Mobil Sesil berhenti di depan pagar rumah Lara. Mereka melihat ada mobil lain terparkir di pekarangan rumah. Mobil Vanda.
Lara turun dari mobil, membawa turun pula tas belanjaan. "Ayo, mampir?"
"Lain kali saja, Ra." Sesil menolak sambil melirik mobil Vanda.
"Nanti aku jelasin padanya." Lara memahami arti lirikan itu. "Lagipula aku bingung harus menjelaskan apa pada Ibuku tentang ini semua." Memperlihatkan tas belanja.
"Um," Sesil berpikir sejenak, lalu membuka pintu mobil dan keluar. "Ayo!"
Lara melangkah mendahului kelompok Sesil. Kepulangannya disambut tatapan cemas bercampur heran Maira dan Vanda.
"Lara?" Maira memandangi putrinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ada perubahan yang mencolok pada diri putrinya. Rambutnya tidak lagi keriting, melainkan lurus dan tergerai ringan dengan guntingan simetris pada poni yang tertata rapi. Rambutnya pun sudah berganti warna menjadi kecoklatan. Bibirnya dipolesi lipgloss warna pink lembut yang tak pernah dilakukannya.
Metamorfosis Lara membuat Maira pangling.
"Rambut kamu... Bunda lebih suka warna aslinya."
"Maaf, aku pulang telat, Bun. Dan warna ini tidak permanen. Besok juga akan hilang." Lara merasa bersalah tidak memberitahukan tentang keterlambatan dan pewarnaan rambutnya. Lalu dia beralih pada Vanda. "Sudah lama menunggu, Van?"
"Lumayan." Vanda memandangi Lara dan Sesil bergantian dengan tatapan heran.
"Oh, ya, ini Sesil, Bun. Rena dan Keke. Mereka teman sekelas aku dan Vanda." Lara memberitahukan.
"Sore, Tante," sapa Sesil mengumbar senyum yang dibuat-buat. Rena dan Keke mengangguk hormat.
"Hm." Pandangan Maira berpindah pada tas belanja yang dijinjing putrinya. "Bisa kamu jelaskan?"
"Oh, ini... " Lara menoleh pada Sesil.
"Begini, Tan," sambut Sesil. "Semua itu Saya yang beli sebagai ungkapan terima kasih Saya pada Lara yang sudah membantu Saya memahami pelajaran Matematika. Bukankah ilmu itu mahal? Benar'kan, Ra?"
"Eh, benar." Lara menjawab gugup.
"Oh, syukurlah." Maira berucap lega.
"Ibu pikir apa?" selidik Lara.
"Bukan apa-apa," jawab Maira. "Um, Ibu tinggal kalian dulu."
Sesil menyikut lengan Lara.
"Bun," panggil Lara sebelum Maira beranjak. "Sesil cuma sebentar saja. Dia mau pamit pulang."
"Oh."
"Maaf, Tan. Saya permisi dulu." Sesil menyalami Maira.
"Kami juga permisi, Tan." Rena dan Keke menyusul.
"Jangan bosan main ke rumah, ya?" ujar Maira berbasa-basi.
Sesil mengangguk, lalu putar badan keluar dari rumah bersama Rena dan Keke. Maira pergi meninggalkan Vanda dan Lara di ruang tamu.
"Ungkapan terima kasih, huh?" sindir Vanda seraya memandangi sekilas tas belanja Lara.
"Ke kamar, yuk," ajak Lara.
Vanda mengekori Lara masuk ke kamar. "Apa kamu tidak curiga?" Duduk di sudut ranjang.
"Curiga?"
"Iya. Selama ini sikap Sesil selalu buruk padamu."
"Sifat manusia selalu berubah-ubah sama seperti alam."
"Benar, tapi ini Sesil. Ini pasti trik darinya."
"Dia sudah minta maaf."
"Tidak tulus."
Lara mengerang, putar badan menghadap Vanda, menatapnya lama-lama.
"Apa?" Vanda balas menatap, tepatnya menantang.
"Aku lebih mengenal Sesil daripada kamu."
"Bahkan kamu tidak tahu jika dia mengancammu."
"Apa maksudmu?"
"Baca saja sendiri pesan yang dia kirim di hape kamu."
Lara meraih tasnya, mengeluarkan ponsel dan membuka pesan masuk. "Tidak ada."
"Periksa lagi."
Lara men-scroll pesan ke bawah. "Tidak ada."
"Mana kutahu. Mungkin kau sudah menghapusnya."
"Ah, sudahlah," kata Lara. "Aku ada titipan untukmu."
"Dari Sesil? Tidak sudi aku menerimanya."
"Bukan."
"So?"
Lara mengeluarkan amplop putih dari tasnya, lalu memberikannya pada Vanda. "Aku tidak sempat memberikannya padamu di sekolah. Pak Hendro benar-benar menyibukkanku hari ini."
"Apa ini?"
"Lihat saja sendiri."
Vanda membuka amplop dengan dahi mengkerut. "Foto Sello?"
"Dan sehelai rambutnya."
"Untuk apa?"
"Dia memintamu untuk menaruhnya di bawah bantal sebelum kamu tidur."
"Aku tidak mengerti."
"Aku juga tidak. Tapi kamu diminta tidur pada pukul sepuluh."
"Eh, siapa dia mengatur jadwal tidurku?"
Lara mengangkat bahunya. "Mungkin dengan begitu komunikasi kalian tidak putus karena akan selalu terhubung lewat mimpi."
"Apa?" Tawa Vanda pecah. "Jaman sudah canggih begini masih percaya hal seperti itu." Mengembalikan amplop pada Lara. "Kamu saja yang melakukannya. Bukankah kamu menyukai Sello?"
Wajah Lara bersemu merah.
"Benar'kan?" goda Vanda.
"Apa, sih?"
"Akui sajalah."
"Dengar," kata Lara. "Dia menggilaimu, menyukai, bahkan rela melakukan apa saja asal bisa selalu dekat denganmu, termasuk melakukan hal bodoh seperti ini." Mengangkat amplop.
"Oh, ya?" Vanda tersenyum. "Lalu foto-foto di hapemu itu apa? Fokus kamera lebih diarahkan kepada Sello."
"Itu kebetulan saja."
"Kebetulan hati yang mendorongnya?" Vanda menyindir.
"Bukankah kedatanganmu untuk belajar Matematika?" Lara mengalihkan pembicaraan.
"Ups, lupa."
Lara mengganti bajunya dengan pakaian rumahan, kaos longgar dan celana pendek kusam. Vanda memperhatikannya tanpa berkedip.
"Kamu sudah ada kemajuan sekarang," ujar Vanda ketika mereka memulai pelajaran.
"Tentu saja. Aku melatihnya dengan menjawab soal-soal yang rumit."
"Bukan itu."
"Jadi?"
"Kamu tidak sekaku sebelum aku mengenalmu."
"Oh."
Vanda menarik wajah Lara, berhadapan dengannya. "Kau tahu," desahnya. "Sejak pertama bertemu, aku sudah punya feeling padamu." Dia mendekatkan mukanya perlahan-lahan dengan sorot mata sendu dan desah nafas memburu.
Mata Lara melebar antara takut dan gugup. "Apa yang kamu lakukan?" Melarikan wajahnya cepat-cepat.
Vanda tersadar dari gairah yang menggelincirkan. "Oh, maaf."
"Kau..." Lara tidak meneruskan ucapannya. "Ya, Tuhan! Aku tidak percaya ini. Kau... sebaiknya kau pergi dari sini."
"Lara, aku... "
"Ucapanku tadi cukup jelas!"
nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter Casanova