Latihan drama hari ini tidak berjalan baik. Para pemain lebih banyak bercan-da ketimbang menyeriusi lafal dialog dan aktingnya. Sebagian lagi tidak fokus pada peran yang mereka emban. Sello salah satu di antara mereka. Selama jam pelajaran, pikirannya lebih tertuju pada pertimbangan-pertimbangan yang kelak akan menentukan hubungannya dengan Vanda. Apapun keputusan yang akan diambilnya nanti, dia berharap tak ada yang tersakiti baik pada dirinya maupun pada Vanda.
Namun dia tak sendirian memikirkan langkah apa yang harus diambilnya nanti. Ketika jam istirahat kedua, dia menemui Lara, mengajaknya bicara empat mata. Dia sendiri merasa aneh saat menyadari kedekatan mereka sekarang. Dulu betapa dia risih, sungkan, enggan dan perlu menjaga jarak sejauh-jauhnya dari Lara demi menghindari dugaan-dugaan yang berbuntut gosip. Berdekatan dengan Lara berarti kutukan yang tak dapat disembuhkan seumur hidup. Namun kenyataannya dia sekarang suka tersenyum geli bila mengingat sikap defensif dan pikiran konyolnya itu. Dan perasaan itu sudah tidak pernah ada lagi. Dia tak lagi peduli apa kata orang. Dia membutuhkan Lara. Dia butuh kearifan Lara untuk mempertimbangkan keputusan apa yang akan diambilnya nanti terhadap Vanda. Dia tak ingin salah mengambil keputusan. Pertimbangan pihak ketiga yang netral sangat dibutuhkan dalam suatu hubungan yang retak. Meski Lara dan Vanda bersahabat, dia yakin gadis itu bisa memberi masukan yang cerdas dan tidak memihak.
"Ini pilihan sulit, Ra," ucapnya di akhir ceritanya. "Aku juga tak mau seperti ini. Tapi cowok mana sih yang mau dianggurin melulu?" Mendesah galau sambil menerawang jauh. "Seumur-umur pacaran baru kali ini ada cewek yang, entah apa aku harus menyebutnya, frigid padaku."
Lara mencuri pandang ke wajah Sello yang diserang kegalauan akut. Namun begitu bersitatap dengan Sello, dia buru-buru melarikan pandangannya ke arah yang lain. "Kamu baru saja menjalin hubungan dengannya dan belum sampai seumuran jagung. Mengapa kamu menyerah begitu cepat? Cinta butuh proses. Barangkali Vanda dalam tahap penyembuhan atas luka cinta yang dialaminya dulu."
Sello tidak menampik ucapan Lara, tapi mau sampai kapan?
"Aku tidak peduli seperti apa gaya pacarannya di masa lalu. Jika memang dirinya tersakiti, mengapa dia tidak membiarkan diriku untuk menutupi lukanya?"
"Setiap orang punya alasan untuk tidak melibatkan orang lain pada masalah yang menimpanya." Lara beralasan.
"Tapi dia tidak pernah menyinggungnya." Ada kekecewaan yang menyertai ucapan Sello.
"Kami lebih senang menyimpannya sendiri."
"Jika kamu tahu apa yang menimpanya, tolong ceritakan padaku." Sello menatap jauh ke dalam mata Lara penuh pengharapan.
"Aku... " Lara terdiam. Salah tingkah.
"Apa itu sangat menyakitkan sampai kamu tak sanggup menceritakannya?" Sello sedikit mendesak.
"Bu-bukan begitu. Aku," Lara menghela nafas. "Aku tak bisa menceritakan-nya."
"Lara," Sello menatap wajah Lara lekat-lekat, tatapan yang tidak pernah dia lakukan. "Coba tatap mataku." Ragu-ragu Lara mengangkat pandangannya, menatap dua bola mata Sello yang bersinar sendu. "Apa kamu mendapati keburukan pada diriku? Apa kamu tak mempercayaiku?"
Lara tak sanggup menatap mata yang membuat detak jantungnya tidak karu-karuan. "Kamu tidak seperti itu. Kamu..." Diam sejenak. "aku mohon jangan paksa aku, Sel."
"Aku terlanjur cinta padanya," bisik Sello seperti orang frustasi.
"Lalu mengapa kamu seperti mau menyerah begitu?"
Sello tidak menjawab.
"Aku tahu ini sulit bagimu menjalaninya, tapi cobalah mengerti bagaimana perasaan Vanda bila kamu mengakhirinya. Dia akan terluka dua kali. Olehmu dan masa lalu. Aku percaya kamu tidak sejahat itu, Sel." Lara menggigit bibirnya me-nahan perasaan hatinya yang berkecamuk. "Pertahankanlah, Sel. Pertahankan."
"Baik, akan kucoba. Tapi kamu harus membantuku."
"Bantuan apa yang kamu harapkan dariku?"
"Berilah pengertian padanya betapa aku sangat mencintainya, tergila-gila padanya."
Lara mengangguk pelan seolah ada keraguan yang menyertai anggukannya.
"Seandainya ini tidak berhasil juga, yah, terpaksa aku harus mencintainya tanpa harus memiliki." Sello menelan ludah yang terasa duri.
"Apa kamu tahu kisah Rama dan Shinta?" tanya Lara.
Sello merenung. Pertanyaan itu seperti pernah didengarnya. Dia mereka-reka kapan dan dimana pernah mendengarkannya.
"Ketika Shinta diculik Rahwana, apa Rama diam saja? Tidak. Shinta ibarat cinta yang patut dipertahankan..."
Mimpi! Sello ingat pertanyaan itu dia dengar lewat mimpi. Tapi mengapa justru pertanyaan itu keluar dari mulut Lara? Oh, tentu saja Vanda. Mereka begitu dekat dan tanpa rahasia.
"Tidak ada Rahwana di antara kami," potongnya.
"Secara fisik benar, tidak ada Rahwana di antara kalian. Tapi Rahwana bisa berwujud apa saja. Dan itu bisa berarti penghalang, keadaan atau kesulitan yang membuat kalian tak dapat bersama. Rahwana telah hadir dalam hubungan kalian dalam bentuk sikap cuek dan sikap dingin Vanda ke kamu. Dan kamu seperti kehilangan Vanda. Keberadaannya seperti tidak ada di saat kalian bersama."
"Yah, kau benar." Dalam hati Sello memuji kecakapan Lara menganalogi kondisinya sekarang.
"So, apa kamu akan menyerah begitu saja?" Lara mencoba beranikan diri berlama-lama menatap ke dalam mata sendu itu.
Pertanyaan Lara terngiang terus di telinga Sello. Dia menelan ludah yang terasa duri. Sejujurnya, di satu sisi dia belum siap putus dari Vanda. Namun di sisi lain dia jengah pada sikap dingin Vanda. Barangkali saja Lara benar, kebersamaan mereka dalam latihan drama dapat mengubah perasaan Vanda padanya.
Sello larut dalam lamunan sehingga dia tak menyadari kehadiran orang lain yang diam-diam mendekatinya dari belakang.
"Siapa?!" Sello terperanjat ketika tiba-tiba saja matanya ditutup orang dari belakang.
"Tebak siapa?" ucap suara yang sengaja dibuat ngebass.
Sello tersenyum geli. "Nakal kamu sekarang, ya?"
"Ah, nggak seru!" Vanda menepuk bahu Sello, lalu duduk di sampingnya.
Sello menyeringai senang. Dalam hati dia mempertanyakan perubahan sikap Vanda yang tidak biasa. Mungkin Lara berhasil meyakinkannya. "Lain kali coba lebih baik lagi," katanya kemudian.
"Kamu bilang mau bicara." Vanda mengingatkan. "Di sini atau... "
"Aku ingin tempat yang berkesan buat kita kelak."
Vanda menyikut lengan Sello. "Wow, serius amat sih!"
"Ada tempat yang ingin sekali kukunjungi."
"Tempat apa?"
"Sebuah resto di Sky Dining Plaza Semanggi."
"Eh, aku ajak juga anak-anak ya biar seru!"
"Mmm... "
"Ayo, dong." Vanda merengek manja sambil menggoyang-goyang lengan Sello seperti anak kecil minta dibelikan permen.
"Ok."
"Terima kasih." Vanda mendaratkan ciuman spontan ke pipi Sello.
Sello diam membeku, tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Vanda menciumku, batinnya kegirangan seolah ciuman itu ciuman pertama yang pernah didapatnya dari seorang cewek. Dia mengamati Vanda yang sibuk mem-broadcast anak-anak dengan sudut bibir yang melengkung, membentuk senyum. Apa sikap itu murni dari hatinya atau dikarenakan kata-kata Lara telah mempengaruhi pikirannya? Mungkin saja. Orang tidak akan berubah sebegitu cepat tanpa adanya proses pemikiran yang mendalam kecuali keterpaksaan melatarbelakanginya.
"Mereka mau ikutan," pekik Vanda, mengangkat pandangannya dari ponsel.
"Pastilah."
"Titik kumpul di rumah Lara." Vanda memberitahukan.
"Sudah tanya Lara?"
"Tenang saja. Aku yakin dia pasti tidak keberatan."
Sello mengangguk. "Lara sulit menolak orang."
"Wow, sepertinya kamu mengenalnya cukup baik."
"Cemburu?"
"Aku? Padanya?" Vanda mendecak. "Pastilah. Dia manis, pintar, baik dan aku beruntung mengenalnya."
Sello tersenyum miris. "Ya, kamu benar." Baru ini dia mendengar ada orang yang memuji Lara dengan tulus. Dia teringat perlakuan buruknya pada Lara. Terakhir sekali dia sengaja menjegal kaki Lara hingga jatuh tersungkur, tapi Lara tak pernah membalasnya. "Baiklah, nanti aku jemput kamu."
"Tidak usah. Kamu langsung saja ke rumah Lara."
"Kenapa?"
"Ada sedikit pekerjaan. Pekerjaan cewek sih. Tidak apa-apa, kan?"
"Aku senang bila kita bisa pergi bersama, tapi..."
"Lain waktu pasti bisa," potong Vanda menghibur. "Oke, beib?" Menepuk pipi Sello. "Aku harus pergi sekarang. See ya!"
Sello memandangi kepergian Vanda yang meninggalkan perasaan kecewa setelah kebahagiaan menghampirinya, sesaat. Setidaknya dia sudah menunjukkan perubahan sikapnya.
nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter Casanova