Say Your Love
-...say it now, or never...-
Dien mengaku tak pernah suka lelaki kutu buku sebelumnya. Mereka punya penampilan yang menyebalkan. Berkutat dengan kacamata dan kerap kali memakai kemeja lengan panjang yang nggak banget. Tempat mainnya di perpustakaan. Tidak pernah hang-out ke kafe, apalagi dugem di kelab. Pergaulannya hanya sebatas komunitas pencinta buku dan komunitas membaca. Setengah dari mereka adalah orang-orang introvert yang menutup diri dan menganggap aneh orang-orang ekstrovert seperti Dien yang punya banyak teman dan populer luar biasa.
Akan tetapi, ada satu pengecualian untuk Arial.
Arial adalah seorang mahasiswa hubungan internasional semester 5 yang beberapa bulan ini gencar Dien incar. Incar? Ya, pasalnya Dien mati-matian menarik perhatian cowok tampan berkulit pucat itu. Namun sampai detik ini semua jurus andalannya belum ada yang berhasil. Arial yang terkenal pendiam, cerdas dan kutu buku itu selalu dingin ke semua cewek. Jika matahari jadi pusat rotasi seluruh planet di galaksi Bima Sakti, maka buku adalah satu-satunya pusat rotasi kehidupan seorang Arial Pranaja. Maka dari itu saingan terberat Dien bukanlah Ratu Primadini si calon mahasiswi berprestasi atau Kumala Sarasvati ketua BEM Fakultas yang disebut-sebut cukup dekat dengan Arial, si kutu buku yang punya pesona mematikan itu. Namun buku-buku tebal bertemakan perang, kemanusiaan, politik, filsafat, sastra atau fiksi dengan ketebalan lebih dari 5 cm dan disajikan dalam berbagai bahasalah yang jadi penghalang terbesarnya untuk menaklukan hati Arial.
Tidak hanya berpura-pura menyukai buku, Dien juga mendaftar jadi anggota klub membaca yang diketuai Arial agar cowok itu sudi meliriknya. Kurang lebih sudah dua bulan ini Dien aktif mengikuti berbagai acara yang diadakan klub membaca seperti; bedah buku, seminar kepenulisan, dan bakti sosial ke beberapa rumah singgah. Mati-matian Dien menahan air mukanya yang jenuh bukan kepalang setiap sesi sharing dalam pertemuan mingguan klub membaca dimulai. Seperti halnya hari ini, ia hampir saja meneteskan air liur tatkala salah seorang anggota berkacamata tebal—yang entah siapa namanya—menceritakan keasyikannya saat membaca Norwegian Wood dari Haruki Murakami. Setelah pertemuan mingguan itu berakhir, tidak ada yang tahu betapa bersyukurnya Dien pada Sang Maha Pencipta. Ia buru-buru membenarkan penampilannya; menata rambut panjang coklatnya, diam-diam memoleskan gincu, dan merapikan setelan blus plus celana baggy biru lautnya. Ketika Arial hendak meninggalkan ruang sekretariat Dien mengambil langkah besar dan menahan laki-laki itu di ambang pintu
“Hai Al.” Dien menyapa Arial selembut mungkin, suaranya hampir-hampir tak terdengar. Yang disapa hanya tersenyum simpul, cukup untuk membuat dada Dien berdebar-debar tak keruan.
“Ada kafe yang baru buka di depan kampus, kudengar tempatnya cozy. Kita ke sana yuk!”
“Saya harus mengembalikan buku hari ini ke perpustakaan kota, Dien.”
Lagi-lagi Dien hanya bisa membuang nafas frustasi karena eksistensinya kalah saing dengan perpustakaan kota yang sudah jadi rumah ketiga bagi Arial, (rumah pertamanya adalah perpustakaan fakultas dan rumah keduanya adalah perpustakaan pusat kampus) Dien tahu benar soal itu. Apa warna gincu Dien kurang merah? Kurang memikat? Kurang menggoda?
“Sehari saja kamu melepaskan buku-buku itu, memangnya nggak bisa ya?”
Hanya ada segaris senyum simpul di bibir tipis Arial yang manis. Lantas lelaki 21 tahun itu pergi begitu saja dengan menenteng dua buku tebal berbahasa asing yang kertas-kertasnya sudah menguning dimakan usia. Dien tak berniat merepotkan diri mencari tahu buku apa yang dibawa Arial. Melihatnya dari kejauhan saja sudah bikin mual tidak kepayang.
Hatinya sedikit luka karena lagi-lagi gagal mengajak Arial untuk sekadar ngobrol bareng dan menghabiskan waktu bersama. Gadis itu memerhatikan lamat-lamat punggung Arial yang kian lama kian jauh. Entah apa lagi yang harus ia lakukan untuk memikat hati si kutu buku itu.
*
“Nak Al!”
“Siang Pak, saya mau kembalikan buku.”
“Wah sudah selesai dibaca ya? Hebat! Buku-buku setebal ini habis kamu baca 5 hari.”
Arial tersenyum ramah sembari mengulurkan dua buku tua yang beberapa hari lalu ia pinjam. Pak Abdul seorang pustakawan di perpustakaan kota menerimanya dengan sukacita. Lantas pria 50 tahunan itu mengambil sebuah buku dari rak kecil di samping komputer di atas meja tempatnya bekerja, memberikannya pada Arial.
“Ini buku Stephen Crane yang kamu cari minggu lalu.”
Kutu buku tampan itu menerima dengan penuh antusias. Ia sudah menanti-nantikan karya novelis Amerika yang lahir di tahun 1871 itu sejak lama. Namun menemukan buku Crane cukup sulit lantaran tergolong buku tua. Syukurlah Pak Abdul yang terkenal punya banyak channel, terdiri dari teman-teman pustakawannya dari berbagai perpustakaan lain dan para penjual buku-buku langka, dapat menolong Arial. Semenjak penggusuran besar-besaran di Kwitang terjadi belum lama ini, Arial kesulitan untuk mencari buku-buku tua yang ia incar. Beberapa pedagang memang masih banyak yang bertahan, tetapi mereka pindah lapak ke dalam lingkup Pasar Induk Senen, berbaur dengan pedagang barang-barang lain. Hiruk pikuk di dalam pasar tidak begitu disukai Arial. Sebab itu ia lebih senang berburu di perpustakaan kota yang punya banyak koleksi buku, juga beberapa kali mencari lewat Pak Abdul yang sudah cukup karib dengannya.
“Terima kasih banyak, Pak!”
“Jangan sungkan begitu, Nak Al!” Pak Abdul terkekeh, perut buncitnya bergoyang-goyang naik turun. “Bacanya yang santai saja, tidak usah cepat-cepat dikembalikan.”
Arial mengangguk mantap. Tiba-tiba ada yang melintas dalam pikirannya, tanpa dikomando mulutnya sigap bertanya; “Bukunya Djenar ada di sini kan, Pak?”
“Wah banyak Nak Al! Kamu cari di rak cerpen, kodenya 401.” jawabnya. Pak Abdul mengarahkan jari telunjuknya ke sudut kiri perpustakaan di mana rak-rak berisi kumpulan cerpen dari penulis-penulis Indonesia dan asing berjejer dengan rapi.
Lagi-lagi Arial menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh. Betapa ia mengagumi Pak Abdul yang selalu memudahkannya mencari segala macam buku yang ia perlukan. Di saat-saat seperti ini Pak Abdul jauh lebih Arial butuhkan ketimbang mesin pencari Google, bahkan kantung ajaib Doraemon sekali pun.
Baru saja Arial hendak melangkahkan kakinya mencari buku kumpulan cerpen milik Djenar Maesa Ayu, Pak Abdul menahannya dengan sebuah pertanyaan; “Nak Al sedang tertarik dengan cerita feminisme?”
Dengan senyum ringan yang manis Arial menjawab, “Bukunya untuk salah satu teman saya di kampus, Pak.”
*
Pagi-pagi benar, pukul 08.00, di saat kampus masih sangat sepi, seorang mahasiswi sudah terlihat duduk manis di pelataran taman fakultas. Di atas pahanya tergeletak sebuah novel karya Antoine de Saint-Exupéry, The Little Prince. Baru kemarin buku itu tiba di rumahnya, Dien membelinya dari sebuah toko buku online. Tidak ada yang spesial tentang novel ini, bahkan Dien belum membacanya barang satu halaman pun. Satu-satunya alasan mengapa Dien membelinya adalah karena pertemuan mingguan klub membaca minggu ini akan membahas novel ciptaan pilot Prancis tersebut. Dien sudah siap sedia melancarkan rencananya pagi ini; mencegat Arial dengan pertanyaan-pertanyaan seputar The Litlle Prince. Sudah kebiasaan lelaki itu datang pagi dan menjadi pengunjung pertama perpustakaan fakultas. Dien sudah memperhitungkan matang-matang kemungkinannya bertemu dengan Arial jika ia tiba di kampus jauh lebih pagi. Dengan senyum merekah yang tak pudar-pudar, Dien sabar menanti kehadiran Arial. Jari-jemari panjangnya mengetuk-ngetuk novel The Little Prince dengan irama selayaknya sedang memainkan tuts-tuts piano dalam lagu Twinkle-Twinkle Little Stars. Mulutnya, dengan bibir yang terkatup rapat menyenandungkan lagu yang sama.
Selang beberapa lama, Arial terlihat berjalan di koridor. Tujuannya mengarah ke gedung barat di mana perpustakaan berada. Cepat-cepat Dien mengejar Arial, dengan berlari kecil gadis itu berhasil menyambangi Arial dan menepuk pundak lelaki itu dari belakang.
“Hai Al!”
Arial terkejut bukan main, alisnya menjungkit, tak biasanya ia temui orang sepagi ini di kampus, terlebih orang itu adalah Dien. Agak lambat merespon, Arial menyapa balik Dien dengan senyum tipisnya yang khas. “Hai.”
Dien tak mengerti lagi mengapa ia bisa mabuk hanya karena satu senyuman milik Arial. Tungkai kakinya seakan-akan terangkat dan tubuhnya bak melayang-layang di atas permukaan bumi. Dien tidak lagi dapat membedakan apakah saat ini ia ada di kampus atau di persimpangan jalan menuju Taman Firdaus.
“Ada kelas?” Pertanyaan Arial berhasil menyadarkan Dien dari fantasi sejenaknya yang indah.
Gugup Dien menahan dentuman jantungnya yang bertalu-talu terlalu keras. Ia mengerling secantik mungkin dan menyingkapkan rambutnya di belakang telinga lantas menjawab, “Seharusnya ada, tapi dosennya berhalangan masuk.” bohongnya. Lantas ia melantunkan kekehannya kikuk, agak serak dan sumbang didengar.
Arial tak berkata. Dien berdeham dan menunjukkan novel yang dibawanya ke hadapan Arial. Rencananya resmi dimulai!
“Minggu ini klub membaca akan bahas novel ini kan?”
Arial mengangguk tanda setuju.
Dien kembali terkekeh kikuk. “Karena ada tugas jurnalistik, aku belum sempat baca novel ini, kira-kira garis besarnya tentang apa ya, Al?”
Arial bisa melihat gelagat itu, gelagat aneh dari raut wajah Dien dan gerak tubuhnya yang kaku. Entah apa yang ada dalam benak kutu buku itu, Arial enggan menerima novel yang disodorkan Dien. Ia justru membuka tasnya, merogoh sebuah buku dan memberikannya pada Dien. Punggung tangannya yang pucat, tertutupi oleh lengan kemeja panel biru tua yang membingkai tubuh kurusnya. Dien hanya dapat melihat sebuah benda persegi berwarna putih tengah digenggam Arial saat ini. Kedua muda-mudi itu saling menyodorkan sebuah buku satu sama lain.
“Lebih baik kamu baca ini.” Arial menunggu reaksi Dien, namun mahasiswi jurusan komunikasi itu bergeming. “Ini kumpulan cerpen feminis.” Melihat Dien tetap bungkam, Arial menggapai tangan kiri Dien yang kosong dan meletakkan buku itu di sana. Kemudian ia pergi. Sejenak ia membalikkan tubuh, “Kamu bisa kembalikan kapan saja.” katanya sebelum benar-benar berlalu.
Dien benar-benar tidak mengerti. Ia perhatikan secara saksama buku yang diberikan Arial padanya, Mereka Bilang Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu. Dahinya mengerut. “Maksud Arial aku monyet, begitu?” Bibir Dien menguncup, matanya mendung, ia mengentak-entakan kakinya marah. Pagi ini semuanya sia-sia! Batin Dien. Kutu buku satu itu bukan hanya tidak mengacuhkannya tetapi juga telah menghinanya.
Kala itu kala pertama Dien menangis karena Arial.
*
Sudah dua minggu Dien tidak ikut diskusi mingguan klub membaca. Kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu yang dipinjamkan Arial ia kembalikan keesokan harinya melalui salah satu anggota klub. Arial pikir gadis itu telah membacanya, namun mungkin perkiraan itu salah mengingat tak mungkin gadis seperti Dien membaca satu buku dalam sehari meski hanya sebuah kumpulan cerpen yang isinya tidak lebih dari 135 halaman saja. Ada yang mengganjal dalam benak Arial. Ia merindukan sosok Dien datang dan menghadangnya, mengajaknya pergi makan siang, minum kopi, nongkrong atau sekadar ngobrol berdua. Satu pun ajakan itu tidak pernah digubris Arial.
Arial semakin gundah gulana dibuat gadis itu. Dien.
Sebenarnya sudah sejak lama Arial Pranaja memendam rasa pada entitas betina bernama Dien Larasati. Bahkan perasaan tertarik itu muncul jauh sebelum Dien masuk ke dalam klub membaca dan kerap menampakkan diri di hadapan Arial secara tiba-tiba. Suatu kala, Dien pernah mengembalikan sebuah buku tua karya Mochtar Lubis yang ditemukannya di koridor kampus ke perpustakaan fakultas. Hanya tertera satu kalimat di lembar pertama buku itu; “Perpustakaan Fakultas llmu Sosial Ilmu Poitik. A.P”. Dien mungkin berpikir bahwa buku itu tentu milik perpustakaan dan segera mengembalikannya pada pustakawan di sana. Cerita sebenarnya buku itu bukan milik perpustakaan, tapi milik Arial. Ia tidak pernah menulis alamat aslinya, melainkan perpustakaan fakultas yang baginya sudah menjadi rumah pertama, di lembar pertama buku-bukunya dengan alasan lebih mudah diketahui orang yang menemukan bukunya jika hilang. Juga A.P yang adalah inisial namanya. Merasa begitu bersyukur, Arial mencari tahu siapa yang telah berbaik hati mengembalikan buku miliknya. Lewat informasi dari Bu Sum, seorang pustakawan perpustakaan fakultas, Arial berhasil mengetahui tentang Dien. Sejak saat itulah ada perasaan yang muncul dalam hati si kutu buku. Singkat cerita Arial lebih dulu dan lebih lama memendam rasa pada Dien. Bodohnya lelaki yang tidak tahu apa-apa selain buku itu tidak pandai menilai keadaan. Arial bahagia dengan kehadiran Dien di sisinya, baginya itu sudah lebih dari cukup.
Namun, semenjak ketiadaan Dien, Arial semakin meyakini jika ia menginginkan gadis itu dan membutuhkannya.
Arial selalu gagal menemui Dien di mana pun. Gadis itu bak hilang ditelan bumi. Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, berminggu-minggu setelah kepergian Dien dari sisinya, Arial menyerah.
Pada suatu hari setelah pertemuan mingguan klub membaca, salah seorang anggota memberikan sebuah bingkisan berbalutkan kertas kado merah hati pada Arial. Saat semua anggota sudah pergi meninggalkan sekretariat, Arial membuka bingkisan tersebut dan menemukan sebuah novel berjudul The Little Prince. Pada lembar pertama novel tersebut tertulis; “Pelataran Taman Fakultas. D.L” di bawahnya tertera beberapa untai kata dalam Bahasa Inggris: “Say Your Love (say it now or never)”. Arial berlari membawa novel tersebut ke arah taman kampus. Di sana ia melihat seseorang tengah menungggu, seorang gadis berambut coklat tua pemilik novel sekaligus inisial D.L.
Senyum Arial tercuat di bibirnya. Kali ini senyum yang lebar.
***