Aku terdiam. Sekuat tenaga mencerna kalimat demi kalimat yang sedari tadi ia lontarkan. Sebagian dari diriku mempercayainya. Namun sebagian yang lain menolak untuk mempercayai—Revandira Papinka.
***
Revan melangkah gontai menelusuri lorong-lorong sekolah. Beberapa kali ia menguap menahan kantuk yang begitu menyiksanya karena tidak tidur semalaman. Tanpa sengaja, ia melintasi kerumunan anak-anak yang sedang membaca majalah dinding.
Revan menghentikkan langkah ketika mendengar beberapa anak berbisik-bisik.
“Sumpah, adegannya so sweet banget! Kayak film korea.”
“Duh, Kak Harzel beruntung banget! Coba gue yang di gendong Kak Revan, pasti gue nggak bisa bangun lagi.”
Revan menghela nafas malas. Sudah ia duga, anak-anak di sekolah ini memang gemar bergosip. Dengan malas, ia bediri di belakang anak-anak yang sedang mengerumuni majalah dinding. Revan masih bisa menahan sabar karena semua orang di depannya ini perempuan.
“Bisa minggir sebentar?” ucapnya dingin.
Sontak semua pasang mata tertuju padanya, mereka memberi jalan pada Revan.
Sesampai di depan majalah dinding, Revan langsung mendapati foto dirinya tengah mengangkat Harzel pada acara pentas seni kemarin. Ia pun membaca judul artikelnya dengan hati yang panas.
Keberuntungan seorang Princess Harzel!! Akankah semua wanita bisa mengalami hal itu??
Tanpa fikir panjang lagi, Revan langsung membuka kaca yang melapisi majalah dinding itu. Dengan sekali sentakkan, ia menarik artikel itu lalu merobeknya dengan kasar.
Semua mata yang menatapnya takjub, berganti dengan tatapan takut. Revan mendelik senis ke arah mereka yang rata-rata adik kelas. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah cepat meninggalkan mereka bersama artikel yang kini tersobek-sobek menjadi sampah.
***
Revan membenamkan wajah di atas meja. Untuk beberapa hari ini, ia tidak bisa mendengar suara Harzel di dalam kelas. Harzel menjadi demam karena insiden itu. Telapak kakinya membengkak. Kini gadis itu sedang tertidur pulas di ranjang rumah sakit. Demamnya cukup tinggi.
Fikiran Revan berkecamuk atas kejadian kemarin. Ia sudah berusaha mengawasi Ika sebisa mungkin, namun mengapa hal itu bisa menimpa Harzel kesekian kalinya? Rahang Revan mengeras. Orang itu bukan hanya menyakiti Harzel secara fisik, ia juga menjatuhkan harga dirinya. Orang itu sangat tahu kelemahan yang di miliki Harzel. Tapi siapa dia? Revan menggaruk kepalanya sendiri, ia merasa sangat bodoh jika tidak bisa menemukan siapa yang selama ini menganggu dan mengacaukan hidup Harzel.
Seseorang menepuk bahunya, membuat Revan sadar dari lamunan panjangnya.
Bimo dan Faraz.
Bimo pun mengambil tempat di sebelah Revan, sedangkan Faraz duduk di depan Revan dan menghadap ke belakang.
“Menurut lo, Ika orangnya?” tanya Faraz dengan suara pelan dan hati-hati.
Revan mengangkat bahu, “Lo udah awasin dia kemarin, kan?”
Faraz meresponnya dengan mengangguk.
“Mungkin aja Ika nyuruh seseorang,” timpal Bimo menyampaikan aspirasinya.
Revan berfikir sejenak. Itu mungkin saja. Fikirannya langsung melayang pada kejadian semalam, ketika ia membawa Harzel ke rumah sakit.
Pelatih ballet bersama anggotanya pun datang menjenguk Harzel, tentu juga Ika ada disana. Ketika gadis itu lewat dengan gaya angkuhnya, saat itu juga pandangan mata semua orang tertuju padanya. Pandangan mata itu seakan-akan mengatakan ‘Itu dia biang keroknya!’, terutama orang-orang yang dekat dengan Harzel.
Ketika Ika memasukki ambang pintu, Harzel langsung berteriak histeris.
“Keluar lo! Ngapain lo disini??”
Langkah Ika terhenti, ia menatap Harzel sinis, “Dasar nggak tau diri! Gue disini mau jenguk lo!”
Harzel mendengus, “Nggak usah sok baik!!” Tukas Harzel, “Lo yang ngelakuin semua ini!! Cuma lo yang selama ini nggak suka sama gue! Bagus Ika, lo udah berhasil buat gue malu di depan umum!!” Teriaknya histeris, lalu memecahkan tangis yang sedari tadi ia tahan.
Revan dan ketiga sahabatnya menahan Harzel agar tidak bangkit dan menyerang Ika.
Ika yang merasa tersinggung langsung mendekat, “Gue emang benci banget sama elo! Tapi nggak sepantasnya lo nuduh gue yang ngelakuin ini! Orang kayak lo memang pantes punya musuh yang lain! Mungkin aja lo yang nggaktau!”
“Cuma elo yang bisa ngelakuin hal serendah ini!!” Teriak Harzel hendak bangkit, “Pergi lo dari sini!” Harzel meraih vas bunga yang terletak di meja sebelah ranjangnya, hendak melemparnya. Dengan cepat, Revan merebut vas bunga itu hingga terlepas dari genggaman Harzel.
“Lepasin gue!!” Harzel memberontak, “Dia harus ngerasain gimana rasanya tertusuk kaca!!”
Pelatih itu menarik Ika pergi, beberapa orang pun mengikutinya keluar termasuk Faraz. Sedangkan Harzel yang belum bisa berhenti menangis, ditenangkan Revan dan tiga sahabatnya.
Revan memegang kedua pipi Harzel yang sudah basah, lalu menatapnya, “Lo bakal sembuh kalo lo bisa tenang.”
Harzel menggeleng gusar, “Gue nggak peduli sakit fisik yang gue alami!” Ia menepis tangan Revan yang memegangi pipinya, “Tikus mati, lemparan batu, mie cacing.. gue bisa sabar.. tapi kali ini..” Harzel menangis sejadi-jadinya, “Bukan masalah telapak kaki gue, tapi masalah harga diri gue. Dia udah berhasil buat gue dipermalukan di depan umum! Gue nggak akan bisa ngelupain itu!”
Harzel menatap Revan yang sedari tadi terdiam di sebelahnya, “Bahkan, kalo dia berniat buat nyakitin gue secara fisik, gue bisa sabar. Asalkan..” Harzel mengusap air matanya, “Asalkan harga diri gue tetap terjaga.”
“Revan?” sahut Faraz membuyarkan lamunan Revan tentang kejadian semalam. Lelaki itu melanjutkan apa yang ingin ia katakan, “Tapi kok gue ngerasa kalo pelakunya bukan Ika?” Faraz menampakkan ekspressi bingung.
Bimo mendengus, “Siapa lagi, Raz? Cuma dia kan yang bermasalah sama Harzel selama ini?”
Revan—yang mencerna kata-kata Faraz—mulai bertanya, “Kenapa lo bisa bilang begitu?”
Faraz pun menceritakan semua yang terjadi semalam. Lelaki itu memang mengiringi Ika yang diseret kasar oleh pelatihnya ke pojok ruangan klinik yang sudah sepi. Berharap mendengar pengakuan Ika secara langsung. Pelatihnya mengusir anggota ballet yang lain. Wanita itu ingin berbicara berdua saja dengan Ika.
Faraz mengintip dari balik dinding, ia mendengar semuanya dengan jelas.
“Kak, aku nggak ngelakuin itu!” Bantah Ika. Pelatihnya pun mempererat pegangan tangannya di pergelangan tangan Ika. Membuat Ika meringis.
“Kalau bukan kamu, siapa lagi, hah?? Saya bawa kamu disini, agar kamu berani ngaku!”
Ika meneteskan air matanya, ia tetap menggeleng, “Aku sama mereka semaleman,” Ia menunjuk tim balletnya yang melangkah menjauh, “Bahkan aku sama sekali nggak ke ruang rias setelah dandan.”
Pelatih itu menghempaskan tangan Ika dengan kasar, lalu menatap matanya tajam, “Ika, saya hanya ingin kamu ngaku, itu saja! Saya nggak akan bawa kamu ke polisi karena kejadian ini.” Tegasnya, “Kamu hanya perlu minta maaf sama Harzel.”
“Bukan gue pelakunya!!” Teriak Ika histeris. Membuat pelatih itu dengan refleks menampar wajahnya.
Ika mengusap pipinya yang memerah karena tamparan. Ia menangis tersedu-sedu, “Gue ketua club tari! Udah hampir tiga tahun gue perjuangin temen-temen gue! Gue nggak akan ngelakuin hal bodoh itu hanya karena kebencian! Gue nggak akan mempermalukan tim ballet yang sedang tampil hanya karena masalah sepele!!” Ia menatap pelatihnya dengan murka, “Mau kakak habisin gue sekalipun, gue bukan pelakunya dan gue nggak salah!!”
Faraz menghembuskan nafas panjang setelah menceritakan semuanya, “Gue bisa baca dari matanya, sepertinya Ika nggak bohong.”
Revan menopang dagunya. Berfikir keras. Ia sangat bersyukur memiliki dua sahabat yang kini secara tidak resmi menjadi timnya untuk menuntaskan kasus ini.
***
Revan melangkah menelusuri lorong-lorong rumah sakit. Lagi-lagi ia menguap. Matanya berat, memerah, dan berair. Entah apa yang difikirkannya, lelaki itu bukan melajukan motornya untuk pulang ke rumah dan tidur, melainkan ke rumah sakit. Mengabaikan kantung matanya membengkak dan menghitam seperti mata panda.
“Harzel belum bangun juga,” ujar Mama Harzel ketika lelaki itu masuk ke ruang rawat, “Karena semaleman nggak bisa tidur, jadi tadi pagi setelah sarapan, dia minum obat. Efeknya buat dia ngantuk. Sampai sekarang dia belum bangun juga.”
Mama Harzel tersenyum, “Atau sebaiknya, kamu bangunin dia. Nggak baik tidur terlalu lama.”
Revan mengangguk, “Baik, Tante.”
Revan melangkah mendekati Harzel yang terlentang dengan mata terpejam. Sedangkan Mama Harzel memutuskan untuk pulang. Wanita itu bilang Misella akan menyusul ke rumah sakit.
Revan melihat wajah gadis itu tanpa beban dan tanpa tangis seperti semalam. Harzel terlihat begitu tenang sembari memejamkan mata. Entah mengapa, gadis itu tetap menarik bagi Revan bagaimanapun keadaannya. Hingga Revan ragu untuk membangunkan Harzel dari mimpi indahnya.
Revan melirik sebuah kalung yang masih melekat di leher Harzel, kalung yang bertuliskan ‘Tiara Olinien’ yang ia pasangkan pada gadis itu.
Lelaki itu mundur dua langkah. Kemudian melirik Harzel dari atas ke bawah. Rambut panjangnya yang tergerai rapi, matanya yang terpejam, wajahnya yang tenang, pakaian rumah sakit yang ia kenakan, dan kalung itu..
“Aku pernah punya kalung itu. Sama persis.”
Mendengar suara lembut seorang wanita. Revan menoleh.
Misella.
Gadis itu tersenyum kemudian melangkah mendekat sembari mempererat ranselnya. Sejurus kemudian, Misella menaruh beberapa makanan di atas meja sebelah ranjang Harzel.
Misella melirik Revan di sebelahnya, “Sekitar 10 tahun yang lalu, aku mengalami kecelakaan kapal,” Misella berfikir keras, “Kalo nggak salah kapal menuju Singapore dari Batam..” Ujarnya melanjutkan, “Aku lupa kejadian persisnya gimana. Yang jelas, seorang laki-laki seumuran aku waktu itu berhasil membuat aku tetap hidup sampai sekarang.”
Revan menahan nafasnya seketika. Cerita Misella membuatnya kembali terhempas ke masa lalu 10 tahun yang lalu. Kecelakaan itu...
Misella menggenggam kalung yang melingkar di leher Harzel, “Kalung pemberian Mama ini.. Hilang saat aku mengalami kecelakaan itu.”
Revan mencoba mengatur debar jantungnya sendiri. Darahnya mengalir deras seketika. Ia mulai berfikir keras. Beberapa suara hatinya mulai berbicara. Apakah gadis kecil yang ia selamatkan 10 tahun yang lalu adalah Misella? Tidak! Tidak mungkin!
“Tiara Olinien adalah nama kecilku,” tutur Misella melanjutkan, “Karena kecelakaan itu, orang tuaku mengganti namaku menjadi Ratu Misella.”
Misella berdiri, menatap Revan di depannya. Lelaki itu berfikir keras sembari menerawang kosong ke depan. Misella tahu semuanya! Apakah Tiara Olinien itu adalah dirinya?
“Aku masih inget itu, Revandira Papinka!” Ia menatap Revan lekat-lekat, “Awalnya aku merasa ragu pernah mengenal kamu, namun akhirnya aku yakin setelah melihat kalung itu.”
Revan terdiam. Sekuat tenaga mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan Misella. Untuk kondisi seperti ini, ia hanya bisa diam tanpa berbuat apa-apa. Salah satu bagian hatinya ingin mempercayai, salah satu yang lain ingin menolak mempercayai.
“Revan?” sahut Harzel yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.
Baik Revan maupun Misella menoleh. Lelaki itu menatap Harzel tanpa ekspressi. Ia bingung. Perkataan Misella membuat otaknya tiba-tiba lambat mencerna. Namun melihat Harzel mengerjapkan mata beberapa kali—mencari kesadaran—lelaki itu tersenyum juga.
Harzel bangkit duduk dengan hati-hati. Ia lega melihat Revan berdiri di depannya, menyambutnya bangun dari tidur panjang seperti seorang pangeran.
Revan mendekati Harzel, lalu duduk di depannya sembari menatap mata gadis itu yang sembab akibat menangis histeris semalaman. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sibuk dengan fikirannya sendiri.
“Kak, mau roti?” tawar Misella sembari menyodorkan roti coklat yang sedang ia pegang.
Harzel mengangguk. Mencoba meraih roti itu. Namun tangan Revan lebih dulu meraihnya.
Harzel tersenyum kemudian membuka mulutnya. Menunggu roti suapan dari Revan. Namun kenyataannya, Revan justru memasukan roti coklat itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya. Membuat Harzel langsung menepuk bahu lelaki itu. Merasa kesal.
Revan tertawa geli sembari mengacak-acak rambut gadis itu.
Seketika.. ia lupa perkataan Misella.
seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter PROLOG