Loading...
Logo TinLit
Read Story - ARRA
MENU
About Us  

"Hanya butuh beberapa detik baginya untuk menyadari satu hal, jantungnya berdegup cepat."

Serra mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba beradaptasi dengan cahaya lampu dari langit-langit kamar. Sudah menjadi kebiasaan, mamanya selalu menyalakan lampu utama setelah membangunkannya. Ia melirik jam weker di atas nakas, kemudian mengembuskan napas panjang dan kembali menutup mata. Masih ada waktu sepuluh menit untuk kembali melanjutkan tidur.

Rasanya baru saja ia menutup mata, pintu kamarnya kembali diketuk. Suara lembut mamanya yang memanggil dari luar ruangan terdengar seperti alarm yang tidak bisa lagi dibantah.

“Iya ma, Serra udah bangun!” teriak Serra dengan suara serak khas bangun tidur.

Gadis itu mengucek matanya sekali lagi, sebelum benar-benar beranjak dari ranjang. Kicauan burung yang terdengar dari luar menandakan bahwa matahari sudah mulai naik. Pantas saja mamanya mulai terdengar tidak sabar ketika membangunkannya untuk yang kedua kali, rupanya sekarang sudah pukul—

"Enam pagi!" Serra berteriak, kelopak matanya melebar kaget ketika menyadari bahwa ia sudah kembali tertidur selama hampir satu jam. Ia segera melompat dari tempat tidur, dan berlari menuju kamar mandi. Masih ada waktu setengah jam, sebelum papanya mengomel karena tidak ingin terlambat mengantarkannya ke kampus. Ia benar-benar ingin mengutuk jadwal kuliah pagi di hari Senin.

Lima belas menit berlalu, Serra keluar dari kamar dengan celana jeans hitam panjang dan kemeja biru yang dipadukan dengan cardigan putih, tas ransel hitam bergelantung di bahu kanannya. Ia segera mengambil bekal makanan yang sudah disiapkan mamanya, dan berpamitan pada wanita itu. Tidak ada waktu untuk sarapan, papanya pasti sudah bersiap di dalam mobil untuk menunggunya.

“Ma, Serra berangkat ya!” teriak gadis itu sambil berlari menghampiri Anton.

Mobil melaju meninggalkan halaman rumah, sesaat setelah Serra duduk di dalamnya. Deru mesin mobil memecahkan keheningan yang tercipta antara Anton dan Serra. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya, membaca pesan di Line dari grup kelasnya yang sedang membicarakan kuis pagi ini. Sementara, Anton sepertinya tidak ingin mengganggu anak perempuannya. Dia memilih memerhatikan jalanan, sambil sesekali melirik Serra yang beberapa kali tersenyum sendiri.

“Ser, jangan senyum-senyum sendiri gitu. Kamu sehat kan? Papa jadi takut,” suara berat Anton akhirnya memecah keheningan di antara mereka.

Serra melemparkan tatapan tajam pada Anton yang tersenyum jahil.

“Serra sehat papa. Nih, Serra lagi baca Line dari teman-teman.”

“Ah, teman atau teman?” Anton kembali menggoda Serra tanpa melepaskan pandangan dari arah jalanan yang cukup ramai.

“Astaga, teman papa. Serra kan single,” jawab Serra dengan sedikit penekanan pada kata ‘single’.

“Papa lupa, kamu kan jomlo,” tidak mau kalah, Anton juga memberikan penekanan pada kata ‘jomlo’. Ia tertawa jahil yang membuat Serra mengerucutkan bibirnya karena sebal.

Serra lupa bahwa papanya memiliki sifat jahil yang hampir berada pada taraf waspada. Beberapa kali, dia dibuat kesal ketika Anton mulai meledek tentang statusnya yang jomlo hingga saat ini. Terkadang dia bepikir, bagaimana bisa mamanya menghadapi sifat jahil papanya selama ini.

Ia bukan tidak laku. Banyak teman-teman cowok yang mengantri untuk jadi pacarnya, dari yang hanya memberikan perhatian diam-diam, sampai yang mengutarakan secara terang-terangan. Namun, saat ini ada sesuatu yang lebih penting untuk ia pikirkan selain romantisme masa muda.

Kuis kali ini benar-benar membuat kepala Vina beruap. Rentetan rumus dan angka membuat matanya mengabur seketika, mengakibatkan cacing-cacing di perutnya yang sejak pagi belum diberi makan semakin aktif. Ia segera melangkahkan kaki lebar-lebar menuju kantin, setelah dosen statistik berkepala plontos itu meninggalkan kelas. Tangannya menyeret Serra yang sedikit kewalahan mengikuti langkah kakinya. Ia bahkan tidak peduli pada beberapa mahasiswa yang tidak sengaja mereka tabrak. Hasilnya, Serra harus beberapa kali meminta maaf dengan raut wajah bersalah.

Suasana kantin yang terlihat cukup ramai, membuat Vina mengembuskan napas kesal. Matanya memandang berkeliling ke seluruh penjuru ruangan, berharap ada dua kursi kosong untuk mereka. Segaris senyum merekah di bibirnya, ketika menemukan kursi kosong yang berada tepat di samping dua mahasiswa–yang katanya most wanted—dari program studi Fisika.

“Kita ke sana aja, yuk!” Vina kembali menarik pergelangan tangan Serra, tanpa menunggu persetujuan sahabatnya itu.

“Lo ke sana dulu aja. Biar gue yang pesan makanan,” ucap Serra, lantas melepaskab diri dari cengkeraman Vina dan berjalan menghampiri kerumunan mahasiswa yang berada di depan gerobak soto pak Maman.

Lima menit yang panjang. Setelah berdesakan dengan para mahasiswa kelaparan, Serra akhirnya berhasil terbebas dari kerumunan tersebut. Ia mengembuskan napas lega, seraya mengusap peluh di dahinya dengan satu tangan. Ia berjalan hati-hati menuju tempat Vina, dengan membawa nampan berisi makanan serta minuman yang mereka pesan. Namun, kakinya tiba-tiba berhenti ketika seseorang menabrak bahunya.

Serra mendesah. Kesal ketika mengetahui pakaiannya sudah basah karena tumpahan es dari minuman yang dibawanya. Ia sudah bersiap mengeluarkan makian, sebelum akhirnya semua kalimat itu terhenti di tenggorokan ketika melihat siapa yang saat ini tengah berdiri di hadapannya.

Tepat di depannya, Arga berdiri dengan tatapan dan wajah datar, seolah tidak merasa bersalah karena sudah menabrak dan membuat pakaiannya kotor. Pemuda itu bahkan tidak sedikitpun menunjukkan raut wajah bersalah dan tanda ingin meminta maaf. Serra sendiri nyaris tidak menyadari, jika selama beberapa detik lalu ia tersihir oleh sorot dari mata gelap itu. Ia tenggelam, sebelum akhirnya bentakan Arga berhasil membawa kesadarannya kembali ke bumi.

“Punya mata nggak sih?” suara berat Arga membuat rasa kesal Serra yang sempat lenyap beberapa saat, kembali naik ke permukaan.

“Harusnya gue yang tanya, lo punya mata nggak? Udah salah, malah nyolot!” suara Serra meninggi, membuat para pengunjung kantin menghentikan kegiatan mereka untuk menyaksikan dua orang yang saling melemparkan tatapan sengit di tengah ruangan. Sepertinya ia harus menarik kembali penilaiannya tentang Arga. Pemuda itu memang memiliki tatapan yang nyaris melumpuhkannya. Namun, tetap saja sikap Arga membuatnya sangat ingin menyiramkan kuah bakso ke pakaian pemuda itu.

Vina yang menyadari kejadian itu segera beranjak dari tempatnya. Ia menghampiri Serra, mengambil nampan yang berada di tangan gadis itu, lantas meletakkannya di atas meja. Ia mencoba membujuk Serra untuk segera pergi dari tempat tersebut, sebelum semakin banyak yang menjadikan mereka tontonan gratis. Ia bahkan sudah melupakan rasa laparnya.

“Dasar cewek aneh!” Arga pergi lebih dulu dari hadapan Serra tanpa mengucapkan kata maaf.

Pergelangan tangannya yang ditahan oleh Vina, membuat Serra hanya bisa memandang punggung pemuda itu dengan mata berkilat-kilat menyiratkan kemarahan. Kali ini ia benar-benat harus menarik kembali penilaian 'nyaris sempurna' yang pernah ia sematkan pada pemuda itu. Baginya, Arga adalah pemuda yang sedikit tidak berperikemanusiaan. Setelah membuat pakaiannya basah dan membuatnya menjadi tontonan, pemuda itu justu pergi dengan wajah tanpa dosa. Tentu saja, jangan lupakan makian yang diberikan pemuda itu untuknya.

Serra mendesah, memendam keinginan kuat dalam hatinya untuk melemparkan sesuatu pada Arga. “Heran, kenapa orang kayak gitu bisa jadi idola kampus?”

Tepat setelah Serra mengucapkan kalimat itu, langkah Arga berhenti. Entah karena mendengar gerutuannya atau memang merasa bersalah, pemuda melepas sweater putih yang dikenakannya. Tubuh jangkung itu berbalik arah. Mata mereka kembali bertemu. Iris mata sehitam jelaga itu bertumbukan dengan iris mata cokelat tua yang masih dipenuhi kemarahan. Pemuda itu melemparkan sweaternya, dan dengan sigap ditangkap oleh Serra.

“Buat nutupin baju lo yang kotor,” ucapnya datar. Kemudian berbalik arah, dan melanjutkan langkahnya.

Serra masih memandang punggung Arga yang semakin menjauh, sebelum akhirnya menghilang dari pandangan. Ia tidak bisa menutupi raut heran sekaligus tidak percaya dengan sikap pemuda itu. Aroma citrus dari sweater pemuda itu menusuk indera penciumannya, meredakan amarah yang sempat membuat kepalanya memanas. Hanya butuh beberapa detik baginya untuk menyadari satu hal, jantungnya berdegup cepat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • Chaa

    Terima kasih, kak @IndyNurliza πŸ’•

    Comment on chapter Prolog
  • IndyNurliza

    Ide ceritanya apik.. Alur ngalir. Sukses yak

    Comment on chapter Prolog
  • Chaa

    Terima kasih @yurriansan πŸ’•

    Comment on chapter Lelaki Menyebalkan
  • yurriansan

    wah cerita yang menarik. suka juga dengan diksi yang kamu pke.

    Comment on chapter Lelaki Menyebalkan
Similar Tags
Enigma
25087      3056     3     
Romance
enigma noun a person or thing that is mysterious, puzzling, or difficult to understand. Athena egois, kasar dan tidak pernah berpikir sebelum berbicara. Baginya Elang itu soulmate-nya saat di kelas karena Athena menganggap semua siswi di kelasnya aneh. Tapi Elang menganggap Athena lebih dari sekedar teman bahkan saat Elang tahu teman baiknya suka pada Athena saat pertama kali melihat Athena ...
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
6199      1503     1     
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
The Story of Fairro
2537      1004     3     
Horror
Ini kisah tentang Fairro, seorang pemuda yang putus asa mencari jati dirinya, siapa atau apa sebenarnya dirinya? Dengan segala kekuatan supranaturalnya, kertergantungannya pada darah yang membuatnya menjadi seperti vampire dan dengan segala kematian - kematian yang disebabkan oleh dirinya, dan Anggra saudara kembar gaibnya...Ya gaib...Karena Anggra hanya bisa berwujud nyata pada setiap pukul dua ...
Stuck On You
307      247     0     
Romance
Romance-Teen Fiction Kisah seorang Gadis remaja bernama Adhara atau Yang biasa di panggil Dhara yang harus menerima sakitnya patah hati saat sang kekasih Alvian Memutuskan hubungannya yang sudah berjalan hampir 2 tahun dengan alasan yang sangat Konyol. Namun seiring berjalannya waktu,Adhara perlahan-lahan mulai menghapus nama Alvian dari hatinya walaupun itu susah karena Alvian sudah memb...
Koude
3336      1195     3     
Romance
Menjadi sahabat dekat dari seorang laki-laki dingin nan tampan seperti Dyvan, membuat Karlee dijauhi oleh teman-teman perempuan di sekolahnya. Tak hanya itu, ia bahkan seringkali mendapat hujatan karena sangat dekat dengan Dyvan, dan juga tinggal satu rumah dengan laki-laki itu. Hingga Clyrissa datang kepada mereka, dan menjadi teman perempuan satu-satunya yang Karlee punya. Tetapi kedatanga...
pat malone
4254      1279     1     
Romance
there is many people around me but why i feel pat malone ?
Dont Expect Me
498      374     0     
Short Story
Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai harapan lebih padaku. Percuma, jika kamu mempunyai harapan padaku. Karena....pada akhirnya aku akan pergi.
Confession
547      398     1     
Short Story
Semua orang pasti pernah menyukai seseorang, entah sejak kapan perasaan itu muncul dan mengembang begitu saja. Sama halnya yang dialami oleh Evira Chandra, suatu kejadian membuat ia mengenal Rendy William, striker andalan tim futsal sekolahnya. Hingga dari waktu ke waktu, perasaannya bermetamorfosa menjadi yang lain.
Di Hari Itu
452      320     0     
Short Story
Mengenang kisah di hari itu.
Hyeong!
161      140     1     
Fan Fiction
Seok Matthew X Sung Han Bin | Bromance/Brothership | Zerobaseone "Hyeong!" "Aku bukan hyeongmu!" "Tapiβ€”" "Seok Matthew, bisakah kau bersikap seolah tak mengenalku di sekolah? Satu lagi, berhentilah terus berada di sekitarku!" ____ Matthew tak mengerti, mengapa Hanbin bersikap seolah tak mengenalnya di sekolah, padahal mereka tinggal satu rumah. Matthew mulai berpikir, apakah H...