Read More >>"> Koma (Hang Out) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Tidak ada catatan penindasan hari ini. Lara senang sekaligus bingung atas catatan putih yang dilaluinya. Biasanya per hari dia bisa mengalami penindasan paling tidak dua kali dari seorang murid. Hari ini tidak ada. Sama sekali tidak ada. Dia mengkait-kaitkannya situasi tersebut dengan kesempatannya dibonceng Sello. Pengaruh Sello sangat besar di sekolah. Murid-murid yang berada di dekat Sello akan selamat dari korban penindasan. Mungkin karena itu pula murid-murid tidak ada yang berani mengganggunya.

Lara benar-benar beruntung. Bahkan Si Maniak Sesil juga tidak melepaskan tindasan terkejamnya pada Lara tadi. Ah, itu memang karena gadis lampir itu ada maunya. Biarlah, pikirnya. Dengan begitu dia tidak perlu repot memikirkan dan mengerjakan tugas dari Bu Konde.   

Sebelum Lara duduk di depan meja belajar dan memulai mengaduk-aduk soal-soal Trigonometri, dia teringat tawaran Sello untuk pulang bersama; Padahal di sana ada Sesil dan sejumlah gadis lainnya yang haus akan kebersamaannya dengan Sello. Vanda pengecualian. Dia sudah sering menerima pernyataan Vanda mengenai ketidaktertarikannya pada Sello, bahkan pada semua anak laki-laki di sekolah. Sepintas dia menganggap teman barunya itu sombong dan punya selera tinggi. Tapi kalau dipikir-pikir Sello tidak kalah ganteng dari Dude Herlino. Mengapa Vanda menolaknya?

Sikap Sello memang konyol, sering menindas murid-murid yang lemah. Tapi Lara memaklumi dan tahu bahwa sikap itu hanya sekedar mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya di sekolah. Sejatinya Sello anak yang baik. Hanya saja ego dan gengsi tinggi telah menguasainya. Kenapa pula aku memikirkan dia?

Sadar atau tidak, Lara sudah tidak canggung lagi berada di dekatnya.

Kemudian dia beralih menyelesaikan soal Trigonometri pertama, lalu kedua, ketiga dan ketika memasuki soal keempat, terdengar dering sms masuk yang teredam dari ponselnya. Dia menarik laci meja, mengeluarkan ponsel.

 

Ntar malam kita kumpul yuk?

 

Tidak mungkin. Pesan ini pasti salah masuk. Bukan ditujukan padaku.

Lara membaca ulang pesan itu. Membacanya lagi dan lagi. Dia pindah ke ranjang, meninggalkan coretan-coretan pengembangan rumus Trigonometri. Dia baring terlentang dan membaca pesan untuk ke sekian kali. Apa yang sedang dia rencanakan? Mem-bully-ku? Lalu dia teringat ucapan Vanda.

"... cintanya akan beralih padamu."

Lara sangat mengenal Sello. Dirinya bukan standar cewek yang disukainya, kecuali sebagai bahan candaan. Haruskah kubalas pesannya?

Ketika dia membiarkan ponselnya di samping dirinya yang galau, tiba-tiba dering sms kembali berbunyi.

 

Ntar malam kita kumpul yuk?

-Sello-

 

Lara tersenyum simpul membaca isi pesan yang persis sama seperti pesan sebelumnya. Akan tetapi bukan isi pesan yang membuatnya tersenyum, melainkan nama yang tercantum di bawah pesan yang menganggap seolah-olah Lara belum memiliki nomor kontaknya. Lara menyimpan nomor Sello sudah lama sekali, sejak semester pertama di kelas X. Waktu itu dia membantu Bu Rika menyusun database murid dari kelas X sampai kelas XII. Sejak pertama disimpan, dia baru dua kali menghubungi nomor tersebut sekedar mendengar suara pemiliknya dari seberang dengan menyembunyikan nomor panggilan.

Pesan kembali masuk. Masih dari Sello.

 

Napa ga dibales? Km lg sibuk ea?

 

Wajah Lara langsung memerah. Apa yang mesti kubalas, pikirnya. Alih-alih memikirkan pesan balasan, tiba-tiba ponsel berdering, menerima panggilan. Dia terkejut. Ponsel terlepas dari pegangan.

"Aduh," desahnya. "Kok aku jadi salah tingkah begini?" Memungut ponsel, melihat sebentar nomor pemanggil di layar. Dari Vanda ternyata. "Ya, halo?"

"Lama banget?" Suara Vanda terdengar murung.

"Ada apa?" tanya Lara.

"Sello mengajak kita menyaksikan mereka latihan band, lalu nongkrong di kafe. Kamu ikut tidak?"

"Um... "

"Sello bilang sudah meng-sms kamu, tapi belum dibalas."

"Oh."

"Ikut tidak?"

"Gimana ya... "

"Jangan bilang kamu tidak mau."

"Iya, tapi... "

"Oke. Jam tujuh aku jemput."

"Hei... " Lara mau protes, tapi Vanda keburu menutup telepon. Lalu dia membuka pesan masuk dari Sello dan membalasnya.

 

Sy ga bisa keluar nanti malam. Maaf...

 

Lara membaca ulang pesan yang diketiknya. Tidak ada yang salah dan tidak pula bernada kasar. Alasan penolakannya cukup standar. Lalu dia mengirimnya. Belum ada semenit waktu berlalu, pesan balasan masuk.

 

Gpp. Gw maklum.

 

Bodoh! Dia memaki dirinya sendiri. Apa salahnya sesekali hang out? Toh, aku tidak sendiri. Ada Vanda bersamaku.

 

***

Pukul 19.35 WIB.

Sello, Idan dan Jujun duduk di lobi studio musik, menunggu salah satu band selesai memakai kamar studio. Mereka sudah booking tempat untuk latihan pada pukul delapan. Kedatangan mereka yang lebih awal bukan hanya menunggu ruang studio yang terpakai kosong, melainkan juga menunggu kedatangan Lara dan Vanda, meski Sello tidak begitu yakin pada kedatangan keduanya.

"Duuh, lama amat sih mereka datang." Idan gelisah. Kakinya bergerak tak mau menentu.

Sello melirik jam di dinding. "Mereka tidak bakalan datang." Mengeluarkan ponsel, menunjukkan sms dari Lara. "Baca nih!"

Idan melirik sebentar ke layar ponsel. "Lo sudah bilang tadi. Tapi feeling gue bilang nih, ya, Vanda pasti maksa Lara ikut. Yakin banget gue."

Sello mengangkat bahu. "Yah, kita lihat saja."

"Hei," kata Jujun. "Seandainya mereka datang, setelah dari latihan, kalian mau mengajaknya kemana?"

"Pastinya bukan ke Banjir Kanal Timur." Sello menyindir sambil melirik Idan dan menahan senyum.

"Lanjut ke karaokean saja gimana?" saran Idan mengabaikan sindiran.

"Benar, benar," sambut Jujun antusias. "Kita karaokean saja. Mungkin saja setelah dari sana, Lara tidak cupu lagi."

"Terus kalau tidak cupu, mau lo apakan? Naksir?" goda Sello.

"Ogah!" seru Jujun. "Gue geli lihat poni keritingnya yang mengerikan itu."

"Kayak lo tidak keriting saja." Idan menimpali. "Lebih parah malah."

Jujun cengengesan sambil mengusap rambut kribonya.

Dua puluh menit berlalu dan belum ada tanda-tanda kedatangan Vanda maupun Lara. Kelompok kecil Sello sudah masuk ke kamar studio dan menempati posisi pada alat musik mereka masing-masing.

"Gimana nih, Sel?" Idan bertanya, memastikan latihan dimulai.

"Kita tunggu lima menit lagi," jawab Sello, ragu-ragu.

"Lima menit lagiii...ah, ah, aahh...!" sambung Jujun, berdangdut ria dengan goyangan kepala yang centil.

"Coba ulangi bagian 'ah, ah'-nya," pinta Idan, menahan geli.

Jujun melakukannya lagi. "Ah, ah, aahh..."

Idan mengikik geli. "Lo mirip banci keselek kulkas," ledeknya.

Sello tidak terpengaruh dengan kelucuan yang dibuat temannya. Pikirannya mengembara, mencari cara pendekatan yang aman supaya lancar berkomunikasi degan Vanda tanpa harus melalui perantara Lara seperti yang rencananya semula. Vanda sama misterius dengan kemunculan crop circle di perladangan.

"Sel," tegur Idan. "Sudah lima menit, nih. Kita mulai, yuk?"

Sello bangkit dari duduknya, mengambil gitar dan menyelempangkannya ke bahu. Setelah mengecek dan menyetel sound sistem, mereka tidak langsung latihan. Mereka berdebat mengenai lagu apa saja yang perlu mendapat perhatian dan pelatihan khusus.

"Dear God. Avenged Sevenfold," tawar Idan. "Lo masih gamang di nada tinggi, Sel."

"Jangan lagu itu." Sello menolak. "Suara gue habis pas di lagu yang lain."

"Betul." Jujun setuju dengan Sello. "Bagusnya lagu yang ringan dulu. Dear God belakangan."

"Iya, lagu apa?"

Hening sejenak.

"Noah dulu deh," saran Jujun kemudian. "Separuh Aku."

"Cakra Khan gimana?" Idan memberikan pilihan.

"Tidak masuk daftar lagu yang kita mainkan itu, bro!" Jujun mengingatkan.

"Ya, sudah. 'Separuh Aku' saja," putus Sello, memposisikan jarinya di senar.

"Gimana 'Dear God' saja?"

Ketiga remaja itu menoleh ke pintu masuk dan sama-sama tersenyum lebar mengetahui siapa yang datang.

"Sorry, aku telat." Vanda melangkah masuk sambil mengitari pandangan. Di belakangnya Lara ikut menyusul dengan sikap rada canggung.

"Ah, tidak juga." Sello memandangi Lara yang berpakaian sederhana. Beda sekali dengan Vanda. Meskipun berpakaian sederhana dengan pakaian kasual, tapi terlihat istimewa di badannya. "Kami baru saja mulai. Benarkan guys?"

Idan dan Jujun mengangguk kompak.

"Selamat datang di kamp. pelatihan kami," kata Idan berteatrikal.

Vanda tersenyum ringkas, sementara Lara tersenyum kaku.

"Hei, jangan bilang kehadiran kami mengacaukan latihan kalian, lho?" tegur Vanda ketika ketiga remaja itu terpaku memandanginya.

"So, lagu apa yang pertama?" tanya Jujun memastikan sekali lagi.

"As request." Sello mengedipkan mata pada Vanda.

"Oke," sambut Jujun dan Idan.

Setelah memberikan aba-aba, Sello memetik senar. Harmonisasi musik pun mengalir. Vanda dan Lara tegak memperhatikan di seberang mereka, menikmati pertunjukan live. Baik Vanda maupun Lara familiar dengan lagu yang mereka mainkan. Bibir kedua gadis itu bergerak mengikuti lirik lagu. Masuk di bagian refrain, Vanda bahkan tak kuasa menahan diri untuk tidak ikut bernyanyi. Lantas dia berdiri, mengambil mic dan mengikuti lirik lagu dengan pengkhayatan tinggi.

"Dear God... the only think I ask of you is to hold her when I'm not around when I'm much too far away. We all need the person who can be true to you but I left her when I found her and now I wish I'd stayed. Cause I'm lonely, I'm tired, I'm missing you again oh no... once again... "

Seperti tidak mau melewatkan kesempatan, Vanda turut nimbrung di lagu berikutnya. Lalu kesenangan mereka pun berlanjut di tempat karaoke. Vanda sangat eksis dengan penguasaan lagu. Pada lagu ketujuh, dia menyerah dan duduk bergabung bersama Sello dan Lara. Layar karaoke kini dikuasai Idan dan Jujun dengan menyanyikan lagu dangdut sekedar lucu-lucuan.

"Suara kamu bagus banget," puji Sello untuk kesekian kali.

Vanda mengekeh. "Terima kasih," ucapnya dengan suara serak. "Hei, kalian bicarakan apa tadi?"

"Tidak ada," jawab Sello.

Vanda memandangi Lara, menyelidik. Yang dipandangi langsung menekuki wajahnya dengan gugup. "Oh," desahnya, mengedikkan bahu. "Kupikir kita perlu bikin game."

"Game?" ulang Sello. "Buat apa?"

"Aku mau mendengar suara Nona pendiam ini."

Lara tersentak dengan membesarkan bola matanya, menggeleng pelan.

"Ini bukan bully lho," ralat Vanda. "Tapi memberikan kesempatan padamu untuk bersenang-senang."

"Aku setuju," sambar Sello, lalu mengajak Idan dan Jujun bergabung. "Nah, karena kamu yang memberi saran, kupikir kamu yang lebih mengerti aturan mainnya."

Vanda mengacungkan jempol. "Sip!" Lalu dia mengambil botol softdrink kosong dan membersihkan meja dari botol dan gelas kosong lainnya. "Aku akan memutar botol ini ke meja. Bila botol ini berhenti dan ujungnya mengarah pada salah satu dari kita, maka orang itu harus menyanyikan lagu sesuai permintaan pemutar botol. Kita bergantian memutar botol ini sesuai arah jarum jam. Setuju?"

Tidak ada yang protes, kecuali Lara yang menatap penuh penolakan.

"Oke," kata Vanda. "Aku pemutar pertama." Lalu dia memutar botol dan berhenti dengan ujung botol mengarah pada dirinya sendiri. "Damn!" rutuknya diiringi tawa yang lain.

"Senjata makan tuan," seru Idan, mengikik.

"It's, ok," sahut Vanda. "Aku akan menyanyi untuk kalian. Um... Love You Like A Love Song, Selena Gomez." Mengedipkan mata pada Lara.

Tampaknya Vanda sangat menguasai lagu dengan sangat ekspresif. Dia juga melibatkan Sello, mengajaknya menari dan tidak segan-segan meliuk-liukkan badannya ke badan Sello. Idan dan Jujun melongo sekaligus iri, sementara Lara melemparkan pandangannya ke arah lain. Cemburu mungkin?

"I, I love you like a love song, baby... I, I love you like a love song, baby... I, I love you like a love song, baby... And I keep it in re-pe-pe-pe-peat."

Vanda menyudahi lagu dengan membungkukkan badannya seolah dirinya sedang berada di panggung terbuka. Idan dan Jujun memberikan standing aplaus padanya.

"Gila! Keren banget!" puji Idan lagi.

Vanda tertawa renyah. "Hasil latihan nyanyi di kamar mandi," candanya. "Giliran siapa sekarang?"

"Sello," tunjuk Jujun.

"Baiklah." Sello mengambil botol lalu memutarkannya di atas meja.

Botol berputar. Semua mata memandang arah gerakan botol yang perlahan-lahan bergerak pelan. Sello lewat. Jujun lewat. Idan berharap botol berhenti dan mengarah padanya. Dia tak sabar menyanyikan lagu spesial untuk vanda. Tapi botol masih bergerak. Bola mata Lara membesar. Dia berharap botol tidak singgah dan menunjuk dirinya sebagai korban berikut.

"Got you!" seru Vanda, bertepuk tangan kegirangan ketika botol berhenti tepat mengarah pada Lara. "Kita menjadi orang-orang beruntung yang bisa mendengar suara Lara."

"Gue tidak begitu yakin," kata Idan bernada sepele sekaligus kecewa tidak terpilih.

"Hush!" semprot Vanda, pelototi Idan.

"Apa kau siap, Ra?" tanya Sello.

"Siapa tidak siap harus siap dong!" Vanda tersenyum jahil.

Lara mengangguk kaku.

"Baiklah," kata Sello. "Aku ngefans berat sama Anggun. So, aku request lagu... 'Yang Kutunggu'." Diam sejenak menunggu reaksi Lara. "Yap. Kuharap kamu bisa membawakannya."

Jujun memberikan mic pada Lara.

"Kami siap mendengarkanmu, Lara," ucap Idan sambil bercanda dengan menutup kuping.

Setelah musik berputar, Lara bangkit dari duduknya, berjalan kaku ke depan layar. "Lelahku ku berjalan menelusuri hari..." mulainya dengan suara bergetar saking gugupnya. Idan cekikikan karena merasa menang atas dugaannya bahwa Lara tidak bisa bernyanyi. "... Menunggu sesuatu 'tuk melupakanmu... " Getaran suara mulai berkurang. "... Wajah-wajah telah datang dan telah pergi... " Lara sudah bisa mengontrol emosinya. "... Tetap kusendiri dan merindukanmu... Ku ingin mengerti... Tunggu rasa itu bisa berhenti..."

Ketika Lara masuk ke bagian reffrain, semua melongo. Idan melepaskan tangannya dari menutup kuping.

"Ck, ck, ck... bagus bangeett..." desahnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Novel Andre Jatmiko
7596      1698     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Love Finds
13687      2505     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...
Sherwin
328      212     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Intuisi Revolusi Bumi
920      464     2     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
Alicia
1084      504     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Please stay in my tomorrows.
335      236     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Chocolate Next Door
305      212     1     
Short Story
In which a bunch of chocolate is placed on the wrong doorstep
Someday Maybe
9428      1807     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
IMAGINATIVE GIRL
2052      1084     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Verletzt
1179      529     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...