Hai....
Lebaran udah lewat berminggu-minggu yang lalu, tapi aku tetap harus meminta maaf, minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir batin kepada temen-temen semua. Maaf jika mungkin aku punya salah-salah kata, karena aku hanya manusia biasa yang bisa saja melakukan kesalahan tanpa disadari.
Saat lebaran aku memang tidak up date cerita, karena ingin menikmati liburan bersama keluarga, silaturahmi, makan ketupat, dan menunggu antrian THR walaupun umurku justru sudah seharusnya memberi, bukan masih diberi. Dan sayangnya, liburan itu bablas sampe minggu berikutnya dan aku tidak up date lagi hehehe.
Tapi, kabar baiknya, spesial minggu ini akan up date 3 chapter sekaligus *Yeah!!! Jadi ya! Stay tune ya!
Cheers,
SR
.
.
.
.
Hari itu aku tengah menata buku-buku yang menumpuk di kamar Axel untuk dirapikan kembali ke dalam jajaran buku-buku di perpustakaan. Beberapa hari terakhir aku sedang gemar membaca buku-buku fiksi karya Sidney Sheldon, dan yang paling kusuka adalah novelnya yang berjudul The Naked Face dan Angel of The Dark. Keduanya memiliki cerita penuh misteri dan kejutan hingga aku benar-benar tidak membayangkan akhir ceritanya.
Setelah hampir dua minggu berlalu, aku masih tinggal di kamar Axel, kamar yang dulu jarang sekali bisa dimasuki oleh sembarang orang. Para pelayan tidak diijinkan masuk dengan alasan apapun, mereka hanya boleh mengetuk pintu dan berbicara di balik pintu, dan Grine pun melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan para pelayan, bedanya mungkin masih diijinkan untuk masuk ke dalam setelah beberapa langkah dari bibir pintu.
Tapi semua itu berubah setelah aku datang ke mansion ini. Saat pertama kali tiba, kesan mansion megah penuh misteri dan rasa sepi itu benar-benar melekat di seluruh penjuru. Semakin lama, rasanya justru tempat ini cukup nyaman untuk ditinggali, mungkin karena penghuninya tidak seseram yang kukira, justru mereka sangat ramah-ramah padaku.
Dan kamar yang sedikit lebih luas dari kamar yang biasa kutempati itu, kini justru menjadi ruangan yang sering didatangi para pelayan hanya untuk menyiapkan pakaian yang kukenakan, atau menyiapkan bak mandi untukku. Peraturan dan sikap dingin Axel seperti terpatahkan olehku, apa dia tak masalah ya? Kamar merupakan daerah pribadi yang hanya sebagian orang boleh diijinkan untuk masuk ke dalamnya, lalu sekarang kamar Axel tidak lagi seperti itu.
“Nona.”
Grine tiba-tiba memanggilku yang berdiri di atas tangga yang menempel pada rak-rak buku di perpustakaan, mungkin aku berdiri sekitar tiga meter tingginya.
“Ya Grine, ada apa?”
“Kamar Nona sudah bisa ditempati malam ini.”
“Oh ya? Wah! Terima kasih Grine.”
Aku lalu buru-buru turun untuk masuk ke dalam kamar Axel lalu memindahkan semua barang-barangku yang tak seberapa itu ke dalam kamarku yang baru diperbaiki.
“Chas dan yang lainnya sudah mengembalikan barang-barang Nona di kamar Tuan.”
“Eh!”
Belum sampai aku keluar ruang perpustakaan, Grine sudah menginterupsiku.
“Padahal aku bisa membawanya sendiri.”
“Tidak apa Nona, sepertinya sejak tadi Nona asyik sekali di perpustakaan.”
“Aku habis mengembalikan buku-buku yang kupinjam, dan menemukan buku bagus. Sepertinya buku ini baru ya?”
Grine melihat buku yang kuambil dengan sampul berwarna merah muda. Buku berjudul I Want To Eat Your Pancreas itu merupakan salah satu novel yang berasal dari Jepang, dan kutemukan di perpustakaan dunia vampir.
“Itu buku pemberian dari salah satu pegawaiku saat aku pergi ke Jepang beberapa tahun lalu, dan buku itu memang bagus.”
“Aku baca bab pertama sudah mengesankan. Kukira kau hanya mengoleksi buku-buku lama dan langka, seperti Sherlock Holmes atau Kahlil Gibran.”
“Atau William Shakespears cetakan pertama, itu buku yang sangat saya banggakan.”
William Shakespears ya. Otakku tiba-tiba memproses ingatan Axel dulu mengatakan sesuatu yang menurutku sangat puitis dan romantis. Pria itu, bagaimana isi kepalanya ya? Aku tidak mengerti.
“Buku yang sudah berabad-abad lamanya, mungkin jika kau menjualnya di pelelangan Amerika, kau akan mendapat puluhan juta dolar, atau mungkin milyaran. Entahlah. Tapi lebih baik jadi koleksi pribadi.”
“Betul sekali Nona. Buku-buku itu jika dirawat dengan baik akan tersimpan abadi. Banyak sekali orang-orang meninggalkan hidup mereka dengan menulis cerita mengenai dirinya sendiri, dan akan abadi ketika orang-orang selanjutnya membaca cerita hidup mereka.”
“Kau benar, jika kita ingin abadi, tinggalkan jejak di dunia ini. Aku sering meulis buku harian selama aku di sini. Kecuali beberapa minggu terakhir, karena selalu bersama Axel, jadi sulit jika harus menulis catatan harian semacam itu, hahaha…”
“Kalian sejak tadi membicarakan apa?”
Axel lalu muncul dari belakang Grine, Grine lalu menunduk memberi hormat padanya. Jika sedang membicarakannya, Axel selalu tiba-tiba muncul seperti itu, aku heran, apakah dia bisa mendengarkan pembicaraan orang dari jauh atau mungkin dia bisa membaca pikiran seseorang.
“Tuan—“
“Sesuatu rahasia yang tidak mungkin dimengerti oleh orang-orang yang tidak pernah tinggal di dunia manusia.”
“Apa maksudmu?”
Aku menggeleng pelan. “Kau pasti tidak akan mengerti, oh ya Grine, apa ada buku-buku barunya Sidney Sheldon? Atau memang hanya segitu?”
“Sebenarnya ada beberapa lagi yang belum sempat saya beli, sore nanti saya ke dunia manusia beberapa hari ke depan, nanti saya akan carikan.”
“Terima kasih Grine. Oh, dan saat pulang nanti, jika sempat tolong bawakan cheese burger dan soda ya? Tiba-tiba aku ingin makan burger.”
“Baik Nona.”
Lalu aku pamit melewati Grine dan juga Axel yang sepertinya masih penasaran dengan percakapanku dan Grine. Dia terlalu banyak tahu sekali. Axel tiba-tiba muncul di hadapanku saat aku hendak masuk berbelok setelah menaiki anak tangga.
“Ya ampun! Kau mengagetkanku!”
“Apa yang kau bicarakan dengan Grine barusan?”
“Sudah kubilang kau tidak akan mengerti.”
“Kenapa kalian terlihat akrab?”
“Aku memang seperti itu pada Grine sejak dulu, begitu pula padamu, dan pada para pelayan.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Ya ampun, Axel! Kenapa kau begitu menuntut dan protektif sekali? Kau ingin kembali berdebat denganku?”
“Aku hanya ingin kau menjawab pertanyaanku.”
“Lagi pula jika kau tahu, apa yang bisa kau lakukan?”
Axel tak bergeming, ia mengeluarkan asap hitam dari sekitar tubuhnya lalu menghilang bersama asap hitam tersebut. Lagi-lagi, pria aneh itu tidak bisa diprediksikan tingkah laku dan pola pikirnya yang berbelit-belit itu. Apalagi sepertinya kurasakan Axel mulai kembali merajuk padaku. Ah! Dia ini, usianya bahkan jauh lebih tua daripada aku, tapi tingkah lakunya seperti anak remaja belum matang.
****
Aku meregangkan tubuhku setelah beberapa saat lalu berendam di air mawar yang biasa disiapkan Chas pada malam harinya. Malam ini untuk pertama kalinya aku kembali ke dalam kamarku. Dari segi ruang memang tidak ada yang berubah, tapi mungkin yang terlihat kentara adalah kasurku yang kini berkelambu seperti kasur-kasur kerajaan dulu, juga penataan lemari, meja rias, dan beberapa dekorasi dinding bergaya bohemian menjadi pemandangan yang berbeda, tak lupa kini ada satu set sofa berwarna putih gading tak jauh dari kasur. Selebihnya sama saja. Dinding, gorden, jendela, pintu, sama persis sebelum Thanatos itu memporak porandakan kamar ini.
Aku merindukan kamar ini dan suasananya, dan yang terpenting, aku tidak perlu lagi tidur satu ranjang dengan Axel.
“Kau di dalam?”
Suara Axel terdengar dari balik pintu, baru saja aku memikirkannya, ia sudah kembali hadir di sekitarku.
“Ya.”
Kemudian kepulan asap hitam muncul tak jauh dariku dan soosk Axel muncul dari sana. Sekarang apalagi?
“Ada apa? Tumben menemuiku malam-malam begini?”
“Aku masih ingin menanyakan pembicaraanmu dengan Grine.”
Ya Tuhan, dia keras kepala sekali.
“Sudah kubilang kau tidak akan meng—“
“Aku juga ingin… bisa akrab denganmu.”
“Hah?”
“Aku ingin berguna bagimu juga.”
Aku menghela napas, susah memang jika aku menjelaskan padanya, tapi, hampir semua hal dalam hidupku selama ini terselamatkan olehnya. Tanpa Axel minta sekali pun, dirinya lebih banyak membantuku sampai-sampai aku sendiri merasa menjadi benalu untuknya, dan ia masih merajuk agar berguna untukku, dia bercanda ya?
Aku yang duduk di sisi ranjang pun memandangi Axel yang masih berdiri di sampingku dengan kepala yang sedikit tertunduk, pandangannya mengarah pada karpet merah marun yang bisa membantuku berjalan sedikit lebih hangat di lantai dingin ruangan ini.
“Aku tidak paham maksud berguna yang kau katakan, Axel. Tapi selama ini, yang selalu membantuku adalah kau sendiri, kau mengorbankan segalanya hanya untukku, apa itu tidak cukup?”
Menurutku itu justru berlebihan.
“Aku ingin lebih dekat dan mengenalmu dari siapapun, rasanya aku harus melakukan itu.”
Kenapa harus? Kenapa menjadi keharusan untuk kami berdua saling akrab dan mengenal satu sama lain? Memangnya selama ini kurang ya kedekatan kami.
“Kenapa jadi keharusan? Toh kita berdua pasti akan terus bersama tanpa diminta.”
“Maksudmu seperti ini?”
Axel mendorong tubuhku secara tiba-tiba, ia menindihku dan menggenggam erat kedua pergelangan tanganku dengan tangannya. Tentu saja mataku membulat sempurna karena terkejut dengan aksinya, dan kenapa wangi lavender yang selalu tercium ketika didekat Axel terasa lebih pekat dari biasanya, rasanya jadi sedikit manis.
Axel menatap lekat-lekat kedua mataku, matanya yang tajam dan sehitam malam itu seketika membuatku terpesona, jika sedekat ini, matanya indah juga.
Tapi, dia sedang menyerangku! Aku harus berhati-hati.
“Apa yang kau lakukan?”
“Kau bilang kita akan terus bersama.”
“Ta-tapi tidak dalam posisi seperti ini, kau mau apa?”
“Kamarku yang biasanya sepi, sekarang jadi tidak menyenangkan lagi semenjak kau kembali ke kamarmu.”
“La-lalu?”
“Kenapa kita tidak tinggal satu kamar saja, hah? Lagi pula kau sendiri yang mengatakan jika kita akan terus bersama.”
“Heh?! Kenapa kau menganggap seperti itu? Lagi pula kita dilarang untuk selalu tidur bersama seperti itu, memangnya kita memiliki hubungan semacam apa?”
Iya, hubungan kami berdua apa? Kenapa kami begitu erat padahal hati kami memiliki sekat?
“Aku selalu melihat sosok ibuku sendiri lewat matamu dan kau selalu menyamankanku, jika aku mengatakan hal seperti itu, bisa kau jelaskan hubungan kita ini apa?”
Ibu Axel? Memangnya apa yang membuatnya selalu mengaitkan kami berdua, aku sendiri bahkan tidak mengenal beliau.
“Keluarga?”
Axel melepaskan tanganku lalu duduk di sampingku yang segera meringkuk menjauh darinya.
“Ah! Keluarga ya? Berarti tak masalah bukan jika malam ini aku tidur di sampingmu, lagi.”
“Eh?”
Axel kembali menyerangku, kali ini ia tidak menindihku seperti tadi. Tapi ia merengkuhku. Jelas pemberontakkan yang dilakukan tubuhku tak berefek apapun.
“Semalam saja,” kata Axel. “Memangnya kau kira aku akan terbiasa terlelap sendirian sementara selama ini kau ada di sisiku?”
Percaya atau tidak, pria yang mengatakan hal semacam itu adalah bangsawan vampir yang pernah mengancamku untuk tinggal di mansionnya karena ia menginginkan darahku yang manis ini.
“Kenapa akhir-akhir ini ucapan dan tingkahmu begitu manis dan lembut?”
“Benarkah? Aku hanya melakukan sesuatu yang kuanggap bisa menyamankanmu juga, apa itu salah?”
“Tidak.”
“Baguslah.”
Tapi ketidak jelasan hubungan ‘keluarga’ yang kami miliki ini membingungkanku, juga keinginan makhluk ini agar aku selalu mengandalkannya, memberatkanku. Aku juga ingin membantu Axel lebih dari sekadar memberikannya asupan darahku, hal yang membuatnya benar-benar nyaman dan menyamankan.
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan