Read More >>"> Koma (I Love You Laraku) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Pengakuan Lara mengenai perasaannya dalam balutan drama dan dilakukan di muka umum sangat mengejutkan Sello. Tindakan berani, pikirnya. Tapi mengapa bukan Vanda yang melakukannya? Mengapa harus Lara? Sejujurnya saja dia juga punya perasaan terhadap Lara, tapi perasaan yang tidak terdefenisikan. Perasaan absurd. Bukan perasaan yang sama seperti dirasakannya pada Vanda. Ah, kini dia meragu soal perasaan itu ketika membayangi gadis dalam mimpinya yang ternyata bukan gadis impiannya. Gadis itu bukan Vanda!

Dalam pelariannya menuju lapangan Monas, hatinya dibakar amarah. Dia merasa dipermainkan, dibodohi, dikhianati dan dipecundangi oleh... demi Tuhan,  baru pun dia menyadari ternyata pelakunya adalah gadis yang selama ini menjadi bulan-bulanan kenakalannya. Apa dia sakit hati lalu membalaskan sakit hatinya dengan cara halus dan mematikan? Diakuinya gadis itu berhasil melakukannya dan membuatnya terluka teramat dalam. Pembalasannya itu sama seperti seorang pembunuh berdarah dingin yang merenggut kekasihnya secara paksa dari ketidakberdayaan, lalu membunuhnya perlahan-lahan tepat di depan matanya. Itukah yang direncanakannya? Itukah yang diinginkannya?

Mimpi-mimpi itu menyangkal semua tudingannya. Malah ada perasaan lain yang begitu akrab, begitu mempesona, begitu sulit dilupakan dan membuat hidupnya bergairah ketika dirinya terlempar keluar dari mimpi. Dia tak dapat menepis dan membohongi hatinya. Tapi kini setelah dia mengetahui gadis berwajah blur itu ternyata bukan gadis impiannya, dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, benarkah cinta yang selama ini dikukuhkan dalam hati semata-mata buat Vanda?

Baru pula disadarinya bahwa selama ini dia telah menjalani dua cinta yang begitu rumit, bahkan lebih rumit dari kisah cinta yang dialami Deril dalam lakon yang diperankannya. Di alam sadar dia mencintai Vanda dan perasaan itu tidak bisa ditawar lagi. Namun di alam bawah sadar, dia mencintai sosok yang beda, sosok yang begitu bersahaja, berwawasan luas, perhatian, penyayang, bijaksana, dan anggun. Sosok perempuan yang sempurna untuk dicintai setiap lelaki. Diam-diam dirinya mengakui hal itu. Dan diam-diam pula dia jatuh hati pada gadis dari mimpinya. Anehnya, saat bersama Lara ada segudang perasaan sama seperti di dalam mimpi yang sulit diakuinya.

Dalam menggali perasaan yang berkecamuk di hatinya, tanpa terasa dia sudah menjejaki lapangan Monas yang dipenuhi lautan manusia. Dua orang pemandu acara dengan pembawaan riang menyapa penonton yang berteriak tak sabar menyuruh mereka segera menurunkan lagi band idola mereka ke atas panggung. Sello bergegas menuju menemui Andre dan juga Idan serta Jujun. Melihat dari situasi, agaknya pertunjukkan sudah dimulai sebelum kedatangannya. Tentu saja, sekarang sudah hampir pukul delapan. Dia telat dari jadwal yang ditentukan.

"Sorry, bro. Gue nggak bisa menunda acara ini demi menunggu lo. Show must go on." Andre berkata saat bertemu Sello.

"Gue mengerti, Ndre. It's ok."

"Hah, gue mesti siap-siap kena semprot Vanda," ujar Andre lebih kepada dirinya sendiri. "Gue tinggal dulu, ya?"

Sello mengangguk sambil mengacungkan jempolnya, lalu dia beranjak pergi  menemui dua sahabatnya yang sudah pasti kecewa karena gagal tampil.

"Ck! Ini semu gara-gara elo, Sel!" tuding Jujun yang terlihat masam, tapi lucu dengan riasan menor yang belum dibersihkan, ketika Sello hadir di hadapan mereka.  

"Sorry, bro. Gue sudah berusaha ngebut sampai ke sini, tapi tahu sendirilah kemacetan tak kenal kompromi. Penginnya sih gue terbang saja, tapi gue bukan Manusia Krypton." Sello berusaha melucu, tapi terdengar garing di balik suaranya yang tak bertenaga.

"Ya, sudahlah," ujar Idan meski tidak sepenuh hati. Matanya tak lepas menilik ekspresi Sello yang tampak sendu. "Lain kali kita pasti bisa tampil bareng mereka."

"Trims, Dan," sahut Sello.

"Lo kenapa, Sel?" selidik Idan. "Gue melihat seperti ada riak-riak galau di wajah lo."

Sello tersenyum paksa sambil menggeleng pelan. "Bukan apa-apa."

"Jangan bohong deh. Gue kenal elo."

Sello menghela nafas panjang seolah ingin membuang bebannya jauh-jauh. Percuma saja dia bohong, toh suatu saat nanti kedua sahabatnya itu bakal tahu apa yang memberatkan hatinya kini. "Ini masalah... " Dia mendegut kasar. "...Lara."

"Lara?" ulang Idan.

Jujun menegakkan wajahnya, menatap Sello dengan mata menyipit. "Ada apa dengan Lara?"

"Gue... em, begini... ck, entahlah!" Sello bingung harus memulai dari mana. Dia yakin kedua sahabatnya bakal tak percaya atau bahkan menertawainya jika mendengar cerita yang akan diungkapkannnya berawal dari mimpi dan keisengan bertukar foto dan sehelai rambut.

"Ayolah, Sel. Jangan membuat kami mati penasaran menunggu cerita lo." Idan mendesak seperti anak kecil yang tertarik pada mainan baru dan lupa kalau barusan dia merajuk seperti tidak mendapat permen.

"Kalian mungkin akan menganggap gue konyol."

"Emang lo banget," timpal Jujun, tidak bersungguh-sungguh.

"Gue serius, Jujun." Tatapan Sello segera mengancam dan Jujun langsung bereaksi dengan mengangkat tangan. Kemudian dia melanjutkan dengan beralih pandang pada Idan, "Lo pasti ingat cerita mimpi gue kan?"

"Mm-hm. Terus?"

"Mimpi gue bukan direspon Vanda, melainkan cewek lain."

"Maksud lo? Sorry, gue nggak ngerti."

Sello garuk-garuk kepalanya. "Begini, gue pernah bertukar foto dengan Vanda melalui Lara. Tujuannya supaya gue terkoneksi dengan Vanda di dalam mimpi." Berhenti sebentar menilik ekspresi kedua sahabatnya yang mendengar dengan dahi mengerut.

"Emang bisa?"

"Bisa."

"Caranya?"

"Nanti gue jelasin. Tapi yang jelas itu berhasil. Gue memimpikan... nah, di sini masalahnya. Gue bukan memimpikan Vanda melainkan... Lara."

Idan dan Jujun sama-sama terperangah, lalu tatapan mereka menuding Sello.

"Serius?"

Sello mengangguk kaku.

"Kok bisa?"

Sello mengangkat bahunya, tapi akhirnya dia menceritakan bagaimana Lara bisa sampai terlibat dalam mimpinya sampai pengakuannya di atas panggung tadi.

"Gue bingung bro. Sebenarnya cinta gue ini ke siapa?" Sello melemparkan tatapan menerawang, sementara hingar-bingar musik di atas panggung terus berlanjut. Sekarang giliran Band Nidji yang perform. Fans mereka segera menjerit histeris memanggil-manggil nama personil band, lalu tak berapa lama semua larut dalam menyanyikan lagu "Indahnya Cinta".

"Lo lebih tahu daripada kita, Sel." Idan merangkul bahu Sello berupaya menenangkan kegalauan sahabatnya. "Hati lo sendiri bilang apa?"

"Andai gue tahu."

"Lo dan Lara belakangan ini berteman baik, akrab malah," kata Idan. "Sangat jauh beda keadaannya saat sebelum Vanda hadir di sekolah. Lo teror bagi Lara, tapi dia tidak menaruh dendam sama lo. Sedangkan Vanda, sorry, bro, kemana saja dia saat lo butuh dia? Posisi tersebut selalu diisi Lara. Lara selalu ada buat menenangi perasaan lo yang galau menggila. Gue yakin banget kalau Lara juga mencintai lo, Sel, tapi dia tidak berani menyatakannya secara langsung."

"Gue juga sependapat," Jujun menambahkan.

"Iya, tapi... " Andre datang menyela ucapan Sello.

"Untung kalian masih di sini," ucapnya dengan ekspresi lega. "Siap-siap setelah Nidji perform giliran kalian naik ke panggung. Satu lagu saja."

Idan dan Jujun saling pandang dengan mata melebar. "Serius?"

Sello mengangkat pandangannya menatap Andre sejurus.

"Gue nggak mau mati dicekik Vanda!" Andre melenggang pergi meninggalkan trio D'BandIt yang masih melongo.

"Hei, hei, ayo lekas!" seru Idan semangat. "Jangan sampai dia berubah pikiran. Dan untuk masalah lo, Sel, sebaiknya lo pertimbangkan lagi omongan gue juga perasaan Lara tentunya. Tuh cewek manis kok, pintar lagi. Percuma juga lo mengejar Vanda kalau ternyata cinta lo nggak berbalas." Berjalan tergesa-gesa menuju ke belakang panggung. Jujun terseok-seok menyusul, melangkahkan kakinya yang beralas sepatu bertumit tebal dan tinggi.

Sello menghela nafas, diam sejenak. Sepintas bayangan Lara singgah di pikirannya. Ya, Tuhan, apa aku juga mencintainya?

Usai Band Nidji turun dari panggung, pemandu acara naik dan berbasa-basi sedikit dengan lawakannya yang terdengar garing, lalu memanggil D'BandIt naik ke atas panggung.

Bisa dibilang ini merupakan pengalaman mereka pertama perform di atas panggung besar berskala konser yang disaksikan ribuan penonton. Ada rasa grogi yang membuat degup jantung mereka berpacu kencang.

Sello menarik nafas panjang dan dalam sebelum meraih standing mic, lalu menyapa penonton. Hening. Tidak ada teriakan histeris seperti sebelumnya. Melihat reaksi dingin dari penonton, Sello segera memberi kode pada Jujun dan Idan untuk memulai. Mereka membawakan lagu Dear God yang sudah mereka latih.

Sello tampak menghayati lagu yang dibawakannya. Sambil bernyanyi, pikirannya membayangi perjalanan mimpi yang dilaluinya bersama Lara. Dari benci, butuh dan akhirnya... Demi Tuhan, dia mengutuki dirinya karena bingung menggambarkan perasaannya kini. Semua perasaan itu campur aduk bagai permen nano-nano.

Pada pertengahan lagu, matanya menangkap sosok Lara dalam sorot cahaya lampu tembak di antara penonton yang seolah dikomando menepi, memberinya ruang di tengah-tengah mereka. Seketika ada getar-getar bahagia dan rasa tenang yang menghampiri relung hatinya, menepis semua rasa yang menggalau. Alih-alih menemukan perasaan baru, Vanda muncul tegak mengapit Lara. Perasaan Sello segera terpecah antara dua gadis yang menyaksikan aksinya dari kejauhan. Tapi dominasinya lebih mengarah pada Lara. Benarkah cinta ini untuknya?

Usai perform, dia tidak langsung menemui kedua gadis itu, melainkan menemui Andre untuk berterima kasih karena telah memberi mereka kesempatan untuk tampil.

"Say thanks to Vanda. Ide itu dari dia." Sebelum beranjak, Andre berkata lagi, "Mereka menunggu kalian." Lalu dia mengerang dan menggerutu. "Thanks, Van! Lo sudah bikin gue repot malam ini!" Nyelonong pergi.

Sello tercenung sesaat sebelum Idan merangkul bahunya. Ketika perform tadi dia ikut merasakan getaran suara Sello yang sangat menghayati lagu seperti suara yang telah lama berada di kedalaman jurang hati yang dingin dan gelap. Dia sampai merinding mendengarnya.

"Gue teringat omongan nyokap lo dan gue setuju sama omongannya. Dalam hal ini lo harus bersikap tegas kemana hati lo mesti berlabuh," ucapnya.

Sementara itu mereka tidak menyadari pemandu acara sedang membahas penampilan mereka yang dinilai bermain apik dan menghibur.

"Tapi cewek ini Lara, Dan."

"Emang kenapa dengan Lara?"

"Gue pernah menjahatinya."

Pemandu acara selesai mengoceh, lalu memanggil grup band Noah ke atas panggung.

"Itu kan dulu, Sel," sahut Jujun. "Gue pikir lo memang ditakdirkan untuk Lara deh."

"Jujur saja dengan perasaan lo, bro," kata Idan.

Jujun kesal melihat kebimbangan Sello. Tidak biasanya sahabatnya, sang Arjuna, lamban mengambil keputusan terlebih soal cinta. "Lo gengsi atau apa sih? Kita gak bakal menertawai lo karena harus menjilat ludah sendiri."

Jujun benar. Sebenarnya itu juga yang menjadi alasan keraguan hatinya. Gengsi. Dia terlalu gengsi menerima kenyataan bahwa perasaannya selama ini lebih ditujukan kepada Lara, meski namanya tak pernah disebut dalam mimpi sekalipun. Namun setelah mengingat-ingat kejadian secara keseluruhan, bukan tidak pernah dia memikirkan Lara. Sering malah. Bahkan menjelang tidur, Lara selalu melintas di pikirannya sebelum akhirnya beralih ke Vanda.

Idan menyikut lengan Sello membuyarkan lamunannya. "Woi!" tegurnya. "Pake bengong lagi."

Band Noah mengalunkan lagu "Separuh Aku".

Seutas senyum merebak di wajah Sello. Tanpa berkata-kata apa-apa lagi, dia pergi meninggalkan Idan dan Jujun, setengah berlari menemui Lara yang masih berada di tempatnya semula.

"Lara."

"Sello."

Mereka terpaku. Saling pandang. Saling menebar tanya dan harapan di balik tatapan mata. Inikah namanya cinta?

"Aku..." Sello tercekat. Kata-kata yang tersusun rapi di benaknya menguap.

"Dengar Laraku... " Vanda muncul dalam pengawalan dua lelaki berjaket kulit, sambil mengikuti refrain yang disenandungkan Ariel Noah. "... Suara hati ini memanggil namamu... karena separuh aku dirimu." Dia meraih tangan Sello dan Lara sambil tersenyum tulus saat menyatukannya. Sello tampak kikuk. Begitu juga Lara. "Kalian ini kayak baru kenal saja sih."

Lara tersipu malu. "Apaan sih kamu?"

"Ra," ucap Sello lirih. "Perasaan ini sangat membingungkanku. Satu sisi aku marah sekali padamu karena kamu telah membohongiku. Namun di sisi lain, aku tak bisa menampik perasaan yang telah kamu hadirkan buatku atas nama Vanda. Dan aku mencintainya, gadis di mimpiku."

Pegangan Lara perlahan-lahan melepas. Kecewa. Ucapan Sello lebih terdengar seperti penolakan daripada ungkapan cinta. Dia tidak mengharapkan hal itu.

"Sel," cetus Vanda. "Lara sangat mencintaimu."

"Aku tahu," jawab Sello. "Tapi aku mencintai cewek di mimpiku dan aku butuh waktu untuk menerima kenyataan cewek itu adalah Lara."

"Lalu apa yang kamu harapkan sekarang?" tanya Vanda menantang.

"Aku berharap kamu masih mau membuka hatimu untukku."

"Tidak bisa dan tak akan pernah bisa, Sel." Vanda mengangkat tangan, menunjukkan cincin yang melingkari jari manisnya. "Aku sudah bertunangan." Melirik sekilas pada Lara sambil tersenyum penuh arti. "Aku tahu Lara mencintaimu. Karena itu aku yang menyuruhnya, tidak, bukan menyuruh, tepatnya memaksanya untuk memberi sinyal cinta kepadamu lewat mimpi. Kebetulan sekali kau mempermudahnya dengan memberi fotomu kepada Lara. Kupikir itu berhasil karena kau sangat mengagumi Lara yang ada di mimpimu. Kau tergila-gila padanya!"

Sello dan Lara sama-sama terperangah, tapi dengan tujuan yang berbeda. Lara tahu ucapan Vanda tidak benar sama sekali. Beda halnya dengan maksud yang ditangkap Sello. Ucapan Vanda seperti menikamnya dari belakang. Dia marah sekaligus kecewa.

"Sel, jawab aku!" paksa Vanda sambil menggamit Lara dan membuatnya berdiri di sisinya. "Di antara kami berdua, siapa yang paling kaucintai? Jawab pakai hatimu. Jangan libatkan kemarahanmu di sini."

Idan dan Jujun sudah bergabung bersama mereka, namun merasa tak perlu ikut campur.

Sello memandang Lara lama, lalu beralih pada Vanda sambil menggeleng. "Jangan paksa aku menjawabnya, karena pasti ada yang terluka."

"Jika yang kau maksud adalah aku, kau salah besar. Dan jika Lara pula yang kau maksud, kau juga salah besar. Aku sudah ada yang punya ingat?" Vanda menunjuk kembali cincin di jari manisnya. "Dan Lara punya kesabaran setebal lapisan bumi untuk menangkal kepedihan. Itu pun berkat kau yang berkali-kali menyakitinya."

Ucapan Vanda seperti godam yang menumbuk dada Sello. Dia memang telah menyakiti Lara dan memuji kesabarannya. Dia tak ingin lagi menyakiti Lara dengan penolakan dikarenakan gengsi. Itu tidak benar. Dia tak ingin membohongi dirinya lagi. Sebaik apapun dia menghindari Lara nanti, bayang-bayang Lara akan selalu menyinggahi hati dan pikirannya. Dia tak bisa menampik gadis yang di mimpinya adalah Lara karena mereka orang yang sama. Lara sudah menjadi bagian dirinya sejak mimpi itu pertama kali terjadi sampai sekarang.

Sello mendekati Lara, lalu menegakkan wajahnya yang sendu dengan mata berkaca-kaca menatap ke arah lain.

"Katakan sesuatu, Ra."

"Apa, apa yang harus kukatakan, Sel? Semua sudah kaudengar dari Vanda."

"Aku ingin dengar darimu."

"Kau sudah mendengar pengkuanku di atas panggung. Apalagi?"

"Aku butuh penekanan."

Lara mengangguk pelan seiring air mata yang mulai merebak. "Yeah, benar. Aku... aku mencintaimu, Sel. Tak peduli seberapa sering kau menyakitiku."

Bibir Sello bergetar menahan haru. Dia meraih Lara dan membawanya ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, Ra. Maafkan atas sikap burukku terhadapmu," ucapnya. "Aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu. Sungguh. Meski pada mulanya aku bingung dan terlalu gengsi mengakuinya."

Lagu "Separuh Aku" masih mengalun dan dinyanyikan serempak bersama para penonton.

Dengar laraku... suara hati ini memanggil namamu... karena separuh aku dirimu...

***

“Bangun, Ra! Bangun!”

Samar-samar Lara mendengar suara seseorang. Suara lelaki. Masih muda, menurutnya. Suara itu terdengar sangat jauh. Jauuh sekali.

“Maafin gue, Ra.”

Ia kembali mendengar suara yang sama. Tidak hanya itu, ia juga mendengar suara "bip" berulang-ulang. Semakin lama semakin jelas. Bau obat-obatan pun terasa menusuk hidungnya. 

“Sungguh, gue gak sengaja membuat lo begini. Maafin gue.”

“Lara pasti mendengarkan lo, Sel,” kata suara yang lain. Suara perempuan. Masih muda. Lara coba menerka suara-suara itu, tapi otaknya seolah lumpuh. “Gue yakin Lara pasti memaafkanmu,” sambung suara itu.

Perlahan-lahan Lara membuka matanya. “Sello…” Entah kenapa nama itu yang terucapnya.

“Lara?” Dua suara menyahut kompak. “Syukurlah lo sudah sadar,” sambut suara laki-laki.

Lara membiasakan penglihatannya yang sedikit silau oleh cahaya lampu ruangan. “Sello?” Lalu ia coba mengangkat tubuhnya, tapi Sello menahannya.

“Jangan dipaksakan,” ucap Sello.

“Di mana aku ini?” tanya Lara.

“Di rumah sakit,” jawab Sello.

Rumah sakit? Pantas saja aku mencium bau obat-obatan, pikir Lara. "Kenapa?” Ia coba mencerna apa yang terjadi.

“Ini semua salahku.” Sello tertunduk penuh sesal.

“Hai,” sapa seorang perempuan muda mengalihkan pembicaraan. “Gue Melisa. Murid pindahan. Bagaimana perasaan lo sekarang? Hampir sebulan lo koma loh.”

Lara mengernyitkan dahinya. Koma? Hampir sebulan. Ia coba mencerna apa yang dialaminya. Terakhir kali ia berpapasan dengan Sello di ujung koridor di simpang lorong toilet sekolah. Saat ia berjalan bersisian dengan Sello, sesuatu menjegal kakinya dan keseimbangannya pun goyah. Hanya sebatas itu yang ia ingat. Selebihnya…“Aku merasa baru terbangun dari mimpi panjang,” jawabnya.

Sello mengangkat wajahnya, memandangi Lara.

“Aku sudah memaafkanmu,” ucap Lara sebelum Sello mengatakan sesuatu.

“Terima kasih, Ra,” balas Sello. Ia meraih tangan Lara yang terpasang selang infus secara hati-hati. “Kita mulai lembaran baru, ya?”

Lara membalas dengan senyuman. “Kuharap ending-nya semanis kisah seperti di dalam mimpiku,” ucap Lara.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Novel Andre Jatmiko
7596      1698     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Love Finds
13687      2505     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...
Sherwin
328      212     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Intuisi Revolusi Bumi
920      464     2     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
Alicia
1084      504     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Please stay in my tomorrows.
335      236     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Chocolate Next Door
305      212     1     
Short Story
In which a bunch of chocolate is placed on the wrong doorstep
Someday Maybe
9428      1807     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
IMAGINATIVE GIRL
2052      1084     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Verletzt
1179      529     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...