Loading...
Logo TinLit
Read Story - Princess Harzel
MENU
About Us  

Apapun yang terjadi aku tak pantas menyalahkannya. Aku tak pantas menyalahkannya karena membuat laki-laki lain terobsesi padanya. Aku tak pantas menyalahkannya karena membuatku cemas setiap hari. Aku juga tak pantas menyalahkannya atas getaran-getaran halus yang menyusup di dadaku—Revandira Papinka

***

            “Latihannya cukup!” Seru sang pelatih. Seluruh anggota tim ballet pun menghela nafas lega.

            “Nanti malem, kalian harus tiba di gedung seni jam setengah tujuh, satu jam sebelum acara di mulai. Jangan lupa, kalian pakai baju ballet yang kemarin sudah kakak bagikan!”

            “Baik, Kak.”

            Setelah menyunggingkan senyum ramahnya, pelatih itu meraih ranselnya dan melangkah pergi keluar ruangan, meninggalkan muridnya yang sedang bersiap-siap pulang.

            Ika mendengus, “Ehem!!” Ia menatap Harzel—yang sedang memakai jaket berwarna kuning mustard—dengan tatapan tajam, “Kuat juga ya lo! Kemarin teler, sekarang udah bisa latihan.”

            “Iyalah,” jawab Harzel santai, tanpa menoleh Ika sama sekali, “Akhirnya, lo ngakui kalo gue emang kuat.”

            Ika menatapnya tajam, kesal, sekaligus emosi. Sebelum Ika angkat bicara, Harzel memandangnya sembari tersenyum mengejek.

            “Kenapa, Ka? Mau berantem lagi? Nanti aja ya, kalo udah tampil.”

            Harzel langsung melengos dan melangkah pergi keluar ruangan, meninggalkan Ika yang menghentakkan kaki dengan sebal.

            Dalam hati, ia sangat bersyukur bisa membuat gadis sombong itu diam, meski hanya sementara waktu. Harzel semakin yakin bahwa ia bisa mengatasi seorang Ika Marissa. Meski pertengkaran dengan Ika membuatnya pingsan dua kali. Ya dua kali! Kedua kalinya, Revan melarikan gadis itu ke rumah sakit dan dirawat semalaman. Karena Harzel bersikeras ingin latihan, ia memaksa check out dengan catatan gadis itu harus memeriksa keadaannya setelah ia tampil ballet besok.

            Harzel menghentikan langkahnya di depan ruang band, kemudian mengintip di balik pintu kaca. Sepertinya latihan masih berlangsung. Tak enak mengganggu, gadis itu berbalik, hendak menunggu Revan di kantin sembari menyeruput teh hangat untuk menyegarkan tubuhnya.

            “Eh!” Sahut lelaki dari dalam ruangan latihan band—membuat Harzel menghentikan langkahnya—kemudian berbalik memandang sumber suara yang menyahutnya, “Lo tunggu disini aja! Nggak usah kemana-mana!”

            Seruan Revan yang terdengar ketus sekaligus khawatir, menimbulkan sorakkan dari teman-teman satu bandnya dalam ruangan itu. Lelaki itu langsung diam seribu bahasa sembari menggerutu dalam hati. Bukankah membiarkan Harzel yang sedang sakit turun sendirian cukup berbahaya? Bagaimana jika gadis itu tiba-tiba pingsan lagi?

***

            Harzel tak menghiraukan perkataan Revan, gadis itu tetap turun ke bawah. Toh menunggu di kantin lebih enak, setidaknya ia bisa minum teh dan makan roti coklat.

Ketika tengah berjalan, gadis itu tersentak menyadari seseorang menarik ranselnya hingga langkahnya termundur beberapa langkah. Ia menoleh ke arah kirinya.

            Rangga.

            “Lo sombong banget akhir-akhir ini,” ujarnya tanpa melepaskan tangannya dari ransel milik Harzel.

            “Gue sibuk!” Ketus Harzel.

            Rangga tersenyum, “Gue juga sibuk buat turnament futsal, tapi gue nggak pernah absen ngirim lo sms.”

            “Lepasin gue!” Ketus Harzel keki setengah mati. Ia sudah sebal dengan sikap Rangga—yang selama ini ia hindari—tiba-tiba muncul di depannya.

***

            Setelah menyelesaikan satu lagu, Revan meminta agar latihannya disudahi. Semuanya mengangguk setuju. Liana pun tidak merengek minta latihan dilanjutkan seperti kemarin-kemarin. Ia mengerti Revan tidak tenang membiarkan Harzel berkeliaran di luar sana.

            Lelaki itu melangkah dengan cepat. Entah mengapa ia merasa tidak enak.

            Revan menuruni anak tangga dan terperangah kaget. Di depan matanya, ia melihat Harzel dan Rangga sedang berdiri sembari memperbincangkan sesuatu. Rangga menarik paksa ransel yang tersandang di bahu Harzel.

Revan meraih tangan Harzel. Bersikap dingin. Lelaki itu menatap Rangga dengan tatapan menusuk. Sesaat kemudian, pandangannya teralih pada Harzel, “Ayo kita pulang!” Serunya pelan.

            Harzel mengangguk. Namun ketika gadis itu hendak melangkah mengikuti Revan, Rangga semakin menarik ranselnya.

            Revan menatap Rangga penuh amarah. Ia menggertakkan giginya, “Lepasin!” Serunya berusaha sepelan mungkin.

            Rangga mendelik tak kalah tajamnya, “Nggak!”

            Emosi sontak menjalar dari hati menuju ke ubun-ubun lelaki itu. Membuatnya tak dapat berfikir jernih. Matanya menatap Rangga murka. Revan menyentakkan tangan Harzel. Sejurus kemudian menarik kaus futsal yang tengah dikenakan lelaki itu. Dan berteriak...

            “LEPASIN HARZEL, KEPARAT!”

            Harzel—yang mendelik panik mendengar teriakan Revan—dengan cepat menarik tangan Revan yang sedang mencengkram kaus Rangga, “Revan, lepasin!” Teriaknya, “Kita pulang!”

            “Kita berantem di belakang aja, yuk?” seru Rangga sembari tersenyum mengejek.

            Tanpa fikir panjang, Revan menyentakkan tangan Harzel—yang sedari tadi mencengkram lengannya—lalu melemparkan tubuh Rangga hingga lelaki itu terjerembab ke tanah. Sebelum Rangga berdiri dan melakukan perlawanan, Revan menarik tubuh lelaki itu dengan kasar, hendak memberinya sebuah tinjuan. Namun..

            “Revan!!” Teriak Harzel histeris.

            Sejurus kemudian Revan menoleh. Gadis itu jatuh terjerembab. Tak sadarkan diri untuk yang ketiga kalinya.

***

            Harzel pelan-pelan membuka matanya, ia melirik Faraz dan Liana yang tengah berdiri di sisi tempat tidurnya dengan raut wajah khawatir. Harzel memasang senyum geli. Gadis itu celingak-celinguk memperhatikan sekitar. Revan sedang pergi ke toilet.

            “Jangan panggil dokter!” Bisik gadis itu pelan, “Gue tadi pura-pura pingsan.”

            “Hah?” Liana kaget dan menatap Harzel tak percaya.

            “Gue takut Revan berantem sama Rangga. Jadi gue akting,” ujar Harzel kemudian menahan tawanya sebisa mungkin. Faraz dan Liana hampir meledakkan tawanya kalau saja tidak menyadari Revan masuk ruangan secara tiba-tiba. Untung saja Harzel dengan cepat langsung kembali ke posisi semula. Memejamkan mata. Pura-pura pingsan.

            “Akting yang bagus,” ujar Revan cuek dan dingin, lelaki itu menaruh teh hangat di atas meja, “Karena pura-pura pingsan butuh energi yang banyak, gue beliin teh buat lo!”

            Harzel membuka matanya dengan cepat kemudian melirik Revan. Gadis itu tiba-tiba tegang. Revan yang memasang tampang dingin langsung melengos keluar tanpa kata-kata.

***

            Revan terduduk dengan kalut di koridor dekat kolam ikan sekolahnya. Sibuk tenggelam dalam fikirannya sendiri.

            Entah dengan siapakah ia pantas marah saat ini. Rangga atau Harzel? Tidak! Ia lebih marah pada dirinya sendiri. Ia marah karena tidak bisa mengontrol diri saat melihat Harzel diganggu lelaki itu. Dan adegan Harzel yang pingsan ketiga kalinya membuatnya cemas berkali-kali lipat. Membuat kemarahannya mereda seketika. Dengan sekali teriakan ia menyuruh Rangga menjauh kemudian membawa Harzel ke UKS. Mengabaikan sumpah serapah yang diucapkan mulut kotor lelaki itu.

            Dan kenyataan bahwa gadis itu hanya akting membuatnya jengkel. Bagaimana tidak? Harzel mengukir kekhawatiran di dalam hatinya dengan lelucon yang tidak lucu. Meski alasannya benar, memisahkan Revan dan Rangga sebelum terjadi perkelahian. Namun apakah salah jika Revan sekali saja menonjok wajah lelaki itu? Lelaki yang membuat darahnya mendidih hanya dengan melihat ekspressi tersenyum mengejek khasnya.

            Revan tertunduk. Apapun yang terjadi ia tak pantas menyalahkan Princess Harzel. Ia tak pantas menyalahkan gadis itu karena membuat laki-laki lain terobsesi padanya. Ia juga tak pantas menyalahkan gadis itu karena membuat dirinya cemas setiap hari. Ia juga tak pantas menyalahkan Harzel atas getaran-getaran halus yang menyusup di dadanya. Entah apakah itu. Sebuah perasaan yang membuat dirinya selalu ingin menjaga gadis itu dari gangguan apapun.

            “Gue minta maaf, ya?” Sahut Harzel tiba-tiba duduk di sebelahnya. Wajah gadis itu pucat namun memaksakan untuk tersenyum.

            Tak tahan dengan getaran halus yang semakin memberontak di dadanya. Lelaki itu berdiri. Melangkah pergi. Berniat menyendiri. Ia tak marah. Namun ia perlu waktu sendiri. Hanya itu.

            Harzel mendelik sebal mengira Revan marah untuk hal sepele. Apa salahnya? Gadis itu akting hanya semata-mata agar perkelahian itu tidak terjadi. Hanya itu!

Harzel seketika berdiri dan berteriak, “Dasar keras kepala! Kalo lo masih marah, gue bakal loncat ke dalam kolam!”

            Nggakpapa, setidaknya kolamnya nggak dalem, cuma bau amis. Gumam Harzel dalam hati.

            Revan menghentikan langkahnya, lalu berbalik dan berujar, “Silahkan! Lo mau loncat dari gedung lantai 10 juga gue nggak peduli!”

            Rasa kalut dalam hati Revan seketika pudar hanya dengan mendengar teriakkan Harzel. Ia tahu Harzel berteriak hanya ingin mencegahnya pergi. Gadis itu tidak akan berani mengotori tubuhnya dengan meloncat ke dalam kolam meski hanya setengah meter.

            Harzel memasang tampang sebal. Entah berapa kali ia sudah memaki Revan dalam hati. Dasar cowok nggak tahu diri!

            Harzel berkacak pinggang, “Kalo lo nggak peduli, kenapa lo masih disini? Cepet pergi sana! Gue bisa pulang sendiri!”

            Revan menyunggingkan senyum gemasnya yang sedari tadi ia tahan, “Gue mau liat lo loncat ke dalam kolam.”

            Harzel menelan ludah. Wah, gawat! Gawat! Ia tidak rela mempertaruhkan harga dirinya di depan laki-laki itu? Namun apakah ia rela berendam di dalam kolam demi harga dirinya?

            Revan mendekatinya sembari tersenyum gemas. Harzel langsung tertunduk malu. Lagi-lagi ia menyesali perkataannya.

            “Mau gue murka sekali pun, lo nggak akan berani loncat ke dalam kolam itu,” ujar Revan yang telah berdiri di depannya.

            Harzel mendongak, seketika ia mendapat ide untuk mengelak, “Gue bukan nggak berani. Tapi, kayaknya lo udah nggak marah lagi. Jadi, buat apa gue loncat ke dalam kolam?”

            Revan manggut-manggut, “Tumben lo pinter banget.”

            Harzel tersenyum puas, “Pulang yuk?”

***

            Revan rebah di atas tempat tidurnya. Bingung. Resah. Tak mengerti.

            Lelaki itu tak pernah dilanda perasaan aneh seperti ini. Perasaan kepada seorang wanita. Jatuh cinta? Revan mengacak-acak rambutnya sendiri. Apakah itu yang ia rasakan?

            Perasaan yang membuatnya menjadi lelaki protektif di dunia. Mengkhawatirkan seseorang secara berlebihan. Tak suka melihat siapapun terobsesi pada gadis itu. Apakah Harzel benar-benar membuatnya jatuh hati? Hingga tanpa gadis itu sadari, Revan memiliki rutinitas tersendiri. Ia rutin menyibak gordennya kemudian melirik kamar seberang yang tertutup rapat setiap sebelum tidur. Memastikan gadis itu baik-baik saja.

            Dan malam ini. Sebelum tidur. Ia melakukan rutinitasnya. Menyibak gorden.

            Namun kali ini berbeda, Harzel belum tidur. Gadis itu—berdiri di tepi jendela—tiba-tiba kaget melihat Revan. Namun ia memaksakan senyum. Rambut panjangnya melayang indah dihembus angin malam. Sinar rembulan tepat menyinari wajah gadis itu.

            Revan menyadari suatu hal.

            Malam ini, gadis manis nan ceria itu terlihat pucat. Sangat pucat.

            “Harzel, lo baik-baik aja?” tanya Revan dengan suara bergetar. Terdapat kekhawatiran disana. Rasa cemas menusuk di dadanya.

            “Tentu,” Harzel tersenyum centil seperti biasa. Menganggap semua hal sederhana hingga memperlihatkan pada dunia bahwa ia baik-baik saja. Itulah Harzel. Selalu berpura-pura.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Power Of Bias
1095      637     1     
Short Story
BIAS. Istilah yang selalu digunakan para penggemar K-Pop atau bisa juga dipakai orang Non K-Pop untuk menyatakan kesukaan nya pada seseoraang. Namun perlu diketahui, istilah bias hanya ditujukan pada idola kita, atau artis kesukaan kita sebagai sebuah imajinasi dan khayalan. Sebuah kesalahan fatal bila cinta kita terhadap idola disamakan dengan kita mencitai seseorang didunia nyata. Karena cin...
Rêver
7351      1991     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Daniel : A Ruineed Soul
582      342     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
ADITYA DAN RA
19372      3224     4     
Fan Fiction
jika semua orang dapat hidup setara, mungkin dinamika yang mengatasnamakan perselisihan tidak akan mungkin pernah terjadi. Dira, Adit, Marvin, Dita Mulailah lihat sahabatmu. Apakah kalian sama? Apakah tingkat kecerdasan kalian sama? Apakah dunia kalian sama? Apakah kebutuhan kalian sama? Apakah waktu lenggang kalian sama? Atau krisis ekonomi kalian sama? Tentu tidak...
Arion
1183      668     1     
Romance
"Sesuai nama gue, gue ini memang memikat hati semua orang, terutama para wanita. Ketampanan dan kecerdasan gue ini murni diberi dari Tuhan. Jadi, istilah nya gue ini perfect" - Arion Delvin Gunadhya. "Gue tau dia itu gila! Tapi, pleasee!! Tolong jangan segila ini!! Jadinya gue nanti juga ikut gila" - Relva Farrel Ananda &&& Arion selalu menganggap dirinya ...
Dream Space
692      429     2     
Fantasy
Takdir, selalu menyatukan yang terpisah. Ataupun memisahkan yang dekat. Tak ada yang pernah tahu. Begitu juga takdir yang dialami oleh mereka. Mempersatukan kejadian demi kejadian menjadi sebuah rangakaian perjalanan hidup yang tidak akan dialami oleh yang membaca ataupun yang menuliskan. Welcome to DREAM SPACE. Cause You was born to be winner!
Love Never Ends
12017      2537     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
Untuk Reina
26225      4009     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
Haruskah Ku Mati
53498      5937     65     
Romance
Ini adalah kisah nyata perjalanan cintaku. Sejak kecil aku mengenal lelaki itu. Nama lelaki itu Aim. Tubuhnya tinggi, kurus, kulitnya putih dan wajahnya tampan. Dia sudah menjadi temanku sejak kecil. Diam-diam ternyata dia menyukaiku. Berawal dari cinta masa kecil yang terbawa sampai kami dewasa. Lelaki yang awalnya terlihat pendiam, kaku, gak punya banyak teman, dan cuek. Ternyata seiring berjal...
Beach love story telling
3046      1494     5     
Romance
"Kau harus tau hatiku sama seperti batu karang. Tak peduli seberapa keras ombak menerjang batu karang, ia tetap berdiri kokoh. Aku tidak akan pernah mencintaimu. Aku akan tetap pada prinsipku." -............ "Jika kau batu karang maka aku akan menjadi ombak. Tak peduli seberapa keras batu karang, ombak akan terus menerjang sampai batu karang terkikis. Aku yakin bisa melulu...