Loading...
Logo TinLit
Read Story - Princess Harzel
MENU
About Us  

Dari jauh, aku tak dapat menghentikan mataku untuk melihatmu. Kau mendekat, sontak aku lupa cara bernafas. Semakin dekat, jantungku berdebar dua kali lipat. Hinggu ku takut kau dapat mendengarnya. Itulah sederhananya. Jatuh Cinta—Princess Harzel

***

Harzel menguap beberapa kali. Semalaman ia tidak bisa tidur. Namun sialnya, ia harus mengikuti rapat para anggota seni yang membosankan. Kalau saja tidak ada pelatih dan alumni, ia sudah permisi ke UKS untuk memejamkan mata.

            Untung saja, ia dan Liana duduk di pojok belakang, sehingga sang pembicara tidak melihat matanya yang sembab serta kepalanya yang sesekali terjerembab di atas meja.

            Harzel tersenyum sendiri. Mungkin inilah sensasi kantuk berat yang dirasa Ika kemarin. Sialnya, hari ini ia merasakan sensasi yang menyebalkan itu.

            “Lo begadang, ya?” tanya Liana.

            Harzel mengangkat bahu, ia kembali menguap, “Ya, bisa dibilang begitu.” Entah mengapa semalaman Harzel tidak bisa tidur.

            “Kita harus bisa tampil semaksimal mungkin di acara pentas seni yang diadakan setiap tahun. Tahun ini, harus lebih bagus dari tahun kemarin,” ujar pembina seni dengan semangat.

            Ika sebagai ketua eskul tari, mengacungkan tangannya, “Bu, kami kan udah buat koreografinya, tapi masalahnya Aulia mendadak keluar negeri. Dia belum bisa pulang saat pentas seni diadakan.”

            Pelatih Ballet pun angkat bicara, “Kamu belum cari pengganti?”

            “Aulia baru ngabarin semalam, Kak,” jawabnya, “Lagian, susah buat cari pengganti. Waktunya tinggal satu minggu lagi,”

            “Ya, benar,” Pelatih Ballet itu mengangguk, “Kecuali kita bisa nemuin orang yang terbiasa menari ballet.”

            Liana mengacungkan tangan, “Gimana kalo Harzel aja?”

            Harzel—yang tadinya mulai memejamkan mata dengan membenamkan wajah di atas meja—sontak kaget dan bangkit duduk. Ia melirik ke arah Liana. Meminta penjelasan. Kini, semua mata memandangnya.

            “Nggak perlu,” tukas Ika. Ia menatap pelatihnya dengan tatapan meyakinkan, “Mungkin bukan masalah besar kalo satu orang nggak ada.”

            “Tapi Ika, peran Aulia cukup penting. Kita susah menyatukan tarian tanpa satu orang.”

            Ika menggeleng, “Tapi..”

            “Jangan bawa urusan pribadi dengan urusan sekolah, Ika!” tukas pelatih itu, membuat Ika bungkam seribu bahasa, “Saya rasa, Harzel cukup berbakat.”

            Mendengar penuturan sang pelatih, pembina seni manggut-manggut menyetujui. Membuat Ika hanya bisa duduk pasrah sembari menahan amarah. Bahkan gadis itu tidak sudi melirik Harzel. Harzel tidak tahu bagaimana menjalani latihan selama satu minggu bersama gadis itu.

            “Li, kok lo bawa-bawa gue, sih?” tanya Harzel sembari mendelik sebal pada Liana.

            Jujur saja, Harzel sangat senang bisa tampil menari kembali. Tapi disisi lain, ia tidak tahu bagaimana menjalani latihan yang sama selama satu minggu dengan Ika. Melihat insiden obat tidur kemarin, ia sadar Ika bisa melakukan apa saja untuk membahayakannya.

            “Lo harus bisa nunjukkin ke semua orang kalo lo juga bisa tampil, bukan hanya di balik layar!” Jawab Liana sembari berbisik pelan agar tidak terdengar.

            “Lo nggak ngerti, Li..”

            “Pasti masalah Ika, kan?” potong Liana. Ia cukup mengerti jalan fikiran Harzel, “Terutama dengan dia. Lo harus bisa nunjukkin kalo lo bisa! Jangan takut!”

            Harzel menghembuskan nafas panjang. Liana tidak mengerti keadaannya karena sahabatnya itu tidak tahu apa-apa. Mungkin hanya Revan yang mengerti. Seandainya dia ada disini..

            “Angga nggak bisa hadir pas hari H,” ujar Vino, sebagai vokalis dan ketua eskul vokal, “Band kita kekurangan gitaris, sedangkan anak music semuanya tampil.”

            “Kita ajak aja anak baru yang namanya Revan itu. Dia kan jadi treeding topic akhir-akhir ini, mungkin karena dia tampil, acara lebih meriah lagi,” saran Widya dengan wajah yang berbunga-bunga, “Mungkin aja dia bisa jadi gitaris.”

            Harzel langsung mendelik jijik pada Widya yang mengucapkan nama Revan dengan gelagat centil. Mood Harzel berubah buruk seketika.

            “Kita cari yang pasti aja, Widya! Jangan yang mungkin-mungkin,” komentar Pembina Seni.

            “Dia bisa jadi gitaris,” Timpal Faraz yang tiba-tiba angkat bicara, “Saya jamin.”

***

            “Untuk sementara waktu, lo gantiin posisi gue dulu,” ujar Adrian pada Revan yang sedang duduk memperhatikan anak-anak latihan karate, “Jadwal kuliah gue padat. Latihannya setiap hari kamis dan minggu.”

            Revan mengangguk, “Bahkan gantiin lo selamanya juga nggak masalah.”

            Revan menatap sabuk hitam yang melingkari pinggangnya. Sejak kelas satu SMP, ia sudah menamatkan karate dan silatnya. Ia juga berkeinginan untuk latihan taekwondo, namun belum ada waktu dan kesempatan.

            Dunia yang berhubungan dengan fisik dan perkelahian membuatnya betah. Disanalah ia melampiaskan beban hatinya, meski hanya memukul genteng. Kalau saja pelatihnya dulu tidak bijak, mungkin Revan sudah menghabisi semua orang yang mencari gara-gara padanya, mengingat sifat emosionalnya yang sulit di kendalikan.

            Masih hangat dalam fikirannya ketika ia masih kelas satu SMP. Ia bertengkar dengan seseorang karena masalah sepele, yaitu kecurangan dalam permainan kartu yang dilakukan oleh teman bertengkarnya itu. Alhasil, dengan emosi yang membara, Revan menghabisi teman lelakinya itu hingga terkapar di rumah sakit selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, Dewi mengeluarkan uang banyak untuk membiayai rumah sakit maupun pengobatannya sebagai rasa tanggung jawab. Sedangkan Revan sendiri? Hanya masa bodoh. Hingga pelatih silat—yang saat itu masih kuliah olahraga—menampar pipinya keras.

            “Liat gue!” Bentak pelatih yang sangat Revan segani. Ia memegang bahu Revan keras, “Gue nggak pernah ngajarin elo buat jadi pengecut!”

            “Gue nggak pengecut,” bantah Revan, “Dia yang nantang gue duluan.”

            “Sebagai orang yang terlatih, lo nggak seharusnya menghabisi temen lo sendiri hanya karena masalah sepele!” Ia menatap Revan garang, “Sejak lo masih SD, gue ngelatih elo supaya gunain teknik silat sebaik-baiknya. Gue nggak pernah ngajarin elo buat berantem sembarangan. Dasar pengecut lo!” Ia melemparkan tubuh Revan hingga terjerembab di atas tanah. Revan hanya bisa meringis tanpa bisa membalas. Ia sangat menghormati pelatihnya.

            “Bangun!” Ia mencengkram kerah baju Revan dan membuat Revan bangkit, “Kalo lo ngerasa hebat, cepat habisin gue!”

            Revan menatap pelatihnya lekat-lekat, lalu menggeleng, “Nggak!”

            “Kenapa? Lo nggak berani?”

            “Saya sangat menghargai kakak,” jawab Revan lantang.

            Pelatih itu memegang kedua pipi Revan keras, “Dimana fikiran jernih lo saat berhadapan dengan temen lo kemarin? Dimana rasa hormat lo sebagai sesama manusia kemarin? Dimana???” Bentaknya keras, “Inget satu hal, Revan. Aplikasikan ilmu ini dalam keadaan terdesak. Ini adalah ilmu bela diri, bukan ilmu menyombongkan diri. Mengerti??”

            Revan mengangguk. Ia mencerna kata-kata pelatihnya dan menyadari bahwa yang ia lakukan adalah salah. Benar-benar salah. Revan terlalu larut dalam emosinya hingga tidak dapat berfikir jernih lagi.

            Pelatih yang sudah ia anggap sebagai kakak itu memeluknya, Revan menangis terisak-isak dipelukannya, melepaskan segala gundah yang ia rasakan, “Gue suka sifat lo yang pemberani, tapi anak laki-laki nggak boleh cengeng!” Ia melepaskan pelukannya, membuat Revan langsung mengusap air matanya, “Dan satu lagi,” tambahnya, “Anak laki-laki nggak boleh gegabah!”

            Kata-kata lelaki yang sangat ia segani itu tak pernah ia lupakan hingga sekarang. Termasuk insiden itu. Insiden berupa hantaman keras yang menimpanya saat ia tengah duduk di kelas dua SMP.

Kala itu, Revan berlarian menuju rumah pelatih yang sangat ia kagumi luar dan dalam, sembari membawa sebuah piala atas kemenangannya dalam perlombaan silat antarkota. Namun lelaki itu justru melihat pelatihnya terbaring pucat, serta pecahan tangis di sekelilingnya. Revan melihat dengan jelas, orang yang ia kagumi kini tak bernafas lagi. Kematiannya disebabkan karena menyelamatkan wanita yang hendak diperkosa. Namun setelah membabak belurkan pelakunya, ia ditusuk pisau.

            Revan terduduk lemas, sebulir air mata menetes dari pelupuk matanya. Namun, mengingat semua kata-kata yang dilontarkan pelatihnya, Revan—yang masih kelas 2 SMP—mengusap air matanya dengan cepat.

            “Anak laki-laki nggak boleh cengeng!”

***

            Harzel melangkahkan kaki sembari tertunduk. Hari ini adalah hari pertama ia bergabung dalam group Ballet. Entah apa yang akan terjadi padanya. Gadis itu sudah pasrah. Ia dan Ika akan terus berhadapan dalam satu minggu. Harzel tidak takut sama sekali dengan orang yang bernama Ika Marissa. Hanya saja, ia takut Ika berbuat sesuatu dan ia tidak bisa apa-apa. Jaringan Ika begitu besar. Siapa yang tidak tahu dengan Ika Marissa? Ratu terkeren di Bright Star.

            Atas kejadian kemarin, Harzel merasa sangat bodoh. Kalau saja tidak ada Revan, mungkin ia sudah tertidur di kedai itu. Untuk satu minggu ini, ia tidak tahu apakah ia bisa segesit Revan yang selalu jadi pahlawan baginya? Apakah ia bisa melakukan semuanya sendiri tanpa campur tangan lelaki itu?

            Harzel menghempaskan ranselnya, lalu duduk di sebelah Keyla. Membuat teman semejanya itu mendelik Heran.

            “Lo kusut banget,” Komentar Keyla sembari menyerngitkan dahi, “Lo nggakpapa?”

            Harzel menggeleng, “Gue pusing banget.”

            Harzel melirik ke arah kirinya, melirik Revan yang tengah berkumpul dengan teman-teman lelakinya sembari tertawa terbahak-bahak. Entah mereka sedang membahas apa.

            “Kenapa?”

            Harzel menatap Keyla lekat-lekat, “Gue dipilih sebagai group ballet untuk tampil di pentas seni minggu depan,” Ia menggigit bibir bawahnya, “Gue bakal ketemu Ika satu minggu ini. Dia bisa ngelakuin apa aja.”

            Keyla mendelik bingung, “Setau gue, kasus lo dan Ika udah lama nggak kedengeran lagi. Kenapa lo harus takut, sih?”

            Harzel menarik nafas dan menghembuskannya. Percuma. Ia takkan bisa membuat Keyla mengerti jika tidak menceritakan semuanya dari awal. Harzel bingung, ia tidak bisa cerita apa-apa tentang masalah ini, termasuk pada Misella sekali pun. Ia hanya bisa menceritakannya pada Revan. Ah! Kenapa seakan-akan ia selalu butuh lelaki itu?

            “Gue nggaktau, Key!”

            Harzel langsung berdiri dan melangkahkan kaki dengan gegabah. Sialnya, kakinya tersandung di kursi. Sontak saja tubuhnya terjerembab jatuh ke lantai. Membuat semua orang meledakkan tawanya. Kecuali Keyla dan.. Revan. Lelaki itu menatap Harzel yang meringis kesakitan. Ia hendak bangkit untuk membantu, namun gadis itu langsung berdiri dibantu Keyla dan Sasha. Kemudian dengan cepat, Harzel berlari keluar kelas. Sendirian.

***

            Harzel terduduk di belakang deretan kelas 12 IPA, sembari membenamkan wajah di lututnya. Ia tidak menangis. Mungkin belum. Namun, tertawaan teman-temannya.. membuat hatinya teriris sekarang. Ia butuh seseorang untuk bersandar. Ia butuh seseorang untuk menceritakan betapa sakit hatinya menyadari bahwa di luar sana banyak orang yang membencinya karena propaganda Ika.

            Plukk!!

            Harzel mendongakkan wajahnya. Sesuatu yang sangat keras menimpa kepalanya. Gadis itu merasakan rambutnya basah, darahnya bercucuran meski tidak terlalu deras.

            Pandangannya mengabur seketika, semuanya terasa berguncang seperti gempa. Mau tidak mau, air matanya menetes karena sakit di kepalanya yang cukup dahsyat. Ia terduduk lemas, lalu meraba kepalanya. Meski pandangannya mulai mengabur, ia bisa melihat tangannya penuh oleh darah segar.

            Keterlaluan! Siapa yang melakukan semua ini?

            Harzel hanya berharap, seseorang menemukannya sebelum ia benar-benar kehabisan darah. Dan sebelum kemungkinan yang lebih buruk akan terjadi.

***

            Revan membaca secarik tulisan dari kertas putih yang melapisi batu itu. Batu yang tergeletak di sebelah Harzel tepat ketika ia menemukan Harzel yang hampir kehilangan kesadaran karena kepalanya berdarah. Batu yang menjadi penyebab Harzel berada di ruang UKS sekarang.

            Berhenti mengambil semua yang gue punya, Harzel!!

            Revan meremas kertas itu. Kesal. Baginya, peneror ini kampungan. Teror seperti ini hanya akan membuatnya ketahuan dan mati kutu dengan cepat. Entah apa yang difikirkan oleh peneror itu. Sungguh tidak modern!

            “Harzel!!” Teriak histeris dari Sasha, Liana, dan Keyla sekaligus. Sedangkan teman-teman lainnya hanya menatap Harzel khawatir.

            Bimo mendekati Revan, “Kejadiannya gimana, sih?”

            Revan mengangkat bahu, “Entahlah, gue nemuin Harzel saat dia udah pingsan,” jawab Revan. Rahangnya mengeras menahan kesal, “Ada orang jahat yang akhir-akhir ini mau nyelakain Harzel.”

            Semua teman-teman terdekat Harzel mengangguk. Keyla yang sedari tadi terdiam, mengamati raut wajah Revan yang terlihat berbeda.

            “Gimana dong? Padahal, hari ini Harzel harus latihan ballet,” ujar Sasha dengan raut wajah khawatir.

            “Latihan ballet?” tanya Revan sembari menyerngitkan dahi.

            “Harzel terpilih menjadi salah satu anggota tim ballet yang akan tampil di pentas seni minggu depan.”

            “Oh,” Faraz memasang tampang garangnya, “Ini pasti kerjaan Ika dan gengnya! Dia iri karena Harzel terpilih.”

            “Huss! Jaga ucapan elo!” Ketus Sasha.

            “Omongan Faraz bisa aja bener,” timpal Bimo, ia memelankan suaranya, “Tapi kita nggak boleh gegabah! Kita tau sendiri Ika itu anak orang kaya, kita bisa habis kalo dia udah marah karena merasa dituduh.”

            Revan hanya mendengarkan celotehan temannya sembari menatap Harzel yang kini belum sadar juga. Ia mencerna kata-kata yang dilontarkan teman-temannya. Kini, ia mengambil keputusan atas tawaran Faraz kemarin.

            “Raz,” panggilnya pelan, “Gue bersedia jadi gitaris.”

***

            “Duduk..duduk!” Tuntun Keyla seakan-akan Harzel baru keluar dari ruang operasi.

            Harzel tertawa geli, lalu duduk di salah satu bangku yang telah disediakan Keyla. Bimo, Faraz, dan Revan langsung mendatanginya.

            Bimo mengedipkan sebelah matanya sembari memetik gitar, “Lo mau gue nyanyiin??”

            Liana menepuk lengan Bimo, “Gue aja nggak pernah lo nyanyiin!”

            “Eitzz!” Bimo menangkap tangan pacar kesayangannya, “Masa’ sama Harzel aja cemburu, sih?”

            “Tenang aja, Li,” timpal Harzel, “Bimo bukan tipe gue.”

            Bimo langsung memetik gitarnya membentuk melodi yang indah. Harzel tersenyum mengingat Bimo hafal lagu kesayangannya.

            Harzel melirik Revan sekali lagi. Ia tersenyum tipis. Kemudian suara merdu gadis itu mulai bergemuruh. Membuat Revan mendelik heran sekaligus takjub. Seketika, ia langsung menyukai suara khas gadis itu.

            “Puisinya dong, Zel,” Pinta Faraz, “Menurut gue romantis.”

            Harzel mengangguk, ia kembali melirik Bimo yang tengah memetik gitar membentuk melodi yang pas untuk sebuah puisi. Harzel mulai melantunkan puisinya dengan lantang. Entahlah kalimat itu puisi atau tidak. Namun kalimat itu bagaikan prinsip sebuah Princess Harzel mengenai jatuh cinta.

Dari jauh, aku tak dapat menghentikan mataku untuk melihatmu.

Kau mendekat, sontak aku lupa cara bernafas.

Semakin dekat, jantungku berdebar dua kali lipat.

Hinggu ku takut kau dapat mendengarnya.

Itulah sederhananya.

Jatuh Cinta.

            Dan lagi-lagi—suara lembut dan tegas Harzel ketika melantunkan kalimat puitis—menciptakan getaran halus yang seketika menyusup di dada lelaki blasteran Inggris itu. Revandira Louis Papinka hanya bisa mengerjap beberapa kali sembari mengatur detak jantungnya sendiri.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dede_pratiwi

    seperti lagi baca novel terjemahan. hehe. bahasanya enak dan mudah dipahami. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Irresistible
695      501     1     
Romance
Yhena Rider, gadis berumur 18 tahun yang kini harus mendapati kenyataan pahit bahwa kedua orangtuanya resmi bercerai. Dan karena hal ini pula yang membawanya ke rumah Bibi Megan dan Paman Charli. Alih-alih mendapatkan lingkungan baru dan mengobati luka dihatinya, Yhena malah mendapatkan sebuah masalah besar. Masalah yang mengubah seluruh pandangan dan arah hidupnya. Dan semua itu diawali ketika i...
My Sunset
7193      1565     3     
Romance
You are my sunset.
Azzash
302      248     1     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...
Love Dribble
10497      2019     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
Arion
1124      640     1     
Romance
"Sesuai nama gue, gue ini memang memikat hati semua orang, terutama para wanita. Ketampanan dan kecerdasan gue ini murni diberi dari Tuhan. Jadi, istilah nya gue ini perfect" - Arion Delvin Gunadhya. "Gue tau dia itu gila! Tapi, pleasee!! Tolong jangan segila ini!! Jadinya gue nanti juga ikut gila" - Relva Farrel Ananda &&& Arion selalu menganggap dirinya ...
Pisah Temu
1027      553     1     
Romance
Jangan biarkan masalah membawa mu pergi.. Pulanglah.. Temu
Frekuensi Cinta
288      241     0     
Romance
Sejak awal mengenalnya, cinta adalah perjuangan yang pelik untuk mencapai keselarasan. Bukan hanya satu hati, tapi dua hati. Yang harus memiliki frekuensi getaran sama besar dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Frekuensi cinta itu hadir, bergelombang naik-turun begitu lama, se-lama kisahku yang tak pernah ku andai-andai sebelumnya, sejak pertama jumpa dengannya.
Frasa Berasa
65355      7326     91     
Romance
Apakah mencintai harus menjadi pesakit? Apakah mencintai harus menjadi gila? Jika iya, maka akan kulakukan semua demi Hartowardojo. Aku seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Batavia. Kekasih hatiku Hartowardojo pergi ke Borneo tahun 1942 karena idealismenya yang bahkan aku tidak mengerti. Apakah aku harus menyusulnya ke Borneo selepas berbulan-bulan kau di sana? Hartowardojo, kau bah...
Tentang Penyihir dan Warna yang Terabaikan
7830      2196     7     
Fantasy
Once upon a time .... Seorang bayi terlahir bersama telur dan dekapan pelangi. Seorang wanita baik hati menjadi hancur akibat iri dan dengki. Sebuah cermin harus menyesal karena kejujurannya. Seekor naga membeci dirinya sebagai naga. Seorang nenek tua bergelambir mengajarkan sihir pada cucunya. Sepasang kakak beradik memakan penyihir buta di rumah kue. Dan ... seluruh warna sihir tidak men...
Got Back Together
351      288     2     
Romance
Hampir saja Nindyta berhasil membuka hati, mengenyahkan nama Bio yang sudah lama menghuni hatinya. Laki-laki itu sudah lama menghilang tanpa kabar apapun, membuat Nindyta menjomblo dan ragu untuk mempersilahkan seseorang masuk karna ketidapastian akan hubungannya. Bio hanya pergi, tidak pernah ada kata putus dalam hubungan mereka. Namun apa artinya jika laki-laki hilang itu bertahun-tahun lamanya...