Sorakan-sorakan itu. Cemooh-cemooh itu. Sungguh! Rasanya jauh lebih sakit daripada sakit fisik yang tengah melandaku. Sekali lagi, untuk kesekian kalinya, aku gagal!—Princess Harzel.
***
“Sella, kok belum siap-siap?” tanya Harzel setelah membuka pintu kamar adiknya.
Misella melirik Harzel lalu menggeleng, “Aku nggak ikut.”
“Loh? Kenapa? Bahkan sekolah lain pun datang buat nonton acara kita,” Harzel mendelik sebal ke arah Misella. Bahkan tahun kemarin, ia dan Misella datang ke gedung seni untuk menyaksikan penampilan terakhir kakak kelasnya.
Mama menghampiri Harzel, “Harzel, Revan udah di depan.”
Harzel memandang Mama sembari mengangguk, lalu kembali memandang Misella yang masih terduduk di tepi ranjang kamarnya, “Sella, cepetan siap-siap!”
Misella melirik Harzel kesal, “Kakak pergi sama Revan, aku mau duduk dimana? Di atas ban??”
Harzel membenarkan ucapan adiknya. Sangat kejam jika ia menyuruh Misella pergi naik bus di malam hari seperti ini. Ia mulai paham sumber sensitif adiknya selain datang bulan yaitu tidak ada kendaraan. Setidaknya tahun kemarin ia dan Harzel pergi naik taksi. Namun sekarang? Harzel kemana-mana cenderung bersama Revan. Entah sejak kapan.
“Itu masalah mudah, Sella,” timpal Mama, “Mama bakal tanya ke Revan dia bisa bawa mobil atau nggak. Kalo ternyata dia nggak bisa, nanti Mama yang akan antar jemput Sella.”
Mama pun melangkah pergi menemui Revan, meninggalkan kedua putrinya yang terdiam membisu.
Harzel menghela nafas, “Sella, siap-siap!” Serunya pelan.
Misella pun berdiri lalu membuka lemari dan mencari beberapa gaun pesta disana. Tak lama kemudian, Mama datang menghampiri mereka.
“Revan bisa bawa mobil, kalian bertiga berangkat sama-sama ke gedung seni,” Mama menepuk bahu Harzel, “Kamu jagain Sella baik-baik, ya.”
Harzel mengangguk, “Iya, Ma.”
Mama pun pergi lagi meninggalkan mereka. Harzel melangkah memasuki kamar Misella dan duduk di tepi ranjangnya. Menatap Misella yang menghilang di balik pintu kamar mandi pribadi gadis itu untuk berganti pakaian.
***
Revan menatap sebuah kalung yang selama ini ia simpan. Kalung berlian itu masih tetap awet meskipun umurnya sudah menginjak sepuluh tahun lebih di tangan Revan. Lelaki itu tersenyum sendiri, ia bahkan tidak ingat bagaimana wajah si pemilik kalung. Yang ia tahu gadis itu pasti cantik jika saja ia masih hidup hingga sekarang.
Ah, gadis cilik itu!
Revan tak ingat persis wajahnya, namun lelaki itu tak bisa melupakan momennya. Momen dimana ia dan gadis cilik secantik peri bersama-sama bertahan hidup saat tragedi kapal karam 10 tahun yang lalu.
Revan pergi meninggalkan gadis kecil itu seketika ingat bahwa ia harus mencari papanya. Namun setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri papanya terkulai lemas, pucat, dan tak bernyawa di sebelah kamar rawatnya. Revan kecil menangis tersedu-sedu kemudian berlari. Tak tahan berada di dalam ruangan itu lagi.
Revan kecil melangkah kembali ke ruang rawatnya. Berniat menemui gadis kecil nan cantik itu, untuk sekedar mencurahkan isi hati dan kesedihannya.
Namun langkahnya terhenti... keramaian menyesaki ruangan itu disertai tangisan-tangisan yang pecah. Beberapa orang mengerumuni tempat tidur itu. Tempat dimana gadis kecil yang ia selamatkan terkulai lemas beberapa jam yang lalu. Beberapa orang memeluk tubuh mungil sang pasien. Revan tak bisa melihat dengan jelas siapa yang terbaring itu, namun ia yakin bahwa pasien itu tak lain adalah gadis kecil yang telah ia selamatkan.
“Suster, ada apa itu?” tanya Revan pada perawat yang lewat sembari mendelik bingung.
“Pasien anak perempuan di tempat tidur itu meninggal, dek.”
Revan kecil terduduk lemas. Merasa sedih. Mengapa dengan mudahnya orang-orang sekitarnya kehilangan nyawa?
Nama indah gadis itu masih terukir rapi.
Tiara Olinien.
“Punya siapa, tuh?” tanya Harzel yang tiba-tiba muncul di belakangnya. Gadis itu mengulurkan tangannya. Meraih kalung itu, “Sini, gue liat!”
Revan mendelik sebal sembari menjauhkan kalung itu dari Harzel, “Udahlah, nggak penting!”
Harzel yang merasa penasaran, langsung merebut paksa kalung itu dari tangan Revan. Namun lelaki itu mengepalkan tangan sekuat tenaga.
Harzel menghentakkan kakinya dengan kesal, “Kalo emang nggak penting, kenapa gue nggak boleh liat?” gadis itu mendelik sebal. Membuat Revan tersenyum geli.
Revan membuka kepalan tangannya. Sontak Harzel langsung menarik kalung itu dan mengangkatnya tepat di depan wajah. Ia menatap kalung itu, seraya membaca nama yang terukir disana.
“Tiara.. Olinien..”
Mama yang baru saja datang ke ruang tamu, langsung tersentak kaget. Ia terpaku di tempatnya sembari menatap putrinya dari belakang.
“Gue pernah liat kalung kayak gini,” tutur Harzel.
“Waktu kecil mama beliin kalung kayak gitu buat kamu,” jawab Mama, lalu tersenyum ramah pada Revan. Ia kembali melirik putrinya, “Saking bandelnya kamu dulu, kamu buang kalung itu ke selokan.”
Revan menahan tawa geli mendengar penuturan mama Harzel. Mebayangkan betapa lucu dan gemasnya Harzel kecil yang lincah dan nakal. Tak lama kemudian, Misella datang mengenakan gaun merah. Rambutnya diikat satu. Ia terlihat sangat cantik dengan polesan lipstik merah di bibirnya yang biasanya pucat. Harzel yang tak kalah anggunnya, hanya mengenakan dress berwarna mocca selutut tanpa berdandan seperti Misella. Karena tim ballet akan dihias di lokasi gedung seni.
“Ka..kalung itu..” timpal Misella tiba-tiba, “Kalung itu punya siapa?”
Harzel mengangkat bahu, kemudian mengembalikan kalung itu ke tangan Revan. Air mukanya berubah menjadi sebal.
“Nggaktau tuh,” jawab Harzel kesal, “Punya gebetan Revan kali!”
Revan tak menggubris perkataan Harzel. Ia memasukan kembali kalung itu ke dalam saku celananya.
Mereka pun berpamitan dengan Mama, lalu ketiganya melesat menuju mobil Avanza hitam milik keluarga Harzel yang telah terparkir di depan rumah.
Misella langsung membuka pintu depan dan melesat masuk. Melihatnya, Harzel hanya bisa menghela nafas, lalu memutuskan duduk dibangku belakang. Memaklumi sikap Misella yang sedang datang bulan. Toh adiknya selalu duduk di depan ketika mereka pergi bertiga.
Mobil pun melaju.
“Revan, Tiara Olinien ini siapa, sih?” tanya Harzel yang masih penasaran.
Mendengar pertanyaan Harzel, sepasang mata Misella langsung menegang. Ia menatap seseorang—yang duduk di sebelahnya—terus fokus pada jalan yang mereka telusuri.
Misella terus menatap Revan di sebelahnya. Wajah Revan tak asing lagi baginya. Rambut pirangnya, hidungnya, matanya... semuanya.
“Gue nggaktahu,” jawab Revan singkat.
“Cewek lo, ya?” tanya Harzel penuh selidik.
Revan diam. Bingung harus menjawab apa. Sesekali ia melirik Harzel yang menunggu jawaban. Ekspressi kesal gadis itu terlihat jelas dari lampu mobil yang menyinari wajahnya.
Melihat Revan tidak menjawab, Harzel tertunduk. Raut wajahnya berubah. Menampakkan kesedihan. Kemudian mengepalkan kedua tangannya.
Revan tersenyum tipis, “Kalau dia emang cewek gue, mungkin sekarang dia udah putusin gue.”
Harzel mengangkat wajah, “Maksudnya?”
Revan mengangkat bahu, “Ya, karena gue lebih sering menghabiskan waktu dengan Princess Harzel daripada dia.”
Harzel seketika mengerti. Nafasnya tercekat. Gadis itu lupa cara bernafas normal seketika.
***
Harzel menatap wajahnya di depan kaca. Bedak, blush on, eye shadow, dan pemerah bibir terpadu indah di wajahnya. Serta penghitam alis dan kelopak mata palsu, membuat sepasang matanya terlihat lebih hidup.
Ia berdiri. Menatap penampilannya sendiri. Gaun ballet yang membalut tubuhnya membuatnya terlihat sangat anggun. Ia bersyukur gaunnya tidak minim seperti penampilan ballet di acara televisi yang sering ia tonton. Gadis itu mengenakan gaun putih berlengan sekitar lima jari. Bagian bawah gaun itu mengembang sebatas lutut—namun semuanya sepakat menggunakan stocking berwarna kulit—sehingga tidak terlalu terbuka. Rambut Harzel yang biasanya terurai, kini disanggul dan disisipkan beberapa hiasan bunga dengan berbagai warna.
Harzel tersenyum. Ia tak akan menyia-nyiakan momen ini. Momen dimana ia bisa tampil seperti penari ballet sebenarnya. Selama ini, ia hanya melihat dengan iri Ika dan timnya yang menari. Namun saat ini ia mampu melihat dirinya sendiri.
“Kita keluar yuk? Foto-foto!” Seru Liana, ia melirik Harzel di sebelahnya, “Revan juga ada di luar.”
Harzel mengangguk kemudian mengikuti langkah Liana.
Revan—yang sedang berbincang bersama teman-teman satu bandnya—terperangah takjub melihat penampilan Harzel yang sangat cantik. Namun sebisa mungkin ia tahan untuk tidak tersenyum. Saat Harzel mendekati mereka, Revan menjadi pusat perhatian gadis itu. Seketika, lelaki itu langsung gugup dan salah tingkah.
“Revan, fotoin kita dong!!” Seru Sasha, lalu menyodorkan Handphone miliknya.
Revan mendelik sebal, “Kok gue, sih?”
Faraz menepuk punggung Revan, “Fotoin aja dulu! Setelah ini lo bebas mau foto sama Harzel berapa kali.”
Sontak, ucapan Faraz mengundang sorakkan teman-teman di sekitarnya. Revan langsung meraih Handphone milik Sasha sembari memasang tampang sebal. Ia tidak bisa menjawab apa-apa melihat teman-temannya mengolok-olok sembari menertawakannya.
Dari kejauhan, Ika dan dayang-dayangnya yang telah berdandan seperti penari ballet, melirik Harzel dengan tampang kesal.
Revan yang beberapa kali sudah menekan kamera, memasang tampang kesalnya. Dasar perempuan! Segala sesuatu dilakukan dengan berlebihan, termasuk berfoto dengan berbagai macam gaya yang membuat Revan bosan dan kesal.
Sasha terkekeh, lalu meraih Handphone miliknya dari tangan Revan, “Nah sekarang gantian. Gue bakal jadi fotographer lo dan Harzel.”
Sorakkan kembali riuh dari teman-temannya. Revan dan Harzel yang sudah mati kutu karena salah tingkah, di dorong oleh teman-temannya untuk berfoto berdua. Akhirnya, setelah tidak bisa melawan, mereka pun menurut.
Harzel melingkarkan tangannya di lengan Revan. Keduanya tersenyum.
Cekrek!!
Bukan hanya kamera Sasha yang mengabdikan foto keduanya, melainkan juga kamera teman-temannya yang sangat usil menyorakki mereka. Menganggap mereka berdua lebih dari sekedar teman. Lalu apa salahnya jika perempuan dan laki-laki bersahabat? Ah, entahlah!
Harzel melirik Revan, kemudian berbisik, “Eh, dasi elo ketinggalan di ruang rias ballet. Gue ambil dulu ya,”
“Gue ikut!” Jawabnya.
Keduanya pun melesat menuju ruang rias. Sorakkan teman-temannya yang tak bisa diam itu semakin keras.
Sesampai di ruang rias, Harzel merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan dasi berwarna merah maroon milik papanya yang akan ia pinjamkan pada Revan. Ia menyerahkan dasi itu pada lelaki itu, namun Revan hanya melirik benda itu dengan tatapan bingung.
“Gue nggak bisa pasang dasi.”
Harzel menghela nafas. Sudah diduga. Gadis itu langsung berjinjit dan melingkarkan dasi itu pada kerah baju Revan. Kemudian memasangnya dengan cekatan. Jarak mereka begitu dekat hingga mereka dapat merasakan hembusan nafas satu sama lain.
“Dasar goblok! Selama ini lo pakek dasi gimana? Dipakek’in kak Ian?” gerutu Harzel setelah selesai memasangkan dasi pada Revan.
“Lo lupa kalau zaman sekarang ada dasi instan?” jawab Revan tak mau kalah.
“Dasar!”
Revan merogoh kantung celananya. Meraih kalung bertuliskan ‘Tiara Olinien’ kemudian mengangkatnya tepat di depan wajah Harzel.
“Sebaiknya lo pake kalung ini,” ucap Revan.
Harzel menggeleng, “Ogah!”
Revan menghela nafas, lalu tersenyum geli, “Kalung ini punya teman masa kecil gue, namanya Tiara. Dia udah meninggal.”
Harzel terperangah sembari menutup mulut dengan sebelah tangannya. Sedikit kaget. Namun cerita Revan seketika membuatnya menyukai kalung itu. Toh sekarang kalung itu milik Revan. Apa salahnya?
Revan mencengkeram kedua bahu Harzel, kemudian membalik tubuh gadis itu hingga menghadap kaca rias besar di depan mereka. Kedua pasang mata itu bertatapan di depan cermin.
Revan melingkarkan kalung itu di leher Harzel. Membuat gadis itu semakin menarik di matanya.
Harzel melirik dirinya sendiri. Di lehernya telah melingkar sebuah kalung bertuliskan ‘Tiara Olinien’. Jantungnya berdebar keras menyadari bahwa Revan yang telah melingkarkan kalung itu di lehernya.
Pipinya memanas. Ia benar-benar gugup.
“Cantikan gue atau Ika?” tanya Harzel. Mencoba mengalihkan diri dari rasa gugup yang tengah melandanya.
“Ika,” jawab Revan asal. Ia melihat dengan jelas perubahan raut muka Harzel.
Harzel berbalik, lalu mendelik sebal, “Selera lo rendah!”
Revan mengangkat bahunya, “Kayaknya selera Paul dan Rangga yang rendah.”
Harzel sontak menepuk bahu lelaki itu. Merasa kesal.
Tak lama kemudian, terdengar suara di mikrofon yang menandakan bahwa acara akan segera dimulai.
“Lo duluan aja! Gue masih mau liat-liat penampilan gue.”
Revan mengangguk, lalu melangkah pergi. Ia harus bersiap-siap karena bandnya tampil pertama kali, sebelum kembali tampil pada urutan ke sepuluh. Sedangkan Harzel tampil di acara ke delapan.
Harzel mematut dirinya di depan kaca. Kalung yang melekat di lehernya membuat penampilannya semakin anggun malam ini.
Harzel hendak melangkah keluar. Namun ia lupa sesuatu. Saat menari, ia hanya mengenakan stocking yang juga menutupi telapak kakinya, namun bukan berarti ia harus ceker ayam selama menonton pertunjukkan.
Harzel pun memasukkan sepasang kakinya pada sepatu Ballet Flat berwarna putih miliknya. Dan..
“Hahh!!” Harzel mendesah pelan, nafasnya langsung ngos-ngosan.
Dengan refleks, ia langsung terduduk di atas sofa ruang rias yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis itu merasakan sesuatu yang sangat nyeri menusuk telapak kakinya. Dengan pelan, Harzel membuka sepatunya. Ia terperangah kaget melihat darah segar menetes dari kedua kakinya. Dan.. serpihan kaca di dalam sepatunya terjatuh ke lantai, disertai tetesan darah, dan rasa nyeri yang luar biasa.
Harzel merogoh tas selempang yang terletak di sebelahnya sembari menahan nyeri. Ia mengambil Handphone miliknya, lalu.. menemukan secarik kertas. Harzel membukanya dan membaca kalimat yang tertera di dalamnya.
Gue udah peringatkan elo untuk berhenti dari tim ballet! Dan sekarang.. lihat sendiri akibatnya!.. Oh ya, satu lagi Harzel.. BERHENTI MEREBUT SEMUA YANG SEHARUSNYA JADI MILIK GUE!!!!
Harzel meremuk kertas itu dengan kesal. Seketika tangisnya langsung pecah tanpa bisa ia tahan. Rasa nyeri di telapak kakinya sekaligus rasa nyeri di dadanya, membuatnya terisak sekaligus tersiksa dalam ruang rias ini sendirian. Samar-samar, ia mendengar suara band Revan yang sudah tampil dan juga suara milik sahabatnya—Liana—yang menggelegar.
Sambil terisak-isak, Harzel menekan sebuah nomor telepon. Setelah telepon itu diangkat, ia mulai berbicara.
“Key,” panggil Harzel dengan suara serak, “Lo bisa kesini, nggak? Gue ada masalah besar.”
Dentuman bunyi di dalam gedung itu begitu menggelegar, hingga Keyla tak dapat mendengar suara Harzel, “Harzel, gue nggak bisa denger suara lo..”
Harzel berteriak, “Keyla, gue mohon kesini sekarang!!!” Ia kembali memecahkan tangis. Kakinya begitu nyeri. Serpihan kaca yang halus masih menancap kuat di telapak kakinya. Gadis itu menangis tergugu dengan suara keras.
Keyla yang cukup jelas mendengar suara Harzel, mengangguk sembari khawatir, “Lo di ruang rias, kan? Gue sama Sasha bakal kesana.”
TUT!! TUT!!
Harzel memutuskan telepon.
Keyla memasukkan Handphone ke dalam saku celananya, lalu menoleh ke arah Sasha yang juga menatapnya penuh tanda tanya, “Kita harus nemuin Harzel di ruang rias sekarang. Sepertinya ada sesuatu yang nggak beres.”
***
Dewi tak bisa menyembunyikan senyum bahagia melihat putra kesayangannya tampil di atas panggung. Meskipun saat ini wanita itu duduk di bangku paling belakang, ia dapat melihat Revan dengan jelas. Putranya sangat tampan mengenakan tuxedo berwarna hitam sembari memainkan gitar listrik. Wanita itu tetap takjub melihat putranya, meskipun Revan berdiri paling belakang dan bukan pusat perhatian dalam penampilan itu.
“Tante mau ketemu Revan?” tanya Adrian, di sela-sela suara sang vokalis yang menggelegar di panggung.
Dewi menggeleng, “Tante belum siap,” Ia menatap Adrian penuh harap, “Tante berharap, kamu bisa mengawasinya dan terus mengabari tante, ya.”
Adrian mengangguk tanda mengerti.
***
Sasha memangku kepala Harzel sembari menenangkannya, sedangkan Keyla berusaha mencabut serpihan kaca dari telapak kaki Harzel. Harzel terus berteriak saat Keyla mencabut satu demi satu serpihan kaca dari telapak kakinya.
Sasha mengusap kepala Harzel, “Harzel, lo jangan nangis! Kita lagi berusaha.”
Keyla berdiri dan menatap Harzel dengan pasrah, ada beberapa serpihan kaca yang menusuk cukup dalam hingga sulit dilepaskan
Keyla menatap sahabatnya. Tanpa terasa, ia juga meneteskan air mata, “Zel, sebaiknya kita ke klinik! Gue nggak bisa..”
“Nggak, Key! Sebentar lagi gue tampil..” Tukas Harzel. Ia meremas-remas sofa, berharap mengurangi rasa sakitnya.
“Harzel, lo nggak bisa tampil dalam keadaan seperti ini!!” ujar Keyla kesal. Suaranya meninggi.
“Bisa Keyla! Bisa!!” Teriaknya.
Harzel tak peduli resiko apapun. Ia rela kakinya membiru bengkak setelah ini asalkan ia masih bisa tampil. Bukankah gadis itu berjuang untuk latihan dari kemarin? Bahkan ia bersikeras pulang dari rumah sakit hanya demi hari ini!
Tidak! Rasanya jauh lebih menyakitkan jika ia tidak bisa tampil hari ini.
Sasha yang sudah kehilangan akal karena sahabatnya—yang keras kepala itu—langsung angkat bicara, “Sebaiknya kita panggil Revan.”
“Nggak!!” Teriak Harzel, lalu memecahkan tangisnya kembali, “Revan nggak bakal ngizinin gue tampil, gue nggak mau!”
Keyla menatap Harzel dengan kesal, “Lo keras kepala banget! Keadaan lo nggak memungkinkan Harzel, coba tolong lo ngerti!!” Bentak Keyla untuk pertama kalinya sejak tiga tahun mereka sudah duduk semeja.
Harzel langsung bangkit duduk, mengabaikan rasa sakitnya, “Lo yang harusnya ngerti, Key!!” Ia mengusap air mata sembari menatap kedua sahabatnya dengan tatapan murka dan sedih, “Gue nyuruh kalian kesini karena gue percaya! Gue percaya kalo kalian ngerti semua keinginan gue! Tampil di atas pangung adalah impian gue sejak dulu! Dan apapun yang terjadi, gue akan tetap tampil!” Harzel berteriak kesal, “Bahkan, gue nggak peduli keadaan gue setelah itu!!”
Mendengar keputusan Harzel yang tak bisa diganggu gugat, baik Keyla maupun Sasha melemah. Ia menatap sahabatnya yang kini menangis terisak-isak dengan prihatin.
“Gue mohon jangan kasih tau Revan,” pintanya sungguh-sungguh. Suaranya melemah.
Keyla mengangguk, “Gue bakal coba nyabut serpihan kaca dari kaki lo. Tapi, lo harus janji!” Tegas Keyla, “Lo harus ke klinik setelah lo tampil!”
Harzel mengangguk. Ia membenamkan wajah dalam pelukkan Sasha. Kemudian megeluarkan jeritan demi jeritan ketika Keyla mencabut serpihan kaca yang cukup besar dan dalam dari kakinya. Ia tak kuasa menghentikan air matanya yang meleleh ketika menahan rasa nyeri yang luar biasa. Sasha yang tak bisa apa-apa, hanya memeluk Harzel erat, berharap pelukkan itu dapat mengurangi sakit yang dirasa sahabatnya.
***
Revan terus mengawasi Ika yang tengah berdiri bersama teman-temannya. Saat ia tampil pun, ia meminta Faraz dan Bimo untuk terus mengawasi Ika. Entah mengapa, Revan merasa khawatir. Apalagi, ia tidak melihat Harzel hingga menjelang penampilan kelima, yaitu penampilan tari daerah asal sunda.
Revan mendekati Liana, lalu berbisik, “Li, lo bisa ke ruang rias sekarang? Dari tadi gue nggak lihat Harzel.”
Liana yang sedari tadi juga mencari keberadaan Harzel langsung mengangguk dengan cepat. Lalu melesat menuju ruang rias.
Liana kaget melihat darah berserakkan di lantai dan sofa ruangan itu, bersama serpihan kaca yang memerah karena terpadu bersama darah segar.
Ia menatap Harzel yang kini di hias kembali oleh Keyla dan Sasha, mata ketiga sahabatnya sembab.
Liana mendekatinya, “Ada apa ini?” tanyanya penasaran sekaligus khawatir.
Sasha menghela nafas sebelum memulai ceritanya, “Ada orang masukkin pecahan kaca di sepatu Harzel. Lo bisa bayangin sendiri gimana jadinya waktu Harzel makek sepatu itu.”
Liana terperangah sembari menutup mulut dengan sebelah tangannya, “Jadi, keadaan lo?”
“Harzel tetap mau tampil,” jawab Keyla sembari menahan rasa sesak di dadanya, “Setelah tampil, dia harus secepatnya ke klinik,” Keyla yang cukup ahli dalam biologi, mulai menjelaskan kasus yang menimpa Harzel, “Pecahan kaca itu.. beberapa menusuk kaki Harzel cukup dalam. Pembuluh balik Harzel sobek, darahnya belum bisa berhenti.”
Liana mendelik panik, “Yaudah, kenapa harus nanti? Kita pergi ke klinik sekarang! Gue yang bakal nemenin lo. Gue nggak peduli dengan penampilan duet gue dan Vino setelah ini.”
“Tapi gue peduli, Li,” tutur Harzel, “Gue bakal pergi ke klinik setelah gue tampil.”
Liana menatap Harzel dengan kesal, “Gimana lo bisa tampil? Keadaan lo..”
“Gue bisa, Li!” Tukas Harzel, “Gue mohon jangan halangin gue!”
***
Setelah lama menunggu, Revan akhirnya melihat Harzel bersama ketiga sahabatnya. Gadis itu langsung duduk di salah satu bangku yang telah disediakan di belakang panggung, dikelilingi oleh Liana, Sasha, dan Keyla.
Namun firasat Revan berkata lain. Lelaki itu dengan jelas melihat wajah keempatnya murung seperti ada masalah besar. Ia hendak menghampiri mereka. Namun..
“Selanjutnya, penampilan dari penari ballet SMA Bright Star!!” Seru sang MC. Langsung diiringi dengan tepuk tangan meriah.
Hati Harzel tertusuk mendengar sorakkan meriah dan tepuk tangan. Seharusnya ia senang dan rileks, bukan justru nelangsa seperti ini. Tepuk tangan itu seakan menusuk hatinya yang paling dalam, serta membangkitkan rasa nyeri di telapak kaki yang sedari tadi ia tahan.
Harzel mulai berdiri dengan pelan, dibantu dengan ketiga sahabatnya. Ia menyunggingkan senyum yang dipaksakan, mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja. Gadis itu melangkah pelan menuju panggung. Setiap langkahnya, rasa nyeri yang luar biasa kembali menyerangnya. Sekuat tenaga, ia menahan tangisnya agar tidak pecah.
Liana, Sasha, dan Keyla tertunduk sedih. Dalam hati mereka berdoa agar semuanya berjalan lancar. Sasha yang lebih sentimentil, mulai meneteskan air mata. Pemandangan itulah yang membuat Revan dan Faraz mendekati mereka. Revan merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Perasaannya tidak enak.
Harzel mulai bergerak mengiringi alunan music. Tidak peduli apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Gadis itu hanya minta satu hal, yaitu kelancaran dalam penampilannya. Namun setiap gerakkan dalam tarian itu, membuat kakinya nyeri dua kali lipat, ia meneteskan air mata tanpa bisa ia tahan.
“Ada apa?” tanya Revan setelah tiba di depan Liana, Keyla, dan Sasha.
Sasha mengusap air matanya, “Nggak ada apa-apa, kok.”
“Lo nggak usah bohong!!” Tukas Revan menatap Sasha lekat-lekat, “Ada apa??”
“Sasha nggak kenapa-napa, tapi Harzel yang kenapa-napa,” ujar Keyla. Ia harus mengatakan ini pada Revan. Toh, Lelaki itu takkan bisa menghentikkan Harzel yang telah berada di atas panggung.
Revan menatap Keyla sembari melototkan sepasang matanya, “Bicara yang jelas, Key!”
Harzel tak tahan lagi. Batinnya memberontak ingin terus bergerak. Namun tidak dengan raganya yang mulai melemah.
Gue bisa, pasti bisa! Gumamnya menyemangati diri sendiri.
Kedua kakinya tak sanggup menopang tubuhnya yang terus bergerak. Rasa sakit itu menyerangnya berkali-kali lipat. Membuat pertahanannya runtuh. Hingga pada adegan berputar, Harzel jatuh terjerembab di atas panggung. Telapak kakinya—yang telah dibalut perban oleh Keyla—mulai meneteskan darah segar.
Musik mulai berhenti seiring dengan riuh yang menyeruak di dalam ruangan itu. Tarian seluruh anggota ballet juga terhenti seketika. Sorakan demi sorakan penonton menyayat hati Harzel berkali-kali lipat daripada rasa sakit di kakinya. Ia telah gagal! Penampilan yang ia tunggu-tunggu berakhir memalukan. Gadis itu menangis. Tak peduli keadaan sekitarnya. Cemooh demi cemooh dilontarkan dari para penonton—yang dilanda kekecewaan karena penampilan ballet yang tadinya nikmat—seketika gagal besar karena satu orang.
Gadis itu semakin terisak. Dan tak sengaja menangkap seorang lelaki yang menyibakkan kerumunan orang-orang di sekitarnya. Air muka lelaki itu menampakkan rasa cemas luar biasa.
Lelaki itu..
Revandira Louis Papinka.
Lelaki itu jongkok. Menghapus air mata Harzel, kemudian berbisik sembari tersenyum menenangkan, “Lo tetep keren.”
Tanpa fikir panjang, Revan mengangkat tubuh Harzel, kemudian membawa gadis itu pergi dari panggung yang diiringi dengan tepuk tangan meriah, seakan-akan adegan tersebut adalah adegan manis dalam film-film romansa.
***
Dewi meneteskan air mata melihat putranya yang menjadi pusat perhatian banyak orang. Bahkan ia tak mampu untuk kembali duduk.
Di depan matanya, Revan dengan sigap menggendong seorang penari ballet yang jatuh terjerembab. Pemandangannya.. mengingatkan dirinya pada seseorang. Membuatnya terhempas jauh ke masa lalu.
“Gadis itu..” Adrian berkata, “Harzel.”
Dewi yang sudah berlinangan air mata memandang Adrian, “Harzel?”
Adrian mengangguk. Membuat Dewi terduduk sembari menangis di telapak tangannya sendiri. Kejadiannya benar-benar sama. Ia tak mengenali siapa itu Harzel. Namun pemandangan ini sontak mengkondisikan bahwa Harzel adalah dirinya 22 tahun yang lalu.
Waktu itu.
Dewi Annisa dengan sigapnya melenggak-lenggok di atas panggung sebagai model nasional. Namun kejadian yang tak diinginkan menimpanya. Ia terjatuh di atas panggung karena kecelakaan kecil. Heels-nya patah. Namun tak sedikit pun—orang-orang yang menontonnya—merasa kasihan padanya, mereka justru menyorakki Dewi tanda mencemooh.
Kecuali dia.. Arnold Louis Papinka.
Dengan sigap, lelaki berkebangsaan Inggris itu mengangkat tubuh Dewi dan membawanya pergi dari sana.
Di belakang panggung, Arnold menurunkannya di atas sofa. Keadaan Dewi tidak apa-apa, hanya saja ia menahan malu yang sangat besar.
Arnold tersenyum sembari menatap matanya, “Ibu tidak apa-apa?”
Sejak saat itu, Dewi jatuh cinta padanya. Dewi Annisa seorang putri pengusaha ternama, jatuh cinta pada salah satu karyawan ayahnya.
Dan takdir tetaplah takdir. Dewi telah berpisah dengan lelaki asing yang teramat ia cintai. Lelaki yang memiliki wajah identik dengan Revan—membuat wanita itu tak bisa mengenyahkan bayangannya. Hingga sekarang. Dan mungkin selamanya.
***
“Gue nggak bisa tampil lagi, gue serahin semuanya ke elo!” Ujar Revan kepada Vino setelah membawa Harzel ke dalam mobil Avanza milik keluarga gadis itu. Kemeja putih yang dikenakan Revan dikenai bercak darah karena terkena kaki Harzel.
“Tolong beresin barang-barang gue dan Harzel. Kita ke klinik medical sekarang!” Seru Revan menatap teman-temannya.
Liana, Sasha, dan Keyla langsung menuruti apa yang di perintahkan Revan. Mereka mengikuti Revan dari belakang, begitu juga Bimo dan Faraz. Kemudian Revan naik ke bangku belakang bersama Harzel dan mempercayai Bimo untuk menyetir mobil. Karena Liana selaku vokalis band memaksa untuk ikut, penampilan ke sepuluh diganti dengan penampilan solo dari Vino.
Di dalam mobil. Harzel memejamkan mata. Kejadian barusan membuatnya benar-benar shock. Bahkan, ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Rasa malu, sakit, dan sesak memenuhi benaknya. Ingin sekali ia pingsan agar tidak merasakan malu yang menyiksa ini. Sayangnya itu tidak terjadi.
Harzel mengangguk. Ia teringat sesuatu, “Misella.. mana?”
Revan yang telah duduk sembari memangku kepalanya menghela nafas, bahkan ia tidak melihat Misella sama sekali sedari tadi. Ia pun membuka kaca mobil sejenak, melirik Faraz yang masih berdiri di luar.
“Raz, lo cari Misella ya,” Serunya pelan, “Ajak dia ke klinik medical!”
Faraz mengangguk mantap dan melangkah menuruti intruksi Revan.
seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter PROLOG