PROLOG
"Apa dok jadi anak saya lumpuh total?"
Dokter Ghana mengangguk pelan.
Seorang Ibu yang masih berumur tiga puluh enam tahun menahan perih di matanya, ia berbicara lagi dengan suara gemetar. "Jadi anak saya nggak bisa jalan 'lagi' Dok?"
Lagi, dokter dengan paras tampan itu mengangguk pelan.
"Apa nggak ada cara agar bisa menyembuhkannya, Dok?" seorang Ibu itu menutup mulutnya. Bermaksud menahan tangisnya agar tidak keluar.
Dokter Ghana terdiam sebentar, "Mungkin bisa kemoterapi, tapi saya tidak menjamin itu berhasil karena anak ibu mengalami lumpuh total."
Air mata seorang Ibu yang bernama Valerie menetes, "Dok kalo anak saya tidak bisa menerima ini bagaimana?" Air matanya mulai mengalir deras.
"Ibu bicarakan baik baik sama anak ibu ya, memang sulit dipercaya tapi inilah kenyataannya. Karleen memang akan syok, tapi itu hanya diawal. Nanti ia akan terbiasa."
"Tapi dok.."
~`~`~
KARLEEN FAYOLA CAYA
"Mamah kapan karleen bisa jalan lagi?" Beratus kali Karleen bicara namun fokus mamahnya hanya pada laptop di hadapannya.
"Mamah, Karleen lagi ngomong sama Mamah." ucapnya lagi dan kali ini berhasil membuat Mamahnya menoleh.
"Aduh Karleen kamu berisik banget sih! Nggak tau Mamah kagi kerja apa?!" omelnya lalu kembali menatap laptop juga berkas berkas yang membuat jarak antara ia dengan mamahnya. Mereka dekat namun Karleen merasa Mamahnya tak dapat ia gapai, ia merasa berada sangat jauh dengan Mamahnya.
"Tapi Karleen kangen sama Mamah, pengen ngobrol sama Mamah tapi Mamah selalu sibuk sama kerjaan Mamah."
Ponsel putih berlogo apple berdering membuat sang pemilik langsung mengangkatnya. "Halo iya ada apa Yun?"
"..."
"Oke, baik saya segera kesana." Setelah mematikan ponsel, Valerie membereskan laptop juga berkas-berkasnya yang tergeletak di atas permadani mahal di ruang keluarga rumahnya.
"Mamah mau kemana?"
"Meeting. Tadi sekretaris Mamah telpon katanya ada meeting mendadak." Setelah selesai Valerie masuk ke dalam ruangan kerjanya lalu masuk ke kamarnya untuk ganti baju.
Mamah kapan ada waktu buat Karleen?
~`~`~
Duduk di atas kursi dengan dua roda besar di sampingnya dan dua roda kecil di bagian kakinya. Terdiam di samping tempat tidur sambil menatap bingkai foto berwarna hitam. Ia menatapnya nanar, ingatan masa lalu kembali hadir yang membuat hatinya kembali perih. Ia mengambil bingkai foto yang di dalamnya terdapat potret satu keluarga yang sangat bahagia, potret dengan wajah berseri dan tertawa. Foto itu diambil kala mereka sedang berlibur ke pulau kecil namun indah bernama Ternate. Foto itu diambil sebelum kecelakaan itu menyita seluruh kebahagiaannya.
Andai dulu mereka menuruti kata Nenek agar tidak berlibur saat musim hujan. Pasti sekarang ia masih bisa berdiri ditemani oleh Mamah dan Ayahnya. Andai ia tidak keras kepala pasti semuanya akan baik-baik saja. Andai ia tidak terbuai oleh indahnya pulau Ternate, pasti sekarang keluarganya masih utuh. Semenjak kecelakaan itu, Ayahnya pergi meninggalkannya yang membuat Mamahnya depresi dan akhirnya memilih untuk menyibukkan diri sehingga Karleen diabaikan. Ia juga kehilangan Nenek yang meninggal karena struk dan harus menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa berlari seperti dulu. Jangankan berlari, berdiri saja ia tidak mampu.
Sebelum memeluk bingkai foto itu, ia membalik terlebih dahulu dan terdapat tulisan.
Karleen kangen Ayah, kangen Mamah. Karleen nggak akan ngerasain kebahagiaan kayak di foto ini lagi.
~`~`~
"Non Karleen nggak mau makan? Dari pagi Non belum makan apa-apa."
Gadis cantik berkulit putih dengan rambut hitam pekat dan mata bulat yang bening itu menggeleng tanda tak mau, "Nanti aja, Bi."
"Aduh Non, dari tadi Non bilang nanti terus tapi nggak makan-makan. Ayo Non makan kalo nggak nanti Non sakit. Nanti Bibi juga yang kena marah Nyonya." Seorang pembantu yang sudah berkerja lebih dari 20 tahun dirumah besar itu terus saja memaksa gadis cantik yang kesepian untuk makan.
Setelah hening beberapa saat, terdengar langkah kaki memasuki dapur, setelah dilihat itu Valerie.
"Mamah! Karleen mau makan tapi disuapin Mamah ya!" Ucapnya saat melihat Valerie sudah kembali dari bekerjanya.
"Makan sendiri kenapa sih?! Manja banget! Nggak tau orang capek apa?!" Geram Valerie lalu menghampiri kulkas dan membukanya untuk minum air dingin.
"Bi tolong siapin air hangat ya, saya mau mandi nih capek banget." Setelah menaruh gelas dimeja makan ia berjalan keluar dari dapur. Meninggalkan Karleen yang masih menatapnya.
Bi Irah mengangguk meskipun Valerie tidak melihat lalu mengatakan, "Siap nyonya." Dengan sedikit berteriak agar Valerie bisa mendengarnya.
Karleen menatap Bi Irah dengan mata memanas, "Itu yang bibi bilang bakal marahin Bibi kalo Karleen nggak makan?"
Bi Irah diam yang membuat Karleen meninggalkannya. Memutar rodanya dengan hati yang kembali sesak. Bi Irah menatap punggung Karleen, menatapnya prihatin. Ia juga seorang ibu, ia bisa merasakan yang dirasakan gadis itu.
Tuhan lagi ngasih ujian buat Non Karleen. Yang sabar ya, Non.
~`~`~
"Non nggak mandi? Ini udah sore, Non."
"Iya nanti Bi sebentar lagi." Karleen yang sedang menggambar sesuatu menghiraukan Bi Irah yang berdiri di ambang pintu.
"Yaudah tapi jangan lama-lama ya Non, nggak baik mandi malem-malem untuk kesehatan."
Karleen terdiam sebentar, kemudian mengangguk pelan yang membuat Bi Irah pergi.
Selama ini yang Mamah Karleen itu Mamah atau Bi Irah sih?
~`~`~
"BIII!!!" Teriak Valerie yang menggema di rumah besar Fayola. Bi Irah datang tergopoh-gopoh dari arah dapur.
"Iya Nyonya maaf, tadi Bibi lagi masak makan malam."
Valerie menjatuhkan tubuhnya di sofa empuk, "Karleen udah mandi Belum, Bi?"
Bi Irah terdiam kemudian menggeleng, "Belum Nyonya, katanya sebentar lagi."
"Suruh mandi sekarang, Bi."
Bi irah mengangguk, "Bibi matiin kompor dulu. Misi Nyonya." Kemudian ia pergi menuju dapur lalu setelahnya berjalan menuju kamar Karleen.
~`~`~
Tangan mungil itu memutar rodanya menuju ruangan yang selalu menjadi tempat favorit Mamahnya, ruangan yang di dalamnya selalu berada Mamahnya. Dari pagi hingga malam saat ini.
Ia membawa makanan di pangkuannya, ketika sampai ia mengetuk pintu lalu terdengar suara yang menyuruhnya masuk.
"Mah, ini udah jam 9 malem dan Mamah belum makan." Ia memutar rodanya untuk menghampiri Valerie yang masih berkutik dengan berkas-berkasnya.
"Iya nanti Mamah makan," ucapnya tanpa mengalihkan perhatiannya pada Karleen.
Karleen mengambil piring di pangkuannya kemudian menaruhnya di samping tangan Mamahnya, "Mah makan dulu, kalo sakit nanti mamah nggak bisa kerja. Mamah nggak bisa sibuk lagi." Akhir kalimat yang sebenarnya menyindir Valerie tapi tetap saja fokus Valerie hanya pada laptop dan juga berkas-berkasnya.
"Iya nanti Mamah makan." Valerie mengulang ucapannya.
"Nantinya kapan, Mah? Kalo udah malem Mamah pasti ngantuk terus ketiduran."
Kali ini Valerie menatapnya, namun dengan tatapan tajam. "Bawel banget sih kamu! Mamah kerja juga buat kamu nggak usah berisik! Nanti kalo laper juga Mamah makan."
"Tapi Karleen nggak butuh Mamah kerja buat Karleen.. Karleen butuh ngobrol sama Mamah, Karleen butuh waktu Mamah..." ucapnya lirih dengan nada lelah yang membuat Valerie menghembuskan nafas pelan.
"Kalo Mamah nggak kerja terus kita makan apa? Batu?" kali ini intonasi suara Valerie meninggi.
"Makan nasi sama kerupuk terus tinggal di rumah gubuk sekalipun Karleen nggak masalah asal Karleen bisa terus sama Mamah...."
"Keluar kamu! Bikin kepala Mamah makin pusing aja sih!" Bentak Valerie karena sudah kesal pada Karleen.
"Mah...."
"BIII!!"
"BII IRAHH!!"
"BIBI!!"
Kemudian Bi Irah datang dengan tergopoh-gopoh, "Maaf ada apa, Nyonya?"
"Bawa Karleen ke kamarnya! Suruh tidur."
Bi Irah mengangguk, "Ayo Non, Bibi antar ke kamar."
Karleen menatap piring dan juga Mamahnya yang kembali fokus pada laptop, "Jangan lupa dimakan Mah..." ucapnya sangat pelan entah Valerie mendengarnya atau tidak.
~`~`~
1. BEST FRIEND
Karleen yang sudah lulus sekolah hanya diam di rumah karena kakinya yang sudah tidak berfungsi. Ia ingin kuliah namun Mamahnya selalu melarang karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tunggu, Valerie peduli pada Karleen?
Walaupun kondisi Karleen saat ini tidak bisa berjalan namun satu orang laki-laki yang bersahabat sejak mereka kecil terus saja menemaninya. Karleen mempunyai teman walaupun hanya satu. Mereka berbeda dua tahun dan laki-laki itu lebih tua darinya, tentu.
"Karleen, udah makan?" Ucap laki-laki berponi itu ketika ia berjalan mendekati Karleen yang duduk di halaman belakang sendirian. Karleen menoleh dan melihat laki laki berponi itu duduk dikursi sebelahnya, "Udah kok."
"Jangan bohong."
"Iya, aku udah makan."
Laki-laki berponi yang bernama Brian itu manggut-manggut, "Naik ayunan yuk?" ucapnya saat melihat ayunan pantai yang terpasang di antara dua pohon tinggi yang tak jauh darinya. Mungkin hanya tiga meter.
Karleen menggeleng, "Nggak bisa naik."
Tanpa seizin Karleen, Brian langsung mendorong kursi roda Karleen menuju ayunan. "Brian aku nggak mau, nggak bisa naik." Karleen terus meracau namun tidak dihiraukan Brian. Ia terus mendorong kursi roda Karleen hingga tiba di samping ayunan itu.
Setelah sampai Brian langsung membopong tubuh Karleen dan membawanya untuk duduk di ayunan itu. Kemudian ia juga duduk di sebelah Karleen.
"Kayaknya tiduran lebih enak." ucap Brian kemudian membawa kaki Karleen yang menggantung untuk ia letakan di ayunan dan memposisikan Karleen tiduran. Setelah selesai ia juga ikut tiduran di sebelah karleen.
"Dasar tukang maksa!"
"Justru kalo bukan tukang maksa bukan aku namanya."
"Enak kan di ayunan begini? Nggak dikursi roda terus." brian memposisikan tangannya sebagai bantal sambil menatap daun-daun diatasnya.
Karleen tersenyum, "Iya ya dikursi roda terus bosen." Ucapnya lalu terkekeh.
Mereka menatap pohon yang sangat rindang sambil berbincang, lalu tak lama Bi Irah mendatangi keduanya, "Non makan dulu atuh, dari tadi Bibi suruh makan nggak mau terus."
Karleen memejamkan matanya sambil merutuki Bi Irah dalam hati. Brian langsung terduduk. "Karleen belum makan, Bi?" tanyanya sambil menatap Bi Irah.
Bi Irah menggeleng, "Dari tadi Bibi suruh makan katanya ntar mulu, Den."
Brian mendengus lalu melirik Karleen tajam, yang dilirik malah memasang wajah tak berdosanya.
Brian turun dari ayunan, "Bibi jagain Karleen sebentar ya, Brian mau ambil makan buat Karleen."
Bi Irah mengangguk kemudian Brian berjalan menuju dapur. Setelah Brian pergi Karleen menatap Bi Irah.
"Bibi kenapa dateng nyuruh aku makan sih?"
"Ya kan tadi Non Karleen belum makan."
"Tadi tuh Karleen bilang ke Brian kalo Karleen udah makan. Eh Bibi dateng-dateng nyuruh Karleen makan. Pasti abis ini dia marah sama Karleen." ucapnya dengan raut wajah sebal.
Bi Irah nyengir merasa bersalah, "Eh maaf atuh Non, Bibi kan nggak tau."
Karleen mendengus kemudian Brian datang dengan nampan berisi piring dan air putih.
"Kalo gitu Bibi permisi dulu." Bi Irah kemudian pergi.
Brian menaruh nampan itu di atas kursi roda Karleen, "Makan dulu. Ayo duduk." Brian membantu Karleen untuk duduk. Setelah itu ia mengambil piring dan duduk di sebelah Karleen.
Brian menyerahkan piring itu kepada Karleen yang membuat Karleen mengernyit. "Nggak disuapin nih?"
"Nggak," jawabya cuek.
"Yaudah nggak mau makan kalo nggak disuapin," ucapnya dengan tangan bersedekap lalu membuang muka.
Brian mendengus, "Padahal kan yang harusnya marah aku, kenapa jadi kamu?"
"Biarin! Dikira kamu doang yang bisa marah?"
Brian mendengus lalu menyendok nasi dan menyodorkannya kepada Karleen. Karleen tersenyum lebar, membuka mulutnya untuk menerima sendok yang disodorkan Brian.
~`~`~
Brian menyelimuti Karleen yang sudah terlelap. Ia tersenyum melihat gadis yang ia cintai sejak dulu sedang tertidur. Ia sangat beruntung karena telah dianggap saudara oleh keluarga Karleen sejak dulu, jadi ia bisa terus bersama Karleen.
"Aku sayang kamu, karleen. Selalu." Setelah mengucapkan itu Brian keluar dari kamar Karleen untuk kembali kerumahnya.
Setelah pintu tertutup, mata Karleen terbuka melihat pintu yang sudah tertutup rapat. "Aku juga sayang kamu, Brian. Makasih udah mau aku repotin. Makasih juga nerima aku apa adanya. Makasih juga tuhan udah ngasih Brian buat Karleen. Setidaknya ada orang yang selalu bersama Karleen apapun keadaannya." ucapnya sangat pelan dengan mata memanas namun tidak mengeluarkan air mata. Kemudian ia memejamkan matanya, benar-benar tertidur.
~`~`~
Pagi-pagi sekali Karleen sudah terbangun, ia mengelilingi rumah besar Mamahnya untuk mencarinya. Kemudian datang Bi Irah memberi tahu bahwa Mamahnya sudah pergi ke kantor sejak jam 4 pagi. Karleen hanya bisa menghela nafas. Ia memutar roda menuju ruang keluarga lalu menyalakan televisi.
Tak lama pintu diketuk oleh seseorang kemudian Bi Irah menghampirinya untuk membuka pintu yang masih terkunci.
"Eh, Den Bri--"
"Sttt jangan kenceng-kenceng, Bi. Karleennya udah bangun belum, Bi?" Ucap Brian dengan suara sekecil mungkin.
"Udah bangun Den lagi nonton televisi di ruang keluarga." balas Bi Irah tak kalah kecil.
Brian mengangguk kemudian masuk kedalam rumah besar itu, ia menemukan punggung Karleen yang rupanya perempuan itu sedang serius menonton televisi. Dari belakang b Brian menutup mata Karleen.
"Siapa sih?" Karleen memegang tangan kekar yang menutupi matanya.
"Brian pasti ya?" tebaknya.
Brian melepaskan tangannya lalu cemberut, "Yah ketauan." Kemudian ia duduk disofa sebelah Karleen.
Karleen terkekeh, "Ngapain pagi-pagi udah kesini?"
"Mau ajak kamu olahraga."
"Ngapain kan kaki aku--"
Belum sempat karleen menyelesaikan ucapannya, Brian sudah membungkam mulut karleen dengan telunjuknya.
"Justru itu, biar kaki kamu kena sinar matahari pagi. Siapa tau berpengaruh. Jangan berfikiran buat apa olahraga toh kaki gue juga udah nggak berfungsi lagi. Kalo kamu diem dirumah terus apa kaki kamu dapet vitamin dari sinar matahari?"
Karleen terdiam, tak lama ia mengangguk. "Yaudah aku ganti baju dulu."
Brian tersenyum lalu menepuk nepuk pelan kepala karleen. Ia membiarkan karleen memutar roda sendirian. Karna ia tahu jika ia terus mendorong kursi rodanya karleen akan berfikiran bahwa ia hanya bisa menyusahkan orang lain. Karleen anak mandiri. Itu yang Brian suka dari Karleen.
Setelah selesai Karleen menghampiri Brian, "Yuk."
Brian mengangguk, "Aku dorongin ya?"
Karleen mengangguk. "Biii Karleen mau keluar sama Brian ya."
"Iya hati-hati, Non." teriak Bi Irah dari dapur. Kemudian keduanya berjalan keluar.
~`~`~
"Kamu nggak capek apa dorongin aku terus?" Karleen mendongak untuk menatap wajah Brian dari bawah.
Brian menunduk sambil menggeleng, "Enggak kok."
"Beneran? Aku ngerepotin kamu ya? Kan aku udah bilang jangan ajak aku kemana-mana, aku pasti ngerep--" Belum selesai Karleen bicara. Brian sudah membekap mulut Karleen dengan tangan kanannya. Brian melepas tangannya dan berjalan ke hadapan Karleen.
"Ngomong kayak gitu lagi aku tinggalin disini."
Karleen cemberut. Kemudian Brian berjalan ke belakang Karleen untuk mendorongnya lagi.
"Brian kalo capek berhenti dulu."
Brian menggeleng, "Nggak kok tenang aja. Cuma dorong kamu yang kurus begini mah aku kuat."
Karleen mendengus. Pasalnya yang dikatakan Brian itu bohong. Tubuhnya subur, tidak kurus seperti yang dikatakan Brian. "Brian ngeledek banget sih."
Brian terkekeh. "Dibilang gendut salah, kurus juga salah. Dasar perempuan."
"Perempuan itu sensitif tau kalo ngomongin masalah berat badan." Karleen cemberut.
"Iya-iya deh maaf ya."
"Brian aku mau pulang aja deh."
"Loh kenapa? Kan aku udah minta maaf."
"Bukan karna itu, tapi mendadak perasaan aku nggak enak. Aku takut Mamah kenapa napa."
Brian menghela nafas, "Yaudah deh kita pulang." kemudian Brian mendorong kursi roda Karleen menuju rumah gadis itu.
~`~`~
"Loh Bi Mamah kenapa?" tanyanya ketika masuk ke dalam rumah dan mendengar suara muntah-muntah dari dalam kamar mandi. Brian masih setia mendorongnya di belakang.
"Nggak tau Non, tadi pulang-pulang langsung ke kamar mandi." ucap Bi Irah yang berdiri di depan pintu kamar mandi.
Tak lama Valerie keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah cemas. Ia memegang perut dan juga menutup mulutnya.
"Mamah kenapa?" tanya Karleen ketika Valerie menutup pintu kamar mandi. Valerie hanya menggeleng lalu masuk ke dalam kamarnya yang terletak di lantai atas.
Setelah Valerie pergi, wajah Karleen berubah lesu. Brian yang menyadari itu langsung mendorong Karleen membawanya menuju dapur.
"Eh Brian mau ngapain kedapur?"
"Mau masak. Kamu liatin aku masak ya."
Karleen mengernyit, "Masak apa?"
"Liat aja."
Kemudian Brian memulai aksinya, bertarung dengan alat masak dan juga sayur sayuran. Karleen menyenderkan punggungnya kesandaran kursi roda sambil mengamati Brian. Tanpa sadar senyumnya mengembang.
Kalo nggak ada kamu mungkin hidup aku kayak ruangan yang nggak ada lampu atau penerang apapun.
~`~`~
Valerie keluar dari kamar mandi di kamarnya dengan membawa tespack. Ia berjalan lalu duduk di tepi kasur, tangan kirinya memegang perutnya yang rata dan tangan kanannya memegang tespack. Ia mengamati benda itu lama, kemudian menggeleng untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ia lihat adalah salah.
"Nggak mungkin.."
"Nggak mungkin aku hamil.."
Valerie menggeleng kuat kuat. Kemudian tanpa sadar air matanya terjatuh. "Mas Ibram harus bertanggung jawab." ia mencengkram kuat perutnya dengan air mata yang mulai mengalir deras.
Valerie mengambil ponsel berlogo apple yang masih berada di dalam tas mahalnya. Dengan cepat ia mencari nama seseorang lalu meneleponnya.
Setelah tersambung Valerie langsung bicara to the point. "Mas aku mau ketemu.."
"..."
"Aku mau ketemu sekarang!"
"..."
"Di cafe bootworth."
"..."
Kemudian sambungan telpon dimatikan oleh Valerie. Ia memasukkan tespack dan juga ponselnya ke dalam tas. Berdiri di depan cermin untuk merapihkan penampilannya. Setelah dirasa sudah rapih ia keluar kamar dan berjalan menuju mobilnya. Saat melewati Karleen dan Brian yang sedang makan di ruang keluarga, Karleen terus bertanya 'akan pergi kemana ia?' namun Valerie tetap berjalan cepat.
Setelah sampai di cafe yang ia tuju. Ia memilih kursi dipaling pojok agar pembicaraannya tidak terdengar oleh orang lain. Tak lama seseorang yang ditunggu datang juga, sempat mencari keberadaan Valerie namun akhirnya ia menemukan Valerie.
Laki-laki berjenggot tipis dengan tubuh terbalut jas hitam membuatnya terlihat sangat tampan, itu duduk dihadapan Valerie. "Ada apa?" tanya Ibram to the point.
Valerie mengeluarkan alat dengan garis merah dua, ia meletakkannya di atas meja yang membuat laki-laki itu menatap benda itu lalu beralih menatapnya dengan alis bertautan. "Apa maksud kamu?"
"Aku.hamil." Valerie berbicara pelan sambil menekankan kata-katanya agar Ibram langsung mengerti.
"Dan kamu harus bertanggung jawab," ucapnya lagi berusaha menjelaskan.
"Hal gila apa yang sedang kau bicarakan?" laki-laki itu menatap Valerie serius.
"Aku serius. Aku hamil dan aku ingin kamu bertanggung jawab!"
"Tidak bisa. Aku sudah mempunyai istri dan anak satu. Lagipula darimana kau tahu itu anakku?"
"Malam itu, aku hanya melakukannya dengan mu."
Laki-laki itu terdiam. "Aku tidak mau bertanggung jawab. Aku tidak yakin itu anakku."
"Laki-laki macam apa kau ini?"
"Lagipula itu salahmu yang menawariku. Tidak salahkan jika aku tidak menolak?"
"Tapi ini perbuatanmu!"
"Terserah kau. Yang salah kau bukan aku. Karna aku tidak bersalah maka aku tidak akan bertanggung jawab."
Valerie menggeram. "Lalu bagaimana dengan anak ini?!" ia menunjuk perutnya.
Laki-laki itu mengendikan bahu, "Urus saja anakmu. Aku bukan Ayahnya."
"Kau sudah berbuat tapi tidak mau bertanggung jawab! Menyesal malam itu aku tidur dengan mu!" ucap Valerie lantang yang membuat orang-orang yang berada di cafe menatapnya aneh.
Laki-laki itu mencodongkan tubuhnya dengan telunjuk menempel dibibir seksinya, "Jangan bicara keras-keras. Kau mempermalukan dirimu sendiri."
Valerie menampar Ibram. Membuat dirinya ditatap seluruh pengunjung cafe. "Hei mengapa kau menamparku?"
Valerie tak menjawab. Ia menatap Ibram tajam dengan sorot mata marah dan kecewa. Ia juga menahan perih di matanya. Menggertakan gigi gerahamnya untuk menahan amarahnya. Ketika kesabarannya sudah habis ia lebih memilih pergi. Pengunjung cafe juga banyak yang memperhatikan keduanya. Sebelum pergi, ia mengambil benda tipis panjang dengan garis dua merah yang terletak diatas meja. Lalu pergi dengan kaki menghentak.
"Hei kau yang menawari ku. Lalu aku yang salah?" teriak laki-laki itu ketika Valerie sudah menutup pintu cafe.
Di dalam mobil Valerie menangis sejadi jadinya. Ia memukul setir dan juga perutnya berkali-kali. Menghiraukan rasa sakit di tangan dan juga perutnya.
"Perempuan macam apa kau ini Valerie?!"
"Bagaimana jika Karleen tahu? Dia pasti jijik memiliki ibu seperti kau!"
Valerie terus menangis sambil memukul perutnya. Ketika lelah ia menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan yang ditaruh di atas kemudi. Masih menangis. Terisak hebat. Karena hatinya benar-benar terluka.
Untuk sekarang ia bisa menyembunyikan dari Karleen. Tapi saat perutnya sudah membesar bagaimana cara menyembunyikannya? Apa digugurkan saja? Tidak tidak. Valerie menggeleng kuat. Ia tidak boleh menggugurkan bayi yang saat ini ada di dalam rahimnya. Ia tidak sejahat itu dan tidak boleh melakukan hal konyol itu. Dan terpaksa ia harus membesarkannya seorang diri karena laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab
Kalo Karleen tau, pasti Karleen jijik sama Mamah.. Maafin Mamah Karleen.
3. KENANGAN
Valerie pulang dengan wajah berantakan, keadaannya pun sangat memprihatinkan. Saat ia masuk ke dalam rumah, Karleen menyambutnya yang baru saja keluar dari perpustakaan mini di rumahnya.
"Loh Mamah kenapa? Mamah abis nangis ya?" Karleen memutar roda besar disampingnya untuk mendekati Valerie.
Valerie menggeleng, ia mulai menaiki tangga. "Mamah nggak papa, Mamah capek mau tidur dulu."
Tangan Karleen berhenti di hadapan tangga. Ia hanya diam menatap punggung Mamahnya yang semakin menghilang, "Dari dulu kalo Karleen tanya Mamah kenapa pasti jawabnya nggak papa dan Mamah capek mau tidur. Mamah malu ya punya anak cacat kayak Karleen?" ucapnya sedih.
"Nyonya nggak malu kok punya anak hebat kaya Non Karleen." Bi Irah tiba-tiba muncul dari dapur. "Nyonya kan kerja sekarang, ngurus perusahaannya, ngurus kampus Non Karleen. Jadi dia jarang di rumah. Kalo Non Karleen mikir Mamah Valerie udah nggak sayang sama Non, Non Karleen salah besar. Karena nggak ada seorang ibu yang nggak sayang sama anaknya."
"Non Karleen hebat. Non bisa masak, pinter pelajaran, pinter gambar, melukis, bernyanyi, main piano. Mandiri. Segalanya Non Karleen bisa. Tuhan cuma lagi nguji Non biar Non lebih deket sama Tuhan. Yang sabar ya, Non." Bi Irah mengusap lengan Karleen dengan lembut yang membuat Karleen menghangat.
Ia tersenyum menatap Bi Irah, "Makasih ya Bi. dari dulu Karleen malah ngerasa kalo ibu Karleen itu Bi Irah bukan Mamah."
Bi Irah ikut tersenyum, "Bi Irah cuma berusaha nyemangatin Non, lagi juga kan udah tugas Bibi dirumah ini buat bikin Non Karleen seneng, nggak sedih, nggak sendirian."
Karleen merentangkan tangan bermaksud memeluk Bi Irah. Bi Irah yang mengerti menyambut tangan itu dan memeluknya, "Makasih Bi, Karleen sayang sama Bi Irah."
Bi Irah mengusap rambut Karleen, "Sama-sama, Non. Bibi juga sayang sama Non Karleen."
~`~`~
Valerie menuruni tangga dengan mata yang masih mengantuk. Lalu saat ia mencium masakan dari dapur tiba-tiba saja ia menjadi mual. Ia menutup mulutnya lalu berlari menuju kamar mandi.
Saat Karleen mendengar Mamahnya muntah muntah, ia menghampiri pintu kamar mandi dan mengetuknya. "Mah, Mamah kenapa Mah?"
Valerie masih muntah-muntah. "Mamah kenapa jangan bikin Karleen khawatir, Mah."
Tak lama Mamahnya keluar. "Nggak papa," ucapnya lalu meninggalkan Karleen dengan rasa cemasnya.
Karleen menghela napas lalu berjalan menuju dapur karena perutnya sudah sangat lapar. Setelah selesai makan, Karleen memutar roda untuk sampai di halaman belakang rumahnya. Ia memandangi tempat yang menjadi kebahagiaannya dulu.
Kolam renang, dimana dulu mereka bertiga berenang bersama.
"Ayah! Karleen harus bisa renang pokoknya."
Dewa terkekeh, "Makanya belajar yang rutin."
"Ayah pegangin Karleen nanti Karleen tenggelem gimana?"
Dewa lagi-lagi Terkekeh. "Dari tadi juga Ayah pegangin. Belajar tahan napas dulu baru belajar cara renang."
"Yaudah Ayah pegangin Karleen. Ayah itungin Karleen berapa lama Karleen nggak napas di dalam air ya, Yah?"
"Iya.. Ayo Satu.. Dua.. Tiga.."
Setelah Dewa mengucapkan angka tiga, Karleen kecil langsung memasukkan wajahnya ke dalam air dengan pipi menggembung. Namun tak lama wajahnya muncul. "Nggak kuat.. Huhh.. Berapa lama, Yah?"
"Baru 8 detik."
"Yahh.. Masa 8 detik doang. Berarti Karleen harus sering nyelem."
"Renang nggak ngajak-ngajak Mamah ya." Valerie datang dengan pakaian renangnya.
"Tadi kata Ayah, Mamah nggak mau Renang," jawab Karleen saat Valerie duduk di tepi kolam.
Valerie merengut, "Ayah bohong tuh. Orang Ayah nggak bilang apa-apa sama Mamah. Kalo bukan Bibi yang bilang, Mamah nggak tau kalian di sini."
Dewa tertawa, "Aku maunya main sama Karleen aja sih, nggak mau sama kamu."
Valerie merengut kembali sambil menyiram nyiram Dewa dengan air sementara Karleen tertawa, "Ih kamu ya seneng-seneng nggak ngajak-ngajak!"
Kemudian Valerie ditarik oleh Karleen dan Dewa. Karena ia tidak siap, ia jadi jatuh dan tenggelam, bukannya menolong, Dewa dan Karleen justru mentertawainya yang membuat Valerie manyun.
Ayunan, dimana ia dan Ayahnya selalu tertidur saat siang hari.
"Ayah kenapa bikin ayunan ini?"
"Karleen kan susah tidur siang, Ayah pasang ayunan ini biar karleen bisa tidur. Kan disini dingin karena angin semilir bukan dingin ac. Jadi Karleen bisa tidur, cobain deh."
Karleen memejamkan matanya sambil merasakan hembusan angin yang sejuk. Lama kelamaan ia menuju alam bawah sadarnya.
Kebun bunga, dimana ia dan Mamahnya selalu menyiram bunga bersama.
"Mamah! Karleen aja dong yang siram."
Valerie tertawa. "Yaudah sini isi embernya."
"Nggak mau, nih Mamah pake ember. Karleen pake selang. Capek pake ember bulak balik." Karleen merengut lucu yang membuat Valerie tertawa.
"Yaudah yaudah sini."
Terlintas ide usil dibenak Karleen. Kemudian ia mengarahkan selang bukan ke arah tanaman, melainkan ke arah tubuh Mamahnya yang membuat Valerie teepekik.
"Eh Karleen Mamah basah dong!"
"Biarin. Biar Mamah mandi. Hahaha.."
"Eh Mamah udah mandi. Mandi dua kali dong."
"Iya haha.."
Valerie tak tinggal diam. Ia menghampiri Karleen yang saat itu masih berusia 10 tahun dan balik menyiram Karleen. Kemudian keduanya malah bermain air.
Dan kini tempat tempat itu membuat luka dihati Karleen. Memandangnya dengan pandangan sendu dan hati yang perih.
"Karleen nyesel nek, nggak dengerin omongan nenek.."
"Nggak ada yang perlu disesali." Karleen menoleh mendengar suara itu. Ternyata Brian yang berjalan kearahnya. Lalu berbicara kembali saat sudah berdiri di samping Karleen. "Jalan hidup kamu emang gini. Kalo waktu itu misalnya kamu nurutin apa kata nenek, bisa aja kan ada kejadian lain yang buat kamu kemasa sekarang?"
Karleen diam dengan perasaan setuju.
"Kamu banyak berdoa, semoga tuhan ngasih kaki kamu kembali, perhatian Mamah kamu."
Karleen masih diam.
"Terus-terusan menyesali sesuatu yang telah terjadi itu nggak ada gunanya Karleen. Toh semua tetep sama kan? Nggak ada yang berubah sedikit pun."
Karleen mengangguk, "Karleen kangen.."
"Sttt.. Udah jangan sedih, ikut aku beli eskrim yuk?"
Karleen mendongak lalu mengangguk, kemudian Brian mendorong kursi roda Karleen untuk masuk ke dalam rumah.
Hanya Brian yang paham dengan suasana hatinya. Hanya Brian yang mengerti bagaimana hancurnya ia. Hanya Brian penenangnya. Hanya Brian yang bisa membuat suasana hatinya kembali membaik.
Brian teman sejatinya. Dan semoga tuhan tidak mengambilnya juga.
~`~`~
"Karleen mau eskrim itu."
Brian menggeleng, "Kan aku yang ambil duluan. Kamu cari eskrim lain sana."
Karleen juga menggeleng, "Karleen sukanya eskrim itu."
"Aku juga sukanya eskrim ini."
"Tapi aku yang ambil duluan."
"Brian ngalah dong sama karleen."
Brian menggeleng, "Nggak mau. Udah ah mau aku bayar." Brian melenggang pergi menuju kasir. Karleen menghela napas lalu mengikuti Brian. Setelah Brian selesai mereka keluar dari mini market tersebut.
Brian membuka eskrim dengan perlahan yang diperhatikan oleh Karleen, Brian melirik Karleen yang memasang wajah 'gue mau.' yang membuat Brian ingin terkekeh.
Setelah eskrim terbuka Brian siap akan menyantapnya, masih diperhatikan oleh Karleen yang kali ini memasang wajah masam. Brian menyemburkan tawa tak bisa menyembunyikannya.
"Brian kenapa ketawa?"
"Muka kamu lucu banget sih. Nih buat kamu," katanya lalu menyodorkan eskrim yang tadi akan ia makan.
Karleen menatap eskrim itu, "Nggak jadi dimakan?" Karleen malah bertanya.
"Mau nggak? Aku makan beneran nih ya," ancamnya.
Karleen langsung menangkap tangan kanan Brian lalu mengambil eskrim dari tangan itu. "Mau. siapa bilang nggak mau?"
Brian terkekeh lalu ia mengacak-acak rambut Karleen pelan. Brian mendorong kursi roda Karleen membawanya untuk berjalan-jalan sore.
~`~`~
4. BIRHTDAY MOM
Jarum pendek sudah menunjuk angka sepuluh dan jarum panjang menunjuk angka tujuh. Dengan dibantu lampu yang menyala terang dan juga Bi Irah, Karleen sibuk dengan adonan di tangannya.
"Bibi tolong ambilin loyangnya."
Bi Irah mengangguk lalu berdiri untuk mengambil loyang di buffet yang menempel di dinding di atas wastafell. Karleen menuang adonannya kedalam loyang lalu ia berikan kepada Bi Irah. Kemudian Bi Irah memasukan loyang yang berisi adonan kedalam oven.
"Kuenya udah jadi?" Brian masuk kedalam dapur. Brian bisa masuk kedalam rumah Karleen karena tentu saja pintu belum dikunci oleh Bi Irah. Brian ini sudah dianggap keluarga oleh keluarga Karleen. Ia bisa sesuka hati keluar masuk rumah Karleen. Ia juga sering menginap di rumah Karleen, makan di rumah Karleen, berenang dan mandi. Keluarga Karleen tak masalah karena Karleen suka berteman dengan Brian. Brian juga baik, walaupun keluarga Karleen suka merepotkan keluarga Brian namun keluarga Brian tidak pernah merasa direpotkan oleh keluarga Karleen. Hubungan keluarga keduanya sangat baik. Orang tua mereka sudah berteman selama 6 tahun sebelum mereka lahir. Makanya Karleen dan Brian sudah dekat ketika mereka lahir.
"Belum lagi dioven," katanya yang sedang mencuci tangan di wastafel.
Brian duduk dimeja makan lalu mengangguk-angguk, "Enak nggak tuh kuenya?" katanya sambil terus memandang Karleen.
Karleen melihat ke dalam Oven sambil berkata, "Pasti dong."
Brian menopang wajahnya dengan kedua tangannya sambil terus memperhatikan Karleen yang sibuk dengan kuenya.
Setelah kuenya sudah matang, Karleen membawanya kesebelah Brian yang langsung ditatap oleh Brian. Bi Irah memberikan coklat cair kepada Karleen. Lalu Karleen menuang coklat itu ke atas kuenya. Tak lupa ia buat tulisan 'Happy Birthday Mom' dengan cream putih yang sudah dibuatnya. Kemudian lilin kecil yang diberikan Bi Irah juga ia tusukkan di atas kue itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 lewat 50 menit. Bi Irah membawa kue itu dan Brian mendorong Karleen keluar dari dapur.
"Kamu aku gendong aja ya?" tawar Brian ketika sudah di depan tangga.
Karleen diam.
"Karleen?"
"Tapi nanti ngerepotin kamu."
"Kita dari lahir udah sama sama tapi kamu masih sungkan sama aku? Kamu nggak inget selama ini aku yang banyak nyusahin kamu?"
Karleen tersenyum lalu mengangguk, kemudian Brian membawa tubuh Karleen menaiki tangga. Bi Irah menaruh kue di atas meja, setelah melipat kursi roda Karleen ia mengangkatnya dan menaiki tangga.
Setelah Karleen duduk kembali di kursi rodanya, Brian turun untuk mengambil kue.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 kurang 3 menit. Karleen memegang kenop pintu lalu mendorongnya. Ternyata Mamahnya tidak suka mengunci pintu saat tidur. Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan besar bernuansa putih. Mereka berdiri di samping tempat tidur yang di atasnya terbaring Valerie yang tertidur lelap. Sebelum membangunkan Valerie, ia menyalakan lilin menggunakan korek yang dibawa Brian.
Saat sudah pukul 12 tepat. Karleen mengguncang pelan tubuh Valerie, setelah Valerie membuka mata Karleen mengucapkan.
"HAPPY BIRTHDAY MAMAH." Dengan sangat lantang sambil menyodorkan kue yang lilinnya sudah menyala.
Valerie mengerjap, ia tersenyum kecil. Memejamkan matanya untuk berdoa lalu meniup kue itu.
"Selamat ulang tahun, Mamah," ucapnya lagi.
"Makasih. Udah ya Mamah mau lanjut tidur. Besok pagi mau meeting." Kemudian Valerie merebahkan tubuhnya kembali lalu menarik selimut hingga dagu.
Senyum Karleen yang semula mengembang manis kini luntur, menghela napa s lelah. Ternyata Valerie hanya menghargainya, ternyata Valerie tak pernah menganggapnya ada. Ia hanya meniup lilin lalu kembali tidur tidak mencoba kue buatan Karleen yang ia buat susah payah dengan kondisinya yang sekarang. Ia menatap Valerie yang kini tidur membelakangi dirinya.
"Nggak papa, Mamah kamu kan kerja emang capek. Turun yuk aku mau cobain kue buatan kamu."
Karleen mengangguk pelan, lalu mengucapkan. "Selamat tidur, Mamah."
Dan Brian mendorong kursi roda Karleen untuk keluar dari kamar Valerie. Setelah mendengar pintu tertutup, Valerie meneteskan air matanya. "Maafin, Mamah."
~`~`~
"Enak banget," kata Brian yang sibuk memakan kue buatan Karleen. Brian sudah habis setengah, padahal kue yang dibuat Karleen besar.
"Brian sisain buat Mamah," ucapnya ketika Brian kembali memotong kue.
Brian terkekeh, "Abisnya enak, udah gitu pas banget aku lagi laper."
Karleen memotong kue lalu meletakkan di piring.
"Nggak usah, aku udah kenyang." ucap Brian dengan pede-nya.
Karleen mendelik, "Ini buat Mamah tau bukan buat kamu. Geer!" cibirnya yang membuat Brian terkekeh.
"Kirain gitu motongin buat aku. Eh tapi cobain deh enak tau, kamu yang bikin tapi kamu belum ngerasain kan?" Brian menyodorkan sendok yang berisi kue.
Saat Karleen sudah membuka mulutnya, Brian malah memasukkan sendok kedalam mulutnya lalu terkekeh, "Mau ya disuapin sama cowok ganteng?"
Karleen mendelik, "Nggak," ucapnya ketus.
Brian menyendok kue lalu menyodorkan kepada Marleen.
"Nggak nanti ngerjain lagi."
Brian menggeleng, "Ini beneran serius. Kalo boongan kamu boleh larang aku buat nggak ke sini lagi."
Karleen membuka mulut perlahan lalu Brian memasukkan sendok ke dalam mulut Karleen.
"Bi Irah, nggak mau cobain kue buatan Karleen bi?" teriak Brian agar terdengar Bi Irah yang sibuk di dapur.
Bi Irah datang, "Mau atuh Den," katanya lalu menyodorkan piring kecil. Karleen memotong kue lalu menaruh ke piring Bi Irah.
"Bibi kedapur lagi ya."
"Makan disini aja, Bi," kata Karleen yang kini memakan kuenya menggunakan sendok Brian.
"Bibi harus nyuci sayur buat besok, Non."
Karleen mengangguk. "Yaudah atuh Bi." kemudian Bi Irah kembali kedapur.
Di atas sana, Valerie memperhatikan keduanya.
Makasih Rian udah jagain Karleen, kalo nggak ada Rian mungkin Karleen kesepian.
~`~`~
Pagi-pagi sekali Valerie sudah siap dengan baju kantornya, bahkan saat matahari belum memunculkan sinarnya Valerie siap berangkat ke kantor miliknya. Sebelum pergi ia masuk ke dalam dapur dan melihat kue di atas meja makan. Ia duduk di kursi lalu memperhatikan kue itu.
Tanpa pikir panjang Valerie memakan kue itu, sangat lezat pikirnya. Ternyata Karleen pintar membuat kue dan Valerie tidak mengetahui itu.
"Anakku pintar masak aja aku nggak tahu. Ibu macam apa aku ini?"
Setelah kue itu habis, Valerie meletakkan di wastafel.
"Nyonya udah mau berangkat?"
Suara Bi Irah mengejutkannya. Ia berbalik lalu menatap Bi Irah. "Bi kalo Karleen tanya kue yang di atas meja, Bibi bilang Bibi yang makan kuenya ya?"
Tak berani banyak bertanya, Bi Irah mengangguk. Lalu Valerie pergi menuju garasi dengan cepat sebelum Karleen bangun.
~`~`~
5. FIRST DAY OF COLLAGE
Karleen sangat bosan, bosan sekali. Menguap berkali-kali namun tak ingin tidur. Hanya mundar-mandir di rumahnya yang super besar dan duduk di kursi roda membuatnya sangat bosan. Kemudian ia memutuskan untuk menelepon Brian.
"Brian lagi kuliah nggak?"
"Iya, ini lagi nunggu dosen."
"Yah..." Terdengar nada kecewa di sana, karena Brian mendengar suara Karleen seperti merajuk.
"Kenapa, Leen?"
"Karleen bosen. Mau main tapi nggak tahu sama siapa."
"Tunggu Brian bentar lagi. Kalo dosennya nggak dateng Brian langsung ke rumah Karleen."
Tiba-tiba ia sangat Bersemangat. "Yaudah semangat kuliahnya Brian!"
"Iya Karleen. Byee...."
Setelah menutup telpon dengan Brian, Karleen langsung mencari kontak Mamahnya. Berkali kali ia menelpon tapi tak diangkat. Dan setelah diangkat Karleen langsung bicara.
"Mah, Karleen mau kuliah."
"Bukannya waktu itu Mamah udah bilang kamu nggak usah kuliah?"
"Tapi Karleen bosen mah di rumah terus. Nggak ngapa-ngapain."
"Kamu kan bisa baca buku di rumah, main di halaman belakang, main sama Bi Irah."
"Beda mah. Plis izinin karleen kuliah."
"Nggak Karleen."
"Yaudah kalo Mamah nggak izinin Karleen kuliah. Sekarang juga Karleen berangkat buat cari kuliahan sendiri."
"Karleen. Okeoke kamu boleh kuliah."
"Beneran, Mah?"
"Hm...."
"Asik makasih, Mamah."
Lalu setelahnya sambungan telpon dimatikan oleh Valerie.
~`~`~
"Brian tau nggak?" Karleen berbicara sangat antusias menyambut kedatangan Brian.
Brian duduk di sofa sebelah Karleen sambil mengernyit, "Nggak, kan kamu belum kasih tau."
Karleen justru malah tertawa kecil. "Mau tau nggak?"
Brian mengangguk, "Mau."
"Kasih tau nggak yaaa..." Karleen membuat Brian benar-benar penasaran sekarang. Ia menangkup wajah Karleen agar berhenti bercanda dan segera memberitahunya.
"Apa? Kasih tau sekarang."
Karleen tersenyum yang membuat pipinya menggembung karena tangan Brian masih menangkup pipinya. "Aku boleh kuliah sama Mamah!"
Brian benar-benar terkejut. Ia melepas tangannya sambil menaikan kedua alisnya. "Serius?"
Karleen mengangguk antusias, "Besok kayaknya aku bakal kuliah."
"Kamu nggak bohong kan?" tanya Brian memastikan.
"Kenapa sih? Kamu pengen banget aku kuliah emangnya?" Karleen balik bertanya dengan satu alis terangkat.
Brian mengangguk, "Jelas dong. Kamu kuliah di kampus milik Mamah kamu kan?"
Karleen justru tertawa, pertanyaan macam apa itu Brian?
"Kalo aku kuliah di tempat lain emangnya dibolehin sama Mamah sama kamu?"
Brian tertawa kecil, "Nggak sih."
"Pertanyaan kamu aneh."
"Semuanya udah diurus?" tanya Brian lagi.
Karleen mengendikan bahu, "Paling nanti Mamah urus. Mungkin."
"Enak ya anak bu bos, kuliah langsung masuk, udah ada yang urus."
Karleen terkekeh, "Iya dong. Lagian aku pengen kuliah dari dulu nggak dibolehin terus. Anaknya mau pinter masa dilarang."
"Mamah kamu ngelarang juga karna dia khawatir sama kamu."
Karleen mengendikan bahu.
"Btw, nanti kamu jangan langsung percaya sama omongan orang ya."
Karleen mengernyit, "Maksudnya gimana?"
"Iya, takutnya nanti pas mereka tau kalo kamu anak yang punya kampus mereka pada deketin kamu. Tapi bukan karna tulus pengen temenan sama kamu, cuma karna mau morotin kamu."
Karleen terkekeh, "Brian takut kalo Karleen punya temen baru, Brian Karleen lupain yaa? Tenang aja Brian, Karleen nggak akan gitu kok."
"Karleen tap--"
Dengan cepat Karleen menaruh telunjuknya di depan mulut Brian, menyuruhnya untuk berhenti bicara. "Sutt nggak boleh prasangka buruk sama orang. Nggak baik."
Brian menghela nafas. Tak apalah Karleen mempunyai banyak teman. Yang terpenting ia harus selalu ada di sisinya. Menjaganya, memastikan bahwa ia baik-baik saja.
~`~`~
Pagi ini Karleen sudah siap dengan pakaiannya, rok putih sepanjang mata kaki, roundhand berwarna marun dengan sepatu ketsnya. Setelah berpamitan kepada Bi Irah Karleen memutar rodanya menuju pintu utama. Ketika pintu dibuka, mobil sport berwarna biru mengkilap sudah ada di hadapannya. Sang pemilik mobil turun menghampiri Karleen.
"Udah siap kuliahnya?"
Karleen mengangguk antusias.
"Sini aku gendong. Turun tangganya susah kan? Nanti kamu nyungsep lagi."
Brian mengangkat tubuh Karleen lalu membawanya menuju tempat duduk penumpang di sebelah kemudi. Lalu ia melipat kursi roda Karleen dan memasukkannya ke dalam bagasi. Ia melajukan mobilnya menuju Universitas Fayola Caya. Tempat kuliahnya dan juga kuliah Karleen.
Setelah sampai Brian sibuk membantu Karleen. Kemudian ketika selesai ia mendorong Karleen membawanya menuju ruang rektor.
Ketika mereka berjalan menuju ruang rektor, banyak yang memperhatikan keduanya. Terlebih lagi para perempuan yang memandang Brian kagum dan memandang Karleen aneh.
"Mereka pada kenapa sih Brian?" Karleen mendongak menatap wajah Brian dari bawah sekilas.
"Mungkin karena mereka liat pangeran lagi dorong tuan putri."
Karleen mendengus, "Males aku sama kamu. Ditanya apa jawab apa."
Brian terkekeh, "Nggak usah dipeduliin."
Brian menunduk, menyejajarkan bibirnya dengan telinga Karleen lalu berbisik. "Lagi pula mereka nggak tahu kamu anak yang punya kampus ini."
Karleen terkekeh, "Jangan ada yang tahu."
Brian mengangguk, "Tapi lama-lama juga pada tahu."
Di tengah jalan, tiba-tiba Brian dirangkul oleh seorang perempuan dengan sangat genit. "Brian mau kemana? Ke kelas bareng yuk? Kelas udah mau dimulai tau."
Brian yang berhenti mendorong dan Karleen mendengar suara perempuan langsung menoleh. "Ini pacar Brian ya? Kok nggak pernah cerita sih?"
Perempuan itu menatap Karleen aneh, ia membawa Brian kehadapan Karleen. Ia masih merangkul Brian sementara Brian berusaha melepaskannya.
"Heh emang dia siapa lo harus cerita-cerita sama lo?!" ucap perempuan itu sedikit galak pada Karleen.
Karleen mengulurkan tangannya, "Kenalin aku Karleen, temennya Brian dari kecil."
Perempuan itu tak menerima uluran tangan Karleen dan malah menatapnya geli. "Nggak usah sok asik lo. Lagi juga gue nggak perlu tau nama lo. Mulai sekarang lo nggak usah temenan sama Brian lagi!"
Karleen mengernyit dan Brian berhasil melepaskan tangannya. "Apaan sih lo, Bel! Siapa lo larang-larang gue buat nggak deket sama Karleen?"
Tajam. Menusuk hingga kelubuk hatinya. "Aku kan pacar kam--"
"Nggak ada ya! Dulu lo yang mutusin gue dan lebih milih cowok sok ganteng itu. Sekarang lo dateng lagi. Dengan nggak tau malunya lo nembak gue. Bukan berarti lo nembak gue, gue jadi pacar lo lagi. Lagian juga gue nggak ada jawab apa-apa waktu itu. Jadi jangan mimpi gue mau sama lo lagi." Jelasnya kemudian mendorong kursi roda Karleen menjauh dari perempuan tak tahu malu itu.
Siapa sih Karleen Kaarleen itu! Awas aja ya lo karleen. Abis sama gue. Belom tau lo rasanya berurusan sama putri kampus?
~`~`~
Karleen keluar bersama rektor. Setelah mengatakan bahwa ia mengambil jurusan fashion design dan gedungnya berada di gedung dua, tepat di sebelah gedung Brian. Brian mendorong kursi roda Karleen ditemani Pak Savid.
Setelah sampai, Karleen masuk ke dalam kelas ditemani Pak David. Pak David memang sudah menyiapkan satu meja tidak dengan kursi di dekat pintu setelah Valerie menelponnya kemarin bahwa anak perempuannya akan mulai berkuliah. Khusus untuk Karleen agar mudah untuk keluar. Pak David membisikkan sesuatu pada dosen yang kini sedang mengajar. Setelah Karleen memperkenalkan diri dosen itu melanjutkan aktifitasnya yang sempat tertunda.
~`~`~
6. FASHION DESIGN
"Eh Bel tadi gue liat Brian nganterin cewek pake kursi roda ke kelas gue. Cewek itu anak baru." Sandra meminum coffe latte-nya di salah satu kursi mewah kantin.
"Tadi juga pas di parkiran gue liat Brian dorongin kursi roda tuh cewek," kata Bela malas.
"Eh mereka udah deket banget ya? Siapa sih tuh cewek?" Sandra mulai kepo.
"Temen kecil katanya." Bela memakan french frice-nya dengan malas.
"Kok lo tau?" Sandra sedikit memajukan tubuhnya, menopang wajahnya dengan tangan kiri dan tangan satunya ia gunakan untuk makan french frice. Kemudian Bela menjelaskan kejadian tadi dan Sandra mendengarkan sangat antusias.
"Cantik sih cuma cacat." komentarnya setelah mendengar cerita Bela.
"Heran gue juga kenapa Brian bisa kepincut sama tuh cewek."
"Liatin sih tuh cewek abis sama gue." ucap Bela lagi.
Sandra mengedarkan pandangannya kemudian menemukan Brian dan cewek yang baru saja mereka bicarakan. Sedang memesan makanan. Sandra menepuk nepuk tangan Bela yang berada di atas meja.
"Apaan sih lo." Kemudian ia menarik tangannya yang membuat Sandra menoleh.
"Itu si Brian sama cewek cacat."
Bela melihat kearah pandang Sandra dan benar saja mereka sedang memesan makanan. Kemudian mereka duduk di salah satu kursi kantin.
"Gue punya ide," ucapnya dengan senyum miring.
"Eh lo jangan macem-macem! Woi itu lagi sama Brian."
"Bodoamat."
Kemudian Bela berdiri lalu berjalan untuk memesan minuman lagi. Setelah minumannya siap, ia kembali menuju mejanya. Namun saat tiba di samping Karleen, tiba-tiba saja Bela menyiram paha Karleen.
"Eh lo jalan yang bener dong!" teriaknya pada salah satu mahasiswi yang kebetulan saja lewat di belakangnya. Karleen dan Brian sangat terkejut.
"Eh sory gue tadi didorong," ucapnya lalu pergi dari meja Karleen dan Brian.
"Kamu nggak papa?"
Brian mengambil tissue sebanyak-banyaknya lalu mengusap rok Karleen yang terkena tumpahan lime citrus milik Bela.
"Nggak papa kok cuma ketumpahan sedikit, biar aku aja." Karleen meraih tangan Brian lalu mengambil alih tissue itu dan mengusapnya ke rok yang basah itu.
Di meja paling pojok, Bela tersenyum puas. "Kali ini berhasil. Gue pastiin besok-besok terus berhasil."
"La perasaan gue nggak enak deh."
"Halah gaya lo."
"Serius, mending saran gue lo nggak usah jailin tuh cewek."
"Nggak asik lo. Kalo lo nggak mau ngerjain dia biar gue aja sendiri," ucapnya lalu meninggalkan Sandra.
"Serah lu deh La, yang penting gue udah ngingetin."
~`~`~
Sambil menunggu Brian selesai jam, Karleen berjalan-jalan sendirian. Dan saat ia menemukan perpustakaan langsung saja ia masuk. Ia menyusuri tiap rak tinggi yang berisi buku tersusun sangat rapih. Ia melihat novel yang berjudul 'Dunia kelam shofie' dan ia akan mengambilnya namun tak bisa. Karena buku itu ditaruh di rak paling atas. Tak mungkin Karleen berdiri untuk mengambilnya. Tangan kanannya terus mencoba menggapai sedangkan tangan kiri membantu menyangga.
Ia memaksakan tangan kanannya untuk menopang tubuhnya. Saat ia akan berhasil untuk berdiri tiba-tiba saja kursi rodanya oleng dan membuatnya sebentar lagi akan terjatuh ke kanan dimana berat beban tak seimbang.
"Eh eh..." katanya mulai panik.
Karena ia tidak bisa seimbang, dalam hitungan detik kursi rodanya terjatuh ke samping. Ia memejamkan matanya agar tidak merasakan tubuhnya menyentuh lantai.
Brukk..
Dan ketika suara keras itu berdengung di telinganya, tubuhnya merasa ditangkap oleh seseorang. Ia merasa mendarat di dada seseorang. Ia membuka matanya dan benar. Wajahnya kini sangat dekat dengan seorang pria berwajah tampan. Lebih tampan dari Brian. Pikirnya.
Ia berdiri dengan kakinya yang mulai lemas. Semakin lemas dan akhirnya ia tidak bisa menopang tubuhnya.
"Lo nggak papa?" tanya laki-laki itu yang juga ikut terduduk.
Karleen menggeleng dengan wajah malu. "Nggak papa. Makasih ya," ucapnya sambil menunduk.
Laki-laki itu berdiri untuk membenarkan kursi roda Karleen yang jatuh. Setelah kursi rodanya siap, laki-laki itu membopong tubuh Karleen untuk ia letakkan di atas kursi roda. Belum sempat laki-laki itu menaruh Karleen tiba-tiba saja ada tangan yang merebut tubuh Karleen dan memindahkan ke gendongannya.
"Brian...."
"Gue aja," ujarnya pada laki-laki yang tadi membantu Karleen.
Laki-laki itu mengangguk angguk. "O-key."
"Kamu kenapa? Jatoh?" tanyanya setelah Karleen duduk.
Karleen meringis lalu nyengir yang tentu saja Brian sudah tau jawabannya.
"Kok bisa?"
"Tadi mau ngambil buku itu tapi nggak nyampe. Yaudah usaha sendiri eh malah kursinya oleng, tapi untung ada dia." kata Karleen menjelaskan sambil menunjuk laki-laki itu.
Brian menatap laki-laki itu, "Thanks," ucapnya singkat lalu mendorong Karleen pergi. Karleen terlonjak saat Brian sudah mendorong kursinya langsung melihat ke arah belakang dan berteriak.
"Siapapun nama kamu. Makasih ya." Lalu Brian memutar kepala Karleen agar kembali meghadap kedepan.
Laki-laki itu tersenyum manis. Lucu juga tuh cewek.
~`~`~
"Brian, makan ketoprak yuk?" Ajak Karleen ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
Brian menoleh, "Nggak makan di rumah aja?"
Karleen menggeleng, "Bosen. Mau nyobain kuliner di luar."
"Di cafe aja gimana?"
Karleen mengangguk, "Tapi yang ada ketopraknya ya!"
Brian mendengus,
"Cafe mana ada ketoprak."
"Aku maunya ketoprak."
"Yaudah iya-iya kita makan ketoprak."
Karleen tersenyum sangat manis. "Makasi Ian kuuu."
Brian menoleh sebentar dan melihat senyuman manis itu. Membuat hatinya sangat tenang padahal tadi ia sangat emosi ketika melihat Karleen di gendong laki-laki lain.
Gue akan pertahanin senyum manis lo itu biar selalu mengembang.
~`~`~
Karleen tetap duduk di dalam mobil, dengan pintu terbuka. Sedangkan Brian duduk menggunakan kursi yang disediakan. Ia duduk di hadapan Karleen. Sebenarnya ia bisa saja menggendong Karleen untuk duduk di sana. Namun Karleen menolak yang mengucapkan 'kali ini Karleen nggak mau ngerepotin brian. Plis Brian kali ini aja.' Brian yang disuguhkan wajah melas Karleen tentu saja sangat tidak bisa menolak permintaan gadis itu.
"Enak ya. Nanti Karleen mau coba bikin ah," ucapnya dengan mulut yang dipenuhi makanan.
"Emang tau bahannya?" balas Brian.
Karleen mengangguk. "Pasti Bi Irah tau bahan-bahannya. Kalo nggak nanti Karleen tanya sama abang ketoprak itu."
"Itu namanya nggak tau."
"Nanti juga tau."
"Terserah kamu.."
"Brian."
Brian mengangkat kepalanya untuk melihat karleen. Ternyata yang ditatap masih sibuk dengan ketopraknya.
"Bungkusin buat Bi Irah ya, kalo Mamah udah jelas nggak mau makan ini. Jangankan makan ini, makan kue buatan Karleen aja dia nggak mau."
"Iya nanti aku pesen satu lagi buat Bi Irah. Cepet abisin biar kita pulang cepet."
Karleen mengangguk lalu ia memakan ketopraknya dengan lahap, tak sadar jika Brian memperhatikannya.
~`~`~