Read More >>"> Koma (Opera House) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Bu Konde mengatur letak kaca matanya saat membaca naskah dari Lara. Dia tidak sepenuhnya membaca, melainkan hanya melihat sekilas halaman demi halaman dan berhenti pada dua halaman terakhir, lalu manggut-manggut dengan ekspresi yang sangat serius.

"Yah," desahnya. "Saya suka ceritanya. Ending yang sangat memilukan."

"Syukurlah," desah Lara. "Tapi, Bu, masih ada bagian tertentu yang perlu mendapat perbaikan."

"Kamu lebih tahu itu," ucap Bu Konde. "Pulang sekolah nanti kita sudah bisa reading naskah. Kita harus ngebut latihan karena waktunya sangat mepet sekali." Diam sejenak. "Apa waktu sebulan cukup buat latihan?" 

"Mudah-mudahan bisa, Bu. Saya mengajukan sejumlah nama pada halaman terkahir yang saya pikir cocok untuk memerankan tokoh dalam naskah ini."

Bu Konde membalik halaman dan membaca daftar nama yang dimaksud.

"Saya pikir mereka bisa diandalkan," tambah Lara.

"Hm... begitu. Tapi, hei... apa kamu tidak salah? Sello, Idan, Jujun... " Beralih memandangi Lara. "Kamu yakin mereka mau terlibat?"

Lara mengangguk mantap.

"Baiklah," kata Bu Konde. "Tapi mereka tetap harus melewati casting."

"Saya pikir kita tidak punya banyak waktu untuk melakukannya."

"Hmm." Bu Konde mengelus dagunya yang tertutupi lemak. "Kamu benar." Menatap Lara penuh arti. "Dan kamu bertanggung jawab atas kelancaran latihan mereka."

"Tapi, Bu..."

"Kamu yang merekomendasikan mereka. So, Saya pikir kamu pasti bisa mengatur mereka."

"Iya, tapi... " Melihat tatapan tajam Bu Konde, Lara tak bisa beralasan lagi. "Baik, Bu. Saya usahakan mereka latihan semaksimal mungkin."

Sebaik keluar dari ruangan Bu Konde, seketika hati Lara jadi masygul. Dia tidak menyangka usulannya menghasilkan pekerjaan rumah yang berat, mengingat dirinya belum pernah mengkordinasikan orang lain untuk melakukan sesuatu. Bisa-bisa dia menjadi objek bully. Padahal selama ini dia sudah menikmati hari-hari tanpa bully sejak dekat dengan Vanda dan Sello.

Dalam lamunannya, Lara dikejutkan panggilan Sello yang tiba-tiba saja sudah berjalan di sisinya.

"Jadi kamu tuh kok berat banget, ya?"

"Ha?" Lara bingung.

"Setiap kali melihat kamu, aku selalu mendapati ekspresi mikir di wajah kamu."

"Oh." Dalam hati Lara berteriak girang. Dia tidak menyangka Sello diam-diam memperhatikannya juga.

"Ada apa, sih?"

Lara mengatup bibirnya erat, lalu tersenyum seraya menggeleng.

Sello mengedikkan bahunya. "Ya, sudah," katanya. Diam. "Em, bagaimana naskah drama yang kamu tulis? Sudah selesai?"

"Baru saja kuberikan pada Bu Konde."

"Sudah selesai?" Ada nada girang bercampur kagum dalam suara Sello. Dia menggosok-gosokkan tangannya seolah cuaca panas menurun drastis di titik nol derajat ketika Lara mengiyakan. Satu-satunya yang menjadi keinginannya kini adalah meminta bantuan Lara untuk dapat terlibat dalam pertunjukkan. Tapi dia bingung harus memulai dari mana.

"Em, sebelum kamu marah," kata Lara. "Aku minta maaf sudah mengajukan namamu sebagai pemain."

Mata Sello melebar dengan sorot bercahaya. "Benarkah?"

"Mm-hm."

"Apa Vanda ikut juga?"

"Mm-hm."

"Thanks," seru Sello girang. "Sebenarnya aku juga mau bicara masalah itu, tapi syukurlah kamu sudah melakukannya." Meletakkan tangan di bahu Lara yang membuat aliran darah gadis itu naik ke wajah. "Thanks again."

Lara tegak terpaku ketika Sello meninggalkan dirinya. "Sel," panggilnya gugup.

Sello berhenti dan berbalik. "Ya?"

"Em..." Lara menggeleng.

"Oh, ya, Idan dan Jujun, apa mereka... "

Lara mengangguk.

"Baguslah," kata Sello. "Tapi sekiranya mereka menolak," Mengacungkan tinju. "biar aku yang paksa."

Lara bernafas lega. Bebannya sedikit berkurang dengan adanya dukungan Sello. "Thanks, Sel."

"Kamu punya daftar nama-nama pemainnya?"

Lara menganggukkan kepala.

Dengan daftar nama yang diberikan padanya, Sello menetapi janjinya. Dia menemui mereka satu per satu. Sasaran utamanya adalah Idan dan Jujun karena mereka sedikit lebih sulit diatasi. Dia menjegat Idan yang baru keluar dari toilet dan langsung menawarkan peran. 

"Jangan gue dong." Idan keberatan. "Gue males menghafal dialog."

"Lo tidak mesti hafal dialog, dodol!"

"Tapi tetap saja gue mesti akting!"

"Ya, pastilah."

"Ogah!"

"Oh, gitu?"

"Lo ngancam?"

"Apa boleh buat."

"Ah, terserah elo deh. Gak ngaruh di gue."

"Yakin?"

"Banget."

"Oke. Kalau gitu gue batalin saja kita jadi band pembuka di konser nanti."

"Eh, jangan!"

"So?"

"Iya, iya. Gue ikutan!"

"Gitu dong."

Sello mencontreng nama Idan dari daftar pemain. Ada sembilan nama lagi yang harus disambanginya untuk "dipaksa" berpartisipasi. Lalu dia menemui Jujun sedang menikmati dua mangkok bakso di kantin sekolah. Mungkin dalam kondisi kenyang, dia akan langsung mengiyakan tawaran, pikirnya. Namun ternyata Jujun menolak dengan tegas. Bahkan ancaman pembatalan konser tidak mempengaruhinya.

"Lo maunya apa, sih?" Sello bertanya dengan geram.

"Ya, tidak nampil." Jujun menusuk bakso dengan ujung garpu, melumurinya dengan saus cabe pedas level sebelas sebelum melahapnya.

"Ini demi sekolah. Bukan buat gue,"

"Gue mengerti." Jujun menjawab sambil megap-megap kepedasan. "Tapi kenapa mesti gue? Masih banyak yang lain'kan?"

"Pemainnya orang-orang pilihan."

"Kenapa mesti pilih gue?" Jujun menuangkan air ceret ke dalam gelas, lalu meneguknya buru-buru. "Gila, pedes banget!" Mengusap mulut dengan punggung tangannya.

"Lo tahu sendiri, Bu Konde yang mengkordinir acara ini? Lo mau kena sembur dua puluh empat jam sama beliau?"

"Nggak dua puluh empat jam juga kale." Jujun mendorong mangkuk bakso ke tengah meja, lalu menepuk-nepuk perutnya yang kekenyangan. "Gue tetap nggak mau ikut. Titik!"

"Terserah elo deh." Sello beranjak pergi. Dua-tiga langkah dia berbalik dan berkata, "Jangan pernah merengek ke gue bila posisi lo di D'BandIt digantikan orang lain."

Jujun mau memanggil Sello yang kadung pergi penuh kesal padanya. "Ck!" Garuk-garuk kepala.

Setelah dari kantin, Sello lanjut menemui anak-anak yang ada dalam daftar. Tak sulit mengajak mereka untuk ikutan. Beberapa bahkan antusias menyambut ajakan pementasan.

"Saat bel istirahat usai, langsung saja ke ruangan seni. Bu Konde dan yang lainnya menunggu di sana," beritahunya.

"Pelajaran bahasa gimana?"

Sello mengedikkan bahunya. "Barangkali Bu Konde sudah kordinasi dengan Bu Elly." Usai berucap, bel berbunyi. "Nah, sebaiknya kalian lekas ke ruang seni. Nanti gue susul." Dia berpikir untuk mencari Idan, memastikan kehadirannya di ruang seni. Lalu dia menyusuri tempat tongkrongan, memeriksa keberadaan Idan. Namun tidak ada lagi murid yang berkeliaran. Terakhir sekali dia pergi menuju kelas karena beranggapan Idan akan mengikuti pelajaran dari guru favoritnya. Setelah mengintip dari luar, dia tidak menemukan Idan di mejanya.

"Yah, mungkin dia sudah ke sana," ucapnya pada diri sendiri.

Ketika Sello memasuki ruang seni, dia lega mendapati Idan bersama yang lainnya duduk melantai sambil membaca naskah yang dipandu Lara. Ruang seni dengan luas 6 x 15 meter persegi itu bersebelahan dengan ruang studio musik. Di ruangan ini terdapat panggung kecil setinggi pinggang dan cermin tinggi yang memanjang di salah satu sisi dinding. Ruangan berlantai marmer putih itu minim perabotan, kecuali dua lemari tinggi tempat penyimpanan atribut dan peralatan kesenian. Semua murid duduk melantai kecuali Bu Konde. Selain Idan, ada Jujun juga di sana. Sebelah sudut bibir Sello terangkat. Agaknya dia tidak rela melepas posisinya, pikirnya.

"Selamat bergabung." Sello berbisik pada Jujun sambil menarik naskah ke tengah mereka.

"Ck!"

"Dapat peran apa lo?" Sello bertanya.

Jujun mengedikkan bahunya. "Gue suka ceritanya. Semoga saja gue bisa dapat peran menjadi 'Deril'." Membalik halaman.

"Ngarep!"

Seperempat jam kemudian Lara baru selesai membaca naskah.

"Ada komentar?" Bu Konde memperbaiki duduknya, memandangi murid-murid yang sebagian pandangan mereka masih tertuju pada naskah.

Sesil mengacungkan tangan. "Ceritanya bagus, Bu. Saya pikir yang lain juga sependapat dengan saya. Am I right, guys?"

Murid-murid kompak menyahuti.

"Sebaiknya kita langsung ke pembagian peran saja, Bu." Sesil mengusulkan. "Kalau boleh Saya minta peran Lori," sambungnya malu-malu.

"Huuuu...!!!" sorak murid-murid.

"Coba lihat halaman terakhir," perintah Bu Konde. Murid-murid membalik halaman. "Di sana sudah tercantum nama-nama pemeran tokohnya."

Bahu Sesil melorot lesu. Dia kecewa. "Ini tidak adil," gumamnya seraya mengacungkan tangan sekali lagi. "Bu, ada baiknya kita lakukan casting."

"Tidak ada waktu untuk casting."

"Setidaknya untuk peran utama, Bu." Sesil melirik Vanda sekilas. "Maaf, bukan Saya meragukan kemampuan Vanda, tapi di antara kita belum ada yang pernah mengikuti pementasan drama. Benar'kan?"

"Sesil benar, Bu," sambut Vanda. "Menurut pengalaman Saya pas mentas di Opera House, Opera House Sydney loh, ya," Suara gumaman segera bergemuruh, "Semua pemain harus melewati proses casting. Peran utama tidak serta-merta diberikan kecuali pada orang yang sudah berpengalaman."

"Serius kamu pernah mentas di Opera House?" tanya Bu Konde terkagum-kagum.

Vanda mengangguk mantap.

"Nah, Saya percayakan peran Lori kepadamu." Bu Konde memutuskan. "Any complain?"

Sesil tertunduk malu, sementara Lara memandangi Vanda penuh arti. Dia coba mereka-reka kebenaran dari pengakuan yang dilontarkannya. Jelas-jelas dia menolak terlibat pertunjukan teater.

Opera House? Masa sih?

Lara ingin sekali melihat kemampuan akting Vanda dan berharap Bu Konde menunjuknya untuk memperagakan adegan pertama. Lama dia menunggu, namun Bu Konde tak kunjung menunjuk Vanda. Kini giliran Sello. Lara pun buka mata dan pasang telinga memperhatikan aksi si pemurung Deril.

Sello tegak berdiri di tengah lingkaran pemain. "Lori," bacanya, lalu diam sejenak untuk mendapatkan suasana sendu sesuai karakter tokoh yang pemurung. "Dalam remang-remang gelap ingatanku," mulainya. "Rindu ini selalu menjaga agar cinta ini tidak surut darimu. Aku mengerti seperti apa kamu meski kutak tahu seperti apa rupamu seutuhnya. Ingatanku menyisakan gambaran seutas senyummu dan kerlingan matamu yang kerap menggodaku lewat mimpi. Ya, lewat mimpi Lori. Oh, Lori. Andai kau tahu, nama itu aku sendiri yang memberikannya. Ironis sekali, bukan? Bahkan namamu sendiri aku tidak pernah mengetahuinya." Diam sejenak, memberi jeda pada tokoh lain berdialog. Ketika hendak melanjuti dialognya, Bu Konde menyela.

"Cukup." Bu Konde memberi catatan kecil pada naskah yang dipegangnya. "Penunjukkan kamu sebagai pemeran tokoh pria sudah tepat."

"Saya juga mau jadi Deril, Bu," protes Jujun.

Bu Konde memandangi Jujun dengan seksama. "Tidak, tidak. Kamu akan berperan sebagai Ibunya Cintia, tokoh antagonis kita."

"Apa?" Jujun syok.

Murid-murid cekikan.

"Naskah ini terlalu serius," kata Bu Konde. "Jadi kita butuh sedikit kelucuan untuk menghibur penonton."

"Tapi Saya kan cowok, Bu?!"

"Justru karena kamu cowok makanya saya pilih kamu. Postur kamu yang gempal sangat pas untuk memerankan ibu-ibu judes. Dan satu lagi, kamu tidak perlu pakai wig untuk menutupi rambutmu. Nanti kita bentuk rambutmu seperti telinga panda, lalu diberi sentuhan pita."

Cekikan yang tertahan segera lepas menjadi tawa yang membahana. Bu Konde sendiri yang sedari tadi berusaha menahan tawa akhirnya tergoda juga untuk tertawa di balik kipasnya.

"Ya, Tuhan," desah Jujun sambil tepok jidat.

Latihan hari pertama selesai. Semua murid yang terlibat puas dengan peran yang didapatnya. Namun tidak bagi Lara. Dia belum puas sebelum melihat akting Vanda, apakah pementasan di Operas House sudah membentuk dirinya menjadi jagoan akting sehingga Bu Konde tidak lagi menguji kemampuannya? Ataukah pengakuan itu cuma sekedar membungkam Sesil? Lara tidak bisa menebaknya karena Vanda mengucapkannya dengan sangat meyakinkan.

Rasa penasaran Lara akhirnya terjawab ketika Vanda singgah ke rumah saat mengantarnya pulang. Lara pun tak kuasa menahan tawanya.

"Jahat banget, sih," ucapnya di sela derai tawa.

"Habisnya tuh anak sok banget. Gemes aku!"

"Gemes apa gemes?" goda Lara.

"Jangan mulai, deh."

Lara cengengesan. "Kamu sukses membohongi semua orang. Tapi apa kamu tidak khawatir jika ternyata akting kamu tidak sesuai dengan 'Opera House'-mu itu?"

"Percuma dong aku berteman sama kamu."

"Maksud kamu?"

"Kamu yang akan ajari aku."

"Wani piro?"

"A million dollar. Cukup?"

Lara mengulurkan tangan dan langsung disambut Vanda. "Deal!" Mereka pun tertawa geli pada canda barusan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Novel Andre Jatmiko
7596      1698     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Love Finds
13687      2505     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...
Sherwin
328      212     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Intuisi Revolusi Bumi
920      464     2     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
Alicia
1084      504     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Please stay in my tomorrows.
335      236     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Chocolate Next Door
305      212     1     
Short Story
In which a bunch of chocolate is placed on the wrong doorstep
Someday Maybe
9428      1807     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
IMAGINATIVE GIRL
2052      1084     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Verletzt
1179      529     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...