Diantara ribuan masalah, ada ribuan alasan pula bagi kita untuk tetap bahagia. Karena bagiku, masalah datang untuk diselesaikan, bukan justru dinikmati—Princess Harzel.
***
Ika menatap foto dirinya yang tengah terguling tak berdaya—dengan Harzel yang sedang menyodongkan serpihan kaca di depan wajahnya. Foto ini memang mengesankan bahwa Harzel yang kuat dan dia yang lemah. Namun mendengar komentar negatif orang-orang seputar Harzel, membuatnya tersenyum puas.
“Lo yang ngelakuin semua ini, Ka?’ tanya Helena sembari menyerngitkan dahi.
Ika menggeleng sembari tersenyum puas. Wajahnya berbinar-binar memancarkan kebahagiaan. Kebahagiaan diatas penderitaan Princess Harzel.
“Bahkan selama ini, gue nggak pernah nyangka foto ini keren.”
***
“Semua yang ada dalam foto itu bener,” ujar Harzel saat teman sekelasnya menantikan cerita yang keluar dari mulutnya, “Saat itu, gue sedang melakukan perlawanan. Gue memang menyodongkan pecahan kaca itu di depan wajah Ika, tapi gue sama sekali nggak niat buat nyakitin dia. Gue cuma pengen ngasih dia peringatan supaya nggak nyari gara-gara lagi. Tapi..” ia menghela nafasnya. Lelah, “Fotografer itu mengabdikan momen seolah-olah gue kriminal!”
Teman sekelasnya manggut-manggut mengerti. Tiga tahun sekelas dengan Harzel, membuat mereka percaya bahwa Harzel tidak mungkin sejahat itu. Mereka sama-sama paham bagaimana reaksi Ika Marissa jika gadis itu sedang menginginkan sesuatu.
“Pinter juga permainannya Ika,” komentar Liana.
“Bukan Ika!” Ujar Faraz membuka mulut.
Harzel menyerngitkan dahi, “Kenapa lo bisa bilang begitu?”
“Gue perhatiin foto itu,” jawab Faraz menyampaikan sesuatu yang mengganjal di hatinya, “Di foto itu, Harzel yang kuat sedangkan dia yang lemah. Ika yang selalu menjaga gengsinya, mana mungkin menyebarkan foto yang membuatnya dipandang nggak berdaya oleh semua orang.”
“Tapi, Raz,” timpal Liana, “Mungkin Ika emang sengaja untuk memutar balikkan keadaan supaya orang-orang menganggap Harzel itu jahat, kriminal, dan berbahaya lewat foto itu. Buktinya sekarang, orang-orang menghujat Harzel, bukan Ika!”
Faraz menggaruk kepalanya, “Duh, gimana gue jelasin ke kalian ya..”
“Kenapa sih lo bela-belain Ika terus dari kemarin??” Potong Sasha sembari melototi Faraz, “Lo suka ya sama dia??!!” tanyanya dengan nada membentak sembari mendelik sebal.
Keyla tersenyum tipis, lalu memandang Sasha dengan tatapan geli, “Lo cemburu?”
Sontak kalimat pertanyaan sekaligus pernyataan dari Keyla membuat warga kelas 12 IPA A bersorak ramai. Tinggal Faraz dan Sasha seketika gugup dan mati kutu. Mereka membisu. Wajah Faraz dan Sasha memerah seperti udang rebus.
Harzel tertawa geli, kemudian melirik Revan yang tengah duduk tepat di sebelahnya. Lelaki itu terdiam. Larut dalam fikirannya sendiri. Bahkan sorakkan teman-temannya yang riuh tidak membuatnya sadar dari lamunan panjangnya.
***
Seusai melahap tiga sendok, Revan kembali melarutkan diri dalam lamunannya. Pertanyaan Adrian semalam mengganggu fikirannya, ditambah lagi dengan masalah yang terus menimpa Harzel. Masalah yang belum bisa ia pecahkan hingga sekarang.
Ketika kedua lelaki itu sedang makan malam, Adrian menanyakan sesuatu yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Takut pertanyaannya menyinggung Revan.
“Lo nggak kangen sama Mama lo?” tanyanya cuek, lalu kembali melahap makanannya.
Revan terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Kenapa lo nanyain itu?”
“Gue lagi kangen berat sama Mama gue,” Adrian menatap Revan hangat, berbanding terbalik dengan ucapannya, “Itulah kenapa gue heran sama elo yang bersikap santai tanpa berkomunikasi dengan Mama lo lagi,” lanjutnya, “Gue yang tiap hari di telepon Mama gue aja masih gelisah. Kok lo bisa sesantai ini?”
Revan tidak membantah ucapan kakaknya. Lebih tepatnya tak punya cukup alasan untuk membantah. Semua perkataan Adrian benar.
Revan menghela nafas panjangnya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa ia menghindari masalah selama ini. Lelaki itu menghindari sesuatu yang selalu menghantarkannya pada kesakitan. Alasan sederhana. Ia lelah. Sangat lelah.
Revan sendiri paham bahwa menghindari masalah merupakan sifat pengecut yang teramat ia benci. Namun ia sendiri tak punya banyak kekuatan untuk menghadapi masalahnya. Revan tak tahan terus-terusan menangis, marah, dan memberontak—dengan menghancurkan barang-barang di kamar lamanya—setiap kali mengingat kejadian masa lalu. Kejadian yang menitikberatkan sebuah beban di kedua bahunya ketika ia menjalani masa kecil hingga masa remaja.
Mengingat bagaimana Mamanya—wanita yang ia sayangi—bahkan tak pernah sudi melihat wajahnya. Mamanya tidak pernah memeluknya, bertanya kabarnya, peduli dengan perkembangan masa remajanya. Lalu untuk apa ia rindukan wanita itu?
Revan menatap Harzel yang tengah melamun di depannya. Wajahnya murung dan pucat. Seakan-akan, sifat periang dari dalam dirinya direnggut seketika.
Harzel adalah alasan mengapa ia bertahan tanpa mengingat masa lalunya. Harzel adalah alasan mengapa ia mampu tersenyum. Harzel juga alasan mengapa beban di kedua pundaknya lambat laun tak terasa hanya dengan melihat gadis itu tersenyum dan tertawa, serta mendengar suaranya. Ia masih ingat secarik kata-kata yang disisipkan Dewi di dalam suratnya.
Mama berharap, suatu saat kamu akan menemukan seseorang yang dapat memberikan cahaya untuk menerangi hidup kamu.
Cahaya? Ia telah menemukannya! Bahkan ia berharap cahaya itu dapat membuatnya bangkit dari keterpurukkannya selama ini. Ia juga berharap cahaya itu dapat membuatnya menjadi lelaki yang lebih kuat dari kemarin.
Revan menatap Harzel. Cahayanya tidak secerah biasanya. Cahaya di depannya bagaikan lilin yang perlahan-lahan akan meleleh lalu meredup. Tidak! Tidak akan ia biarkan apapun merenggut tawa dari cahayanya.
Adakah seseorang yang akan memberikan cahaya? Menerangi hidupku yang selama ini bagaikan malam tak berbintang, hitam pekat, dan kelam? Aku berharap menemukannya. Segera menemukannya. Takkan melepaskannya.
Lelaki itu telah menemukannya dan takkan melepaskannya!
“Biasanya lo makan banyak,” ujar Revan basa-basi, “Lo mau diet lagi?”
Harzel tersadar dari lamunan panjangnya. Kemudian mengerjapkan mata beberapa kali, “Akhir-akhir ini gue diet tanpa di sengaja,” Gadis itu memaksakan sebuah senyum, “Lo tau? Berat gue turun empat kilo!” Senyuman tipis yang tadi dipaksakan berubah menjadi senyum sumringah. Sepasang matanya berbinar-binar, “Itu bagus, kan?”
“Nggak usah pura-pura bahagia di depan gue!” tukas Revan. Kemudian kembali melahap makanannya.
“Gue bukannya pura-pura bahagia, Van.” Jawab Harzel. Suaranya terdengar tenang, “Gue cuma nggakmau masalah kecil maupun besar membelenggu hidup gue. Buat gue nggak bisa menikmati hidup lagi. Padahal diantara ribuan masalah, ada ribuan alasan bagi kita untuk tetap bahagia. Jangan jadi orang bodoh, Van! Gue senyum, ketawa, dan tetap bahagia diatas semua masalah, karena gue anggap masalah itu hanyalah sebagian kecil dari kebahagiaan yang gue punya. Gue punya orang tua, Misella, Liana, Sasha, Keyla, Faraz, Bimo.. dan elo.. Ya, Gue punya elo dalam hidup gue.”
“Masalah itu diselesaikan, Van. Bukan dinikmati. Karena masalah gue belum ketemu penyelesaiannya, gue pilih menikmati kebahagiaan yang gue punya. Bukankah kalau gue memilih larut dalam masalah, pembenci rahasia gue makin bahagia? Artinya dia berhasil! Tentu, gue nggakmau itu terjadi.”
Revan tersadar, kalimat yang dilontarkan gadis itu semuanya benar. Kalimat itu sejatinya bukan hanya menggambarkan isi hati Harzel, melainkan juga sebuah sindiran untuknya. Untuk pertama kalinya, lelaki itu menyadari bahwa ia sangat lemah sekaligus bodoh. Lemah karena tidak kuasa menghadapi kenyataan dan bodoh karena terlambat menyadari bahwasanya diantara beribu masalah, ada beribu alasan untuk tetap bahagia. Sayang, Revan baru menyadarinya sekarang.
“Lo ikut gue minggu ini, ya?” pinta Revan dengan tatapan memohon.
Harzel menyeruput es jeruk miliknya, kemudian bertanya, “Lo mau ngajak gue nge-date?”
“Gue nggak lagi bercanda, Harzel!” Tukas Revan, lalu menarik nafas panjangnya, “Gue mau lo ikut gue kerumah.”
“Lo aja yang main ke rumah gue. Gue nggak enak main ke rumah lo. Apalagi Kak Ian lagi kuliah. Mengerikan!!”
Merasa kesal sekaligus gemas. Revan menjitak puncak kepala Harzel pelan, membuat gadis itu menjerit kecil, kemudian menatapnya dengan tatapan sebal.
“Bukan itu maksud gue, tolol!” Ketusnya sembari menatap gadis di depannya dengan sebal, “Gue ngajak lo kerumah gue, bukan rumah Adrian.”
Harzel menyerngitkan dahi. Air mukanya menampakkan kebingungan.
Revan menambahkan, “Ya, rumah gue di Jakarta.”
***
Revan berdiri di depan rumah Harzel. Terdiam beberapa saat. Ia harus melakukan ini agar rasa penasaran di dalam hatinya segera tuntas. Semalaman, Revan tak bisa tidur memikirkan berbagai macam pertanyaan yang menyesaki fikirannya. Termasuk pertanyaan seputar Tiara Olinien—yang selama lebih enam bulan tidak ia pedulikan. Revan yakin, Mama Harzel mengetahui semua jawaban yang ia butuhkan.
Setelah memantapkan niatnya, Revan melangkah dan membuka pagar hitam milik rumah itu. Ia berdiri di depan pintu rumah kemudian menekan bel. Tak lama kemudian, wanita yang ia kenal sebagai ibu Harzel dan Misella, menyambutnya dengan ramah.
“Revan?” Wanita itu tersenyum ramah, “Harzel bilang kamu nggak enak badan.”
Revan mengangguk sembari tersenyum tipis. Mungkin itulah alasan yang harus ia utarakan, agar bisa memasuki rumah Harzel dan Misella—ketika kedua gadis itu sedang pergi ke sekolah. Lelaki itu harus mengorbankan waktu sehari meski membolos. Namun Revan telah berniat, hari ini tak akan sia-sia begitu saja tanpa membuahkan hasil.
“Aku bosan dirumah, jadi aku main kesini. Boleh ya, Tante?”
Mama mengangguk mantap, “Tentu,” ia mempersilahkan Revan masuk dengan ramah, “Kebetulan tante lagi buat kue dan pudding. Harzel dan Misella doyan banget.”
Revan mengikuti langkah mama Harzel menuju dapur. Mama Harzel mempersilahkannya duduk di meja makan sebentar, lalu wanita itu mengocok adonan kue.
Revan mengeluarkan kalung berlian bertuliskan ‘Tiara Olinien’ dari saku celananya, kemudian mengangkatnya hingga tepat di depan wajah, sembari memperhatikan benda itu lekat-lekat. Semuanya ia lakukan dengan sengaja.
“Revan, kamu sudah enakan?” tanya Mama Harzel yang sedang membuatkan teh.
“Udah, Tante.”
Mama Harzel tersenyum senang, lalu membawakan secangkir teh untuk Revan. Air mukanya seketika berubah ketika melihat Revan memegang kalung itu. Perubahan ekspressi itu terlihat sangat jelas, membuat rasa penasarannya semakin menjadi-jadi.
Mama Harzel meletakkan secangkir teh di depan Revan, lalu mulai bertanya, “Kenapa kalung itu bisa ada di kamu?”
“Takdir yang buat aku selalu dekat dengan benda ini,” jawab Revan.
Mama Harzel menghela nafas, “Apapun alasannya. Tante mohon, jangan tampakkan kalung itu disini lagi!” Wanita itu langsung berbalik, hendak meneruskan pekerjaannya dengan melupakan pemandangan yang baru saja ia lihat.
“Kenapa, Tante?” tanya Revan. Namun mama Harzel tidak menjawabnya. Revan menambahkan, “Harzel sangat menyukai kalung ini.”
Mama Harzel membalikkan badan, lalu melirik Revan dengan tatapan tidak suka, “Apalagi di depan Harzel, tolong jangan kamu tampakkan lagi kalung itu!!” Serunya dengan suara keras. Seketika, ia langsung menghembuskan nafas panjang dan kembali fokus pada pekerjaannya.
Revan menghela nafas. Mati kutu. Jujur saja, ia merasa tidak enak mengganggu ketenangan mama Harzel. Ia belum pernah melihat wanita itu semarah ini. Namun lelaki itu harus melakukannya. Ia yakin semuanya akan baik-baik saja.
Revan mendekati Mama Harzel, lalu berdiri tepat di belakangnya, “Aku butuh alasan, Tante. Kalo aku udah tau alasannya, aku akan menuruti semua keinginan tante.”
Mama Harzel menatapnya, mencoba tersenyum ramah, “Kalung itu mahal, Revan. Harzel sangat ceroboh. Bisa-bisa kalung itu hilang kalo dia yang pegang.”
Revan mengangguk, mencoba mengerti. Namun ketika Revan menatap mata wanita itu, ia tahu bahwa mama Harzel tengah berbohong. Kebohongan yang ia sembunyikan di balik senyum ramahnya.
Mama Harzel tidak memberikan penjelasan meski Revan telah lama berdiri di sebelahnya. Akhirnya, Revan memutuskan untuk sekedar melihat-lihat isi rumah ini. Ia berharap menemukan sesuatu.
Rumah Harzel tidak terlalu besar. Bahkan terkesan rumah sederhana. Hingga dirinya hanya menghabiskan waktu sebentar dengan berputar-putar di rumah ini.
Revan melirik buku-buku yang tertata rapi di ruang keluarga. Buku yang rata-rata milik ayah Harzel, yang sama sekali belum pernah terlihat hingga sekarang. Harzel pernah mengatakan bahwa ayahnya seorang tentara yang dinas di daerah terpencil sehingga jarang pulang.
Revan menyerngitkan dahi ketika melihat sesuatu terkapar di lantai—tepat di samping lemari yang tengah berdiri kokoh.
Revan meraihnya. Seperti sebuah foto. Dengan pelan, ia membuka foto itu dan memperhatikannya lekat-lekat.
Seorang gadis kecil tengah bergaya centil di depan kamera. Revan merasa, ia pernah melihatnya. Wajah itu tak asing lagi baginya.
Wajah yang halus, mata yang bening, serta sembulan pipi tembamnya saat ia tersenyum. Rambut panjangnya yang halus tergerai rapi. Revan pernah melihatnya.
Seketika, ia merasa terhempas ke masa 10 tahun yang lalu. Ketika ia memeluk gadis di dalam foto ini dengan erat demi menyelamatkan hidup mereka pada insiden kapal yang karam. Wajah yang selama ini hanya samar-samar diingatnya, kini kembali tergambar jelas di memorinya. Ya, wajah itu! Ia tak mungkin salah.
Revan menatap foto itu tanpa bisa berkata apa-apa. Bahkan tubuhnya kaku untuk bergerak. Ia hanya bisa bergumam, “Ti.. Tiara..”
“Ngapain kamu disini??” tanya mama Harzel dingin. Dengan kasar, ia merampas foto yang tengah dipegang Revan.
Mama Harzel menghembuskan nafas panjang sembari menatap foto itu. Matanya berkaca-kaca. Namun bibirnya membentuk seulas senyum.
“Ini foto Harzel kecil,” tuturnya, lalu menatap Revan yang kini menegang, “Lucu bukan?”
Seketika, Revan merasa dirinya melayang entah kemana. Nafasnya tersendat dan ngos-ngosan. Teka-teki yang kini terpecahkan, hanya membuatnya menatap Mama Harzel tanpa bisa berkata apa-apa.
Jadi.... Harzel? Gadis yang selama ini sangat dekat dengannya, selalu bersamanya setiap waktu.. adalah Tiara—gadis kecil yang ia selamatkan 10 tahun yang lalu. Bodohnya, Revan sama sekali tak mengenali Tiara yang kini tumbuh menjadi remaja, bahkan begitu dekat dengannya. Lelaki itu terlalu buta dan dungu, hingga tak pernah menyadari sedikitpun bahwa selama ini.. ia mencintai Tiara—gadis kecil yang cantik seperti peri.
Harzel dan Tiara..? Revan menggeleng gusar. Teka-teki ini menghasilkan ending yang menakjubkan dan susah ditebak. Princess Harzel bukan hanya mengisi harinya ketika tumbuh dewasa, melainkan juga bagian dari masa lalunya.
Setelah menemukan segenap kekuatan, Revan mengeluarkan kalung ‘Tiara Olinien’ dari saku celananya, lalu mengangkatnya tepat di depan wajah mama Harzel.
“Aku masih ingat, Tante,” tutur Revan, lalu menunjuk foto yang kini berada di tangan wanita itu, “Dia pemilik kalung ini! Iya, kan?”
Mama Harzel terperangah. Refleks, ia melepaskan foto itu dari tangannya. Dengan cepat pula, Revan menangkap foto itu. Darimana Revan tahu semuanya? Selama ini, wanita itu hanya mengira bahwa kalung ‘Tiara Olinien’ yang dimiliki Revan itu hanya kebetulan. Ternyata... Ia menatap Revan bingung. Sepasang matanya meminta penjelasan lebih.
***
Sinta Adinda—mama Harzel dan Misella—seakan-akan terhempas ke masa lalu. Untaian demi untaian cerita kelam—yang terjadi sekitar 10 tahun yang lalu—mengalir deras dari mulutnya, dengan Revandira Papinka sebagai pendengar setianya.
Kecelakaan kapal yang menimpa Tiara dan orang tuanya, membuat gadis itu koma selama berbulan-bulan. Kepalanya mengalami cedera keras, hingga dokter sendiri tidak tahu apakah ia masih bisa bertahan hidup atau tidak. Setelah seharian berada di tempat pengungsian sebagai salah satu pasien terparah, Tiara dipindahkan ke Singapore secepatnya—untuk mendapatkan penanganan medis yang lebih canggih. Namun keadaannya tetap sama, gadis kecil itu kritis dan koma berbulan-bulan.
Namun keajaiban terjadi saat bulan kelima setelah tidur panjangnya. Tiara membuka matanya perlahan dan mulai melihat dunia.. Sinta dan suaminya adalah orang pertama yang dilihat gadis kecil itu. Sinta masih ingat setiap detail kejadiannya.
Sinta mengusap kepala Tiara, “Hei, kamu sudah sadar?”
Tiara memicingkan matanya. Kepalanya masih terasa berat. Ia memandang sekelilingnya dengan bingung, “Aku dimana?” tanyanya, lalu memandang Sinta dan suaminya bergantian, “Kalian siapa?”
Mendengar dua kalimat pertanyaan dari mulut Tiara, Sinta sebisa mungkin menahan diri agar tangisnya tidak terpecah. Tiara memang memiliki kesempatan hidup setelah lima bulan terbaring koma bahkan nyaris meninggal, namun gadis kecil itu tidak bisa mengenal dirinya sendiri dan lingkungannya. Kecelakaan itu merenggut semua memori masa kecilnya.
Hingga dokter yang memeriksanya—menyarankan agar menyembunyikan segala sesuatu yang menyangkut masa lalu Tiara. Demi kebaikan gadis itu.
“Dia memang selamat dari komanya. Tapi kondisinya tidak sama lagi,” tutur Dokter, “Untungnya, tidak ada kerusakan yang fatal di otaknya. Hanya saja, ia mengalami amnesia dan kondisinya menjadi lebih lemah sejak kecelakaan itu.”
“Saya sarankan agar kalian menyembunyikan masa lalu yang menyakitkan dari gadis kecil yang malang itu. Kalau ia sampai shock, itu sangat berbahaya bagi kondisinya,” ujar dokter itu, “Dia juga disarankan untuk tidak melakukan aktivitas berat yang akan membuat kepalanya pusing.”
Sejak saat itu, Tiara hanya tahu dirinya kecelakaan motor ketika pergi bersama ayahnya—yang menyebabkannya pingsan selama 1 hari. Itu yang Sinta katakan padanya. Kecelakaan itu menyebabkan Tiara kecil seringkali murung, pendiam, dan mengalami depresi berat. Hingga mengharuskan gadis itu terapi ke psikologis.
Kabar baiknya, satu tahun terapi—yang mengakibatkan sekolahnya cukup berantakan saat itu—membuat Tiara pulih perlahan. Pelan-pelan, sifat periangnya mulai kembali seperti sedia kala.
Sinta menyeka air matanya kesekian kali, ia menatap Revan yang kini terdiam membisu di depannya.
“Sejak saat itu..” tutur Sinta, “Tante dan papa Misella memutuskan untuk mengganti namanya. Tepat saat dia bertanya ‘kalian siapa’ dan ‘saya siapa’. Agar ia tidak mengingat masa lalunya.”
“Ada apa dengan masa lalunya, Tante?” tanya Revan setelah menemukan kekuatannya kembali untuk berbicara, “Bukankah Tante dan Om selamat dalam kecelakaan itu dan masih ada disini bersamanya??”
Mendengar pertanyaan Revan, Sinta kembali terisak. Membuat Revan mendelik wanita di depannya ini dengan tatapan heran.
“Itu yang paling menyakitkan, Revan,” ujarnya dengan suara tersedu-sedu, “Orang tua Harzel yang sebenarnya.. meninggal dalam kecelakaan itu.”
Revan seakan-akan terkena sambaran petir. Fikirannya berputar 10 tahun yang lalu, saat ia melihat Tiara Olinien sedang tertawa riang bersama kedua orang tuanya. Tawa yang sempat membuatnya iri karena tak pernah merasakannya.
***
Sinta memiliki seorang kakak lelaki, bernama Satrio. Kematian ayahnya saat mereka masih sangat kecil, mendorong Satrio untuk mengurus ibu dan adiknya, layaknya seorang kepala keluarga.
Sinta sangat menghormati kakaknya yang memiliki sifat pemurah dan penyayang. Selama ini, kakaknya mengurus dirinya dengan baik, serta menjaga dirinya dan juga ibunya, hingga ibunya harus tutup usia saat kedua anaknya sudah mulai dewasa.
Satrio mulai bekerja keras dengan menjadi buruh pabrik. Karena kerja kerasnya, ia mulai diangkat sebagai bagian staf terpenting dari pabrik tersebut. Gajinya senantiasa dimanfaatkan untuk membayar uang kuliah Sinta. Hingga adiknya berhasil wisuda dan menikah dengan seorang TNI. Sedangkan dirinya, menikahi seorang gadis manis bernama Alya—yang saat itu hanya berprofesi sebagai guru tari dan vokal.
Kehidupan sederhana kakak beradik itu makin bahagia ketika kelahiran gadis kecil bernama Tiara Olinien dari rahim Alya. Gadis itu sangat manis dan lucu. Mirip sekali seperti Ibunya. Rambutnya lurus berwarna hitam legam, matanya bening, kulitnya kuning langsat, bibirnya merah, dan pipinya tembam. Tak lama kemudian, disusul oleh kelahiran Ratu Misella dari rahim Sinta.
Kedua malaikat kecil itu memiliki tipikal yang bertolak belakang. Tiara terkesan cerewet dan tak bisa diam, sedangkan Misella anak yang penurut dan pendiam. Kebahagiaan terus menyelimuti mereka hingga Satrio mendapat tugas dari perusahaannya yang mengharuskannya pergi ke Singapore, bersama Alya dan juga Tiara.
Saat itu, Sinta merasa tak enak melepaskan kakak lelakinya—beserta kakak iparnya dan juga Tiara yang menginjak umur hampir tujuh tahun. Ia melambaikan tangan saat kapal itu mulai berangkat, seperti isyarat sebelum menempuh perpisahan.
Firasat buruknya pun terjadi. Kapal itu karam dan hanya segelintir orang yang bisa di selamatkan. Dan yang lebih menyakitkan hatinya.. ia harus kehilangan kakak lelakinya—pahlawan yang selama ini menjaga dirinya lahir dan batin. Ia juga kehilangan kakak iparnya.
Entah keajaiban apa yang Tuhan berikan, Tiara dinyatakan masih hidup meski kondisinya benar-benar tidak memungkinkan. Ia hanya tahu dari TIM SAR, bahwa seorang anak laki-laki seumuran Tiara, terus memegangi gadis kecil itu agar tidak tenggelam. Dan saat itu, sinta tak bisa menemukan anak lelaki itu untuk sekedar berterima kasih.
Lima bulan kemudian, ia mendapati bahwa Tiara sadar dan tidak memanggilnya dengan sebutan ‘Bunda’ seperti biasanya. Sejak saat itu Sinta berjanji, bahwa ia akan menjaga Tiara seperti putri kandungnya sendiri, demi membalas apa yang telah dilakukan ayah Tiara terhadap dirinya. Ia tidak akan membedakan antara Tiara dan Misella.
“Bagaimana kalau Princess Harzel?” tanya suaminya saat mereka sedang memperbincangkan nama baru yang bagus untuk Tiara.
Sinta mengangguk, “Nama yang bagus,” Ia tersenyum, “Kedua putri kita.. Ratu dan Princess.”
***
“Bagaimana kamu bisa dapet kalung itu?” tanya Sinta setelah ia menceritakan semuanya.
Revan menatap kalung itu, “Aku bersama Tiara.. maksudku Harzel, saat kecelakaan itu. Aku juga disana,” Ia tersenyum tipis, “Aku bersamanya.. bersama-sama mempertahankan hidup. Aku yang saat itu masih kecil, hanya bisa memegangi Harzel kecil supaya dia nggak terlepas lalu tenggelam,” Revan menghembuskan nafas panjangnya, “Bahkan aku nggak bisa berbuat apa-apa, saat kepala Harzel menghantam badan kapal tepat di depan mataku sendiri. Aku nggak bisa berbuat apa-apa. Aku mengira dia meninggal waktu itu. Dari cerita tante barusan aku baru mengerti bahwa pasien yang aku lihat waktu itu bukanlah Tiara.”
Sinta memegang bahu Revan dengan lembut, “Itu semua sudah terjadi, Revan.” Ia menyunggingkan senyum di balik matanya yang sembab, “Entah mengapa kalian ditakdirkan untuk kembali bertemu. Terima kasih Revan. Terima kasih banyak.” Mata Sinta berkaca-kaca. Menampakkan semburat ketulusan.
“Tapi Revan, tante mohon..” Sinta menatapnya dengan tatapan memohon, ”Jangan kasih tau semua ini ke Harzel. Tante nggak bisa ngebayangin gimana keadaannya kalo sampe Harzel tau semua ini.”
Revan mengangguk mengerti, “Baiklah, Tante.”
***
Revan berdiri sembari melirik jam tangannya. Hampir dua jam ia menanti Harzel di depan rumah gadis itu. Entah mengapa—setelah mengetahui semua kenyataan itu—ia tiba-tiba merindukan Harzel. Seakan-akan, Revan tidak bertemu gadis itu selama 10 tahun.
Revan kembali merutuki dirinya sendiri. Beberapa kali, ia merasa Harzel sangat familiar. Terutama ketika gadis itu berada rumah sakit setelah insiden pentas seni. Cara gadis itu terlelap persis seperti Tiara Olinien yang tak sadarkan diri 10 tahun lalu. Sayangnya, ia terlalu bodoh untuk menyadari bahwa mereka adalah orang yang sama.
Penantiannya tidak sia-sia setelah setengah jam menunggu. Tidak jauh darinya, Harzel sedang melangkah bersama Misella menuju rumah mereka. Ketika Harzel tak sengaja melihat Revan di depan rumahnya, ia menyunggingkan senyum.
Revan tersenyum senang melihat Harzel yang melangkah mendekat. Seakan-akan, ia bertemu pada seseorang yang selama ini sangat sulit ia temukan.
Harzel menyerngitkan dahi, “Lo ngapain disini?”
“Kak, aku masuk duluan, ya?” sahut Misella yang direspon Harzel dengan sekali anggukan.
“Gue bantuin tante Sinta bikin kue.”
Harzel menempelkan punggung tangannya di dahi Revan, lalu berdecak, “Kayaknya, lo baik-baik aja,” Ia menatap Revan heran, “Apa jangan-jangan, lo sengaja bolos sekolah?”
Revan tersenyum tipis sembari menatap wajah Harzel yang kini menampakkan ekspressi aneh, “Daya tahan tubuh gue kuat. Sakit palingan cuma dua jam,” ujarnya mengejek, “Nggak kayak lo. Kaki yang kena kaca, tapi seluruh badan jadi demam berhari-hari dan masuk rumah sakit.”
Harzel mendelik sebal, “Oke, terserah!” Ketusnya, “Tadinya, gue mau beliin lo sesuatu, tapi kayaknya lo udah sembuh,” gadis itu memalingkan muka, “Bagus deh, duit gue tetep aman!”
Revan menyerngitkan dahi, “Lo marah?”
Harzel menggeleng, “Nggak. Cuma kecewa.”
“Kecewa?”
Harzel mengangguk, “Ya. Kecewa karena lo udah sembuh.”
“Kurang ajar!”
Harzel tersenyum jahil, “Gue kan pengen jenguk lo, Revan.”
Revan manggut-manggut, “Anggap aja gue masih sakit,” Ia menatap Harzel lekat-lekat, “Dan gue punya permintaan.”
Harzel menatap Revan penasaran, menunggu lelaki itu mengatakan maksud sebenarnya.
“Gue tunggu besok jam 8 dan gue nggak suka ditolak.”
Harzel menyerngitkan dahi. Kemudian mengangguk. Mengalah.
seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter PROLOG