“GUA RASA, Pak Bagus itu laen dari guru yang lain..” kata Tio saat menemani Deva dan Azka bermain biliard di sebuah kafe. Deva menggosok tip stick-nya dengan chalk sambil mendengarkan Tio bicara. Sementara Azka, masih fokus berusaha memandangi bola-bola biliard yang sudah bertaburan di atas laken berwarna merah tersebut. Satu sodokan, berharap bisa memasukkan bola ke dalam rak. Sayang usahanya gagal. Kini giliran Deva yang main.
Ini bukan malam Minggu, tapi malam Senin. Harusnya mereka berada di rumah dan belajar, memang. Alih-alih belajar mereka justru menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.
“Beda apanya? Apa pak Bagus itu punya mata empat?” ujar Azka.
“Atau...” Deva menyempatkan untuk meladeni sebelum memulai permainan, “dia bisa berubah jadi serigala kalo kena sinar bulan.”
“Uuuu..uuuu..” Deva dan Azka melolong. Setelah itu mereka terbahak bersama.
“Gua kasih tau, Yo, yang namanya orang dewasa itu sama. Semua nyebelin, mereka selalu ngerasa yang paling bener,” timpal Azka.
Tio memeluk stick biliardnya. “Tapi tadi itu, gua ditolongin pak Bagus.”
Azka terperanjat, “ditolongin apa, lo?” katanya, nyaris tak percaya.
“Gua ada urusan sama anak jalanan yang meres gua.”
“Kenapa lo, gak bilang sama kita?kan, kita bisa bantu beresin. Kasih tau ke gua, yang mana orangnya.”
“Gak usah, udah beres juga, kok,” ujar Tio. “Pak Bagus gak pake kekerasan, bisa ngatasin mereka.”
“Yah berarti dia gak bisa berantem, simple!”
Tio menyanggah. Dia masih ingat bagaimana Bagus bisa membuat Ipang bertekuk lutut kala itu.
“Bukan itu. Pak Bagus, emang baik. Dia malah nawarin tu anak jalanan buat belajar. See? Kaya’nya kita udah salah kalau ngerja’in pak Bagus.”
“Udah, deh, Yo. Jangan ngomongin masalah sekolah atau guru pas lagi ngumpul gini. Mending lo main, gih!”
Tio berpikir sejenak, “gua mau pulang dulu, ya.”
Azka melirik jam tangannya, “baru juga jam sembilan.”
“Lu ngambek? Kaya’ cewek aja.”
“Gak, lah!” sergah Tio. “Besok, kan kita sekolah. Mau balik ajalah. Capek kalo tiap upacara kita telat melulu, pasti dihukum.”
Azka meletakkan stick-nya di atas meja biliard, “lo lama-lama gak asik, Yo. Males!”
“Bukaan...” Tio menggaruk kepalanya bingung.
“Ya udah kalau gitu, lo sini aja,” tambah Deva. “Nah gimana kalau sekarang kita makan? Laper, nih, gua.”
Azka menyetujui tawaran Deva. “Yok! Kita cari makanan yang enak disini,” Azka menyeret Tio yang masih di ambang keraguan.
“Ngomong-ngomong,” kata Azka di sela langkah mereka, “gua jadi ada ide baru, buat ngerja’in pak Bagus minggu depan.”
“Apa?” tanya Deva semangat.
Berbanding terbalik dengan Deva, Tio justru berusaha untuk menahan Azka agar tak mengerjai Bagus lagi.
“Jangan, deh. Dia itu guru kita.”
“Kalau lo gak mau ikut, gak apa. Tapi awas, ya, jangan sampe lo bocorin ini ke orangnya!” ancam Azka pada Tio.
Tio mengerutkan dahinya. Apa yang bisa dia lakukan untuk menghentikan Azka. Atau setidaknya, menyelamatkan Bagus, gurunya.
***
Sebuah SUV hitam masuk kedalam pekarangan rumah Bagus. Melihat ada tamu, Hartawan segera menyuruh Faiz melihat keluar.
“Mas Fandi...” ujar Faiz. Dia pun segera keluar dan menghampiri Fandi.
“Faiz,” Fandi yang baru saja turun dari SUV hitam miliknya menyapa Faiz.
Mikha, istri Fandi menyalami tangan Faiz. “Mas-mu ada?” tanya Fandi.
“Ada. Masuk, Mas," ajak Faiz.
Ketika Fandi dan Mikha berada di depan pintu, sudah ada Hartawan yang siap menyambutnya di sana .
“Masuk..masukk...” pinta Hartawan pada ponakannya tersebut. “Ini, nih ponakan Om, yang makin sukses aja,” puji Hartawan.
“Ah, Om bisa aja. Om itu jauh lebih sukses soal bisnis."
“Bagus mana, Om?” tanya Fandi saat dia sudah duduk di ruang tamu rumah Bagus.
“Ada, biasa lagi di kamar. Entahlah lagi ngerjain apa dia.”
“Kamu gimana?”
“Biasa, Om. Masih sibuk dengan bisnis kecil-kecilan,” Fandi mengulum senyum.
Hartawan menyandarkan tubuhnya di bahu kursi. "Kecil-kecilan, tapi, kan, omsetnya besar.”
“Omset besar, dipotong biaya iklan sama upah karyawan, Om. Yah mesti pinter-pinter ngatur keuangan lah supaya bisa tetep jalan bisnisnya.”
“Minum dulu tehnya,” Sahima datang tak lama kemudian. Empat cangkir teh dan beberap potong kue disajikan di atas meja.
“Makasih, Te..” ucap Fandi.
“Terus, rencana bisnis kamu kamu ke depan gimana?”
Sahima mencolek suaminya, “Kalian benar-benar akan membahas masalah bisnis sampai tengah malam nanti?”
“Ahh, ibu. ini obrolan lelaki yang paling seru lho ...” celotehnya.
Sahima hanya menyunggingkan senyum sambil mengerling pada Mikha. “Kalau Fandi lagi keluar kota atau luar negri, Mikha gimana?”
“Kalau di kantor libur Mikha ikut, Tante. Tapi rencananya bulan depan Mikha mau resign supaya bisa nemenin Fandi kemana-mana.”
“Bagus itu. jadi Fandi tetep ada yang ngurus kalau lagi keluar.”
“Terus,” Hartawan mencoba menyambung kembali percakapan sebelumnya. “rencana bisnismu kedepan gimana.”
“Jadi, Om,” Fandi lebih mencondongkan badannya ke arah Hartawan, “kedepan rencananya Fandi mau pindah studio. Ke tempat yang lebih besar di daerah Jakarta pusat, sekalian kantor EO Fandi mau jadi satu dengan studio.”
“Wiihhh,” Hartawan berdecak kagum. “berarti, bisnis hulu ke hilir nih namanya.”
“Yah belum lah, Om,” Fandi merendah. “Kan, untuk katering sama dekor, masih kerjasama dengan yang lain.”
“Kamu tuh, ajarin Bagus loh biar bisa sukses begini.”
“Ajarin gimana ya, Om? Fandi aja cuma dari modal nekat awalnya.”
“Itu dia. Bagus itu juga orangnya nekat. Cuma ya nekatnya, asal,” Hartawan mengerutkan dahinya.
“Jadi gitu, Pi!” suara Bagus tiba-tiba saja terdengar.
Hartawan menoleh diiringi dengan Fandi yang melongokan kepala ke atas. Dilihatnya Bagus sudah berdiri tepat di bawah anak tangga terakhir. Bagus mengumpat. "Kebiasaan, deh, Papi. Suka jelekin anak sendiri.”
“Gak kok, Gus..” Fandi membela. “Kita lagi bahas soal bisnis tadi.”
“Yeah...” jawab Bagus dengan muka malas. “Kau dan Papi memang kompak,” katanya seraya merangsek melewati Hartawan untuk duduk di antara mereka. Hartawan menyeringai melihat anaknya. Kemudian dia dengan spontan mengacak-acak rambut anaknya perlahan.
“Pi!” Bagus merasa risih. Dia gunakan jemarinya untuk merapihkan kembali rambutnya. “Sesama orang dewasa jangan suka menindas, Pi.”
“Hah mana?” Hartawan menoleh kesana kemari, seolah mencari seseorang. “Mana orang dewasa di sini.”
Kadang Bagus merasa, kapan papinya itu bisa " normal".
“Fan, ngobrol di belakang aja kita. Kalau disni..” mata bagus melirik ke arah papi-nya. “Aku ada yang perlu dibahas, nih.”
“Boleh!” Fandi menyetujui. “Om, kita ke belakang dulu, ya.”
“Ok silahkan. Tapi hati-hati kalau ngobrol sama anak Om yang satu itu. emosinya masih labil.”
“Papi!” Bagus mengerang.
***
Area belakang rumah Bagus. Sebuah tempat yang dipenuh dengan banyak bunga dan ada gazebo untuk bersantai. Tidak ada kolam renang memang. Hanya ada kolam pancur kecil yang menimbulkan gemericik air, dengan dua bola lampu bundar menjadi penerang di sana.
“Gimana pekerjaanmu?” Fandi membuka percakapan, saat mereka duduk di gazebo.
“Lancar. Cuma ada tiga murid nakal yang selalu jahil.”
Bagus mendesah, mengingat Azka, Tio dan Deva yang selalu berusaha mengusirnya dari sekolah. “Aku gak tau kenapa mereka begitu usil.”
“Mungkin, kau mencuri hati gadisnya. Seperti dulu.”
“Bisa jadi.”
“Seperti masa SMA. Kamu berantem dengan Jodi, karena Naila. Kemudian, Suseno karena, Atika. “
“Yah itu mereka yang chat lebih dulu. Sebagai lelaki, aku hanya menghargai mereka. Gak lebih. Tapi berhubung Suseno dan Jodi menantang waktu itu, aku gak bisa menolaknya.”
“Yah ...” Fandi mengulum senyum, “mungkin muridmu yang sekarang juga begitu.”
Bagus memikirkan kata-kata Fandi. Dia coba mengingat adakah murid yang sedang diincar Azka. Satu wajah terbayang olehnya. Sonia. Siswi berubuh tinggi, cerdas dan tak banyak bicara. Bagus sering melihat Azka memperhatikan Sonia di berbagai kesempatan.
“Makanya, nikah Gus. Supaya kamu gak membuat laki-laki lain was-was karena gadis-nya melirik kamu terus,” lanjut Fandi.
“Kalau kamu ada yang punya, kan, itu lebih baik. Siapa, perempuan itu, mmmh..” Fandi berusaha mengingat nama seseorang.
“Shelma, maksudmu?” Bagus menyebut nama tetangganya yang dulu sering dia pantau dari balkon rumah. Bahkan mungkin sampai sekarang, dia masih suka melakukan itu. Memantau perempuan penghuni rumah di sebrang, yang bermata hazel. Gadis pemalu yang biasa mengenakan hijab berwarna salem.
Setiap kali, Bagus berpapasan dengan Shelma, Shelma hanya menunduk. Bagus, meski banyak di puja kaum hawa, nyatanya tak punya keahlian dalam membuka percakapan untuk mengobrol dengan Shelma. Sekedar say hai pun ia gugup.
“Ah, iya itu. bagaimana hubunganmu dengan dia.”
Bagus menggaruk kepalanya. “Kami gak ada hubungan.”
“Ah masa!”Fandi menyenggol pundak sepupunya itu. “Dulu aku sering perhatikan kau, naik ke atas balkon rumah hanya untuk melihatnya.” Fandi mengingatkan Bagus pada memori masa lalu. “Kau selalu gugup jika ada dia.”
“Karena dia begitu cuek denganku!” ujar Bagus.
Fandi terkekeh, mengingat masa itu. masa dimana Bagus pulang dengan baju seragam yang compang camping dan wajah lebam. Bagus baru saja berkelahi dengan anak dari SMA lain, hanya karena masalah parkir motor. Fandi yang pulang bersamanya, bisa melihat bagaimana Shelma begitu ketakutan saat melihat Bagus.
Fandi hapal dengan kisah kehidupan sepupunya tersebut. Itu karena dulu rumah orangtua Fandi dan Bagus berdekatan, hanya berjarak dua rumah. Mereka juga dulu satu sekolah. Baru setelah Fandi lulus SMA, dia pindah ke Bogor.
Setelah lulus, Bagus melanjutkan kuliah di salah satu Universitas Swasta di Jakarta, baru tahun ini dia pulang ke Bandar Lampung. Sedangkan Fandi yang sejak dari SMA hobi fotografer lebih menekuni hobinya. Karirnya meningkat, dari sekedar hobi dia sekarang punya studio sendiri, dan juga membuka bisnis EO. Kemampan marketing dan negosiasi yang dia miliki sangat baik. Hingga usahanya terus berkembang sampai sekarang. Kalau dihitung-hitung, dia sudah sepuluh tahun menjalani bisnisnya.
“Dia masih tinggal di rumah yang lama, kan?” tanya Fandi.
“Masih. Cuma aku udah lama gak pernah liat dia. Terakhir liat, sebelum aku berangkat ke Jepang.”
“Apa mau aku comblangin. Kau naksir dia dari SMA, bukan? Itu cinta yang udah lama banget! Mungkin ini yang dibilang dengan cinta sejati.”
“Kata siapa? sok tau!” Bagus menyangkal.
“Alah. Jujur aja, nanti aku comblangin. Kalau dia mau, langsung lamar aja. Ya gak?” Fandi menaik-turunkan alisnya.
“Shhh! kau mulai sama sintingnya seperti Papi.”
@yurriansan sama sama ... 😄😄
Comment on chapter TIGA SEKAWAN