Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

"Lara?"

Sello mengerutkan dahinya ketika menemui Lara yang tampak lain dari biasanya, lebih fresh dan manis.

Lara mengangkat kedua alisnya. "Ya?"

Sello tersentak dari ketertegunannya, lalu menarik kursi dari meja lain. "Hei, gimana? Apa ada balasan dari Vanda? Apa katanya?" cecarnya dengan nada berbisik.

Lara mengeluarkan secarik foto dan sehelai rambut yang direkatkan dengan lakban transparan di belakangnya, lalu menyerahkannya pada Sello. "Dia tidak bilang apa-apa."

Sello manggut-manggut, segera mengantongi pemberian Lara. "Thanks," ucapnya. Ketika hendak beranjak, dia memutar badannya dan menatap Lara sekali lagi. "Kamu cantik," pujinya.

Dia bilang aku cantik. Semoga aku tidak pingsan. Lara membalas pujian Sello dengan senyuman tipis.

Tak lama setelah Sello beranjak dari mejanya, Vanda tiba bersama Idan dan Jujun. Kedua remaja itu melongo, memandangi Lara tanpa berkedip.

"Kalau elo kayak gini gue mau jadi pacar lo, Ra," kata Idan yang disambut cibiran Jujun.

"Kira-kira kalau rambut gue direbonding bisa sepanjang apa ya?" Jujun bergumam.

Idan mendengar gumamannya, lalu menyahut, "Sekaki kayak kunti!"

Lara tersenyum geli. Respon yang sama juga datang dari murid-murid yang mulai berdatangan.

"Selamat, ya?" ucap Vanda. "Kamu bintangnya hari ini."

Lara cuek, menyibukkan dirinya dengan membaca catatan sekolah.

"Kamu marah?" Vanda menunggu respon. "Kejadian semalam tidak seharusnya terjadi. Aku menyesal."

Lara tetap cuek.

"Jika menurutmu kesalahanku sangat, sangat fatal, aku siap... aku siap menerima hukumanmu. Apapun. Apapun itu. Kaulah yang memutuskan apakah ingin terus berteman denganku atau tidak. Ini... kejadian ini membuatku malu. Sungguh. Sepertinya aku harus pindah sekolah, lagi."

Lara menarik pandangan dari buku, menoleh pada Vanda. "Aku tidak marah padamu."

"So?"

"Yang kamu lakukan padaku sangat menjijikan. Aku masih syok. Tapi kata-katamu barusan... ah, kamu tak perlu pindah sekolah. Aku anggap kamu sedang mengigau semalam."

"Kamu tidak marah?"

"Sebaiknya kusalurkan energi amarahku untuk memikirkan konsep cerita pada pementasan kita. Bu Konde menuntutnya paling lama pulang sekolah harus dierahkan padanya."

Vanda tersenyum lebar. Dia meletakkan tangannya di atas tangan Lara dan meremasnya lembut. "Thanks."

"Um, bicara soal pementasan, aku butuh masukan darimu dan yang lainnya, termasuk kelompok Sesil untuk mendiskusikan konsep cerita."

"Sesil? Kamu yakin?"

"Untuk memastikan ketulusannya, mengapa tidak?"

"Sebaiknya kamu beritahu mereka sebelum mereka berkeliaran saat jam istirahat nanti. Um, tidak. Biar aku saja." Vanda beranjak dari kursinya. Pertama dia mendatangi Sesil, lalu Sello, Idan dan Jujun. Mereka menerima ajakan Lara untuk terlibat dalam pembuatan konsep cerita. "Beres," beritahunya saat kembali ke kursinya.

"Terima kasih."

***

Kelompok Sesil dan kelompok Sello sudah berkumpul di dua meja yang mereka jadikan satu. Di hadapan mereka terbentang buku bacaan yang berbeda, tapi tak satupun dari mereka yang benar-benar membacanya.

Sesil mengisi kebekuan dengan berchatting ria kepada Rena dan Keke lewat gadget mereka. Jujun membolak-balik lembar halaman buku tanpa membacanya. Idan memainkan pena di tangan, mengetuk-ngetukkannya ke meja dengan ritme yang teratur. Sementara Sello, dengan kedua tangan menopang kepala, dia sudah masuk ke alam khayalnya, tidak sabar menunggu waktu cepat berlalu agar dapat memimpikan Vanda di tidurnya.

Idan berhenti mengetuk-ngetuk penanya, lalu menghela nafas berat. "Lapar gue," celetuknya. "Masih lama gak sih ini? Gue mau ke kantin."

Jujun mendecak. "Gue juga lapar, bro."

"Sabar." Sello berucap malas.

"Hei, ngomong-ngomong, kalian tidak melihat sesuatu yang beda pada Lara?" tanya Idan. "Dia berubah sekarang. Tampil lebih fresh."

"Thanks to Sesil." Sello mengangkat pandangan, melirik Sesil sekilas.

Sesil tersenyum simpul.

"Dia juga tidak kaku seperti biasanya," sambung Jujun.

"Thanks to Sello too," balas Sesil.

Rena dan Keke saling sikut. "Awal yang bagus," bisik Rena.

"Yup." Keke menjawab.

Idan berdehem. "Apa ada yang mau berterima kasih ke gue?"

"Gue pikir kita semua turut andil atas perubahan Lara," kata Jujun. "Sesil mengubah penampilannya, sedangkan kita menempa keberaniannya secara tak langsung lewat aksinya di atas panggung."

"Dia pintar. Dia cepat belajar," puji Sesil.

"Tumben lo memujinya." Idan menyindir.

"Kita sudah temanan kale." Sesil menjawab dengan nada tidak senang.

Sello menurunkan tangannya, menegakkan kepala ketika melihat kehadiran Vanda dan Lara. "Itu mereka," serunya. Di antara mereka cuma pandangannya yang tidak terhalangi rak buku.

Mereka menoleh dan mengintip ke balik susunan buku.

"Sorry, guys." Vanda meletakkan bungkusan kresek berisi cemilan. Idan dan Jujun langsung menyambar bungkusan, mengeluarkan isinya yang menimbulkan suara kresekan berisik. "Hei, hei, sabar. Kalian mau kita diusir dari sini?"

"Sori, Van," kata Idan. "Gue lapar! Orang lapar susah mikir."

"Idem," timpal Jujun.

Lara sudah mengambil posisi duduk, berseberangan dengan Sello. Sampai sekarang dia belum berani menatap langsung ke matanya. "Baiklah," ucapnya melarikan pandangan ke arah lain. "Maaf sebelumnya sudah merepotkan kalian. Tapi perihal ini tidak dapat kukesampingkan karena semua dari kita pasti akan terlibat di dalamnya. Jujur saja, hingga kini aku belum menemukan konsep yang bagus. Terlebih Bu Konde menginginkan kisah romantis baru yang aku sendiri, um, kalian tahu sendirilah."

"Kupikir romantis itu relatif, ya," ujar Sello. "Bagi orang yang sedang jatuh cinta atau lagi kasmaran, apapun yang mereka perbuat akan terasa romantis meski itu perbuatan sederhana sekalipun."

"Setuju." Idan mengacungkan jempolnya. "Bahkan pertengkaran kecil bisa jadi romantis bila terjadi di tepi pantai menjelang sunset."

"Sadomasokis juga," celetuk Jujun.

"Pembicaraan kita sebaiknya lebih terarah. Hal-hal yang bersifat romantis bisa kita bahas saat pengadeganannya saja, menurutku." Sesil buka suara.

Lara membenarkan ucapan Sesil. "Kalian dapat memberikan masukan untuk itu. Sekarang ini kita harus mencari konsep ceritanya terlebih dahulu."

"Kayaknya kisah cinta dari jaman dulu hingga sekarang sama saja," kata Jujun. "Jika tidak berakhir bahagia, maka akan berakhir tragis seperti Romeo and Juliet atau Laila Majnun."

"Semua cerita kali, Jun," ujar Idan.

"Aku lebih suka cerita cinta yang berakhir tragis," kata Sesil.

"Dasar psikopat!" cibir Idan. Sesil membalas dengan pelototan mata.

"Menurutku semua orang suka cerita yang menyentuh." Vanda buka suara. "Apakah itu akan berakhir bahagia atau berakhir duka asalkan selama perjalanan cerita bisa mengaduk-aduk perasaan penonton, kupikir itu yang harus kita lakukan."

"Exactly!" Sesil mendekap mulutnya cepat-cepat ketika Vanda menoleh kepadanya.

"Thanks." Vanda menyambut dengan senyuman. Sesil menghela lega.

"Kita mulai saja dengan dua tokoh cikal bakal Romeo dan Juliet kita," saran Sello. "Sebut saja sang Romeo bernama Deril dan Juliet bernama...um, ada ide?"

"Hm." Lara bergumam. "Lori?" ucapnya.

"Pas!" Jujun mengacungkan kedua jempolnya. "Deril dan Lori. Gue suka nama itu."

Lara mengeluarkan buku catatan dan menuliskan nama kedua tokoh.

"Selanjutnya apa?" tanya Idan. "Apa mesti bawa-bawa urusan keluarga?"

"Sama seperti hubungan Romeo dan Juliet, kedua tokoh ini punya ikatan kasih yang sangat kuat, tapi mengalami kendala saat menjalani hubungan," kata Sello.

"Seperti LDR?" tanya Idan.

"Di jaman canggih sekarang ini LDR bukan halangan, kurasa. Mereka bisa skype-an kapan saja, bukan?" jawab Sesil.

Rena dan Keke saling pandang dengan dahi mengkerut. "Bukan halangan? Tidak sesuai kenyataan," bisik mereka.

"Benar, benar." Idan mengangguk-angguk. "Eh, tapi tokoh kita ini belum kita tentukan hidup di jaman apa."

"Di jaman kapan saja tidak jadi masalah," kata Lara. "Toh, ada usaha dari salah satu pihak untuk menemukan cara berkomunikasi supaya hubungan mereka langgeng."

Sello manggut-manggut sambil berpikir. "Aku jadi ingat film Stranger Than Fiction. Di film itu tokoh utama kerap mendengar suara narator perempuan di pikirannya. Belakangan diketahui bahwa suara itu merupakan suara penulis yang sedang menyelesaikan novel yang menceritakan kehidupan tokoh utama di film tersebut. Aneh memang."

"Kupikir itu film yang bagus, tapi aku menyesal tidak menontonnya," imbuh Sesil.

"Lalu hubungan film itu dengan konsep kita apa?" tanya Idan tak mengerti.

Sello melirik Lara sebentar. Lara pasti tahu apa yang kumaksud, pikirnya. Tapi Lara tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. "Kita bisa membuat kedua tokoh tidak saling mengenal satu sama lain, tapi pada kenyataannya mereka adalah sepasang kekasih."

"Bagaimana bisa?" Jujun bingung.

"Seperti apa situasinya?" Vanda ikut bertanya. Yang lain juga menunjukkan ekspresi bertanya.

Sello menggaruk kepalanya. Dia bingung harus menjelaskan detailnya karena ide itu datang begitu saja.

Lara melirik jam di layar ponselnya. "Tiga menit lagi bel istirahat berbunyi. Kupikir idemu sudah cukup membantu untuk dikembangkan." Berusaha menatap jauh ke dalam mata Sello. Namun ketika mendapat balasan tatapan, dia seolah tergelincir dan jatuh. "Terima kasih kalian sudah membantuku." Menyudahi rapat seraya merapikan meja.

Idan dan Jujun mengambil sisa makanan ringan yang belum terjamah dan menyantapnya.

Sello menghampiri Lara ketika hendak keluar dari ruang perpustakaan. Sesil mau bergabung, tapi Vanda mendahului menggamit lengannya dan membawanya keluar, mengejar Idan dan Jujun yang berebut makanan.

"Kamu yakin bisa menyelesaikannya?" tanya Sello.

Lara mengangguk kecil.

"Aku sendiri juga belum tahu detail ceritanya karena ide tadi datang begitu saja."

Lara tersenyum simpul. "Setidaknya cara yang kamu lakukan pada Vanda bisa membantuku." Meninggalkan Sello yang tegak termangu.

"Oh." Sello menatapi Lara yang berbalik meninggalkannya. Dia tahu apa yang kupikirkan ternyata.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Journey to Survive in a Zombie Apocalypse
1379      673     1     
Action
Ardhika Dharmawangsa, 15 tahun. Suatu hari, sebuah wabah telah mengambil kehidupannya sebagai anak SMP biasa. Bersama Fajar Latiful Habib, Enggar Rizki Sanjaya, Fitria Ramadhani, dan Rangga Zeinurohman, mereka berlima berusaha bertahan dari kematian yang ada dimana-mana. Copyright 2016 by IKadekSyra Sebenarnya bingung ini cerita sudut pandangnya apa ya? Auk ah karena udah telan...
My Selenophile
659      448     2     
Short Story
*Selenophile (n) : A person who love the moon Bagi Lasmi, menikmati keheningan bersama Mahesa adalah sebuah harapan agar bisa terus seperti itu selamanya. Namun bagi Mahesa, kehadiran Lasmi hanyalah beban untuk ia tak ingin pergi. \"Aku lebih dari kata merindukanmu.\"
Moment
327      279     0     
Romance
Rachel Maureen Jovita cewek bar bar nan ramah,cantik dan apa adanya.Bersahabat dengan cowok famous di sekolahnya adalah keberuntungan tersendiri bagi gadis bar bar sepertinya Dean Edward Devine cowok famous dan pintar.Siapa yang tidak mengenal cowok ramah ini,Bersahabat dengan cewek seperti Rachel merupakan ketidak sengajaan yang membuatnya merasa beruntung dan juga menyesal [Maaf jika ...
The Future Husband Next Door
300      231     4     
Romance
Ketika berjuang merebut hatinya bertahun-tahun.. Namun, ternyata perjuangan mu sia-sia.. Karena, nyatanya kamu bahkan tidak perlu berjuang untuk merebut hatinya...
Before I Go To War
633      457     5     
Short Story
Inilah detik-detik perpisahan seorang pejuang yang tak lama lagi akan berangkat menuju peperangan. \"Selamat tinggal gadis yang tengah asyik bersujud dimihrab yang usang\" -Mustafa-
My Twins,My Hero
17227      3369     28     
Romance
Menceritakan kisah unik dari Alessa Samantha dan Andreas Sanjaya yang merupakan saudara kembar.
ATHALEA
1407      632     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
Night Wanderers
18036      4222     45     
Mystery
Julie Stone merasa bahwa insomnia yang dideritanya tidak akan pernah bisa sembuh, dan mungkin ia akan segera menyusul kepergian kakaknya, Owen. Terkenal akan sikapnya yang masa bodoh dan memberontak, tidak ada satupun yang mau berteman dengannya, kecuali Billy, satu roh cowok yang hangat dan bersahabat, dan kakaknya yang masih berduka akan kepergiannya, Ben. Ketika Billy meminta bantuan Julie...
Cinta dan Benci
4970      1517     2     
Romance
Benci dan cinta itu beda tipis. Bencilah sekedarnya dan cintailah seperlunya. Karena kita tidak akan pernah tau kapan benci itu jadi cinta atau sebaliknya kapan cinta itu jadi benci. "Bagaimana ini bisa terjadi padaku, apakah ini hanya mimpi? Apakah aku harus kabur? Atau aku pura-pura sakit? Semuanya terasa tidak masuk akal"
Memoria
350      291     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu