Loading...
Logo TinLit
Read Story - Ingatan
MENU
About Us  

Pagi ini Ryan sudah siap pergi sekolah. Sebelumnya ia menitipkan dulu kunci apartemennya pada meja resepsionis. Seorang resepsionis wanita memanggilnya. Ia memberikan sebuah kotak berbungkus kertas payung coklat bertuliskan nama pengirim dan alamat tujuan. Kata resepsionis tersebut. Ia sudah berusaha memberikan kiriman itu beberapa kali ke kamar Ryan. Tapi, beberapa kali selalu gagal. Baru sekarang ia bisa menyerahkannya. Ryan mengangguk dan pergi meninggalkan meja resepsionis. Kotak di tangannya terus diteliti. Nama pengirim tidak dicantumnya. Ia terus mengira-ngira siapa orang yang telah memberinya bingkisan.

Pagi ini Ryan pergi naik bus. Mobilnya sengaja tidak dipakai. Malas mengemudi. Dalam bus Ryan membuka kertas pembungkusnya. Di depan kotak coklat yang sudah terkelupas ada secarik kertas berwarna coklat muda. Ia tidak langsung membacanya melainkan memasukan dalam saku celan. Kotak itu ia buka. Isinya sebuah jam tangan kulit warna coklat seragam dengan bungkusnya. Otaknya langsung bekerja dan merespon. Menurut pikirannya benda ini datang dari orang yang sama, orang yang telah memberikannya jam tangan tahun lalu. Aneh, saat memandangnya tidak ada perasaan sama. Rasa baik saat memakai atau memandangnya. Suratnya dikeluarkan lalu dibaca asal.

To : Ryan Mathew

From : Tasya Maharani

Garut, 08 Maret 2015

Hallo Ryan,

   Gimana kabarnya? Sehat? Aku alhamdulilah sehat. Udah lama ya semenjak kamu pindah ke Jakarta jarang ketemu atau sekedar say hallo di sosmed. Kamu jadi hilang gitu aja. Miss komunikasi. Kamu ga berniat pulang ke kampung? Ketemu mama dan Kak Intan? Aku sering ke rumah kamu nunggu kamu. Ya, semoga aja kamu pulang. Ternyata kamu masih betah di Jakarta. Jakarta gimana? Panas ya? Di sini mah selalu dingin. Jakarta udah merubah kamu Yan? Kamu harus tetap sama seperti dulu ya J.

   Ryan aku sekarang udah jadi ketua PMI kabupaten loh. Hehe seneng banget, andai ada kamu mungkin kita bisa rayain sama-sama. Susah tau jadi PMI Kabupaten banyak ini itunya. Tapi, aku seneng kok. Karena inilah jalan aku. Aku pengen ngobatin tiap orang biar mereka sehat. Kaya anak kecil ya? Itu omongan aku dulu. Kok, jadi ngawur gini. Ceritain dong kamu sekarang gimana? Emang kamu gak kangen sama orang di sini? Pulang dong.

   Satu lagi, semoga kamu suka dengan jam tangannya. sengaja biar kamu bisa pake kemana-mana. Khusus loh belinya buat kamu. Dapetnya susah payah. Dapat alamat kamu aja susahnya minta ampun. Kalo barangnya udah diterima chat aku ya. Nih, add Facebook aku Tasya Sya Sya.

   Udah dulu ya, ditunggu balasannya. Ryan semoga kamu tetap senang ya. Kangen ih. Hehe. Bye bye.

                                                                                                               Salam Rindu,

                                                                                                                    Tasya

   Ryan melipat kembali suratnya. Ia masukan ke dalam kotak bertindihan bersama jam tangan. Tidak ada respon baik dari raut wajah Ryan semua datar-datar saja. Seperti tidak peduli dengan tulisan di surat dan seperti enggan untuk  membalasnya. Harapannya bukan Tasya. Harusnya dia… ya kalo sudah begini Ryan hanya bisa diam. Memasangkan earphone ditelingannya. Memutar lagu Jason Miraz lewat Iphod miliknya. Kotak tadi sudah dimasukan dalam tas. Ditangannya sudah tidak ada apa-apa lagi. Seperti biasa Ryan selalu melipat tangannya di dada dan menutup mata. Menunggu bus berhenti depan sekolah.

   “De turun di sini?” seorang mba-mba menepuk pundak Ryan.

Ryan membuka mata, segera turun dari bus. Tanpa sempat menjawab pertanyaan mba-mba itu. Ia berlari menuju gerbang. Satpam sekolah memperhatikannya sambil tersenyum. Sudah menjadi kebiasa Ryan melakukan lari pagi setiap melewati gerbang. Maklum saja hampir setiap hari ia datang terlambat. Tidak pernah absen dari catatan murid terlambat. Untungnya guru BK yang menjaga ataupun satpam tidak pernah marah. Dia punya tempat khusus di sekolah.

   Ryan melempar tasnya di meja. Duduk selalu dengan memasang wajah yang dingin dan datar. Guru pelajaran pertama masuk lebih awal dari Ryan. Selalu begitu. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia Bu Erna, guru paling pengertian. Bu Erna langsung mulai mengajar. Menerangkan materi hari ini.

“Buka kegiatan 2 buku paket halaman 24. Masih tentang Teks Eksplanasi” Bu Erna menulis catatan di papan tulis.

“Oke, liat ke depan” tangan beliau mulai memberi isyarat untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak pada pelajaran. “Pola penararan deduktif artinya cara penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus… bla…bla…bla..”Bu Erna terus menjelaskan dengan rinci.

Ryan di bangkunya malah terlihat tidak peduli. Matanya memang fokus ke depan, dengan tatapan kosong. Suara Bu Erna terdengar masuk telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri. Sama sekali tidak dicerna.

“Kalian mengerti?” Bu Erna bertanya pada semua muridnya setelah selesai menyampaikan materi.

“Mengerti” jawab semua kompak. Ryan tidak berkomentar mulutnya rapat.

“Ryan, apa yang tadi ibu jelaskan” tiba-tiba Bu Erna melontarkan pertanyaan pada Ryan. Ternyata selama menjelaskan Bu Erna memperhatikan Ryan. Murid yang tidak memperhatikan selalu saja ketahuan.

Ryan tidak menjawab.

“Oke silahkan Ryan” Bu Erna duduk di meja guru sambil terus memperhatikan Ryan.

“Dalam teks eksplansi terdapat pola penararan deduktif artinya cara penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi khusus” Ryan berhenti untuk melihat jam tangan rubbernya “Dan pola penalaran induktif artinya cara pemikiran kesimpulan dari hal yang bersifat khusus menjadi umum” Ryan duduk kembali dalam hatinya ada kepuasan.

Bu Erna hanya bisa mengangguk-angguk. Ternyata Bu Erna salah perkiraan. Pelajaran kembali di lanjutkan. Kali ini Bu Erna memberikan lembar soal untuk diisi langsung tanpa boleh melihat buku catatan. Di papan tulis catatan semua dihapus. Rupanya ada ulangan dadakan. Tumben sekali.

“Ibu jangan ulangan dong” bujuk Andreas “Besok aja, Bu” tawarnya lagi. Wajahnya memang mengkhawatirkan saat akan melakukan tes, tapi kalau sedang biasa wajahnya selalu terlihat garang dan menakutkan. Untungnya dia punya wajah yang rupawan jadi tidak terlalu menakutkan.

“Besok tidak ada pelajaran Ibu, Andre” Bu Erna tidak menuntaskan nama Andreas.

Ryan saat itu langsung terdiam membisu. “Andre” sahabatnya dulu. Sahabat paling pengertian, serba tau, dan tidak bisa kemana-mana tanpa Andre. Saat seperti ini biasanya Andre selalu bisa membujuk guru. Paling bisa. Hari ini ada rasa rindu yang datang serentak. Andre gimana kabar lo? Kapan kita bareng lagi? batin Ryan penuh tanya. “Lisna” katanya pelan. Dimana ada Andre pasti ada Lisna. Dan dimana ada Lisna … siapapun itu aku merindukan kalian batinnya lagi.

 “Dimulai ya” Bu Erna mengingatkan. Ulangan pun langsung dilaksanakan tidak terpengaruh oleh siapun itu yang beberapa kali membujuk Bu Erna.

***

“Ryan rapat jam berapa?” Kanya sudah kesal menunggu.

“Lima menit lagi, belum kumpul semua” Ryan mulai kesal.

“Mulai aja yuk, di dalam juga udah penuh” Kanya menarik pergelangan tangan Ryan dengan kasar “Jangan dibiasakan nunggu yang ga pasti” sesampainya di depan ruang rapat Kanya masih memegang pergelangan tangan Ryan.

“Ehemm” batuk salah seorang di dalam. Memberi kode.

Ryan segera melepas tangannya dari cengkraman Kanya. “Maaf” katanya pelan. “Assalamualaikum wr.wb” Ryan memimpin rapat di depan.

“Waalaikum salam” jawab semua.

“Terima kasih telah hadir pada rapat hari ini. Langsung saja agenda rapat hari ini membahas tentang RAPBO tiap organisasi yang harus sudah saya terima. Saya baru menerima beberapa yang merasa belum mohon secepatnya. Karena, kalo ini masih belum kegiatan kita akan dipending. Boleh saya sebutkan sapa saja yang belum?”

“Boleh”

“Ada dari Paskibra dan PKS, tolong ya secepatnya. Oke selanjutnya, minggu depan ada kegiatan dari PMI melibatkan 5 orang perwakilan dari sekolah kita, yang diambil dari OSIS. Silahkan yang berminat konfirmasi saja pada sekretaris.”

“Untuk  kegiataannya apa aja?“ Astri mengacungkan tangan.

“Kegiatannya ada donor darah bagi yang sudah 17 tahun ke atas bisa ikut berpartisipasi dalam donor darah. Ada  pengobatan gratis. Dan sosialisasi dari PMI tinggkat Nasional”

Ryan terus menjelaskan. Rapat semakin terasa mengasyikan dengan beberapa lelucon yang dilemparkan Rega. Semua tertawa tidak ada kejenuhan yang tergambar. Gelak tawa selesai saat Ryan menutup rapat hari ini. Semua aktivis keluar dari ruang OSIS dengan mimik masih ingin tertawa. Ryan masih di dalam ruangan. Ia memandang luar lewat jendela OSIS. Kenangan yang masih belum bisa terlupakan untuk kesekian kalinya.

Dulu biasanya Ryan yang menunggu rapat selesai. Sambil bermain basket dengan Andre. Lalu saat rapat selesai. Permainan ikut selesai. Ryan bisa langsung mendekati orang yang ditunggunya. Untuk menunggu meskipun lama tapi rasanya menyenangkan. Menunggu orang yang disukai. Memandangnya sambil tersenyum kemudian membalas senyum itu jauh lebih baik bisa terbayarkan. Selama apapun dia rapat Ryan selalu nunggu. Nunggu dengan perasaan baik.

“Gue duluan ya” Kanya sudah membereskan buku agenda di meja.

“Oke” Ryan memandang kanya datar. “Tunggu” panggil Ryan saat Kanya sudah berada di ambang pintu

Kanya membalikan badan “Iya?”

“Terima kasih” katanya singkat.

Kanya menganggukan kepala dan pulang lebih dulu. Ryan masih betah berada di runag OSIS. Masih ingin mengenang masa lalu. Meskipun tempat yang berbeda terkadang tidak memberikan perasaan yang sama.

Ryan kembali mengingat kenangan dulu. Saat orang yang dia sukai mati-matian hidup di OSIS. Lucu juga siapa sangka hari ini ia bisa jadi ketua OSIS. Dulu ia pernah menganggap bahwa menjadi ketua OSIS tidak bisa hidup tenang. Banyak orang menguntit. Melakukan kesalahan sedikit bisa jadi patal. Sekali melanggar aturan bisa dipermasalahkan oleh siswa lain. Tapi Ryan sudah membuktikan anggapannya salah. Jadi, ketua OSIS jauh menyenangkan. Dulu memang tidak pernah berminat. Toh yang dia lakukan sudah jarang sesuai dengan atura. Yang terpenting bagaimana orang tetap percaya pada dia. Tiba-tiba bibirnya membentuk senyuman.

Flash back

“Aku rapat dulu” gadis itu mencoba menjelaskan.

“Iya, aku tungguin”

“Engga, gak usah. Rapatnya lama” terus meyakinkan.

“Ga apa-apa, aku sekalian latihan basket sama Andre” Ryan menunjuk Andre yang sedang asik bermain basket di lapang bersama beberapa kawannya.

“Ya udah terserah kamu aja” dia meninggalkan Ryan di depan Perpustakaan. Sementara dia masuk ke dalam ruang OSIS di belakang Perpustakaan .

Ryan ikut gabung dengan Andre. Mereka mulai beradu skor dengan format pemain 3 lawan 3. Ryan terlihat begitu lincah memainkan permainan. Sementara temannya yang dua lagi menunggu lemparan bola. Hap… hap.. bola masuk dengan selamat.

“Horee” teriak tim Ryan yang memenangkan pertandingan.

Andre mengacungkan jempol sambil berlalu mengambil air minum di tasnya. Ryan mengikuti dari belakang. “Aku kan menang, jadikan traktirannya?” Ryan membalikan badan. Mengacungkan jempol pada timnya.

“Oke oke, nanti deh kalo aku udah nikah sama tukang baso. Aku teraktir kalian semua. Haha”

“Gak bisa gitu dong” Ryan membantah perkataan Andre.

“Iya, siap? Mau kapan?” tawar Andre menyusut keringatnya memakai sapu tangan yang di pinggirnya ada huruf L besar.

“Sekarang juga boleh”

“Haha. Yuk” Andre mengajak timnya dan tim Ryan untuk makan baso bareng di kantin sekolah.

Di kantin mereka membooking meja paling belakang. Katanya biar lebih leluasa. Makanan yang dipesan semua sama mie baso. Maklum namanya juga dijajanin jadi apapun itu harus diterima. Mereka semua makan bersama tawa yang membludak. Kalau sedang hening mereka saling gondokin. Dan terakhir mereka memainkan permainan TOD itu loh permainan jadi kita harus jawab jujur setiap diberi pertanyan atau melakukan perintah saat kita kalah. Andre banyak boongnya+dikerjaiin semua, suruh peluk bibi kantin.

“Hahaha… cocok Dre” kata salah satu dari mereka.

“Beneran? Aku ajakin nikah nih” Andre memasang wajah serius.

“Beneran” Ryan mengacungkan jempolnya.

“Bibi kita nikah yuk?” ajak Andre memegang tangan bibi kantin sambil berlutut.

“Nih si aa mah kaya yang tidak laku saja” bibi katin protes.

“Biarin bi aku sayang sama bibi” kata Andre terus memegang tangan bibi kantin.

Semua orang yang berada di kanting melontarkan teriakan yang histeris. Ryan memperhatikan itu semua hanya bisa tersenyum malu. Timnya juga sama teriak-teriak heboh sambil ketawa ngakak. Siapaun itu tidak tahan melihatnya. Ada juga diantara penghuni kantin yang bisik-bisik. Mungkin mereka mengira itu beneran. Ya, biasa lah tukang gosip tidak pernah punah.

“Bibi ayo dong jawab” Andre memaksa dengan gombal.

Si bibi melepaskan tangannya dari Andre,”Udah ah malu, bibi kan udah punya suami”

“Bi aku rela jadi yang ke dua” Andre merengut sedih. Ekspresinya persis orang teater.

Bibi cuman tersenyum malu. Gigi ompongnya keliatan. Tim yang duduk dengan Ryan melontarkan kalimat paling mengejutkan untuk Andre dengar, “Woy, inget l\Lisna!” katanya lantang sekali.

“Haha… udahan ah, makasih ya bi” Andre menyalami tangan si bibi, “Maaf bi cuman bercanda” ia kembali bergabung bersama Ryan. semua tertawa malihatnya. Mukanya jadi merah malu.

“OSIS udah bubaran?” tanya Ryan ke adik kelas yang lagi memesan baso pinggirnya.

“Udah ka, barusan” jawabnya imut.

“Hey, aku duluan ya. Andre makasih” Ryan tos satu persatu sama Andre dan timnya. “Dre, kamu ga nunggu Lisna” tanya Ryan selesai tos dengan Andre.

“Ada urusan” kata Andre sambil jempolnya menunjuk-nunjuk arah belakang.

Ryan mengangguk. Pergi meninggalkan kantin. Di depan perpustakaan dia udah nungguin Ryan. sendirian sambil terus melihat jam tangan. Ryan segera berlari untuk menemuinya.

“Yuk” ajak Ryan. tanpa banyak cakap. Gadis itu mengikuti Ryan dari belakang. Mereka pulang bareng lagi. Tadi, katanya gadis itu nunggu Ryan di ruang OSIS sambil terus liat lewat jendela. Pas dikasih tau Ryan akan segera datang. Dia meninggalkan ruangan dan nunggu depan perpus. Katanya supaya Ryan engga susah nyari.

Sekarang keduanya berjalan sejajar. Mereka masih terdiam tidak berbicara apa-apa. Sudah terbiasa dalam keadaan hening. Hening berkelanjutan. Baru setelah beberapa langkah lagi menuju ujung gang. Mereka memecah keheningan.

“Meskipun saling berkata dengan keterbatasan. Itu jauh berkesan. Ketimbang berkata panjang lebar. Tanpa arti.” Kata gadis itu pada Ryan. Kata-kata yang punya makna sendiri di hati Ryan.

“Tok…tok…tok…” suara ketukan pintu menghancurkan lamunan Ryan. Ia membuka pintu.

“Loh kamu kok masih di sini? Cepat pulang” penjaga sekolah menyuruh Ryan pulang. Di tangannya menenteng kunci ruangan.

“Masih di sini? Barusan kan baru selesai rapat. Jadi, saya nunggu dulu di sini” Ryan menyampirkan tasnya di bahu kiri.

“Barusan apanya? Ini udah jam berapa” penjaga sekolah menunjuk jam tangan.

Ryan melihat jam. Jam menunjukan pukul 18.00. hah? Pantas saja langit terlihat hitam.

“Kamu dari tadi tidur, saya tidak berani membangunkan”

“Barusan kok membangunkan?” tanya Ryan keheranan.

“Karena, ini sudah malam. Cepat pulang nanti dicariin orang tua” penjaga sekolah lekas-lekas mengunci pintu ruangan. Ryan pergi meninggalkan.

Ternyata tadi ia bermimpi. Dikira cuman melamun saja. Ternyata tertidur lama. Sekali. Dari jam dua sampai langit gelap. Ryan menyetop taxi di pinggir jalan depan gerbang sekolah. Taksi berhenti dan membawa Ryan meluncur pulang. Di spion kaca wajah Ryan terlihat kusut. Akibat tidur yang tidak ingin diakui.

Senja sama sekali tidak terlihat di langit ibu kota. Gedung pencakar langit yang terlihat lebih jelas dari senja yang tinggi. Ternyata gedung-gedung itu mampu menyaingi senja. Suatu waktu paling indah untuk dilihat. Andai saja Ryan masih di rumah Mamanya. Jam segini senja terlihat sangat indah. Dengan langit berlapis-lapis. Lapisan bawah membiaskan warna kuning. Lapisan tengan mulai menjingga yang bercampur putih. Lapisan paling atas sudah menjadi lapisan biru. Lapisan biru dengan garis zig-zag oranye. Biasanya terbias pada dinding beton rumah-rumah. Tapi, kali ini langit selalu terliat seperti itu. Hitam. Biru. Putih. Tidak ada aksen paling indah. Para pelukis pun akan kecewa. Mereka akan berhenti melukiskan keindahan senja.

Kapan bisa bermandikan senja lagi bersama  batin Ryan berharap. Ia terus memalingkan tatapan ke luar lewat jendela kaca mobil.

“Stop, di sini Pak” Ryan menuruh supir taksi berhenti, gedung apartemennya sudah terlihat.

Taksi berhenti tepat di depan gedung apartemennya. Ryan memberikan uang yang kembaliannya diberikan semua pada supir taxi. Ryan menutup pintu taksi. Pergi memasuki gedung apartemen. Tiap hari kalau diperhatikan meja resepsionis tidak pernah sepi. Dari mulai pergi sekolah sampai pulang lagi selalu sibuk. Malam juga sama. Sebenarnya apa yang mereka bicarakan. Hampir setiap hari melayani tamu atau penghuni apartemen.

****

“Kanya, Astri, Rega, Gabriel” Ryan mengabsen nama-nama yang tercamtum dalam buku catatannya.

“Hadir” jawab mereka serempak.

“Tugas kita adalah membantu para PMI, tolong jaga sopan santunnya. Meskipun kita disuruh, tapi jaga sopan dan santunnya. Jangan ada yang banyak komplen. Nah, nanti kalau melayani pasien. Jangan menunjukan ekspresi tidak peduli”

“Bukannya lo yang suka gitu”  Rega mencibir perkataan Ryan.

“Eh, ini beda lagi” Ryan merapihkan bajunya. “Oke teman-teman, mari kita mulai bekerja. Sesuai tugas masing-masing” Ryan mengacungkan kepalan tangan di udara.

“Oke” jawab semua serempak. Tak lama kemudian mereka sudah menyebar sesuai dengan urusan masing-masing. Seorang perawat perempuan memberikan jas putih pada setiap panitia yang bertugas melayani segala keluhan pasien sebelum diperiksa dokter. Yah, sudah seperti magang di rumah sakit. Ryan lihatlah, dia terlihat gagah dengan setelan jas kotak-kotak abu yang dibungkus jas putih. Dengan celana jeans tidak ketat. Dan sepatu model trump warna hitam. Sudah seperti dokter beneran. Tampan dan layak.

Banyak pasien yang antri di depan tenda Ryan kebanyakan ibu-ibu dan anak muda. Ada yang memang sedang sakit dan ada yang mau donor darah. Rasanya selalu yang lebih baik yang lebih menarik. Rega di tengah sibuk bermain dengan blangkarnya. Astri dia entah kemana? Mungkin saja dia sedang bersembunyi di tenda panitia. Kanya dia sedang sibuk menulis di samping laki-laki dari sekolah lain.

Acara ini banyak di datangkan dari berbagai daerah khususnya di pulau Jawa, ada 20 PMI kabupaten/kota yang diikut sertakan. Makanya dari tadi banyak orang-orang beda suara. Beda gaya bicara. Dan beda raut wajah. Ryan berdiri dari kursinya, ia berganti tugas dengan PMI lain yang sudah menunggu. Tugasnya sekarang bergelut dengan PMI nasional di lapangan.

Bruk! Pundaknya menubruk gadis yang membawa nampan berisi air dan makanan.

“Maaf” Ryan menundukan kepala.

“Iya” gadis itu terdiam lalu, “Ryan, ini Ryan Mathew?”

“Iya” Ryan mendongkakkan kepalanya, matanya menerawang. Pikirannya memutar-mutar. Mengulang kembali setiap wajah dalam rekaman kepalanya. “Oh” Ryan menunjukan tangannya di depan gadis itu. “Tasya?” tanya Ryan pasti.

Gadis di depan Ryan tersenyum manis, mengangguk-anggukan kepala. Ia menaruh nampan di atas meja. “Kamu? Apa kabarnya?” tanyanya riang.

“Baik, kamu?” Ryan mengulurkan tangan.

Tasya membalasnya, dengan genggaman paling lama. “Sama seperti kamu, lho kamu kok bisa ada di acara ini? Ikutan PMR?”

Ryan menarik kembali tangannya. “Engga, jadi perwakilan dari sekolah buat acara ini” memperhatikan sekitar, takutnya ada yang mata-mata terus dilaporkan kepada panitia PMI. “Kamu sendiri?”

“Aku…” tunjuknya pada diri sendiri “Aku kan ketua PMI kabupaten, jadi diikut sertakan, lumayan lah sambil jalan-jalan di Jakarta. Oh iya” Tasya teringat sesuatu “Udah ada kiraman dari aku?”

Ryan terdiam memikirkan maksud kiriman Tasya, “Oh” teringat kembali kotak berisi jam tangan “Kotak itu kan, yang isinya…”

Tasya menempelkan jarinya di depan mulut Ryan “Suuttt, iya aku ngasih itu kamu udah baca kan suranya?”

“Udah” jawabnya singkat.

“Oke deh, Ryan aku masih dua hari lagi di sini, bisa gak kita jalan menikmati indahnya Jakarta?” Tasya berharap, dari jauh hari sebelum berangkat ke Jakarta ia sudah mempersiapkan ini semua. Kalau ia berhasil bertemu dengan Ryan maka yang akan pertama kali dia minta adalah jalan berdua. Semacan ngedate gitu. Katanya Jakarta itu penuh cinta, banyak tempat-tempat paling indah untuk dikunjungi. (Tapi, nyatanya engga juga).  Tasya tidak ingin melewati kesempatan ini dengan begitu saja. Kesempatan yang awalnya ketidak sengajaan. Akhirnya berujung temu juga batinnya penuh rasa senang dan tidak terduga.

“Jakarta ga baik” ia menjawab seenaknya.

“Maksud kamu? Bukannya banyak orang yang pengen ke sini?”

“Entahlah” Ryan mengangkat bahunya.

“Mau ya Ryan, minta no kamu dong bair gampang ngabarinnya”

“Hah?” ia mengangkat halisnya “Tunggu aja depan Monas, maaf ya masih banyak urusan” Ryan meninggalkan Tasya begitu saja. Tasya menatap Ryan tidak percaya. Semudah itu dia mengakhiri pertemuan petamanya di saat mereka sudah tidak pernah betemu kembali. Beda sekali dengan Ryan dulu. Tapi, Ryan sekarang lebih tegas dan tampan. Mukanya sudah lebih dewasa dari Ryan yang pernah ia kenali. Tasya kembali membawa nampan dan pergi ke ruang pemeriksaan.

Ryan tidak merasa baik saat ia bisa bertemu Tasya, tahun lalu saat ia akan pindah ke Jakarta ia pernah berjanji pada Tasya katanya “Sya tunggu aku ya”, tapi sepertinya janji itu sudah hilang begitu saja. Dan sebenarnya orang yang harusnya mendengar janji Ryan bukan Tasya melainkan… “Seseorang di masa lalu”. Ia bergabung dengan kakak-kakak PMI cabang Jakarta yang sedang asyik memperagakan pertolongan pertama pada korban bencana alam.

“Oke ade-ade coba siapa yang mau maju ke depan?” tanya seorang instruktur PMI lewat pengeras suara. Ia berbadan tinggi dengan setelan baju putih-putih dan dilehernya melingkar kain merah. Tampan sekali kaca matanya pas dengan bentuk wajah yang dia miliki.

Ryan yang saat itu berada di barisan ke dua, langsung maju ke depan. Gaya berjalannya santai, matanya lurus ke arah kakak PMI, wajahnya datar saja. Sedangkan teman yang lain memilih lari buru-buru. Tiga orang peserta sudah berdiri berdampingan dengan kakak PMI bernama Arka.

“Ade-ade yang cantik dan ganteng ini siapa namanya?” tanya Kak Arka memberikan pengeras suara pada cewe bertubuh tinggi sebelah kanan Ryan.

“Hallo, nama saya Salsa, saya dari SMA 60 Jakarta” Salsa dadah-dadah ke arah barisan timnya.

“Selanjutnya” Kak Arka memberikan pengeras suara pada Ryan.

“Nama gue Ryan” katanya datar.

Kak Arka mengerutkan dahinya, lalu ia tersenyum manis menanggapi perkanalan Ryan tadi. Ryan langsung memberikan pengeras suara ke samping kirinya. Tanpa aba-aba dari Kak Arka dulu. Yang di sampingnya langsung memperkenalkan diri

“Hallo, nama gue Randy Maharandy, gue dari SMA 52 Jakarta” dia menatap sekitar, “Dan gue ketua PMR di sekolah” Randy tersenyum mengakhiri perkenalannya, teriakan cewe-cewe lebih histeris dari teriakan ke Ryan. Ada yang manggil “Kakak” ada yang manggil “Ganteng” macem-macem. Kak Arka celingukan kok malah jadi kaya jumpa fans pikirnya.

“Yah, ade-ade sekarang, kalian ikuti apa yang kakak tadi peragakan” Kak Arka menunjuk tiap tempat untuk masing-masing orang, Ryan di bagian mengangkat pasien yang tergeletak pingsan. Salsa di bagian membungkus luka dengan perban dan Randy di bagian bagaimana memberi pertolongkan pertama pada korban.

“Tolong kakak-kakaknya dibantu” kata Kak Arka terus memperhatikan para peraga di depannya. Kak Arka terus berbicara dengan pengeras suaranya, terakhir tepuk tangan meriah dilontarkan oleh seluruh peserta. Penampilan dari PMI selesai sudah, diganti dengan beberapa pementasan seni dari tiap sekolah.

Ryan memilih pergi meninggalkan lapangan. Ia memilih duduk di tenda panitia. Dipikirkannya kembali apa yang telah ia katakan pada Tasya “Tunggu aja depan Monas” memangnya ia bisa menepati janjinya itu. Selama ini Ryan sudah jarang pergi berdua dengan perempuan. Ia sendiri ragu dengan janjinya tadi, haruskan pergi menepati dengan seribu rasa tidak baik atau biarkan saja dengan memberi sedikit alasan. Takutnya Tasya bakalan menganggap kalo Ryan laki-laki tidak tau berterima kasih atau apalah. Kalau ketemu juga tidak lebih baik.

Ryan menutup matanya menghentikan reaksi otak yang terus berpikir. Seperti biasa  kakinya di selonjorkan. Tangannya dikepal di depan dada. Matanya meredup dan ia mulai teridur lebih tenang.

***

“Rega! Ga!” panggil Kanya. Rega di lapang sedang fokus menyaksikan penampilan pentas terakhir dari band perwakilah sekolah asal Bogor. Pandangannya sibuk memperhatikan. Alunan musiknya membius fokus Rega. Kanya yang terus memanggil tidak dipedulikan sama sekali. Karena, di lapang lebih berisik dari tempat Kanya memanggil.

“Regaaaa!” Kanya berteriak kesal. Rega tetap saja mengacungkan tangannya menyamakan alunan musik. Kanya berlari menghampiri Rega.

“Woyyyyyy!” teriak Kanya di telinga Rega.

Rega mengelus-elus telinganya, “Apaan sih” teriak rega lebih menampakan wajah kesal.

“Buruan kita cabut dari sini” teriak Kanya.

“Duluan apa susahnya, gue lagi asik nih” teriak Rega depan wajah Kanya. Mereka saling berteriak, suara musiknya terlalu bising untuk ukuran telinga manusia.

“Ryan mana?” tanyanya, yang menurut dia Ryan ada bersama Rega. Dari tadi dia sudah tidak menemukan Ryan. Sebelum akhirnya memilih Rega untuk diajak pulang.

“Mana gue tau, emang gue emaknya!” teriak Rega kesal. Ia kembali mengalihkan pandangan pada penampilan di depannya yang sudah mengganti lagu.

Kanya pergi meninggalkan Rega setelah mendengar reaksi Rega yang terlihat mengesalkan. Apaan sih si Rega gerutunya kesal. Kanya pergi ke tenda panitia untuk mengambil jaketnya yang tertinggal.

Di dalam tenda sepi sekali. Beberapa perlengkapan sudah dibereskan. Tinggal tas-tas pengisi acara yang masih stay di atas panggung. “Siapa tuh?” Kanya kaget melihat ada orang sedang menunduk di kursi dengan pakaian putih. Ia berjalan mengendus berhati-hati ditangannya botol air mineral sudah di siapkan. Takutnya orang itu berontak dan ia bisa melempar botol itu ke mukanya.

Kanya menghela napas panjang setelah mengetahui orang yang menunduk itu. “Ryan” panggilnya.  Ryan sama sekali tidak peduli dengan panggilan Kanya. “Kamu itu selalu tidur, pasti kamu lagi punya masalah” Kanya memandang Ryan penuh perhatian.

Tangannya mencoba menyentuh tangan Ryan, tapi tidak jadi. Ada keraguan yang ia tunjukan saat harus melakukannya. “Ryan, bangun” akhirnya Kanya memutuskan untuk membangunkan Ryan. Tangannya dialihkan ke pundak. Menepuk pundak Ryan pelan.

Ryan membuka matanya perlahan. Memicingkan matanya ke arah Kanya. Lalu memalingkan ke derah sekitar. Sudah sepi, tinggal dia berdua dengan Kanya.

“Mau ngapain?” tanya Ryan tidak ingin diganggu.

“Ngajakin lo pulang, acara udah beres”

“Gak usah diajakan juga gue bisa pulang” Ryan berdiri melepas jas putihnya. Melipat lalu  memasukannya ke dalam tas.

“Biasa aja dong” Kanya pergi mendahulu Ryan. Hatinya selalu kesal saat harus berhadapan dengan laki-laki itu. Baik. Baiknya cuman sekali dua kali. Seringnya bikin kesel. Dan kalo boleh gua pengen nonjok muka loe Kanya menggerutu kesal.

Ryan juga ikut meninggalkan tenda panitia. Ia berjalan di belakang Kanya yang sudah cukup jauh dari jaraknya. Maaf teriak Ryan tidak terlalu keras. Di halte Ryan memilih naik taksi, naik bus sama saja bohong. Ia bisa satu bus dengan Kanya dan merasa selalu bersalah. Sadar atau pun tidak Ryan tidak pernah ada maksud membuat Kanya kesal. Hanya saja ia mencoba memberi jarak antara dia dengan Kanya. Karena, saat bersama Kanya selalu ada rasa besalah.

Taksi melaju pergi membawa Ryan menuju arah tujuannya. Dalam taksi seperti biasa Ryan selalu memalingkan pandangan pada jalanan. Melamun sesuatu yang membuatnya semakin rumit. Ditambah lagi perbincangan singkatnya dengan Tasya. Seharusnya tadi tidak bertemu Tasya, atau tadi pura-pura tidak kenal. Jadinya tidak seperti ini.

Taksi berhenti di depan apartemen, Ryan keluar menutup pintu mobil dengan wajah pucat. Langkahnya berat, kedua matanya sayup. Sudah bukan hal yang biasa saat wajah Ryan berubah menjadi pucat. Bahkan resepsionis di loby juga sudah bosan saat menemukan Ryan pulang dengan keadaan seperti itu. Diperingati juga percuma ia akan pulang seperti itu lagi. Paling sekali dua kali Ryan pulang dengan wajah berseri seperti di pagi hari.

Klik pintu lift terbuka. Ia melangkah. Memijit lantai kamar apartemennya.

“Permisi” kata seorang gadis disampingnya.

Ryan melirik samping, mendapatkan ia telah berdiri berdua bersama orang tak di kenal dalam satu lift. “Iya”

“Kamu tinggal di sini juga?” tanyanya, gadis itu seperti sudah pulang dari acara dengan memakai mini dress warna putih dengan bunga-bunga kecil warna cerah.

“Iya” jawab Ryan singkat.

“Oh, sama dong. Kenalin nama aku Sivia” Ia mengulurkan tangan ke samping.

Ryan membalas jabatan tangannya, “Ryan” Ia memandang gadis itu sedetik dan kembali memandang depan pintu yang tertutup.

“Ryan, sekolah dimana?”

“Di….” Mulutnya terkunci sesaat. Matanya fokus ke arah Sivia. Sesaat hening melanda keduanya. Sivia yang tidak mengerti hanya bisa menatap balik Ryan. Kamu, ada di sini? Ryan membatin, bibirnya keluh bayang-bayang dari masa lalu. Kamu? Disini? kerongkongannya kering, serak-serak yang didengar.

“Iya?” gadis bernama Sivia itu tak mengerti apa maksud Ryan.

Dengan penuh kekuatan ia beberapakali menelan ludah berharap kerongkongannya tidak mengering dan, “Maksudnya, kamu juga tinggal di sini?”

Sivia menganggukan kepala, jawaban yang aneh “Tapi aku baru pindah satu bulan yang lalu”

“Dari?” Ryan buru-buru bertanya asal Sivia. Ia berharap Sivia orang yang sama seperti masa lalunya, semoga dia memang orang itu yang mungkin sekarang sedang mengalami amnesia. Bagaimana tidak, wajahnya sama persis, tingginya juga sama. Hanya rambutnya yang terlihat asing. Dulu rambut orang itu pendek sebahu. Tapi, Sivia berambut panjang terurai tebal.

“Aku dari Aceh, kami pindah ke Jakarta karena..” Sivia menghela napas “Ya karena, pilihan terbaik untuk keluarga kami adalah pindah”.

Ryan mengangguk putus asa. Ternyata sama sekali bukan orang yang sama. Tak bisa dipungkiri wajahnya sama. Setelah mengetahui Sivia bukan orang yang dia cari. Di matanya wajah Sivia berubah menjadi tidak sama sekali persis. Kembali lagi, cara terbaik untuk menemuinya adalah kembali pulang ke derahnya dulu.

Klik pintu lift terbuka di lantai 4. Sivia keluar lebih dulu.

Nice to meet you” Sivia melambaikan tangan.

Nice to meet you too” Ryan tersenyum membalas lambaian tangan Sivia. Hampir saja dia bertemu masa lalunya. Orang paling ditunggu selama ini. Orang paling dirindukan.

Andai saja ada kesempatan, hal yang akan pertama kali dilakukan adalah, bertemu dengannya untuk mengucapkan maaf batinnya yang tidak pernah berhenti untuk berharap.

Pintu lift terbuka di lantai 6. Ryan keluar meninggalkan lift. Baru saja menjadi tempat pengharapan yang berujung kekecewaan. Biarlah terpenting dia bisa bertemu masa lalunya lewat tubuh orang lain.

***

Di kursi besi depan monas Ryan duduk sambil mendengarkan lagu Bruno Mars Lazy Song lewat Ipodnya. Matanya mencari-cari. Mencari Tasya yang sudah ia janjikan dua hari lalu saat bertemu di acara PMI. Hari ini Ryan menepati janjinya untuk menemui Tasya di depan monas, yang semula ia sangat malas untuk pergi. Tapi, tidak ada salahnya juga bertemu Tasya. Mudah-mudahan dia mendapat informasi tentang daerahnya di masa sekarang. Semoga juga ada kabar baik dari masa lalunya. Itu juga kalau Tasya mau berbagi. Kecuali kalau dia benar-benar egois untuk tidak berbicara tentang yang satu itu.

“Ryan” mendekati dengan wajah berseri.

“Sini duduk” Ryan mempersilahkan Tasya duduk. Kehangatan yang Ryan miliki kembali seperti dua tahun lalu. Sama seperti Ryan yang Tasya kenal.

Tasya duduk di samping Ryan, ia memberikan minuman kaleng ke arah Ryan. “Nih, kamu pasti kehausan dari tadi nunggu aku”

Ryan mengambil, lalu membukanya, “Makasih, boleh diminum?” Ryan meminta izin terlebih dahulu untuk meneguk minuman kaleng di tangannya.

“Ya boleh lah, tuh kan kamu lagi aus” Tasya sama-sama membuka penutup kaleng itu. mereka meneguk minuman di dalamnya secara bersamaan.

“Seger” kalimat pertama yang Ryan ucapkan setelah minum.

“Oh, iya Ryan kamu belum jawab surat dari aku. Sekarang ajan balesnya, langsung” Tasya tersenyum malu.

“Intinya aja ya?”

Tasya mengacungkan jempol.

“Ya, aku baik di sini, jauh lebih baik. Banyak hal yang membuat aku berubah. Jakarta mengajariku bahwa hidup di kota besar tidak selamanya menyenangkan. Aku lebih suka tinggal di derah kamu” Ryan meneguk minumannya lagi lalu, “Dan  aku ga bisa pulang sesuka aku, aku udah janji, kalau aku pulang Papa bakalan ikut pulang, lagiankan aku di sini masih harus sekolah.”

“Kuliah mau lanjut kemana?”

“Belum kepikiran” ada hal yang harus dia tanyakan. Jangan, Tasya pasti akan marah. Ryan berhenti untuk bercerita, giliran Tasya yang sekarang akan berbicara panjang lebar.

“Kalo aku mah yang seperti ini, seneng bisa merasakan masa-masa SMA, secara gitu ya. Putih abu-abu” Tasya memandang orang-orang yang berlalu lalang. Dulu ia pernah melihat Ryan jalan berdua dengan orang paling dia benci di tengah kerumunan. Dan dia hanya bisa mengumpat. “Ryan masih ingat dulu aku pernah marah sama kamu?” Tasya teringat saat dia harus membenci Ryan.

Ryan membalasnya dengan senyum, “Aku udah lupa” jawabnya singkat. Untuk Tasya itu kata paling kejam. Tidak bagi Ryan justru itu fakta paling baik. Daripada mengingat masa lalu.

“Masa sih, aku masih ingat. Apalagi pas aku kembali buat maafin kamu, aku pergi ke rumah kamu. Mengucapkan kalimat perpisahaan saat kamu pindah” ingatan Tasya lebih tajam. Ia terus membahas kenangan-kenangan itu.

“Lupa-lupa ingat” Ryan tertawa.

“Ah kamu mah” Tasya ikut tertawa. Mereka terus berbagi cerita. Berpindah tempat dari duduk-duduk menjadi berkeliling. Berdua bersama kerumunan orang yang saling lalu lalang. Seperti kejadian dulu saat ia harus menerimakan bahwa orang yang berjalan bersama Ryan bukan dirinya melainkan orang lain. Dia hanya bisa menyaksikan kegembiran diraut wajah keduanya. Hari ini di tempat yang berbeda. Akhirnya bisa duduk bersama di sebuah tempat paling ingin untuk ditempati. Jakarta.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hei cowok...I like you
753      484     1     
Romance
Hei cowok...i like you, kalimat itulah yang keluar dari mulut cewek berwajah pas-pasan kepada cowok berparas tampan yang wajahnya gak kalah cakep dengan cowok-cowok korea.
Like Butterfly Effect, The Lost Trail
5364      1447     1     
Inspirational
Jika kamu adalah orang yang melakukan usaha keras demi mendapatkan sesuatu, apa perasaanmu ketika melihat orang yang bisa mendapatkan sesuatu itu dengan mudah? Hassan yang memulai kehidupan mandirinya berusaha untuk menemukan jati dirinya sebagai orang pintar. Di hari pertamanya, ia menemukan gadis dengan pencarian tak masuk akal. Awalnya dia anggap itu sesuatu lelucon sampai akhirnya Hassan m...
The Yesterday You
350      248     1     
Romance
Hidup ini, lucunya, merupakan rangkaian kisah dan jalinan sebab-akibat. Namun, apalah daya manusia, jika segala skenario kehidupan ada di tangan-Nya. Tak ada seorang pun yang pernah mengira, bahkan Via sang protagonis pun, bahwa keputusannya untuk meminjam barang pada sebuah nama akan mengantarnya pada perjalanan panjang yang melibatkan hati. Tak ada yang perlu pun ingin Via sesali. Hanya saja, j...
Dear, My Brother
807      519     1     
Romance
Nadya Septiani, seorang anak pindahan yang telah kehilangan kakak kandungnya sejak dia masih bayi dan dia terlibat dalam masalah urusan keluarga maupun cinta. Dalam kesehariannya menulis buku diary tentang kakaknya yang belum ia pernah temui. Dan berangan - angan bahwa kakaknya masih hidup. Akankah berakhir happy ending?
Jika Aku Bertahan
12159      2532     58     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
Aku benci kehidupanku
358      240     1     
Inspirational
Berdasarkan kisah nyata
Tenggelam dalam Aroma Senja
296      206     0     
Romance
Menerima, adalah satu kata yang membuat hati berat melangkah jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Menunggu, adalah satu kata yang membuat hati dihujani ribuan panah kerinduan. Apakah takdir membuat hati ikhlas dan bersabar? Apakah takdir langit menjatuhkan hukuman kebahagian? Entah, hanyak hati yang punya jawabannya.
Summer Rain
205      163     0     
Fan Fiction
Terima kasih atas segala nya yang kamu berikan kepada aku selama ini. Maafkan aku, karena aku tak bisa bersama dengan mu lagi.
Sweetest Thing
2091      1075     0     
Romance
Adinda Anandari Hanindito "Dinda, kamu seperti es krim. Manis tapi dingin" R-
Kamu&Dia
251      195     0     
Short Story
Ku kira judul kisahnya adalah aku dan kamu, tapi nyatanya adalah kamu dan dia.