Read More >>"> Koma (Foto di bawah Bantal) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Sello merasa jarak mereka semakin menjauh. Setiap ajakannya ke bioskop, karaokean, ngejam, dinner maupun hang out bersama geng mereka, selalu saja Vanda menolak. Tak ada alasan masuk akal yang diterimanya atas penolakan itu. Lagi PMS. Lagi ada urusan cewek. Lagi tak ingin diganggu. Lagi kedatangan saudara jauh. Bla bla bla. Menurutnya itu semua tak masuk akal, tepatnya seperti sengaja menghindar.

Sello berpikir bahwa Vanda tidak benar-benar mencintainya. Dia mengutuki dirinya tak bisa bersikap tegas membuat keputusan berhenti atau melanjuti hubungan mereka disebabkan mimpi indah yang hadir setiap malam. Mimpi yang begitu nyata, begitu manis dan begitu sulit dilupakan, yang berbanding terbalik dengan kenyataan. Mimpi itulah yang menguatkan diri dan keyakinannya untuk mempertahankan hubungan.

Prasangka buruknya terhadap Vanda menguap seiring kehadiran mimpi-mimpi indah. Mungkin saja gadis itu tipikal gadis yang tidak ingin mengumbar kemesraan di depan umum. Lalu dia merekonstruksi kemesraan itu lewat mimpi. Yeah, mimpi merupakan media yang tepat untuk mewujudkannya sama baiknya seperti di alam sadar, bahkan malah lebih baik, seolah dalam mimpi dia memiliki kesadaran sempurna untuk bisa mengontrolnya. Jadi, tidak heran jika Sello selalu mendapati dirinya berada di tempat-tempat eksotis yang ada di Indoensia yang tak pernah diketahuinya dan terpikirkan. Melalui mimpi pula dia dapat mencurahkan perasaannya kepada Vanda.

Mimpi-mimpi itu telah memberikan kekuatan padanya agar banyak bersabar dalam menghadapi sikap dingin Vanda. Mungkin Lara benar, luka yang dialami Vanda terlalu lebar dan dalam. Lebih baik menjalani hubungan seperti biasa agar dirinya tidak terjebak dalam kegalauan yang berkepanjangan dan latihan musik serta drama tidak menjadi terganggu.

Namun hari ini Sello kembali dibikin kesal, bukan pada hubungan mereka, melainkan oleh ketidaksungguhan Vanda dalam menjalani perannya sebagai Lori. Gadis itu malas-malasan ketika Lara memintanya mengulang adegan di mana tokoh Deril menantang Lori minum racun mematikan sebagai bukti kejujuran dan ketulusan cintanya. Adegan itu merupakan adegan klimaks dari pertunjukan.

"Ayolah, Van," rengek Sello sedikit mendesak. "Dua hari lagi loh, Van. Dua hari lagi kita tampil. Meski tidak menang, paling tidak kita sudah berusaha tampil maksimal dan tidak malu-maluin sekolah. Dengan sedikit trik kupikir adegan ini pasti bisa berhasil."

"Iya, tapi..." Vanda tampak memelas. "Kita tak harus melakukannya, kan? Menurutku adegan ini tidak pantas disaksikan orang banyak."

Lara maklum atas keberatan Vanda melakukan adegan tersebut karena setelah itu ada adegan di mana Deril mencium Lori.

"Ra, coba kamu ke sini," pinta Sello tegas.

"Aku? Buat apa?"

"Sudahlah, ke sini saja!"

Lara ragu-ragu mendatangi Sello dengan ekspresinya bertanya-tanya.

"Nah, coba kamu memperagakan Lori keracunan."

Mata Lara membesar, lalu berpaling ke Vanda minta pendapat dan dibalas dengan anggukan kecil. Lara pun mengangkat tangan pura-pura minum, lalu jatuh ke lantai dengan ekspresi kesakitan.

"Kamu perhatikan ya, Van. Setelah ini buang kekhawatiranmu tentang adegan ciuman nanti." Padahal aku sangat ingin melakukannya. Sello lalu menurunkan badannya, merangkul Lara yang tengah sekarat dalam pelukannya. "Pada saat ini aku cuma menurunkan kepalaku sedikit seolah-olah aku sedang menciummu. Dari bangku penonton akan terlihat Deril menciumi Lori, padahal tidak kena sama sekali." Lihat saja nanti di atas panggung. Aku benar-benar akan melakukannya.

Sementara itu jantung Lara berdegup tidak karu-karuan ketika masih berada dalam pelukan Sello. Darahnya mengalir cepat melewati pembuluh yang seolah melebar agar dapat naik ke wajah dan memerahkannya.

"Ayolah, Van." Hati-hati sekali Sello melepaskan pelukannya. "Mana jiwa Opera House yang selalu kamu bangga-banggakan itu? Tunjukin dong!"

Vanda bergeming.

"Mm... begini saja. Deril tidak perlu mati karena meminum sisa racun yang ada di mulut Lori, melainkan sisa racun yang ada di dalam botol saja. Gimana?" Lara coba memberi solusi.

Vanda mengangguk setuju.

Sama sekali tidak menarik. Sello menghela nafas dengan wajah masam. "Kamu kaptennya. Aku ikut saja," desahnya tanpa semangat.

Lara melirik arlojinya. "Sebaiknya kita sudahi latihan ini."

"Kamu yakin tidak mau mengulangi adegan tadi?" Sello memastikan.

"Kita lanjutin di tempat lain saja."

"Di mana?" Sello bertanya sekaligus berharap bisa latihan di rumah Vanda. Sejak kedatangan pertamanya ke rumah Vanda, setelah itu Vanda melarang keras kepada siapapun untuk datang. Pernah dia curi-curi kesempatan untuk datang, tapi tuan rumah tidak bersedia membukakan pintu. Ketika dihubungi lewat ponselnya, Vanda memberitahukan bahwa dirinya sedang tidak berada di rumah. Dia tahu gadis itu berbohong karena mobilnya terparkir di depan garasi. Tapi saat itu dia cuma bisa mengelus dada dan mengalah demi cinta.    

"Di rumah Lara saja." Vanda menjawab dan berharap Lara tidak menolak.

"Rumahku?" Lara memandangi Vanda, lalu beralih pada Sello.

"Aku hanya ingin yang terbaik." Sello merespon.

"Mm... baiklah. Kutunggu kalian di rumahku pukul... delapan."

***

Malam yang ditunggu datang. Sejak sampai di rumah, Lara menggeser sofa di ruang tamu untuk memberi keleluasaan kedua aktornya saat latihan. Maira pun sibuk di dapur menyiapkan cemilan. Sejak kematian ayahnya, baru kali ini dia tidak lagi melihat kemurungan di wajah putrinya dan bahkan kini Lara sudah bisa berbaur dan punya teman akrab. Dia tidak mengharapkan Lara lekas punya pacar, tapi dia melihat ada sesuatu yang tidak bisa ditutup-tutupi Lara darinya. Cara Lara memandang Sello begitu bermakna. Dia tidak mau ikut campur selagi Lara masih bisa mengatasi keadaan. Dia harus membiarkan Lara merasakan suka duka yang hadir dari perasaan cinta.

Sello dan Vanda tiba hampir berbarengan.

"Terima kasih sudah mau datang," sambut Lara senang.

Sello melihat sofa sudah berpindah tempat. "Seharusnya aku datang lebih awal tadi," ucapnya, tidak enak hati.

Lara tersenyum ringkas. "Kalian sudah makan?"

"Kita kemari buat latihan, Ra. Bukan numpang makan," cetus Vanda blak-blakan yang kemudian menghempaskan dirinya di salah satu sofa. "Eh, tapi kalau ada Idan dan Jujun pasti mereka menyambutnya dengan baik." Dia mengekeh membayangi sikap kedua temannya yang tebal muka.

"Bisa kita mulai latihannya," saran Sello.

"Santai saja dulu kenapa sih, Sel?" sela Vanda. "Kayak kamu mau tampil di panggung Broadway saja."

"Bisa tidak kita sehari saja tidak berdebat?" kata Sello jengah. "Drama ini bukan kepentinganku, kamu atau Lara. Ini demi sekolah." Diam sejenak. "Ada apa sih dengan kamu, Van?" ucapnya kemudian. "Semakin kuselami dirimu semakin aku tidak mengerti kamu."

"Ehem." Maira muncul dari dapur membawa baki berisi cake dan minuman. "Tante baru coba resep baru nih," katanya, mencairkan suasana. "Cake Coklat Bluestroberi. Tante belum coba cicipi sih, tapi dari aromanya saja Tante yakin kalian pasti ketagihan." Menaruh baki ke atas meja.

"Terima kasih, Tante," ucap Sello santun. "Maaf sudah merepoti."

"Ah, cuma cake kok. Mm... mejanya kejauhan, ya?"

"Tidak apa-apa, Tan. Biar nanti kita ambil sendiri."

Maira tersenyum. "Tante tinggal dulu, ya?" Lalu dia balik lagi ke dapur.

Hening.

"So," kata Lara buka suara sambil memandangi Sello dan Vanda bergantian. "Bisa kita mulai?"

"Sebaiknya begitu," sambut Vanda.

Latihan pun dimulai. Namun sepanjang latihan berlangsung, kualitasnya tak jauh beda dengan latihan sebelumnya. Lagi-lagi Vanda lupa beberapa dialognya. Walaupun dia coba sedikit berimprovisasi, hasilnya tidak sesuai dengan alur, bahkan melenceng jauh.

"Fokus ke cerita, Van," sela Lara setiap Vanda melakukan kesalahan. Lalu di kesempatan lain dia menegur Vanda layaknya sutradara handal. "Ini tidak sama seperti syuting film atau sinetron yang adegannya bisa diulang-ulang. Jika sudah di atas panggung, sekali kamu melakukan kesalahan atau improvisasi kamu kacau, maka yang dilihat orang, ya, apa yang kamu tunjukin itu. Adegan di teater tidak bisa diulang, Van. Kamu harus maksimal menguasai peran. Jangan permalukan diri kamu hanya karena kesalahan kecil."

"Kenapa kamu bawel banget sekarang?" Vanda merespon dengan kesal saat Lara memberi waktu istirahat.

"Lara benar, Van," bela Sello. "Kita harus menguasai peran."

"Baiklah, dua lawan satu. Kalian menang," sungut Vanda, mencomot cake dan menyesap minuman.

"Jangan kekanak-kanakan gitu dong, Van," ucap Sello dengan lembut dan agak memelas.

"Maafkan aku," sahut Vanda, merasa tak enak hati. "Belakangan ini aku sedang menghadapi masalah."

Masalah yang dibuat-buat tepatnya, pikir Sello.

"Masalah?" ulang Lara bergumam, lalu menatap Vanda lekat-lekat.

"Kamu selalu berlindung di balik masalah yang tak jelas itu. Jika memang benar kamu punya masalah, kenapa kamu tidak pernah bilang masalahnya itu apa? Apa aku tak berhak tahu? Aku pacarmu, Van!" Sello berkata sengit.

Vanda tersenyum kecut, lalu menggeleng lirih. "Tidak semua masalah bisa diceritakan kepada semua orang, Sel. Dan masalah itu selamanya akan menjadi masalahku." Menoleh pada Lara dan melihat gadis manis itu mengangguk paham meski secara tersembunyi.

"Termasuk aku?" Sello menunjuk dirinya dengan wajah kecewa.

Vanda membisu.

"Kita semua punya masalah," kata Sello. "Tapi masalah itu tidak boleh menghambat aktifitas kita yang lain. Show must go on."

"Aku tahu. Aku salah," kata Vanda. "Maafkan aku."

"Sebaiknya kita lanjuti lagi latihannya," kata Sello tak sabaran.

"Kupikir sebaiknya kita sudahi dulu latihannya." Lara memberi keputusan sambil menatap Vanda penuh arti. "Biar Vanda menjadi tanggung jawabku."

"Maksud kamu?" Sello tak mengerti.

"Dia akan menginap di sini," jawab Lara. "Lagipula ini sudah hampir tengah malam dan kupastikan ini bukan pesta piyama. Aku tidak akan membiarkannya tidur nyenyak sebelum memperbaiki kualitas Opera House-nya. Bukankah begitu, Van?" Mengerling pada Vanda, lalu buru-buru mengucapkan, "Nah, dia setuju."

Sello mengangguk paham, lalu pamit pulang tanpa perlu bicara apa-apa lagi. Dia terlanjur kesal pada Vanda. Semoga saja dia bisa memperbaiki sikapnya dalam mimpi nanti, pikirnya.

Setelah Sello pergi, Lara mencecar Vanda dengan pertanyaan. " Jadi selama ini kamu menghindari Sello dan kita semua karena ada masalah? Masalah apa sih? Kenapa tidak cerita? Kamu tidak percaya padaku lagi? Demi Tuhan, Van. Aku ini temanmu. Bukan orang lain."

"Maaf, Ra. Untuk yang satu ini aku tidak bisa menceritakannya padamu."

"Kenapa?"

Vanda mengeleng pelan sambil tersenyum getir.

Lara kecewa tidak mendapatkan jawaban. "Aku tidak bisa memaksamu." Toh, suatu saat kamu pasti menceritakannya juga. Diam sejenak. "Nah, sebelum kita mulai lagi latihan, ada sedikit pekerjaan yang harus kita kerjakan," lanjutnya sambil memperhatikan sofa, lalu beralih pada Vanda. "Yuk?"

Malas-malasan Vanda bangkit dan menggerutu. "Kenapa tidak suruh Sello saja sih tadi?"

Lara mengangkat bahunya. "Lupa."

Usai merapikan sofa, mereka segera masuk ke kamar. Lara membuka lemari pakaian, mengeluarkan piyama berwarna putih bermotif polkadot warna-warni.

"Kamu mau pakai piyama atau baju kaos?" tanyanya sebelum memberikan piyama itu.

Vanda mengintip dari balik bulu matanya, lalu mengganti posisi tidurnya dengan tidur menyamping, tangan menopang kepala. "Memangnya kamu pikir aku badut apa?"

"Terus mau pakai apa?"

Vanda duduk tegak dan melepaskan bajunya yang berlapis kaos daleman warna hitam. "Aku begini saja." Dia merebahkan kembali dirinya.

"Ya, sudah."

Lara mengganti bajunya dengan piyama. Vanda menoleh, mencuri pandang, lalu mendegut kasar.

"Hei, sebelum tidur, ayo, ulangi adegan kamu," perintah Lara sok berkuasa.

Vanda mengerang, merenggangkan ototnya yang kaku. "Duh, apa tidak bisa besok saja?"

"Besok gladi bersih. Aku tidak mau ada lagi yang berkesan masih latihan."

"Galak amat sih!" Dengan enggan Vanda bangkit. "Oke. Mulai dari mana?"

"Dari awal dong."

"Apa?" Vanda melayangkan pandangan protes.

"Jika kamu melakukannya dengan baik, aku jamin ini akan berakhir cepat. Silakan pilih."

Vanda tertunduk lesu. "Kamu menang," desahnya. "Tapi kamu harus bantu aku dengan berperan sebagai Deril."

"Pasti."

Menjelang pukul dua pagi, Lara memberi isyarat untuk menyudahi latihan. Kelopak matanya tak sanggup lagi menahan serangan kantuk yang membuatnya berkali-kali menguap lebar. Dia ingin cepat-cepat merengkuh guling. Sebaliknya Vanda tidak menunjukkan gejala kemerosotan stamina maupun kantuk. Dia membiarkan Lara mendahuluinya tidur, sementara dirinya melanjutkan latihan seperti orang bisu sambil sesekali melirik Lara yang terlelap.

Pada adegan minum racun dia berhenti dan duduk termenung di tubir tempat tidur. Dia berandai-andai jika Lara yang berperan sebagai Deril, maka adegan ini tidak terasa sulit dilakukan. Selama latihan tadi, penjiwaan Vanda terbangun baik mewakili perasaan hatinya yang menggebu-gebu dan menginginkan latihan tidak cepat berakhir.

"Lara, Lara..." Dia memandangi Lara yang tertidur pulas lekat-lekat sambil tersenyum ringkas. "... betapa pun kerasnya usaha kamu menyatukanku dengan Sello, itu tidak akan mengurangi perasaanku padamu." Naik ke atas ranjang, merebahkan diri dengan posisi menyamping agar leluasa memandangi Lara. Dia mengangkat tangannya, menyibak rambut Lara dan mengelus lembut pipinya. "Aku tak bisa menepis perasaan ini seperti yang kamupinta dan menggantikannya dengan cinta orang lain. Yang kumau hanya kamu, Ra. Dan kamu tahu itu. I always love you walau dengan cara berbeda. Tapi aku tak mau menyakitimu dikarenakan cinta ini, cinta terlarang." Mendesah galau. "Seandainya Sello tahu hal ini, mungkin dia akan mati berdiri. Tapi demi kamu, aku rela membohongi hatiku untuk kusandarkan pelan-pelan padanya meski sulit kulakukan." Menarik kepalanya mendekati pipi Lara, hendak menciumnya. Namun gerakannya terhenti ketika tiba-tiba saja Lara mengigau dengan suara mendesah.

"Sello..."

"Sello?" Vanda urung menciumnya. "Dia memanggil Sello dalam tidurnya?" Menelentangkan badannya dengan perasaan kecewa. "Ya, Tuhan, seharusnya aku tahu."

Cinta terpendam.

Vanda terbayang pada sikap Lara yang kerap salah tingkah, canggung dan tersipu malu sepanjang bersama Sello.

Cara dia menatap. Cara dia bicara. Cara dia menyapa. Semua menyimpan pesan cinta yang tersembunyi.

"Tololnya aku," desahnya. Menoleh pada Lara. "Stupid girl! Jika kamu mencintainya, kenapa tidak berterus terang padaku? Meski menyakitkan hatiku, tapi aku akan mundur agar pandangan Sello lebih tertuju padamu."

Menit demi menit terus bergulir dan fajar pun perlahan turun menyambut hari. Vanda masih berbaring nyalang. Pikirannya disibukkan pada kenangan kebersamaannya dengan Lara di awal pertemuan hingga cinta meretas hatinya. Persis saat alarm ponsel Lara dengan nada ayam berkokok berbunyi, dia menutup mata mencoba tidur. Namun Lara yang terjaga keburu memergokinya.

"Hai," sapa Lara dengan suara serak, lalu meregangkan otot-ototnya sambil menguap lebar. "Gimana tidurmu?" ucapnya kemudian.

"Like baby." Vanda menjawab dengan senyuman pahit.

Lara bangkit dari tidurnya. Sekali lagi dia meregangkan ototnya sebelum turun dari ranjang.

"Kamu mau duluan ke kamar mandi atau..." Lara mengambil handuk yang tersampir di gantungan baju. Vanda mempersilakan dengan gerakan tangan, lalu setelah Lara menghilang dari balik pintu, dia kembali pejamkan mata. Ketika mengubah posisi tidurnya, tanpa sengaja dia melihat sesuatu tersingkap dari bawah bantal Lara. Dia menarik bantal dan menemukan foto Sello dan foto Batu Cinta Situ Patengan, Bandung, seukuran postcard. Untuk apa kedua foto ini?

Vanda teringat pada foto dan sehelai rambut Sello yang hendak diberikan Lara.

"Mungkin dengan begitu komunikasi kalian tidak putus karena akan selalu terhubung lewat mimpi."

Dia menolaknya karena tidak percaya hal seperti itu. Lalu setelah itu Sello selalu berusaha menceritakan tentang mimpinya yang dianggapnya konyol dan lebay. Namun kini agaknya dia harus menanggapi pertukaran foto dan mimpi itu secara serius, terlebih setelah mendengar Lara mengigau memanggil Sello.

Apa mungkin mereka berinteraksi lewat mimpi dengan hanya bermodalkan  foto?

Sello pernah menanyakan tentang sebuah pulau padanya. Dia lupa pulau apa. Jika benar mereka berinteraksi lewat mimpi berdasarkan foto-foto di bawah bantal, berarti Lara masih menyimpan foto pulau itu. Dia menoleh ke meja belajar dan tatapannya jatuh ke laci. Dia segera bangkit dari ranjang dan memeriksanya. Dari dalam laci dia tidak hanya menemukan foto pulau yang disebutkan Sello, melainkan lebih banyak foto lagi. Semua foto merupakan foto destinasi wisata romantis di Indonesia dan dunia. Ada Jembatan Cinta Pulau Tidung di Kepulauan Seribu. Batu Cinta di Situ Patengan, Bandung. Pulau Kamaro di delta Sungai Musi. Tanjakan Cinta di Gunung Semeru. Pulau Derawan. Ada Menara Eiffel. The Empire State Building dengan latar belakang pemandangan Manhattan yang indah. Air Terjun Niagara. Central Park, New York City. N Seoul Tower, Korea Selatan.

Vanda mendesah. "Pasti menyenangkan bisa menjelajahi tempat-tempat itu bersama orang yang kita cintai meski lewat mimpi." Bahunya melorot. "Aku tidak tahu apa kamu pernah ditolak Sello makanya berbuat seperti ini? Tapi tunggu sebentar..." Berpikir. "Tidak mungkin. Sello itu memimpikan aku, bukan Lara. Tapi foto ini... " Untuk menjawab penasarannya, dia mengambil ponsel dan menghubungi Sello.

Di akhir deringan, Sello baru menjawabnya.

"Kamu masih meletakkan fotoku di bawah bantal, Sel," todong Vanda tanpa basa-basi.

"Yup."

"Semalam kamu mimpi apa?"

"Mm... aku tidak begitu yakin. Kenapa?"

"Jembatan Cinta di Pulau Tidung?" Vanda memandangi foto jembatan yang menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil, lalu beralih pada foto yang lain.

"Mm... iya barangkali. Kenapa?"

"Apa kamu pernah memimpikan Pulau Kamaro juga?"

"Ha? Dimana itu?"

"Itu loh, pulau yang terletak di delta Sungai Musi?"

"Oh. Mungkin juga. Aku tidak ingat detailnya. Kenapa?"

"Bagaimana dengan Tanjakan Cinta di Gunung Semeru? Apa kamu juga memimpikannya?"

"Hei, seharusnya kamu juga tahu. Bukankah kamu juga ada di sana?"

"Oke, terima kasih. Bye." Vanda memutus sambungan tanpa memberi Sello kesempatan bertanya lebih. Dan ketika Sello menghubunginya balik, dia menolak panggilan. Ponsel dinonaktifkan.

Pintu kamar terbuka. Lara kembali dari kamar mandi dalam balutan handuk.

"Kudengar kamu bicara tadi?" ucapnya.

Vanda menjawab dengan senyuman ingin tahu. Ketika melihat bahu Lara yang terbuka, dia teringat ketika Sello menanyakan tanda lahirnya. Lalu pandangannya beralih ke tubuh Lara yang terbuka. Ternyata benar. Tanda itu ada berupa bercak sebesar ibu jari pada bagian bahu yang kontras dengan kulitnya.

"Lara, Lara... " desahnya sambil menggeleng lirih dan tersenyum perih. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Novel Andre Jatmiko
7596      1698     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Love Finds
13687      2505     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...
Sherwin
328      212     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Intuisi Revolusi Bumi
920      464     2     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
Alicia
1084      504     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Please stay in my tomorrows.
335      236     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Chocolate Next Door
305      212     1     
Short Story
In which a bunch of chocolate is placed on the wrong doorstep
Someday Maybe
9428      1807     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
IMAGINATIVE GIRL
2052      1084     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Verletzt
1179      529     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...