Bias-bias bahagia yang dirasakan Lara membuatnya terjaga hingga lewat tengah malam. Dan bukan kebiasaannya pula bergadang meski ada bola di mana para gadis mengidolakan pemainnya yang gagah. Malam ini menjadi kebersamaan terlama dan obrolan paling panjang sejak dia mengenal Sello. Dia membayangi lagi ketika Vanda bernyanyi ditemani Jujun dan Idan. Dia duduk berdua bersama Sello menikmati suara campur aduk ketiga sahabatnya. Tanpa disangka-sangka, Sello menanyakan banyak hal padanya seolah dirinya tengah menghadapi ujian lisan atau sedang disensus atau tepatnya sedang diinvestigasi, mungkin. Dan itu membuatnya gugup setengah mati.
"Sudah pernah ke tempat seperti ini sebelumnya?" Pertanyaan pertama yang dilontarkan Sello dengan suara keras untuk mengimbangi kebisingan di ruangan. Dia cuma menjawab dengan gelengan kepala. Dia terlalu gugup dan tak sanggup berkata-kata.
"Aku mengerti," kata Sello. "Um, terima kasih sudah mau datang melihat latihan kami."
Lara mengangguk kecil dan tersenyum ringkas—dia ragu apa itu senyuman atau cengiran. Malu rasanya bila dia mengingatnya kembali.
"Apa kamu tak ingin menanyakan sesuatu padaku?"
"Um... " Hanya itu yang keluar dari mulut Lara, lalu dia menggeleng. Huh, dasar payah!
"Baiklah. Sepertinya aku harus berjuang keras untuk membuatmu bersuara." Sello coba melucu, tapi reaksi Lara biasa saja. "Um, apa kalian bersaudara?" Menunjuk Vanda dengan wajahnya.
Lara menggeleng pelan. "Tidak." Itu kata pertama yang meluncur dari mulutnya meski tidak terlalu jelas karena teredam kebisingan. Tapi kata itu cukup membuat Sello tersenyum lebar; Barangkali merayakan keberhasilannya.
"Kupikir kalian punya hubungan kekeluargaan. Tapi itu tidak jadi masalah. Bukankah kita semua bersaudara. Kamu setuju?"
Lara tersenyum paksa sambil mengangguk.
"Nah, kupikir kedekatan kalian itu pasti sudah menghasilkan penilaian yang spesifik bersifat subjektif. Benar'kan?"
"Um..."
"Bagaimana menurutmu tentang Vanda?"
"Ha?" Lara kaget plus bingung ditodong dengan pertanyaan seperti itu.
"Oke. Tiga kata buat Vanda. Satu?" Sello menegakkan telunjuknya.
Lara menoleh memperhatikan Vanda. "Cantik," katanya.
"Dua?"
"Um, enerjik?"
"Tiga?"
"Apa, ya? Um, perhatian?"
"Cantik. Enerjik. Perhatian." Sello mengulangnya. "Yang ketiga aku tidak setuju. Vanda tuh cuek banget orangnya."
Lara mengedikkan bahu. "Entahlah. Mungkin hanya padaku saja."
Sello mengekeh. "Kalian itu cocok sekali," katanya. "Satunya garang dan yang satunya lagi, yah, kau tahu sendirilah. Maaf, tidak bermaksud mengejek, tapi kalian seperti pasangan Xena The Warrior Princess dan asistennya, Gabriel."
"Bukankah pada akhirnya Gabriel juga bisa bertarung?"
"Oh, kamu tahu juga rupanya."
"Thanks to google."
Sello mengekeh lagi. "Kuharap kamu juga bisa menjelma seperti itu. Paling tidak seperti cewek-cewek lain."
Lara tidak menanggapinya.
"Maaf, kalau aku membuat kamu tersinggung."
"Tidak."
"Tapi yah, aku tidak berhak menyuruh orang berubah. Apa yang ada pada diri setiap orang merupakan sebuah pilihan."
Lara tersenyum simpul.
"Ngomong-ngomong, tentang sikapku selama ini—"
"Tidak perlu kaupikirkan." Lara memotong. Aduh, seharusnya kubiarkan saja dia dulu minta maaf.
"Terima kasih untuk tidak mendendam padaku."
Pembicaraan mulai masuk ke titik jenuh. Lara tidak mengharapkannya. Dia ingin menanyakan banyak hal pada Sello seperti; mengenai dirinya, mengenai kesehariannya, makanan kesukaannya, tipe gadis yang akan menjadi pasangan hidupnya, merek minyak rambut yang bikin rambut gelombang yang dipotong pendek dan sedikit berjambul tampak mempesona, parfumnya, ukuran baju dan sepatunya, kebiasaannya sebelum tidur, dan masih banyak lagi. Tapi pertanyaan itu menguap seperti embun terbakar sinar matahari.
"Hei, kupikir kita ke sini buat bersenang-senang," kata Sello kemudian. "Ayo kita gabung bersama mereka." Menggamit lengan Lara, menariknya.
Jantung Lara berdebar kencang mendapat sentuhan itu. "Aku di sini saja." Dia bertahan di tempat duduknya.
Sello menghela nafas. "Baiklah," lalu duduk kembali.
Sikap Sello itulah yang membuat Lara jadi berbunga-bunga karena ditemani murid populer di sekolah. Bukan itu saja, Sello juga memuji suaranya ketika dia dipaksa bernyanyi.
"Suara kamu itu lho... Kupikir kamu bisa bikin penyanyi beneran ngiri. Bagus banget soalnya! Unik seperti Fatin, peserta X-Factor. Tahu'kan? Kenapa kamu itu ikutan audisi saja waktu itu?"
Lara hanya menjawab pujian setinggi langit Sello dengan senyuman. Dan saat mengingatnya kembali, dia menilai reaksinya itu sangat bodoh sekali. Pujian itu suatu pertanda bahwa Sello sudah membuka pintu sebuah hubungan, meski hanya sebatas teman. Bukankah itu yang diharapkannya? Menjadi teman dan selalu ada di dekatnya. Hubungan seperti itu saja sudah cukup. Dia tidak berani bermimpi untuk menjadi pacar Sello. Sudah pasti aku berada dalam antrian di urutan sekian ratus cewek.
Yang lebih membuat Lara sangat berbunga-bunga malam ini adalah ketika Sello memboncenginya menuju tempat karaoke dan mengantarnya pulang ke rumah. Dia tahu Sello terpaksa melakukannya karena desakan Vanda. Bagaimana sih perasaan Vanda saat itu?
Lara berganti posisi, miring ke kiri. Dia memandangi foto Sello di ponsel yang diam-diam diambilnya sewaktu berada di tempat karaoke. Hingga kantuk menyerang, dia masih memandangi foto itu, berharap dapat menemuinya di dalam mimpi.
***
Sunyi senyap.
Papa, Mama dan adiknya sudah terlelap di kamarnya masing-masing, tapi kebahagian pada kebersamaan tadi masih membekas di hatinya sangat kuat dan begitu dalam.
"Kita punya cara yang sama untuk bersenang-senang," ucap Vanda ketika mereka keluar dari tempat karaoke.
"Hei, bagaimana kalau besok atau lusa kita melakukannya lagi?" Sello menawarkan.
"Boleh." Vanda menyambutnya antusia. "Tapi bukan karaokean, melainkan live."
"Live?"
"Iya, live. Kenapa? Tidak pede?"
Sello menoleh pada Idan dan Jujun yang menunggu. Kedua temannya mengedikkan bahunya. "Kami belum siap untuk live."
"Nah, lho. Kalau tidak dicoba kapan kalian siapnya? Sepupuku punya kafe di Sudirman. Aku bisa tawarkan kalian untuk manggung di sana. Barangkali saja ada produser musik yang menyaksikan aksi kalian, lalu menawarkan kalian untuk bikin album. Plus, sepupuku itu promotor musik lho. Bagaimana?"
"Um," Sello menoleh lagi pada kedua sahabatnya. Mereka mengangguk. "Baiklah. Tapi rekaman masih jauhlah. Lagu saja kami tidak punya."
"Bikin dong dari sekarang," dorong Vanda. "Aku lihat kalian punya potensi loh." Melirik Lara. "Kalian juga bisa kolaborasi dengan Lara. Iya'kan, Ra?"
Lara tercekat, mengerutkan dahinya sambil menggeleng pelan.
"Suara Lara bagus. Bagus banget malah. Tapi dia tidak bisa gila-gilaan di atas panggung," kata Sello. "Mending sama kamu saja deh." Membayangi aksi erotis Vanda ketika menyanyikan lagu Love You Like A Love Song.
"Ogah!" jawab Vanda.
Sello cengengesan.
"By the way, aku pulang bareng Jujun," beritahu Vanda. "Aku gemes banget sama rambut kribonya."
Wajah Jujun bersemu merah.
"Hati-hati," seru Idan. "Peletnya ada di kribonya."
Vanda mengekeh. "Sel, kamu anterin Lara sampai ke rumahnya, ya?"
Sello mengangguk sambil tersenyum kaku. "Asal kamu senang," ucapnya, tapi dalam hati dia berkata, "Damn!" Seketika dia membayangi kesunyian yang menyertai sepanjang perjalanan pulang sama seperti perjalanan menuju tempat karaoke.
Dalam pembaringannya, helaan nafas Sello menjadi titik pengakhir kisah malam ini. Dia memang belum mampu merebut hati Vanda. Tapi kebersamaan yang telah dilaluinya menjadi pembuka sebuah hubungan dan Lara akan menjadi jalannya. Perlahan-lahan dia akan membuka catatan buku kehidupan Vanda, apa yang disukai dan tidak disukainya, melalui Lara. Bukankah Lara sudah mulai terbuka dan menerimanya?
Sello mengubah posisi tidurnya, lalu membuka ponsel dan memandangi foto Vanda di sana, berharap sang pujaan hadir ke dalam mimpinya.
nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter Casanova