Seperti kata Axel, pada akhirnya aku tidak membuat roti kacang merah untuk dibagikan kepada para pengungsi di desa. Dengan alasan yang tidak jelas, aku, tidak mau membuatnya.
Hari ini aku membantu Chas dan beberapa pelayan untuk membagikan roti-roti tersebut untuk para pengungsi. Akibat serangan Thanatos, hewan-hewan ternak mati, beberapa kebun dan ladang pun seolah tandus karena dilalap api. Napas Thanatos bukan hanya bisa membuatku mati perlahan, tapi menghancurkan wilayah sekitarnya. Untuk itu, Axel berupaya membantu para warga yang terkena dampak Thanatos semaksimal mungkin. Selagi ia menelusuri hutan yang terbakar bersama Grine, aku berupaya membantu meringankan bebannya meskipun hanya sedikit.
Kali ini saja, aku ingin berupaya untuk tidak membebaninya.
“Nona, ini kotak susu yang diminta Nona.”
Seorang pelayan laki-laki menumpukkan beberapa kardus berisi susu yang dibawa Grine dari dunia manusia. Menurut perhitungan Grine, mungkin butuh paling lama tiga hari untuk mengembalikan keadaan akibat serangan Thanatos. Benih-benih tanaman yang diimpor langsung dari Pegunungan Tibet pun sudah dipesan, dan hewan-hewan ternak sudah mulai dikirim dari dunia manusia.
“Terima kasih, sekarang tinggal menunggu orang-orang datang kemari.”
Tempat kami membuka lapak berada di sisi sebuah peternakkan kecil yang berada di ujung perbatasan wilayah Barat, tempat yang tak jauh dari para pengungsi yang rumahnya cukup berantakkan oleh serangan Thanatos.
Tak berapa lama, orang-orang mulai berdatangan. Meski pun mereka adalah vampir, sepertinya aura mereka tidak semenyeramkan Axel. Beberapa anak kecil yang kutebak usianya bahkan jauh di atasku ini terlihat begitu riang ketika aku memberikan sekantung roti dan susu.
“Terima kasih Nyonya Easter.”
Berapa kali aku dipanggil Nyonya Easter oleh orang-orang, padahal mereka pasti menyadari bahwa aku bukan bagian dari mereka. Meski pun Axel mengatakan jika kalung yang ia berikan dapat menutupi bau darahku dengan darahnya, tapi penampilanku jelas terlihat seperti manusia.
“Elena?”
Suara lembut seorang wanita membuatku menoleh padanya. Aku yang sedang membantu Chas menata beberapa kantung berisi roti itu pun tersenyum merekah ketika Nyonya Auroralah yang memanggilku.
“Nyonya,” kataku riang.
Aku meminta waktu pada Chas untuk menghampiri Nyonya Aurora. Chas dan beberapa pelayan menunduk hormat melihat Nyonya Aurora menghampiri kami.
“Elena, apa kabar?”
“Baik Nyonya, Nyonya bagaimana kabarnya?”
“Aku juga baik-baik saja. Kau sedang sibuk?”
“Tidak, kami baru selesai membagikan makanan untuk orang-orang di desa. Apa yang membuat Nyonya bisa datang kemari?”
“Aku menemani suamiku bertemu Easter, lalu mendengar kau yang sedang berada di desa, aku jadi ingin menemuimu.”
“Aku senang bertemu Nyonya kembali.”
Aku sangat senang sekali. Kemudian aku mengajak Nyonya Aurora untuk duduk di bawah pohon yang tak jauh dari tempatku tadi, semilir angin yang menerpa dahan pohon membuat suasana di bawahnya terasa sejuk. Aku benar-benar senang bertemu Nyonya Aurora, ada sesuatu dari dirinya yang membuatku betah dan ingin semakin akrab dengannya, seperti yang selalu kurasakan jika bersama Grine.
Aku banyak membahas hal-hal tidak penting bersama Nyonya Aurora, mungkin hal itu sebagai upaya untuk mereda rinduku pada beliau. Nyonya Aurora datang untuk membantu Axel. Berita mengenai penyerangan Thanatos membuat Nyonya Aurora dan sang suami datang kemari untuk membantu.
“Bukankah di dunia manusia, hari ini adalah hari Valentine?”
Nyonya Aurora membuka topik lain, ia seperti Victoria yang tertarik pada manusia, dan pertanyaan yang sama mengenai hari kasih sayang yang jatuh pada hari ini.
“Iya.”
“Kukira kau akan merayakannya seperti sepasang kekasih pada umumnya.”
“Memangnya pada siapa aku harus memberikan bunga dan coklat?”
“Siapa lagi? Jika bukan pemimpin wilayah Barat?”
Aku tertawa kecil, mana mungkin si vampir dingin, datar dan tajam seperti Axel mau merayakan hari-hari seperti ini. Lagipula, kematian ibuku tidak perlu dirayakan. Kenapa kematian patut dirayakan? Itu kan hal yang sangat menyedihkan.
“Ada masalah lagi dengan Easter?”
Kulihat Nyonya Aurora mulai cemas melihatku yang merubah raut wajahku menjadi lebih sendu.
“Setiap hari kami selalu bermasalah, Nyonya.”
Aku cukup ragu untuk menceritakan soal mendiang ibuku, tapi aku ingin membagi cerita menyedihkanku ini pada orang lain, aku butuh didengar. “Nyonya, apa boleh aku menceritakan sesuatu?”
“Silahkan.”
Nyonya Aurora menggenggam kedua tanganku yang berada di pangkuan. Tangan-tangan lembutnya menggenggamku erat namun tidak menyakitkan.
“Hari ini adalah hari kematian ibuku.”
Bola mata Nyonya Aurora sedikit membulat, wajahnya sekilas terlihat terkejut, namun kemudian ia kembali mengendalikan raut wajahnya itu.
“Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama, mungkin dua belas tahun lamanya. Ibuku meninggal karena kanker rahim yang menggerogoti hidupnya. Saat itu, saat aku belum mengetahui apa yang terjadi pada ibuku, aku merasa hari-hari damaiku akan terus berlanjut selamanya. Lalu, ketika ibuku tiba-tiba saja terjatuh dan masuk rumah sakit, saat itu aku tersadar bahwa hari-hari yang kuidamkan itu tidak akan berlangsung lama.”
“Selama belasan tahun, aku tak pernah mau mengingat hari ini. Dekorasi merah muda, sebatang coklat, seikat bunga mawar, rasanya hanya membawaku pada luka. Di saat semua orang menemukan hatinya, bagiku hari ini hanyalah merindu yang tak bisa ditepis.”
Nyonya Aurora memiringkan sedikit kepalanya, ia membelai rambutku yang selalu diikat seperti ekor kuda. Selama belasan tahun kulewati hari kasih sayang ini dengan luka dan air mata. Aku selalu merasakan sakit dan rindu secara bersamaan. Aku kira aku akan segera terbiasa, bahkan sampai saat ini, aku tak pernah beradaptasi dengan luka itu.
“Semakin kau tak bisa melupakannya, semakin besar perasaan sayangmu padanya. Aku tidak memungkiri bahwa perasaan kehilangan itu tidak mudah untuk dilupakan, atau bahkan mustahil. Tapi, kita yang ditinggalkan sudah sepatutnya untuk terus berjalan. Karena sepahit apapun perasaan yang kita rasa, kita harus menikmatinya, itulah kehidupan.”
Aku memandangi kedua bola mata Nyonya Aurora yang teduh itu, mungkin karena untuk pertama kalinya aku menceritakan tentang ibuku dan rasa rinduku, aku semakin merasa Nyonya Aurora begitu bisa menenangkanku dan membuat nyaman, padahal kami baru saja bertemu dua kali.
“… Nyonya…”
“Ya?”
“Apa aku boleh memeluk Nyonya?”
Bukan jawaban, melainkan kedua tangan Nyonya Aurora yang sejak tadi menggenggamku kini direntangkan seolah mempersilahkan aku untuk memeluknya. Tentu saja, aku memeluknya, dan Nyonya Aurora memelukku juga.
Rasanya sangat asing namun menenangkan berada di pelukan wanita ini. Aku bisa merasakan sosok ibu dalam pelukannya. Hangat. Dan tanpa diduga, air mataku mengalir perlahan.
“Kapanpun lukamu muncul, tolong temuiku, akan sangat mudah untuk menemukanku, Elena. Kau tidak perlu lagi menahan luka itu sendirian.”
Iya. Belasan tahun dan tanpa kusadari, aku mengendapkan seluruh perasaan rindu dan luka yang bercampur aduk itu. Tanpa kuduga ternyata aku tak pernah baik-baik saja untuk merindukan ibuku barang sedetik pun. Terlalu berat merindukan ibuku yang tak lagi bisa kupeluk itu.
****
“Nyonya yakin tidak ingin aku antar?” tanyaku.
“Tidak perlu, Nak. Aku tak ingin merepotkanmu, kau masih harus membantu Easter, bukan? Jangan terlalu memaksakan diri. Lagipula aku bersama para penjagaku, hanya menjemput suamiku yang selalu lupa waktu itu.”
Aku tersenyum kecil mendengar Nyonya Aurora seperti mengkritik suaminya sendiri. Aku pun kembali memeluknya sebentar.
“Aku akan menemui Nyonya jika selesai belajar resep masakan baru, atau mungkin bunga-bunga di halaman belakang bermekaran.”
“Aku akan menunggumu, Elena. Katakan saja kau akan menemuiku pada Easter, ia pasti mengijinkan.”
“Iya.”
“Kalau begitu aku pamit, Elena. Dan terima kasih untuk roti kacang merahnya, akan kumakan dengan lahap.”
“Hati-hati, Nyonya.” Chas dan pelayan yang bersamaku pun membungkuk memberi hormat, aku pun begitu.
Kemudian Nyonya Aurora masuk ke dalam kereta kencana dan pergi ke arah mansion Axel. Aku masih harus membantu Chas dan yang lainnya untuk membagikan roti bagi para pengungsi yang belum menemui kami.
“Nona pulang saja, hanya tinggal beberapa keluarga saja yang belum mendapatkan roti.”
“Tidak, Chas. Sejak tadi aku mengobrol dan lupa membantu kalian di sini.”
“Nona, itu sudah tugas kami. Lagi pula sepertinya Nona memang kurang sehat.”
“Tidak apa-apa, Chas. Aku sedikit lebih baik sekarang.”
Setelah bercerita dengan Nyonya Aurora, sedikit bebanku mulai berkurang hari ini.
****
Aku memandangi bulan lewat jendela kamar Axel. Kakiku sedikit pegal karena berdiri cukup lama, hal yang sudah lama tidak kulakukan setelah datang kemari. Mungkin karena jarang melakukannya, otot-otot kakiku sedikit terkejut.
Di London, setiap malam tak pernah sesepi ini. Ketika aku pulang dari tempat kerjaku pun, tak pernah jalanan yang kulewati terasa sepi, tapi sayangnya, jarang sekali aku melihat bulan maupun bintang meskipun malam terbilang tidak berawan sekali pun.
Aku kembali menghembuskan napas. Hobi yang kulakukan jika sudah banyak pikiran yang memberondong kepalaku.
“Kau tidak makan malam?”
Kulihat Axel baru saja menutup pintu kamarnya, sepertinya ia baru kembali dari hutan. Aku membenarkan posisi dudukku dan menghadap ke arahnya sambil mencubit sedikit bagian roti isi kacang merah yang masih ada di dapur.
“Aku makan ini,” kataku menunjukkan roti yang sedang kupegang.
“Pada akhirnya kau membuat roti itu?” Axel duduk di sampingku sambil menyimpan jubahnya di sisi.
“Roti ini tidak jadi kubagikan, aku mengikuti saranmu.”
“Kau percaya jika vampir tidak bisa makan kacang merah?”
“Tidak, aku hanya tidak ingin saja.”
Aku mencubit ssepotong kecil roti yang kupegang, aku akan menyuapi roti tersebut, tapi tangan Axel menarik tanganku lalu mengarahkan pada mulutnya. Axel memakan potongan kecil roti yang kupegang.
“Kau bilang tidak suka kacang merah?”
“Dulu ibuku sering membuatkan sup kacang merah, dan aku selalu berusaha untuk menghindari hal-hal yang membuatku merindukannya.”
“Kenapa?”
“Bagi vampir, ditinggal mati oleh orang yang penting baginya itu sama saja dengan mendapatkan luka yang membekas abadi.”
Tak jauh beda denganku, Axel hidup sebagai yatim piatu beratus-ratus tahun lamanya. Ia hidup sendirian selama ini, tidak ada sosok orang tua yang menjadi sandarannya, ia selalu berjuang sendirian. Nasib kami sepertinya tak jauh berbeda.
Aku menyandarkan kepalaku pada bahunya, sekilas wangi bunga lavender tercium lewat indra penciumanku. Axel tak bergeming, ia justru menyandarkan kepalanya di atas kepalaku.
“Kau tahu, semakin banyak rasa sakit yang kita terima akibat kehilangan seseorang, semakin banyak pula rasa kasih sayang itu.”
Seperti yang dikatakan Nyonya Aurora tadi, aku berusaha menghibur Axel yang sepertinya sedikit sendu.
“Jadi, jika kau merasa sakit ketika mengingat kedua orang tuamu, sebaiknya kau nikmati saja. Apapun yang kau rasakan, pada akhirnya kau akan menunjukkan betapa rasa kasih sayangmu teramat besar bagi mereka.”
Axel lalu sedikit menggerakkan tubuhnya, akupun ikut menegakkan tubuhku dan melepaskan sandaranku padanya. Ia memandang lurus ke depan, hanya ada dinding dan pintu juga cahaya yang cukup redup.
Kemudian ia menautkan tangannya pada tanganku. Diciumnya punggung tanganku begitu lembut dan memikat. Meski pun wajahnya dingin dan datar, apalagi matanya yang tajam menusuk, kadang, beberapa hal dari dirinya bahkan lebih lembut dan lebih manis dari segelas puding almon green tea kesukaanku.
“Elena, tolong tetaplah di sisiku selamanya, dan temani aku melewati rasa luka-luka itu untuk ke depannya.”
Memunggungi sinar rembulan yang menembus kaca jendela, diantara temaramnya cahaya ruangan itu, kami berciuman. Iya, kami. Aku tak lagi sekadar menjadi penerima, tapi ikut membuat andil dalam debaran dada yang selalu membucah ketika diperlakukan istimewa olehnya.
Hubungan kami yang masih sangat tak jelas ini, pun perasaan cemasku akan dibuang olehnya, kini terhenti sejenak oleh rayuan yang ia berikan pada ruang-ruang di dalam hatiku. Akankah kita akan saling bersisian selamanya?
Whoaa ... Seruu ini. Aku suka😍. Minim typo juga. Liked
Comment on chapter #1 Hari Perjumpaan