Pandai besi di kota lebih banyak jumlahnya dari perkiraan mereka. Bagaimana tidak, setiap hari ada saja orang yang membutuhkan senjata baru maupun memperbaiki senjata mereka bahkan sampai hal sederhana membuat alat rumah tangga seperti pisau. Mereka harus mencarinya satu per satu. Rasanya makanan yang ada di perut mereka menghilang tiba-tiba. Matahari mulai berada di atas kepala, terik sekali hari itu.
“Rose, kamu tidak lapar? Kurasa sudah waktunya makan siang.” Tanya Ethan.
“Tapi hanya tinggal satu lagi toko yang harus kita periksa.” Ucap Zoe.
“Zoe benar, ayo cari dulu Ethan lalu kita makan.” Jawab Rose.
“Baiklah, jika kamu pingsan aku yang akan menggendongmu.” Ucap Ethan.
“Aku kuat tak butuh bantuanmu. Ada Zoe di sini, wle.” Balas Rose.
Ethan melihat Zoe tersenyum dan dia juga mencuri perhatian dengan mengacak-acak rambut Rose.
Toko itu cukup jauh dari kota, letaknya di pinggiran kota. Pandai besi itu sangat terlihat tua dilihat dari material pendukung bangunan itu tersusun dari bebatuan dan gerbang yang terbuat dari kayu Oak. Seorang pria tua gemuk sedang memartil sebuah lempengan, sepertinya dia sedang membuat pedang. Aroma asap dan percikan bara api menunjukkan bahwa pekerjaan itu tidak dapat dilakukan dengan main-main.
“Tuan, tuan permisi.” Ucap Rose memberi salam.
Tidak ada jawaban. Suara besi yang beradu menjadi sahabat para pekerja pandai besi. Rose harus berkata lebih keras lagi.
“Tuaaan! Maaf boleh aku bertanya??” ucap Rose berteriak.
Pria tua itu menghentikan pekerjaanya. Dia terkejut melihat mereka dan tidak memperhatikan mereka cukup lama.
“Maaf tuan, namaku Rose dan aku butuh bantuanmu. Jika kau tidak sibuk, bisa kita berbicara sebentar?” Tanya Rose.
“Ah oke, aku sedang membuat pedang. Bisa kalian tunggu sebentar lagi?” Jawabnya.
“Maafkan aku lancang, tapi kami sedang terburu-buru, mereka bahkan membutuhkan waktu seharian perjalanan untuk menemuimu.” Ucap Zoe.
“Baiklah, ikut aku ke dalam, tapi maaf tidak ada minum.” Jawab pria itu ketus.
Mereka pun menuju toko. Mereka duduk melingkar di meja bundar. Rose memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuannya. Pria itu sesekali melihat Zoe. Lalu, Rose tunjukkan kunci itu kepada pria pandai besi yang bernama, Tyler Han. Tuan Han melihat dengan seksama, dia berkata bahwa memang benar itu dibuat oleh keluarganya. Sayangnya dia tidak tahu siapa yang membuatnya.
“Ku mohon tuan Han, bantulah kami. Ini satu-satunya kunci yang kami miliki. Kami butuh bantuanmu.” Pinta Rose.
“Sudah ku bilang aku tidak tahu!” Tuan Han naik pitam.
“Tolong lihat baik-baik, kurasa tidak banyak bangsawan yang menggunakan berlian ini. Engkau pasti mengetahui sesuatu.” Ucap Ethan.
“Apa kau akan memberikanku berlian yang sama jika aku memberikan jawaban yang kau harapkan?” Tanya tuan Han.
Ethan yang biasanya cerdik mulai kehilangan ide diplomatisnya. Dia mulai mengepalkan tangannya dan hampir meninju tuan Han. Zoe yang melihatnya mulai berbisik pada Ethan untuk mengendalikan diri hingga tujuan mereka tercapai.
“Aku sibuk, aku tidak ada waktu untuk kalian lagi. Sampai jumpa.”
Tuan Han bergegas menuju pintu, dan memaksa keluar mereka bertiga lalu mengunci pintu dan menutup toko. Dari luar etalase, dia terlihat terburu-buru menelfon seseorang. Perjalanan mereka sia-sia. Zoe mencoba memghibur mereka tapi tidak berhasil. Rose dan Ethan saling menyalahkan satu dan lainnya. Ethan merasa lebih baik pulang dulu karena mereka pergi sudah terlalu lama dan pasti orang rumah mencari mereka. Rose berkata bahwa mereka selangkah lagi menuju jawaban, hanya perlu membujuk tuan Han sedikit lagi. Zoe tidak dapat memilih diantara mereka, membawa mereka pulang atau mencoba membujuk tuan Han lagi.
Mereka menuju rumah Zoe tanpa ada percakapan sedikit pun, bahkan rasa lapar itu diabaikan mereka. Rose dan Ethan berjalan berjauhan, Zoe mengikuti di belakang. Tinggal melewati jembatan mereka menuju rumah. Langkah Rose melambat, Zoe menawarkan bantuan dengan menggendongnya. Nafas Rose terasa di lehernya, suhu badannya hangat.
“Zoe, tolong.” Ucap Rose lemas.
“Rose kau demam? Astaga, tunggulah sebentar. Ethan bantu aku, panggilkan dokter di alun-alun kota. Katakan saja untuk datang ke rumah.” Pinta Zoe.
Saat Ethan hendak berlari menuju alun-alun, Rose menahan tangan Ethan.
“Tidak, tolong, tolong gadis itu.” Ucap rose menunjuk ke jembatan.
Mereka berdua menoleh ke jembatan. Ethan sontak berlari menuju gadis itu. Seorang gadis terjun dari jembatan untuk mengakhiri hidupnya. Apa yang ada dipikirannya, tidak ada yang tahu. Ethan selangkah lagi menariknya namun,
BYUR.
Gadis itu melompat lebih cepat. Mereka melihat gadis itu terjatuh dan membiarkan dirinya tenggelam ke dasar sungai. Ethan langusng melompat tanpa pikir panjang setelah melihat gadis itu terjun. Gadis itu meronta tidak ingin diselamatkan, sulit untuk menolong orang yang tidak mau diselamatkan. Gadis itu berteriak dalam air dan sepertinya menelan cukup banyak air. Kekuatan tangannya melemah dan Ethan berhasil menariknya keluar. Ditepuknya pipi gadis itu, dia tidak bangun.
Ethan menarik nafas panjang dan akhirnya memutuskan bahwa dia akan memberika CPR. Ethan mencoba cukup lama, hingga gadis itu bangun karena tersedak dan mengeluarkan air dari tubuhnya. Gadis itu terbatuk-batuk. Ethan akhirnya membawa gadis itu ke rumah Zoe bersama Rose dan Zoe. Hari itu terasa melelahkan, Rose dan gadis itu harus beristirahat. Tidak ada yang keluar dari kamar baik Zoe maupun Ethan, namun bibi Hana berkata untuk mereka tidur dan biar bibi Hana yang menjaga kedua gadis itu.
*****
Matahari telah menampakkan wujudnya, Zoe membuka matanya dan melihat jam. Baru kali ini dia kesiangan. Dia bergegas menuju kamar Rose, tidak ada siapapun. Dia mencari ke ruang tamu juga tidak ada. Dia berlari ke dapur, tidak ada siapapun kecuali bibi Hana.
“Hana, Rose di mana? Maksudku mereka di mana?” Tanya Zoe.
“Selamat pagi tuan, mereka pagi ini berencana sarapan di taman. Gadis yang kalian bawa sepertinya butuh suasana segar.” Ucap bibi Hana sambil membawa makanan yang banyak menggunakan troli.
Zoe ikut keluar dan melihat mereka bertiga bercengkrama. Zoe menghelas nafas lega.
“Jadi siapa namamu?” Tanya Rose.
“Fabiola.” Jawab gadis itu.
“Oh namamu bagus, tapi aku lebih suka gitar.” Ucap Ethan.
“Diamlah. Maaf ya, dia Ethan, sahabatku. Dia kadang membuat lelucon yang tidak lucu.” Ucap Rose.
Fabiola, tersenyum.
“Oh hei, kamu tersenyum! Cukup manis” ucap Ethan.
“Setidaknya ketika kau diluar kenakanlah jaket.” Ucap Zoe memberikan jaket pada Rose.
Rose mengingat kejadian dulu. Yah cukup mirip. Rose hanya dapat berkata terima kasih. Bibi Hana lalu menyiapkan hidangan sarapan yang enak dan sehat. Rose makan cukup banyak pagi itu dan gadis itu pun terlihat lebih baik dari kemarin.
“Zoe, ini Fabiola. Fabiola, dia Zoe pemilik rumah ini.” Ucap Rose.
“Maaf saya merepotkan anda. Terima kasih.” Ucap Fabiola canggung.
“Anggap saja rumah sendiri, jadi apa kau sudah siap menceritakan alasan kamu melakukan hal itu?” Tanya Zoe.
Fabiola terdiam sejenak. Matanya berlinang namun dia mencoba tenang.
“Ayahku sering memarahi aku karena alasan tidak tentu. Dia terlihat begitu tertekan setelah ibu meninggal setahun yang lalu. Ku rasa ayah melampiaskan padaku. Awalnya aku diam dan mencoba menerima keadaanya. Aku yakin semua akan berlalu. Tapi berbulan-bulan ayah tetap menjadi kasar, tidak seperti sebelumnya. Aku baru tahu ayah menanggung hutang yang cukup banyak dan tidak dapat membayar itu. Aku mencoba mencari pekerjaan di sebuah kedai." Fabiola menghela nafas sesaat dan melanjutnya ceritanya
"Tapi mereka malah memperlakukanku dengan jahat, kemarin aku hampir dijebak. Mereka menaruh obat tidur di minumanku, aku setengah tersadar dan berhasil kabur dari mereka. Tapi mereka mengejar hingga aku harus lari ke pepohonan dan berakhir di pinggir kota. Aku mencoba memperhatikan sekitar, apakah mereka masih mengikutiku atau tidak. Lalu,ada seseorang yang berlari ke arah ku. Aku sangat takut dan mencoba kabur, aku malah menjatuhkan diri karena panik. Pria itu menarik aku bahkan ketika aku di dasar sungai. Aku berontak karena takut, tapi aku tidak dapat mengatur pergerakkanku dan pingsan.” Ucap Fabiola.
Mereka bertiga terdiam dan melihat satu dan lainnya lalu tertawa. Fabiola heran dan kesal.
“Kisahku bukan lelucon!!” Teriaknya.
“Maafkan kami Fabiola, yah penjahatmu kini ada di sampingmu. Dia yang menarikmu keluar dari sungai.” Jawab Rose.
Fabiola menoleh ke sampingnya dan Ethan tersenyum.
“Ah sudahlah tak perlu terima kasih. Maaf jika aku terlihat seperti penjahat. Aku pikir kamu mau bunuh diri, jadi aku bergegas berlari ke arahmu.” Ucap Ethan.
“Ma... Maaf. Terima kasih, sungguh terima kasih. Tapi aku sejujurnya tidak ingat apa yang terjadi. Ingatanku terakhir adalah bayangan air yang mulai gelap.” Ucap Fabiola.
Rose dan Zoe saling melihat satu sama lain, mereka tidak ingin menyembunyikan namun mereka memilih Ethan yang menjelaskan. Ethan masih terdiam.
“Sejujurnya aku merasakan ada yang menciumku, tapi aku tidak yakin. Ku rasa itu hanya alairan air sungai yang melewatiku.” Lanjut Fabiola.
Tidak ada yang memberi tahu Fabiola. Fabiola menghabiskan sarapan dengan penasaran.
“Fabiola, apa pekerjaan ayahmu?” Tanya Zoe.
“Ayahkku seorang pandai besi.” Jawab Fabiola.
Uhuk-uhuk Rose tersedak, “Siapa nama lengkapmu Fab?”
“Fabiola Han.” Jawabnya.
Mereka bertiga berhenti makan dan menatap Fabiola. Tatapan mereka mengerika, Fabiola panik dan menyiapkan ancang-ancang untuk pergi. Hingga Rose menahan tangganya dan tersenyum.
“Fabiola, bantu aku.” Ucap Rose.
“Tentu aku ingin balas budi.” Ucap Fabiola heran.
Rose menceritakan semuanya kepada Fabiola. Bahkan ketika bertemu ayahnya, memang benar ayahnya adalah orang keras. Mereka meminta Fabiola untuk mencari tahu siapa yang meminta dibuatkan kunci seperti itu. Fabiola bingung dan terdiam untuk waktu cukup lama. Apakah itu benar atau palsu. Seorang anak sekolah mencoba memecakan kasus? Mereka pasti sedang bermain detektif-detektifan! Setidaknya itulah yang ada di pikirannya.
“Jika kau butuh uang, aku akan membantu. Tidak banyak, tapi kurasa tabunganku cukup.” Ucap Zoe.
“Daripada itu aku lebih penasaran dengan apa yang terjadi setelah aku pingsan.” Jawab Fabiola.
“…” Ethan terdiam.
"..." Ethan masih terdiam begitu pun Rose dan Zoe.
“Baiklah, aku memberikanmu CPR. Tapi tenanglah CPR berbeda dengan ciuman. Maksudku memang kita bersentuhan tapi aku mencoba menyelamatkanmu, aku tidak menerkammu. Yah maaf jika terkesan aku mencuri hal sakral itu darimu. Jika itu yang pertama. Lupakan itu, maukah kau menolong kami?” Ucap Ethan.
“Ah begitu, baiklah. Aku akan menolong kalian sebisaku. Ayo ketemu lagi sore.” Ucapnya
“Kenapa selama itu?” Tanya Ethan.
“Aku melewatkan pelajaran pertama sekolah, tapi aku tidak mau melewatkan yang kedua.” Ucapnya
“Hei, kamu kelas tiga kan?” Tanya Rose.
“Ah tidak aku kelas satu. Tapi aku harus bersiap-siap untuk ujian akhir!” jawabnya.
“Ahhhhh begitu, jadi kau 2 tahun lebih muda dari Rose.” Ucap Zoe.
Rose tiba-tiba menangis.
“EH Rose kenapa? Maksudku kakak kenapa?” Tanya Fabiola.
“HAHAHAHAHAHA” Ethan tertawa.
“Kenapa kau tertawa?” Tanya Zoe.
“Rose, meski kau kecil kau tetap imut kok. Nomor satu di hatiku.” Ucap Ethan.
Zoe membandingkan postur tubuh mereka berdua. Rose lebih pendek 15cm dari Fabiola. Namun, rambut dan proporsi badan mereka relatif sama. Yah, sampai dia melihat ke satu titik. Wajahnya memerah ketika memikirkan itu. Rose melihat Zoe yang sehabis melihatnya lalu memalingkan wajah.
“Zoe! Melihat kemana kau? Ah aku benci.” Ucap Rose kesal.
“Tidak buruk kok, maksudku itu pas denganmu.” Jawab Zoe.
“Argh kau benar-benar.” Rose masuk ke kamar.
“Wah hebat kau membuatnya hancur kawan.” Ucap Ethan.
“Maaf aku sudah terlambat, aku akan kemari lagi jika dapat jawaban.” Ucap Fabiola pergi tergesa-gesa.
Ethan memberi ucapan selamat tinggal dan mengantar Fabiola ke depan gerbang. Zoe ikut masuk ke rumah dan mencoba berbicara dengan Rose, dia terus meminta maaf. Tapi, Rose tidak menanggapi. Seharian Rose membiarkan Zoe maupun Ethan, dia makan, memanah, membaca buku, bercakap dengan bibi Hana. Sampai akhirnya, Fabiola kembali dengan sebuah jawaban. Bahwa benar pemesan itu adalah keluarga bangsawan tepatnya keluarga Arthan.