar! Ia sudah mengenakan earphones dan membaca buku. Tetapi kericuhan tetap mengalahkan volume lagu yang mengalun di telinganya. Terbersit keinginan mengencangkan volume sampai maksimal. Namun, kalau telinganya rusak, siapa yang rugi?
Ya Tuhan, tolong Ruby enyahkan makhluk berisik dari kelas! Setidaknya itu doa Ruby siang ini. Dan langkah ketukan sepatu menjawab doa Ruby barusan.
Sesosok guru berjalan menuju kelas mereka. Karena pintu terletak di ujung, bayang itu terlihat lebih dahulu dari jendela. Gendangan sontak berhenti. Semua sibuk kembali duduk ke kursi masing-masing. Tidak sedikit yang bertabrakan, saking buru-burunya. Begitu pun Rimba, saat dia akan melompat menuju tempat duduknya di pojok. Kursi yang akan dilompatinya keburu diisi empunya kursi. Rimba sudah akan menghadiahkan jitakan ke empunya. Akan tetapi, ketukan hasil dari sepatu runcing itu sudah ada di depan pintu dan membuka pintu kelas mereka.
Ibu itu membetulkan kacamata sebelum masuk. Memperhatikan murid yang berpura-pura mengerjakan latihan soal sesuai perintah Ketua Kelas.
"Rimba, kenapa kamu masih berdiri di situ?" tanya Bu Heny, guru BK yang terkenal teliti dan galak.
Orang yang tertangkap basah belum duduk di kursi lantas menggaruk kepala botaknya. Dengan santai, ia memutari lorong di antara bangku-bangku dan memasuki lorong paling pojok. Menuju tempat duduknya berada.
Bu Heny berjalan di tengah kelas. Bunyi sepatu yang khas membuat murid menegang. "Pak Iksun hari ini tidak dapat mengajar. Sudah diberi tugas dari Pak Iksun?" tanyanya.
Ketua Kelas menjawab, "Sudah, Bu."
"Lalu, apa yang membuat keributan di kelas ini? Apa bisa selesai jika kalian mengerjakannya pakai mulut?"
Semua mendadak sok sibuk. Seolah bukan menjadi oknum yang menciptakan keributan. Seolah dari tadi hanyalah duduk baik dan mengerjakan soal. Seolah pertanyaan Bu Heny bukan ditujukan kepadanya.
"Ada yang bisa menjelaskan kenapa kelas ini jadi ribut? Kalian tahu? Kelas sebelah terganggu. Saya harap kalian bisa memberi contoh yang baik sebagai kelas unggulan." Bu Heny melipat tangan. Ruby mengamati wanita itu dengan saksama. Sayangnya, itu kesalahan fatal. Di saat yang lain membuang pandangan dengan berakting rajin, Ruby malah memandang mata Bu Heny. Kontak mata itu membuat pertanyaan tertuju kepadanya. "Kamu,"
Ruby mengerjap. Gue?
Seolah mengerti pertanyaan di benak Ruby, Bu Heny mengulang perkataannya, "Iya, kamu yang rambutnya keriting. Bisa jelaskan kenapa kelas kamu ini ribut sekali? Siapa yang membuat keributan tadi?"
Ikal, Bu. Bukan keriting! Ruby menelan ludah kasar. Ia mengenyahkan keberatan yang berontak barusan. Matanya melirik kiri karena kanannya dinding. Ia memerlukan bantuan ide. Tetapi semua seolah tuli, tidak peduli bagaimana Ruby harus menjawab pertanyaan itu.
Bu Heny menuju ke meja guru, membuka denah kelas, di buku itu tertulis nama siswa dan posisi duduknya. "Ruby Andalusia, bisa beritahu saya, siapa yang ribut di kelas kamu? Atau kamu yang saya bawa ke ruang BK."
Demi seluruh penghuni Hogwarts yang tidak pernah ke Pluto! Ruby berkali-kali menggumam mantra Bedazzling Hex, berharap dapat membuat mantel tembus pandang untuk menyembunyikannya dari tatapan tajam itu. Ia bahkan berulangkali mengusap hidungnya seolah sedang flu padahal tidak. Jika saja pertanyaan tadi tidak melibatkan penghuni kelas, pasti ia bisa menjawab.
Selain tatapan Bu Heny, beberapa murid juga menoleh ke bangku Ruby. Sama tajam dan menyiratkan bahasa yang Ruby mengerti. Awas aja kalo lo sebut nama gue! Begitulah kira-kira Ruby mengartikan tatapan mereka.
Meski berusaha tenang, tak urung keringat dingin mulai datang ke pelipis Ruby, berkumpul di anak rambutnya yang spiral. Kulit pucatnya makin memucat.
Alis wanita bertubuh mungil itu terangkat. Tampak sangat menunggu jawaban Ruby. "Siapa yang tadi gendang-gendang? Saya denger loh."
Bu Heny sudah berdiri di pinggir mejanya yang berada baris kedua dari belakang. Ibu itu bahkan menduduki bangku kosong di samping Ruby. "Siapa? Jujur."
Nasib Ruby di ujung tanduk antelop. Seumur hidup ia tidak pernah berurusan dengan ruang BK. Kalau sampai Papa dipanggil karena perihal ini, Ruby tidak dapat bayangkan bagaimana raut kecewa orang yang satu-satunya masih ada di dalam hidup dia. Usaha Papa, kerja keras Papa siang malam menjadi sia-sia.
Ia seketika teringat omongan Sensei, Jiwa seorang Samurai, menjunjung tinggi kebenaran.
Ruby hanya perlu jujur akan kebenaran. Kejujuran memang pahit tetapi yang manis belum tentu baik, bukan? Demi kejujuran dan kebenaran, Ruby terpaksa membuka suara.
"Rimba," cicit Ruby sangat pelan. Ia bahkan menundukkan kepala. Rasanya menyesal sekali mengatakan itu. Tetapi ucapannya tidak dapat ditarik kembali.
Bu Heny segera bangkit dan menoleh ke belakang Ruby. "Rimba, ikut Ibu ke ruang BK, sekarang!"
Wanita berkulit putih itu berjalan maju dan hendak meninggalkan kelas. "Kerjakan latihan soalnya."
"Ketua Kelas, jika ada yang ribut tolong dicatat namanya dan kasih ke saya," titah Bu Heny lagi.
"Ayo, Rimba. Saya tunggu." Bu Heny masih bersedekap di pintu kelas.
Dengan enggan, Rimba bangkit hendak keluar kelas. Ketika sampai di pintu, sorot tajam pemuda itu terarah ke Ruby. Tidak pernah dalam sejarah Ruby melihat mata Rimba semengerikan tadi. Pemuda itu sangat humoris, biasanya.
Ruby segera mengembalikan pandangan dan berusaha mengerjakan soal fisikanya.
Kelas hening, hanya bisik-bisik sesekali terdengar. Ketika bisikan sudah menjadi agak keras, Ketua Kelas langsung berdeham. Seolah mengingatkan mereka kalau ia punya kuasa untuk mencatat perbuatan buruk seperti malaikat dan yang lain adalah arwah yang sebentar lagi melewati jembatan Shiratal Mustaqim. Berangsur bisikan hilang, penghuni kicep.
Kelengangan itu membuat konsentrasi Ruby berkumpul. Ia tidak tahu sudah tenggelam berapa lama dengan rumus yang membuat dahinya berkerut seperti baju lecek. Buku oretannya pun penuh dengan angka-angka. Ia menyandarkan dahinya di tangan kanan sampai sebuah suara datang dari belakang, mengejutkannya.
"Pengkhianat. Pantes nggak punya teman."
Badan Ruby menegang. Itu suara Rimba. Pemuda itu memang duduk di belakangnya. Dan kalimat itu adalah kalimat terseram yang pernah Ruby dengar dari mulut Rimba. Hingga ada sebuah kalimat lagi yang tidak kalah menyeramkan.
"Ini Rimba dan lo tersesat terlalu jauh. Mencari jalan pulang tidak mudah, kawan!" ancam Rimba tepat di telinga kiri Ruby. Badan pemuda itu rupanya berdiri condong ke depan.
Lalu terdengar suara meja dipukul dengan keras, memecah keheningan yang ada. Tidak sedikit yang terkesiap dan langsung menoleh ke belakang. Pastinya itu pukulan sang Peringkat Satu Pararel, Belantara Rimba.