Mata beralih keobjek sempurna yang baru memasuki gerbang Rain's Town Academy yang reot dimakan usia. Kayu-kayu lapuk penyangga papan nama terkikis hujan yang setia mengguyur wilayah sepi mentari itu. Bisik-bisik mulai mengalun sebagai awal kedatangan. Bahkan beberapa teriakan muncul sebagai tanda kekaguman. Dan berbagai khayalan tak lupa memenuhi pikiran setiap remaja putri bersia 16 sampai 18 tahun yang tengah mengagumi para cowo murid baru.
"Keren."
"Apa mereka dari luar negeri?"
"Aa ... apa mereka akan dikelasku ya?"
Dan berbagai bisikan saling bersahutan mengganggu telinga.
Seorang remaja surai hitam kusut berkuncir dua mendesah, terganggu. Mengalihkan perhatiannya dari buku tebal sekilas. Menatap dengan mata shapirrenya dari balik kacamata kearah tiga pemuda yang tengah menutup pintu Volvo mereka. Tiga orang pemuda kembar identik yang menampilkan ekspresi berbeda. Dengan nuansa pakaian yang sepertinya begitu menggambarkan kepribadian mereka. Gadis itu kembali mendesah lelah. Kenapa teman-temannya bersikap sebegitu hebohnya? Seperti anak kecil yang diberi kalung bersinar saja.
Meski memang dia mengakui jika dilihat lekat-lekat mereka memang mempesona. Terlalu mempesona malah. Tidak manusiawi. Terlalu sempurna. Uh dan sebagainya lah.
Seorang yang keluar dari kursi pengemudi berdegradasi merah dan hitam. Menggunakan topi yang begitu rendah, hingga wajahnya tak bisa dilihat dengan jelas. Tapi kelihatannya wajah itu adalah wajah yang tak pernah tersenyum selama ratusan tahun. Kelihatan jelas dia adalah orang yang antisosial. Sepertinya, mungkin. Namun melihat raut wajah tegas, dan mengerikannya serta tampannya. Dia takkan menjadi objek bullying sepertinya. Menggunakan jaket yang resletingnya di tarik hingga ke leher. Tubuhnya jelas atletis, meski tertutup dengan jaket. Tapi cara berdiri cowo itu membuatnya teringat dengan atlit karate, atau atlit lari. Satu tangannya tetap setia dibalik saku. Keren. Sedangkan tangan lainnya menutup pintu mobil dengan keras. Terlihat tak nyaman dengan hujan, atau mungkin teriakan dari teman-teman si gadis. Menyeramkan jika kau bertanya tentang kesan tentang cowo merah pada gadis itu.
Teriakan teman sekelasnya semakin menjadi. Jika memungkinkan dengan senang hati dia akan menutup telinganya. Dan jelas sekali gadis itu lebih menyukai mendengarkan music rock dengan volume keras. Dari pada teriakan teman-temannya. Setidaknya music rock lebih bernada. Meski jelas dia tak menyukainya.
Di sisi penumpang depan, seorang pemuda kembali keluar. Berbicara cepat kepada si cowo menyeramkan. Meski gadis itu sama sekali tak bisa mendengarkan. Kelihatannya dia sedang menasehati si cowo menyeramkan. Dan dalam hati dia setuju tentang acara menasehati itu. Perasaannya mengatakan cowo itu butuh perintah untuk tersenyum. Si cowo menyeramkan menurunkan topinya lebih rendah. Menyembunyikan wajahnya di balik topi. Sementara cowo yang menasehatinya menghela nafas lelah. Mungkin dia sudah capek menasehati kakaknya itu. Si cowo menyeramkan kelihatan tak mempedulikan itu sih.
Dia kakaknya ya?
Penampilannya jelas rapi. Degradasi emas, dan topi dibalik kebelakang. Memiliki mata hitam, namun terasa menenangkan. Teduh dan jelas-jelas sangat dewasa. Meski umurnya mungkin setahun lebih tua darinya. 17? Entahlah ... dari sikapnya, Olivia tak bisa menentukan secara pasti berapa umur pemuda itu. Dia tersenyum ramah, meski kemudian kembali menelongok kedalam mobil. Mungkin memarahi saudaranya yang lain. Tubuhnya atletis. Tentu sama seperti si cowo menyeramkan. Dibalut jaket yang resletingnya hanya di tarik setengah badan, hanya sampai di dadanya. Didalamnya ia memakai kaus putih ringan. Sementara celananya panjang, seperti si cowo merah.
Satu lagi yang terakhir keluar dari mobil sambil nyengir lebar. Kelihatan sekali dia yang paling bersemangat dari yang lain. Paling aktif, sekaligus mungkin paling nakal. Tubuh mereka sama-sama tinggi. Gadis itu tak bisa memperkirakan secara pasti tinggi mereka. Tapi jelas jauh lebih tinggi darinya yang tergolong mungil. Mungkin 25 cm lebih tinggi darinya yang 150 cm. Jelas sekali klub basket akan dengan mudah menerima mereka. Gadis itu menyebutnya si cowo periang. Matanya terlihat berkilat senang entah karena apa. Mungkin memang begitu sejak dia dilahirkan. Penampilannya juga sangat santai. Jaket yang tak di tutup, dan topi miring. Rambut dan mata sehitam malam yang sama, dan degredasi biru langit. Terasa ringan, dan tanpa beban. Bahkan meski dia menutup pintu sekeras si cowo pertama, gadis itu tak merasa takut. Namun malah merasa geli. Mungkin si cowo periang membalas si cowo merah.
Si kakak tertua -yang paling dewasa, menggeleng pelan. Terkekeh geli ketika melihat si cowo pertama mendengus kesal. Tanpa sadar gadis yang sedari tadi memperhatikan mereka terkikik geli. Mereka ini benar-benar. Bahkan mereka terlihat sama sekali tak peduli jika menjadi pusat perhatian siswa dan siswi dari lantai satu maupun dua. Seperti sudah terbiasa? Tentu cowo-cowo setampan, dan sesempurna mereka akan menjadi idola sekolah sebanyak apapun mereka pindah. Tipikal cowo keren, anak orang kaya.
Kembali gadis itu tertawa kecil melihat cowo periang melambaikan tangan menambah teriakan 'kyaa' dari seluruh sekolah. Sementara si cowo merah mendengus, dan meninggalkan tempat parkir sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana. Kelihatan sekali dia jengah dengan kelakuan si cowo periang. Cowo emas menggeleng pelan, dan ikut masuk ke Academy setelah memberi senyum ramah yang membuat gadis itu tertegun. Dia sangat tenang, dan ramah.
"Hei!!! ..."
Si periang merengut, jelas dia mengatakan sesuatu yang tak bisa ditangkap telinga akibat banyaknya keributan. Mengikuti keduanya meski sesekali masih melambaikan tangan. Narsis. Ngartis. Dan sebagainya. Tapi itu malah membuat si gadis sedikit tertarik. Err sedikit, tentu si gadis kacamata masih sadar tempat untuk menyukai si cowo yang bakal dapet banyak fans dalam waktu dekat. Tapi meski begitu dia mengakui setiap daya tarik mereka. Cool, Ramah, dan Friendly. Wow ... sekolah ini mendapat tiga pangeran sekolah yang seru.
"Olivia!"
Seseorang menepuk bahunya. Membuatnya berjengit, dan menjatuhkan buku trigometri yang sedari tadi dipegangnya. Cewe yang baru saja dipanggil Olivia itu berbalik. Menatap kesal pada temannya yang dengan seenaknya mengagetkannya.
"Sarah Davis. Come on!!" desisnya, "Jangan mengagetkanku, please!"
Sarah mengangkat bahu acuh. Dan kembali memoleskan bedak yang jelas-jelas wajahnya masih terlampau sempurna. Satu dari kumpulan cewe cantik disekolahnya. Pindahan dari Arizona. Jadi tubuhnya cukup atletis, dan putih namun tidak pucat. Tipe-tipe anak atletis. Tapi jujur saja, cewe pirang sebahu ini tak suka berkeringat. Merusak make up-nya atau apalah. Olivia tak mengerti, toh dia hanya seorang kutu buku. Ia mendudukkan dirinya di sebelah Olivia. Mengusap kursi yang didudukinya pelan.
"Tempat yang akan diduduki salah satu dari para cowo keren itu jika sekelas," Gumamnya, "Duduk sendiri ternyata menyenangkan."
"Huh ... bagus sekali, Sarah," balas Olivia malas. Mengambil buku Trigonometrinya yang terjatuh. Sebenarnya dia tak yakin apa itu sebuah pujian, atau sindiran. Sama-sama menyebalkan ketika masuk ditelinga. Karena memang faktanya dia duduk sendiri karena tak memiliki teman. Oh yeah ... apa ia harus bersyukur dengan fakta bahwa dia menjadi objek bullying hingga ia bisa duduk dengan salah satu cowo tampan itu. Hell no ... Dia bakal dapat masalah yang lebih besar. "Tapi jika itu membuatku makin berurusan dengan Clavis. Kayaknya bakal jadi mimpi buruk."
Clavis adalah cewe paling populer disekolahnya. Anak donatur terbesar. Wajar kalau dia jadi yang paling di kagumi. Dia cantik. Tentu saja. Populer, kaya, modis, tinggi, uh ... yang pasti dia sangat cantik. Sayang sekali dia senang membully orang-orang. Khususnya Olivia, entah karena apa. Rambutnya coklat cerah, dengan iris mata senada meski dia sering memakai lensa kontak. Dia tidak memiliki masalah dengan matanya. Tidak sepertinya yang jika kaca matanya dilepas dia takkan bisa melihat. Lensa kontak itu cuma fashion. Dan ah sudahlah ... tunggagannya adalah yang terbaik disini. Dibanding mobil-mobil reot tua seperti milik teman-temannya. Tapi dengan adanya Volvo itu, mungkin pemilik gelar mobil terbaik sudah bergeser.
Sarah terkekeh. "Terburuk." Ucapnya menyetujui.
Menatap keluar sekilas, dan kembali memperhatikan teman sekelas mereka yang duduk dibangkunya masing-masing memulai gosip, dan tentu saja berfansgirling.
Mata Olivia kembali meniti buku, mengabaikan Sarah yang mendengus melihatnya terlalu sibuk dengan Trigonometri. Memang ada ujian hari ini, dan tentu Olivia takkan melewatkan waktu belajarnya hanya untuk berfansgirling. Apa lagi untuk para cowo keren yang nggak bakal mau meliriknya. Buat apa. Bahkan jika mereka bertabrakan. Si cowo keren bakal lupa seketika. Olivia jadi ragu, jika mungkin mereka sebangku nanti. Mungkin dia harus sering-sering menyebutkan namanya, kalau-kalau mereka lupa. Namun dia masih menaruh harapan pada si cowo emas. Soalnya dia kelihatan bersahabat. Namun untuk kedua saudaranya, terutama si cowo tebar pesona. Entahlah ... Olivia takkan bergitu memikirkannya.
Olivia tersentak ringan. Menatap bukunya yang mau tak mau harus direlakannya ditarik menjauh oleh satu-satunya teman dikelasnya.
"It's come on, Olivia!" desahnya heran. "Aku tahu hari ini ada ujian. Tapi please, lupakan itu sejenak. 5 menit saja, oke? Kau akan tetap jadi antisosial kalau terus begitu."
Olivia menyerngit heran. Ia tahu. Tahu betul malah. Dia adalah golongan terbelakang, yang bahkan jadi objek bullyan. Teman disekolahnya pun bisa di hitung dengan jari diluar club buku, dan petugas perpustakaan. Dan tentu saja, gadis didepannya, dan si ketua OSIS galak menjadi salah satunya. Tapi mengorbankan waktunya untuk mengobrol. Sedangkan sebentar lagi Mr. Hill akan datang dengan kertas ujian? Well ... itu pilihan terakhirnya. Tapi ketika ia melihat wajah temannya yang jelas ingin membantu. Uhh ...
"Demi dewa Hermes, hanya 5 menit." sepakat Olivia. Sarah nyengir. Kelihatan senang menarik Olivia dari dunia bukunya. "Jangan lebih!"
"Janji," katanya sambil memberikan benda kesayangan Olivia. "Oke ... aku tahu kau memperhatikan mereka. Dan berbeda dari yang lain kau terlihat bagaimana aku mengatakannya ... tidak terpesona?"
"Mengorbankan waktuku untuk bergosip," gumam si cewe kuncir dua. "Bagus sekali."
Sarah menyerngit, "Hei... Jangan menggerutu. Ayolah ..." katanya. Menarik nafas dan kembali melanjutkan. "Dari semua orang yang melihatnya, dan itu termasuk aku. Mereka semua terpaku. Kau tahu bukan? Terpesona. Hanya berteriak. 'kyaaa mereka tampan sekali', atau semacamnya."
"Ya." responsnya ogah-ogahan. Membuat cewe pirang itu mendengus kesal melihat reaksinya. "Jangan ngambek. Dan lalu?"
"Ya ya ya." katanya, sambil memutar bola matanya jengah. Yang kemudian berubah semangat entah karena apa. Membuat Olivia begidik, karena waktu 5 menit tidak akan cukup untuk introgasi. "Aku melihatmu sekilas. Tapi kau terlihat. Ehm... bagaimana mengatakannya, biasa saja? Kau bisa menganggap mereka teman. Alih-alih obyek yang diagungkan. Kau bahkan tertawa. Jujur aku tak tahu apa yang kau tertawakan. Dan aku takkan berpikir kau menertawakan penampilan mereka. Oh God... penampilan mereka jelas luar biasa. Jauh dari kata lucu."
"Jika maksudmu aku harus tertarik dengan mereka, dan ikut-ikutan seperti yang lain mengejar-ngejar. Enggak deh. Aku masih sadar tempat," katanya acuh. "Dan yang aku tertawa itu, cara mereka berbicara satu sama lain lucu. Apa lagi si cowo periang."
"Hoo..." Sarah mengerling jahil, "Kau tertarik dengan Mike Rodriguez ... heh?"
"Mike Rodriguez?" ulang Olivia, "Itu namanya?"
"Oh demi dewa apapun lah, kau sama sekali tak tahu namanya?" katanya tak percaya. "Oh kau benar-benar ketinggalan berita, Ny. Hale."
Olivia mengangkat bahu. Mengangguk, dan kembali menatap luar yang masih terguyur gerimis yang abadi. Oh ... Olivia jadi bertanya-tanya, bagaimana rasanya tinggal di tempat dengan banyak matahari mengingat sejak kecil dia terjebak di kota ini. "Kau tahu betul siapa aku."
"Jangan murung." kekeh Sarah. "Okay ... mereka kembar. Jelas identik, kecuali sikap mereka yang jauh berbeda. Si cowo pertama, Jason Rodriguez. Cowo kedua, Stephen Rodriguez. Dan kau tahu yang satu lagi."
Seperti yang diduganya, kembar. Tentu wajah mereka, dan penampilan mereka sangat mirip. Tak heran jika mereka kembar. Olivia kembali menatap Sarah, dan membuka bukunya lagi saat 5 menit mereka telah habis. Namun pikirannya cukup tak fokus untuk memakan isi buku. Kedatangan mereka mempengaruhinya juga?
Saat bell berdering Sarah buru-buru menyingkir. Kelihatan sekali tak mau berurusan dengan guru killer pengajar Trigonometri yang membawa lembar ujian. "Olivia. Aku akan kembali ke bangku." Sementara Olivia hanya terkekeh melihatnya. Melambaikan tangannya kecil, dan membiarkan dirinya kembali sendirian. Sudah terbiasa.
baca prolognya sebentar berasa lg settingan film twilight, kota hujan hehe. but nice story, kusampai terlarut dalam pensetinggan. udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter BAB 1 : Olivia Hale