Hai....
Gak kerasa ya puasa udah mulai mendekati ujungnya. Gimana nih buat temen-temen yang menjalankan ibadah puasanya, masih kuat? Semoga semua yang kita lalui selama ini mendapatkan pahala dan kebaikan berlipat ganda, aamiin.
Dan gak kerasa juga UNENDING LOVE udah sampai di chapter 20. Antara senang tapi juga sedih karena gak lama lagi ceritanya akan segera berakhir, berpisah sama Axel deh huhuu, vampir kesayanganku...
Anyway, aku gak akan bosen-bosen bilang terima kasih untuk temen-temen yang setia baca karyaku sampai saat ini. Dan aku juga sangat terbuka buat temen-temen yang mau promo karyanya, tinggalin link ceritanya di komentar ya.
Jangan lupa like, share, dan komen bagian mana yang masih dirasa kurang atau justru jadi bagian favorit temen-temen.
Salam hangat,
SR
.
.
.
.
Setelah sarapan tadi, Axel tiba-tiba membawaku pergi ke sebuah hutan di daerah perbatasan. Hutan yang tidak selebat hutan yang mengelilingi mansionnya itu terlihat cukup terawat untuk seukuran hutan. Jalan setapak yang sengaja dibuat dari bebatuan alam itu membuatku lebih mudah untuk berjalan di dalamnya. Axel berjalan di depanku, sementara aku diselimuti banyak kebingungan kenapa ia membawaku kemari, apalagi hutan ini seperti hutan di negara-negara tropis, lembab, dan cukup gelap karena pohon-pohon di sekelilingku cukup lebat untuk menutup awan di atasnya.
Beruntung aku tidak memakai gaun Eropa tahun 80-an itu, bisa-bisa aku kerepotan sendiri. Aku mengenakan jeans biasaku dan kaos cukup panjang yang dibalut hoodie hadiah natal dari Chas.
Semakin kami melangkah masuk, semakin aku bisa melihat setitik cahaya di ujung jalan setapak ini. Cahaya itu semakin terlihat jelas dan membesar, lalu di ujung jalan kutemukan padang rumput hijau dan segar, juga hewan-hewan yang biasa kutemui di pet shop atau rumah-rumah tetangga.
“Kucing?”
Seekor kucing persia berbulu lebat berwarna putih itu menghampiri kakiku dan bergelayut manja, matanya yang biru memandangiku sesaat sebelum kembali mengitari kakiku.
“Kau suka kucing?” tanya Axel. Ia duduk di salah satu batu besar di sana. Sementara aku mengabaikan kucing lucu itu dan menghampirinya.
“Ini di dunia vampir, kan?” tanyaku memastikan.
“Iya.”
“Lalu kucing, dan anjing, kelinci. Bahkan tadi aku mendengar suara burung beo di dahan pohon… kenapa?”
“Kenapa?”
“Kenapa hewan peliharaan ada di tengah hutan seperti ini? Hutan dunia vampir pula.”
“Aku juga tidak tahu persis, Grine yang memberitahukannya padaku.”
“Kenapa kau membawaku kemari?”
“Sesekali kita berdua harus menikmati momen seperti ini, bukan? Manusia biasa melakukan tamasya sambil mengunjungi taman-taman di sekitarnya, agar mereka bisa tenang sejenak.”
“Axel, bagaimana bisa kita tenang sementara akhir-akhir ini banyak masalah yang terjadi?”
“Kau butuh istirahat, dan bernapas. Akhir-ahir ini kau terlihat seperti di apartemen Grine setelah kembali mengunjungi ayahmu.”
Karena aku merasa menjadi beban untukmu, Axel. Akhir-akhir ini yang kulakukan hanya membebanimu dan membuatmu kesusahan. Aku seperti mengekangmu tanpa sadar, apalagi soal Victoria dan pamanmu, rasanya berat sekali berada di posisi yang serba salah sepertiku ini, sebab aku bukan vampir yang diidamkan pamanmu, dan itu menakutkanku.
“Lihat! Kau kembali diam.”
“Aku berpikir kita bisa tamasya di halaman belakang.”
“Terlalu banyak orang, aku hanya ingin berduaan denganmu. Lagi pula pamanku tidak akan mengira jika aku membawamu ke perbatasan wilayah Selatan miliknya.”
Selain itu, keresahanku timbul karena Axel membawaku ke perbatasan antara wilayah Barat dan Selatan, tempat kepemimpinan Paman Axel. Pria ini memang gila, aku harus mulai terbiasa akan hal itu.
Aku melangkah menjauhi Axel dan menghampiri kucing-kucing yang sedang berbaring tak jauh dari sebuah sungai kecil di ujung padang rumput ini. Kucing-kucing dengan aneka ras itu terlihat sehat dan lincah, seolah mereka sering diberi makan di sini, oleh siapa? Kupikir hewan peliharaan tidak memiliki insting yang tajam dalam menangkap buruannya.
“Apa sebaiknya aku berharap menjadi seekor kucing saja?”
Jika aku menjadi kucing, mungkin tidak akan membebani Axel. Hahh… kepalaku benar-benar berat akhir-akhir ini.
Seekor ikan kecil melompat dan memercikkan air ke atas rumput yang tak jauh dari tepi sungai. Perhatianku lalu mengarah pada sungai kecil yang ternyata memiliki kedalaman yang lumayan untuk seukuran sungai selebar dua meter itu. Air yang jernih namun tenang itu seperti menyedotku untuk masuk ke dalamnya dan berendam hingga raga dan pikiranku benar-benar segar, tapi aku yakin suhu air ini sama dengan suhu air di air terjun Niagara saat musim dingin.
“Kau sedang apa?”
Dari jauh Axel bertanya padaku, ia masih setia duduk di atas batu sambil memperhatikanku dengan tatapan matanya yang tajam. Tiba-tiba aku tersenyum padanya, pria yang tak pernah terpikir olehku akan menjadi bagian dari garis kehidupanku, bisa-bisanya kami terikat dan berada dalam satu jalur takdir yang sama.
Sesuatu yang basah dan lembab seperti menempel di kedua pergelangan kakiku. Aku pun memperhatikan kakiku, sepasang tangan berselaput berwarna biru dengan sisik di kulitnya tengah memegang pergelangan kakiku. Tangan itu menarik kakiku hingga aku kehilangan keseimbangan dan berakhir terjun ke dalam sungai yang sangat dingin.
“Axel!”
Air masuk semakin banyak ke saluran pernapasanku, aku panik dan meronta untuk menggapai permukaan air yang semakin lama semakin terlihat jauh. Perlahan aku mendengar alunan melodi yang muncul dari samping tubuhku. Ketika aku melirik ke samping, sesosok wanita dengan rambut panjang terurai mengikuti arus sungai ini. Seluruh tubuhnya berwarna biru dengan sisik-sisik yang melapisi kulitnya. Matanya seperti mata seekor amfibi dengan struktur wajah yang nyaris sempurna seperti seorang model, tapi berwarna biru. Ia terus menarikku yang semakin panik dan ketakutan, apalagi ketika kulihat ia terus saja mengepakkan ekornya yang mirip seperti ekor ikan.
Hingga aku benar-benar hampir sampai di dasar sungai yang penuh bebatuan itu, tiba-tiba saja ada api hitam yang muncul di dalam air lalu menyelubungi seluruh tubuhku secara perlahan dan membuat makhluk biru nan elok itu melepaskan tangannya padaku. Suara melodi yang merdu dari mulutnya berubah menjadi desiran bak ular berbisa. Makhluk itu mengibaskan ekor ikannya lalu berenang menjauh dariku, sementara api hitam itu perlahan berubah menjadi sosok yang menopang tubuhku di dalam air.
****
“Uhukkk…”
Axel menepuk pelan punggungku. Beberapa kali cipratan air keluar dari mulutku yang masih saja terbatuk. Kerongkonganku sepertinya sudah penuh dengan air, napasku jadi sedikit tersengal-sengal.
“Elena.” Axel memanggil namaku sambil menangkupka kedua tangannya pada wajahku. Wajahnya mendekat lalu ia menciumku, bukan, ia memberikan napas buatan padaku.
“Uhuk… uhuk…”
Aku akhirnya bisa sedikit bernapas secara normal dan Axel masih saja memandangiku dengan tatapan khawatirnya. Sudah berapa kali aku melihat dirinya yang berbeda seperti ini ya?
“Kita pulang.”
Aku menarik lengan Axel agar kembali duduk di sampingku.
“Aku masih terkejut, sepertinya kakiku masih mati rasa, tolong sebentar lagi.”
Di balik pernapasanku yang tadi meminum berliter-liter air, ada ketakutan yang kurasakan ketika aku masih merasakan dinginnya air di sungai tersebut, juga makhluk biru elok yang mengerikan yang hampir membunuhku. Tanpa sadar air mataku mengalir, aku benar-benar takut sekali.
“Maafkan aku… maafkan aku...”
Axel mendekapku sambil terus berbisik kata maaf di telingaku. Kami berdua dalam keadaan basah kuyup, dan aku mulai menggigil karena dunia ini tak pernah sekali pun dikunjungi oleh matahari.
****
Axel memangkuku ala bridal style lalu membuat sebuah portal seperti lubang hitam yang biasa kulihat di dahan pohon di depan mansion. Kami lantas masuk dan tak berapa lama aku sudah berada di depan mansion, dengan Chas yang tengah memberi hormat pada Axel.
“Tuan, Nona Zendwick tadi kemari—“
“Sediakan pakaian ganti sekarang juga.”
Axel memberi perintah pada Chas yang baru menyadari keadaan kami berdua yang terlihat berbeda seperti sebelumnya. Meskipun aku tidak sebasah tadi, yang entah bagaimana Axel melakukannya, Axel tetap memangkuku masuk ke dalam mansion bahkan ke dalam kamarnya dan membaringkanku di atas ranjang. Di susul Chas dan seorang pelayan perempuan yang siap sedia membawakan pakaian ganti untukku.
“Cepat ganti pakaiannya.”
Lalu Axel keluar dari kamarnya membiarkanku yang masih cukup keheranan ini pasrah untuk dibantu mengenakan pakaian yang lebih hangat dibantu oleh kedua pelayan tersebut. Tak berapa lama aku sudah berganti pakaian dan kedua pelayan itu mengambil pakaian basahku untuk dicuci.
Axel kembali masuk lalu duduk di sampingku yang duduk di ranjangnya. Axel membelai wajahku meskipun wajahnya kini terlihat tenang dan datar seperti biasanya.
“Ada yang sakit?”
“Tidak.”
“Aku meminta Chas untuk membuatkanmu bubur dan minuman hangat, jadi tenang saja.”
“Tunggu, aku sudah baik-baik saja sekarang. Tidak perlu repot-repot merawatku.”
“Diam di sini, kau harus diperiksa terlebih dahulu. Grine!”
Kemudian asap hitam muncul di samping Axel dan Grine muncul diantara asap hitam tersebut.
“Tuan, Nona Zendwick—“
“Tolong periksa Elena sekarang, jangan sampai ada yang terlewat.”
“Nona?” Grine mendongakkan kepalanya dan melihatku dengan tatapan yang begitu khawatir. “Tuan, apa yang terjadi pada Nona?”
“Siren. Kukira makhluk itu sudah kumusnahkan ratusan tahun lalu.” Axel terlihat geram.
“Saya akan kembali, Tuan.”
Asap hitam kembali mengelilingi Grine dan sosok Grine kemudian hilang. Aku lagi-lagi hanya bisa menatap Axel. Di balik wajah tenangnya itu, ada sebuah kekhawatiran yang tergambar lewat semua titah yang ia berikan pada pelayan-pelayannya untuk merawatku, dan mengabaikan bahwa sepertinya Victoria tadi mampir ke mansion ini.
“Siren itu apa?” tanyaku.
Axel kembali membelai wajahku, aku semakin dibuai oleh belaiannya itu, seolah Axel menciptakan sensasi merayu paling lembut di tengah-tengah kekalutannya.
“Makhluk yang menarikmu ke dalam sungai.”
“Tapi bukannya mereka itu mermaid?”
“Kau lebih percaya cerita fantasi manusia atau ucapan makhluk yang telah hidup lama dengan para makhluk-makhluk fantasi itu?”
“Aku hanya bertanya.”
“Aku akan menceritakan semua ketika kau sudah lebih baik.”
“Aku sudah lebih baik, Axel.”
“Di mataku kau terlihat tidak baik-baik saja. Air matamu tadi membuatku takut setengah mati, Nona Elena.”
Axel, tolong berhenti merayuku.
****
“Siren adalah makhluk laut yang cukup lama tidak muncul dalam beberapa abad terakhir. Mereka bukan makhluk agresif seperti Thanatos, justru mereka adalah makhluk pemalu. Tapi jika seorang vampir memanggil mereka, maka mereka akan naik ke permukaan dan menarik apapun yang berada dalam jangkauan mereka.”
“Bagaimana cara vampir memanggil mereka?”
“Siulan, jika seorang vampir bersiul di dekat sungai, para siren akan muncul ke permukaan. Meski tidak semerepotkan Thanatos, Siren cukup mengganggu para vampir yang sedang berada di sekitar sungai. Makhluk itu pernah kuusir karena mengganggu anak-anak kecil, bahkan beberapa diantaranya pernah kubunuh karena hampir membunuh anak-anak di desa, dan ini adalah kemunculan pertama mereka setelah sekian lama.”
Lalu siapa yang memanggil para Siren itu? Axel tidak mungkin karena kulihat pria ini sedang bersiap-siap untuk memusnahkan seluruh Siren yang ia temui.
“Mungkin Siren itu salah mendengar jika ada seseorang yang memanggilnya, lalu menarikku masuk ke dalam sungai. Itu sebuah kecelakaan.”
“Orang-orang di desa yang diganggu oleh mereka saja sanggup aku usir, apalagi ketika mereka mengusikmu, aku harus memburu para siren itu.”
“Sudahlah, aku bilang ini sebuah kecelakaan. Lain kali, aku harus berhati-hati bahkan di sungai sekali pun.”
Axel memandangiku dengan iba, sementara aku berusaha membuatnya yakin bahwa aku lebih baik sekarang. Kejadian itu tak terduga, tak ada satupun dari kami yang mampu memprediksinya.
“Harusnya aku bisa membuat rumah yang aman untukmu.”
“Sudahlah, ya?”
“Axel!”
Dari luar kamar terdengar suara Paman Axel yang memanggilnya. Kami berdua saling bersitatap, aku terkejut sementara Axel terlihat jengah. Paman Axel sering datang kemari dan seolah membuat teror tertentu untukku, meski lagi-lagi Axel menjanjikan tameng untukku, tapi tetap saja.
“Tunggu di sini.”
“Bagaimana jika pamanmu mendobrak pintu kamar ini dan melihatku berada di ranjangmu.”
“Tidak akan, lagi pula pamanku itu seorang yang ketinggalan jaman, apa salahnya jika kau tidur di sampingku?”
Lalu Axel melangkah menuju pintu dan keluar kamarnya meninggalkanku.
“Tentu saja itu salah.”
Aku mendengar samar-samar Axel dan pamannya yang tengah berceramah perihal kejadian di sungai kemarin. Entah bagaimana Paman Axel bisa mengetahuinya. Sepertinya Paman Axel berbicara tak jauh dari kamar ini, suaranya yang tegas dan menggema cukup jelas masuk ke indra pendengaranku. Tentu saja yang diucapkannya tak jauh dari aku, si manusia tak berguna, dan Victoria, yang kemarin datang kemari tapi kami tidak menemuinya.
“Sudah kubilang lepaskan manusia itu, hanya karena Siren saja dia hampir mati, jika tidak ada kau, ia tak akan bisa hidup barang sedetik pun di dunia ini.”
Itulah kata-kata pedasnya yang lagi-lagi melemahkanku. Aku tidak bisa membantah, karena yang dikatakan Paman Axel tak satu pun kebohongan.
Aku berjalan menghampiri jendela. Dua orang vampir sedang berdiri di halaman belakang, mereka tengah berbincang dengan Grine. Kedua vampir itu sangat menarik perhatianku. Meski pun mereka mengenakan jubah berwarna hijau yang menutupi wajah mereka dan memunggungiku, sangat jelas dalam ingatanku akan jubah dan lencana yang menempel di kedua bahu vampir tersebut. Hal sama yang kulihat saat dua vampir asing menyerangku ketika aku baru pindah kemari. Sebenarnya siapa yang berhak mengenakan jubah hijau tersebut?
Tak lama kulihat Paman Axel menghampiri Grine dan kedua vampir itu, aku tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi sepertinya Paman Axel memarahi Grine, raut wajahnya itu yang mengatakannya.
“Kau sedang apa?”
Suara Axel mengalihkan perhatianku, kukira ia mengikuti pamannya ke halaman belakang.
“Pamanmu kenapa kemari lagi? Hanya untuk menceramahimu karena mempertahankanku?”
“Ia diberi tugas Lord Vampir untuk menyelidiki beberapa masalah di sini.”
Oh ya! Paman Axel itu kepala militer vampir, apa jangan-jangan dua orang yang mengenakan jubah hijau itu…
“Dua orang yang bersamanya itu siapa? Pengawal?”
“Mereka yang berseragam dan mengenakan lencana itu adalah polisi militer vampir, bisa dibilang anak buah pamanku.”
Mataku sedikit membulat dan aku berusaha menyembunyikan rasa terkejutku, ada sebuah kecurigaan terlintas dipikiranku tentang Paman Axel dan beberapa kejadian akhir-akhir ini.
“Ada apa?”
“Tidak, aku masih terkejut karena kedatangan pamanmu, bagaimana jika ia lagi-lagi mengomeliku yang tidak berguna ini.”
Mungkin ini masih kecurigaanku semata, sebab yang sama diantara kedua polisi militer itu dan penyerang dulu terletak pada jubah berwarna hijau serta lencana di kedua bahu mereka, sementara polisi militer kulihat mengenakan emblem lambang polisi militer vampir di bagian dadanya saat berbalik ke arahku, sementara vampir yang menyerangku dulu tidak.
Instingku mengatakan ada sesuatu yang berhubungan antara Paman Axel, para vampir yang menyerangku dulu, juga peristiwa yang terjadi belakangan ini setelah Paman Axel mengetahui bahwa Axel membawaku ke mansionnya yang seorang manusia ini.
“Kau selalu mengatakan hal seperti itu.”
Axel menarik lenganku hingga bertubrukan dengan tubuhnya, lalu kepalanya mengarah pada tengkukku dan secara tiba-tiba ia menggigit perpotongan leherku dan menyesap darahku, tentu aku mengerang karena terkejut dengan penyerangannya tersebut.
“Axel…”
Terkadang aku lupa jika yang diinginkannya dariku adalah darah manis yang mengalir ini.
Tak lama Axel mencabut gigi taringnya yang masih mencuat ketika menatapku, setetes darah mengalir dari sudut bibirnya, darahku yang segar.
“Terkadang aku lupa jika aku ini hanya hewan ternakmu,” sindirku.
Axel tak menggubris sindiranku, yang dilakukannya justru menatap mataku begitu intens, membuatku menjadi salah tingkah dan mengalihkan tatapanku darinya.
“Matamu itu seperti mengingatkanku pada seseorang. Dan entah kenapa, hal itu membuatku ingin membawamu untuk terus berada di sisiku. Bukan sebagai hewan ternak, tapi sebagai manusia yang ingin kutawan hatinya.”
Kata-kata manis biasanya hanya muncul dari sang pujangga atau sastrawan sekelas William Shakespears. Tapi ada makhluk lain yang sama manisnya hingga membuat wajahku memerah, namanya Axel ia dari bangsa vampir.
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan