Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Kosong.

Matanya memandang kerlip bintang di balik rimbunan awan, tapi tak ada ruang yang mengabadikan pandangannya kecuali kekosongan. Gitar di pangkuan sudah lama memendam kebisuan sejak pertama dibawa ke teras balkon. Dia seolah kehilangan kemampuan untuk memetik dawai yang biasa dimainkan bila hati berada dalam riak kegalauan.

Dia menyesali dan mengutuki kemarahannya pada Idan. Denyut di tangan masih terasa akibat beradu bentur dengan tulang pipi sahabatnya.

Bodoh. Mengapa gue harus memukulinya karena persoalan sepele?

Mereka biasa bercanda dan saling ejek, tapi belum pernah dia marah sampai menjatuhi pukulan. Apalagi dia bukan seorang temperamental. Mengapa gue bisa semarah itu padanya tadi? Tapi, yah, siapapun tidak suka dimata-matai. Dan dia merasa Idan layak mendapatkan pukulan atas keusilannya itu sekedar memberi peringatan.

Atas permasalahan yang terjadi, dia bingung pada kesepakatan atas taruhan mereka. Batal ataukah terus berlanjut? Tanpa ada peristiwa pemukulan itu, sejak pulang dari rumah Vanda, dia juga berharap taruhan itu tidak pernah ada sehingga dia tidak perlu jadian dengan Lara. Aih, amit-amit. Dia membayangi dirinya menua sebelum waktunya bila seharian bersama cewek kutu buku itu. Beginilah akibat terlalu percaya diri dan sesumbar mampu menaklukan hati cewek dalam waktu tiga hari. Kena batunya dia sekarang.   

Namun sebagai cowok, dia tidak mau lepas tanggung jawab. Dia akan memenuhi janji itu sebagai konsekuensi atas kekalahannya; jadian dengan Lara. Biar seisi dunia menertawainya, dia tidak peduli. Bukankah Lara dan Vanda bersahabat? Mereka selalu bersama di setiap kesempatan di sekolah. Lara akan membuka jalan baginya untuk mendapatkan cinta Vanda. Ya, keterpaksaannya itu akan membawa dirinya pada Vanda kelak.    

Sello mengubah letak duduknya sambil melenguh berat, lalu memeluk gitar layaknya seorang kekasih. Ini sudah kesekian kali dia mengubah letak duduknya, mungkin ada sekitar sebelas kali. Tapi kegalauan masih betah merayapi hatinya.

"Ehem!"

Sello tersentak dari lamunannya dan menoleh ke belakang. Kerut di wajah melonggar. "Ya, Pa?"

"Papa tidak mendengar satu lagu pun dari tadi." Cokro menarik kursi dan duduk di atasnya.

Sello tersenyum. Tampak dipaksakan. "Terlalu banyak lagu, Pa. Aku jadi bingung lagu mana yang harus kunyanyikan."

"Um... kenapa tidak bawakan lagu yang mewakili suasana hati kamu saja?"

Sello mengangguk pelan. Perlahan jemarinya mulai memainkan dawai.

"Sendiri... sendiriku diam... diam dan merenung... merenungkan jalan yang 'kan membawaku  pergi... pergi tuk menjauh... menjauh darimu..."

Cokro memandangi terus penghayatan putranya menyanyikan lagu "Harus Terpisah" yang dipopulerkan Cakra Khan. Dari lagu yang dibawakan itu tahulah dia bahwa putranya tengah dirundung kegalauan hebat.

"Kamu lagi ada masalah?" tanyanya setelah Sello menyudahi lagunya.

"Nggak ada sih, Pa."

Cokro tersenyum. "Kamu nggak bisa bohong lagi sama Papa."

"Yahh, kejebak!"

Cokro tertawa ringan. "Kamu ditolak cewek?"

Sello mengangguk kaku. "Um, seingatku sewaktu Papa muda, kenapa bisa menjaga hubungan jarak jauh dengan Mama? Apa rahasianya, Pa?" Dia coba mengalihkan pembicaraan.

"Oh, itu." Cokro terdiam, mengenang masa mudanya. "Kami berhubungan lewat mimpi."

"Lewat mimpi? Ngaco Papa."

"Ini serius."

"Ah, aku nggak percaya."

"Mau dengar nggak?"

"Bolehlah. Sambil menunggu kantuk."

"Nah, waktu itu Mama kamu galau setengah mati saat tahu Papa diterima di Universitas Sumatera Utara Fakultas..."

"Bohong," Nila yang datang segera memotong. "Malah saat itu Papa kamu yang uring-uringan jauh dari Mama."

Sello beranjak, memberikan kursinya pada Nila, lalu dia pindah ke pagar pembatas balkon dan duduk di sana. "Mana yang benar?" Dia memandangi Cokro dan Nila bergantian.

"Dalam hal ini, menurut kamu, siapa yang paling sentimentil menghadapi perpisahan?" tanya Cokro, tak mau kehilangan muka.

Sello melirik pada Nila, lalu berpindah pada Cokro. Keduanya menunggu keberpihakannya.

"Siapa saja bisa mengalaminya. Nggak cewek. Nggak cowok. Sama saja." Sello menjawab diplomatis.

"Ya, sudahlah," ujar Cokro.

Nila mencibir, lalu memberitahukan pada Sello lewat lirikan dan gerakan tangan bahwa perpisahan itu membuat Cokro menangis bombay. Sello tersenyum geli.

"Bukan itu inti ceritanya," lanjut Cokro, mengabaikan Nila.

"Ya, Pa. Lanjut," sahut Sello.

"Dulu ponsel belum sepopuler sekarang. Kami mengandalkan foto masing-masing untuk menyembuhkan rindu. Papa selalu meletakkan foto Mama kamu di bawah bantal tiap mau tidur dan berharap dapat menemuinya lewat mimpi."

"Emang bisa?" Sello penasaran.

Cokro menggeleng. "Belum."

"Terus?"

"Lewat surat Mama mengusulkan janjian tidur pada jam yang sama dengan meletakkan foto dan rambut orang yang ada di foto di bawah bantal sambil mengosentrasikan pikiran pada hubungan kami. Dan... " Cokro menggantung ceritanya.

Bola mata Sello membesar, ingin tahu cerita selanjutnya. "Dan?"

"Cara itu tidak berhasil..." Nila menyambung cerita suaminya.

"Yaahh..." bahu Sello melorot. "Percuma dong."

Nila tersenyum geli melihat ekspresi putranya. "Ya, cara itu tidak berhasil pada mulanya karena Papa selalu melanggar janji jam tidur. Papa menganggap saran Mama konyol."

"Pantes," cibir Sello. "Terus?"

"Setelah Mama jelasin secara ilmiah, baru Papa kamu mau mengerti."

"Seperti apa penjelasannya?"

"Nah, untuk yang satu itu menjadi PR bagi kamu," jawab Cokro. "Jadi, sejauh apapun jarak yang memisahkan sebuah hubungan, cinta sejati akan menjadi benteng yang kuat bagi keduanya terhadap godaan-godaan yang datang dari luar. Apa yang kami lakukan itu hanya trik menjaga hubungan saja."

Sello manggut-manggut. Entah apa yang dipikirkannya tentang kisah cinta orangtuanya, tapi dari situ timbul ide sebagai kompensasi dari langkah mundurnya untuk mendekati Vanda. Ya, dia ingin mencoba trik itu. Setelah pamit pada kedua orangtuanya, dia segera masuk kamar, menyalakan laptop, menyambungkan kabel data ke gadgetnya, lalu mencetak foto Vanda yang diambilnya diam-diam.

Ekspresi Vanda tampak sangat natural di dalam foto. Senyum dan sebelah lesung pipi yang tampak tidak hanya menambah kesan manis, tapi juga mewakili sebuah keluwesan dan keramahan. Rambut panjangnya jatuh tergerai membingkai wajahnya yang semi oval. Bibirnya yang selalu basah membuat Sello nyaris tak dapat melupakannya. Lirikan mata beloknya sangat menggoda. Dia ibarat pegunungan yang memukau mata, namun memiliki medan yang berat sehingga butuh stamina yang kuat untuk mendakinya.

Sambil menjemput kantuk, Sello terus-terusan memandangi foto Vanda. Tiga menit hingga sepuluh menit berlalu, tiba-tiba dia mendapati dirinya mengalir masuk ke dalam kasur. Dia tidak berontak seolah pasrah menerima kejadian itu. Lambat laun dirinya tenggelam dan muncul di suatu tempat yang sangat asing dan abstrak bernuansa hitam putih, kecuali dirinya yang berwarna.

"Sello... " panggil seseorang dengan suara berdenting dan bergema. Suara itu milik perempuan yang sangat familiar di telinganya.

Vanda!

Sello tersenyum sumringah. Dia menoleh ke sekeliling, memastikan letak sumber suara yang terdengar. "Vandaaa..." panggilnya, berteriak. "Di mana kau?"

Suara Vanda mengikik, lalu hening. "Aku di sini."

Sello terlonjak kaget. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja Vanda muncul di hadapannya. Namun bukan kehadirannya yang membuat jantung Sello berdegup kencang seperti degup kereta api uap, melainkan wajah Vanda yang jauh dari gambaran aslinya. Bukan. Bukan Vanda. Perempuan itu Lara. Citranya sangat buram, penuh bintik-bintik layaknya layar hitam putih televisi tempo dulu.

"Hei..."

Dengan suara Vanda dan citra Lara, Sello bingung memanggilnya. Vanda atau Lara?

"Hei..."

Sello masih bungkam.

"Hei! Aku bicara padamu!"

"Ya, aku tahu."

Gadis buram itu menyelipkan rambut ke telinga, lalu mengarahkannya untuk mendapat pendengaran yang jelas. "Apa?"

"Ya, aku tahu." Dahi Sello mengerut. Dia tidak dapat mendengar suaranya sendiri. "Halo, halo," ucapnya sambil memegangi lehernya. "Halo, halo..." Dia panik. Apa aku mengalami kebisuan? "Halo, halo," ulangnya lagi. Suara yang keluar sangat halus seperti melewati celah yang sangat sempit. Ada apa ini?

Gadis buram tersenyum manja, lalu melangkah mendekat. "Kenapa sayang? Kenapa kau tidak menjawabku?"

Glek!

Sello melangkah mundur setapak demi setapak. "Stop!" perintahnya tanpa suara. "Jangan mendekat!"

"Apa? Kau bilang apa?" Gadis buram terus melangkah. "Maaf sayang, aku tidak bisa bicara pakai bahasa kalbu."

Sello terus mundur dan tanpa diketahuinya, kakinya tersandung sesuatu batu hingga membuatnya jatuh terjungkal, denyut jantung terpacu cepat dan nafas tersengal-sengal.

Brukk!!

"Aw!" Sello menjerit kesakitan. Dia membuka mata, menyesuaikan pandangan mata. "Oh, mimpi ternyata," desahnya sambil bangkit dari lantai, naik ke ranjang. "Mimpi apa aku tadi?" Dia coba mengingat. "Damn! Aku lupa detailnya! Tapi tunggu dulu, mengapa pula Lara yang terbias di mimpiku?" Dia mengeluarkan foto Vanda yang terselip di bawah bantal.

Pantas! Citra Vanda bersanding dengan Lara yang berada di balik bahunya.

Sello berbaring terjaga, sulit melanjutkan tidurnya. Lagipula jam nanggung. Sebentar lagi subuh segera menjelang.

Ketika fajar surut dari langit dan pagi menghidupkan aktifitas warga di bawah kaki langit, Sello sudah keluar dari rumah. Seburuk apapun mimpi yang dialaminya semalam, berita baiknya, trik itu cukup berhasil. Mungkin perlu sedikit perbaikan seperti foto yang jelas dan sehelai rambut target mimpi! Dia cuma perlu memikirkan cara mendapatkannya. Papanya bilang bahwa pemberian rambut harus dilakukan dengan sukarela. Maukah Vanda memberikannya?

Sello menghentikan motornya di depan rumah Lara. Ya, Lara. Dia tidak salah arah. Memang Lara tujuan dari keberangkatannya pagi-pagi sekali dari rumah. Meski mereka tidak pernah bermusuhan, dia merasa perlu mengadakan perdamaian dengan Lara, setidaknya mengubah sikapnya lebih bersahabat lagi.

"Pagi tante." Sello menyapa ramah pada Ibu Lara.

Maira tidak langsung menjawab. Lama diperhatikannya Sello. "Ya, pagi."

"Saya teman sekolah Lara, Tante. Lara sudah berangkat?"

"Oh, sebentar, ya?" Maira masuk ke dalam rumah. "Ra..." panggilnya.

Lara keluar dari kamarnya, bersiap pamit kepada Ibunya. "Ya, Bun?"

"Ada teman kamu di luar."

"Vanda?"

"Bukan. Yang ini cowok."

"Siapa?"

Maira mengangkat bahunya.

Mereka keluar bersama-sama dan Lara terkejut ketika melihat Sello berada di depan pagar.

"Hei, Ra!" Sello menyapa penuh persahabatan.

Lara membalas dengan anggukan kecil yang kaku, lalu melirik ibunya takut-takut.

"Berangkat bareng, yuk?" Sello mengajaknya antusias.

"Um, aku..." Lara menoleh pada ibunya dengan ekspresi gugup.

Meira mengangguk setuju. "Ya, sudah pergi sana." 

Lara menyalami ibunya, lalu beranjak menghampiri Sello. Sebelum naik ke bangku penumpang, dia berkata lirih, "Jangan bilang kau mau mem-bully-ku." Mendadak jantungnya berdebar kencang. Gugup menyerang. Dia tahu ini hanya akal-akalan Sello saja. Setelah ini dia akan dibantai habis-habis secara sadis olehnya. Tapi dia tidak dapat menolak ajakan tersebut di depan ibunya yang sudah mengizinkan. Semoga saja anak ini hilang ingatan setiba di sekolah.

"Memangnya aku sejahat itu apa?" Sello menunggu respon. "Baiklah, aku kadang-kadang memang jahat padamu, tapi kadang-kadang lho, tidak tiap hari. Dan sekarang aku mau berubah."

Aku tidak percaya padamu.

"Sudahlah, ayo naik!" Sello mendesak.

Lara menghela nafas, lalu menurunkan pijakan kaki. Dia naik ke atas motor dengan cara duduk menyamping.

"Aduuhh, jangan duduk menyamping dong? Kamu mau kita jatuh nanti?"

"Iya, ta-tapi..."

"Ayolah... aku tidak terbiasa membonceng orang duduk menyamping. Demi keselamatan kita berdua kuminta kau nurut saja."

Lara mengubah duduknya.

"Nah, begitu dong." Sello beralih pada Ibu Lara yang memperhatikan sedari tadi. "Kami berangkat, Tante?"

"Ya, hati-hati." Setelah keduanya pergi, di balik kekhawatirannya, Maira tersenyum senang. Akhirnya Lara punya pacar juga.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Alvira ; Kaligrafi untuk Sabrina
14335      2597     1     
Romance
Sabrina Rinjani, perempuan priyayi yang keturunan dari trah Kyai di hadapkan pada dilema ketika biduk rumah tangga buatan orangtuanya di terjang tsunami poligami. Rumah tangga yang bak kapal Nuh oleng sedemikian rupa. Sabrina harus memilih. Sabrina mempertaruhkan dirinya sebagai perempuan shalehah yang harus ikhlas sebagai perempuan yang rela di madu atau sebaliknya melakukan pemberontakan ata...
WEIRD MATE
1595      769     10     
Romance
Syifa dan Rezeqi dipertemukan dalam kejadian konyol yang tak terduga. Sedari awal Rezeqi membenci Syifa, begitupun sebaliknya. Namun suatu waktu, Syifa menarik ikrarnya, karena tingkah konyolnya mulai menunjukkan perasaannya. Ada rahasia yang tersimpan rapat di antara mereka. Mulai dari pengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), pengguna narkoba yang tidak diacuhkan sampai kebencian aneh pa...
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
My Soulmate Is My Idol
2695      1032     0     
Romance
Adeeva Afshen Myesha gadis cantik yang tak pernah mengenal cinta sampai dia menyukai salah satu penyanyi bernama Gafa Aileen, sebenarnya sebelum Gafa menjadi penyanyi terkenal Adeeva sudah menyukainya. "Gafa itu punya suara yang lembut, dia pembawa warna baru di hidup gue. Meskipun sekarang gue tau Gafa ga suka Gue tapi Gue yakin bakal bisa bikin Gafa jatuh cinta sama gue" ~Adeeva Af...
Memorieji
7771      1643     3     
Romance
Bagi siapapun yang membaca ini. Ketahuilah bahwa ada rasa yang selama ini tak terungkap, banyak rindu yang tak berhasil pulang, beribu kalimat kebohongan terlontar hanya untuk menutupi kebenaran, hanya karena dia yang jadi tujuan utama sudah menutup mata, berlari kencang tanpa pernah menoleh ke belakang. Terkadang cinta memang tak berpihak dan untuk mengakhirinya, tulisan ini yang akan menjadi pe...
Veintiséis (Dua Puluh Enam)
833      459     0     
Romance
Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.
I am Home
557      389     5     
Short Story
Akankah cinta sejati menemukan jalan pulangnya?
Aku Mau
11686      2204     3     
Romance
Aku mau, Aku mau kamu jangan sedih, berhenti menangis, dan coba untuk tersenyum. Aku mau untuk memainkan gitar dan bernyanyi setiap hari untuk menghibur hatimu. Aku mau menemanimu selamanya jika itu dapat membuatmu kembali tersenyum. Aku mau berteriak hingga menggema di seluruh sudut rumah agar kamu tidak takut dengan sunyi lagi. Aku mau melakukannya, baik kamu minta ataupun tidak.
Attention Whore
245      202     0     
Romance
Kelas dua belas SMA, Arumi Kinanti duduk sebangku dengan Dirgan Askara. Arumi selalu menyulitkan Dirgan ketika sedang ada latihan, ulangan, PR, bahkan ujian. Wajar Arumi tidak mengerti pelajaran, nyatanya memperhatikan wajah tampan di sampingnya jauh lebih menyenangkan.
Young Marriage Survivor
3017      1087     2     
Romance
Di umurnya yang ke sembilan belas tahun, Galih memantapkan diri untuk menikahi kekasihnya. Setelah memikirkan berbagai pertimbangan, Galih merasa ia tidak bisa menjalani masa pacaran lebih lama lagi. Pilihannya hanya ada dua, halalkan atau lepaskan. Kia, kekasih Galih, lebih memilih untuk menikah dengan Galih daripada putus hubungan dari cowok itu. Meskipun itu berarti Kia akan menikah tepat s...